“NIKAH”
KELOMPOK I
IRVAN 10100115106
YUL HIDAYAH 10100118047
MUH IMAM HIDAYAT 10100118070
AHMAD MUFLIHUDDIN A.H 10100118058
Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul hadis nikah ini tepat pada
waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas bapak
dari Dr. Darsul S. Puyu M.Ag selaku salah satu dosen jurusan hukum keluarga islam. Selain
itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang hadis nikah bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr. Darsul S.Puyu M.Ag selaku dosen
mata kuliah Hadis Ahkam Al – Qada/ hadis hukum peradilan yang telah memberikan tugas
ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
kami tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Saya menyadari,
makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karna itu kritik dan saran
yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................................
Daftar Isi...........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.....................................................................................
B. Rumusan Masalah................................................................................
C. Tujuan .................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan...........................................................................................
B. Saran ....................................................................................................
Daftar pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan sunnatullah pada alam ini, tidak ada yang keluar dari
garisNya, baik manusia, hewan maupun tumbuhan. Allah berfirman dalam QS. Adz
Dzariyat ayat 49 yang artinya "Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan,
supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah
Bagi umat Islam hukum mempelajari ilmu fiqh adalah fardu ‘ain dan fardu kifayah.
Ilmu fiqh menuntun kita dalam menjalani kehidupan yang baik. Dari mulai bagaimana
cara kita bergaul atau berhubungan sosial (hablum minannas) yang baik dan benar.
Kemudian dalam ilmu fiqh juga diajarkan cara mengawali dalam membangun sebuah
keluarga dari proses pengenalan sampai dengan proses pemilihan wanita calon
pendamping hidup kita dan tidak ketinggalan larangan-larangan dalam memilih wanita.
Dalam makalah ini akan dipaparkan beberapa pembahasan yang bisa dikategorikan
kedalam proses awal pra-nikah.
Ada banyak pernikahan yang di haramkan oleh Islam, salah satunya yang dikenal
dengan nikah mut’at. Nikah mu’tah ini merupakan salah satu pernikahan yang diharamkan
Islam. Uniknya, nikah mu’tah ini bahkan dilanggengkan dan dilestarikan oleh agama
Syi’ah dengan mengatasnamakan agama.
Nikah mu’tah di Indonesia dikenal juga dengan istilah kawin kontrak, secara
kwantitatif sulit untuk didata, karena perkawinan kontrak itu dilaksanakan selain tidak
dilaporkan, secara yuridis formal memang tidak diatur dalam peraturan apapun, sehingga
dapat dikatakan bahwa perkawinan kontrak/ nikah mu’tah di Indonesia tidak diakui dan
tidak berlaku hukum itu. Dari sini penyusun akan menguraikan bagaimana sebenarnya
pandangan hukum Islam mengenai praktek kawin mu’tah yang terjadi di Indonesia
Adapun larangan lainnya yaitu Larangan perkawinan yang berlaku haram untuk
selamanya dalam arti sampai kapan pun dan dalam keadaan apa pun laki-laki dan
perempuan itu tidak boleh melakukan perkawinan. Larangan dalam bentuk ini disebut
mahram muabbad. salah satu contoh dalam mahram muabbad diantaranya adalah
perkawinan saudara sepersusuan. Dimana pernikahan ini telah jelas diharamkan oleh
syar’i karena sebab-sebab tertentu yang akan membawa mudharat yang lebih besar
sehubungan pula dengan pertalian nasab.
B. Rumusan masalah
1. Hadis hukum memilih calon istri?
2. Hadis hukum nikah mut’ah?
3. Hadis hukum larangan perkawinan bagi mahram karna sesusuan?
C. Tujuan
1. Mengetahui hadis hukum memilih calon istri
2. Mengetahui hadis hukum nikah mut’ah
3. Mengetahui hadis hukum larangan perkawinan bagi mahram karna sesusuan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Memilih Calon Istri
Mencari calon pasangan hidup memang gampang-gampang susah, gampangnya
kalau dihitung dengan akal, susahnya karena soal jodoh bukan domain akal.
Menentukan kriteria wanita sholehah untuk pasangan hidup banyak hal
penting yang harus diperhatikan dan dijadikan sebuah pertimbangan
agar dapat memutuskan pilihan sesuai dengan apa yang kita harapkan.
Khususnya pada ajaran syari’at Islam telah banyak petunjuk-petunjuk
dari Rosulullah SAW yang kemudian dituangkan oleh para ‘Alim ‘Ulama
dalam kitab-kitab kajiyan salafi dan buku-buku bacaan untuk dijadikan
landasan dalam pengamalan memilih wanita sholehah sebagai
pasangan hidup.
Adapun salah satu petunjuk yang diberikan oleh Rosulullah SAW
dalam sebuah hadits yang cukup masyhur dikalangan umat Islam.
Yakni, sabda Rosulullah SAW :
صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم قَ َال ُتْن َك ُح الْ َم ْرأَةُ أِل َْربَ ٍع لِ َماهِلَا َوحِلَ َسبِ َها َومَجَاهِلَا َولِ ِدينِ َها ِ
َ ِّ َع ْن أَيِب ُهَر ْيَر َة َرض َي اللَّهُ َعْنهُ َع ْن النَّيِب
ِ
ْ َفَاظَْف ْر بِ َذات الدِّي ِن تَ ِرب
)ت يَ َد َاك (رواه البخاري و مسلم وغريمها
Artinya :
(Hadis riwayat) dari Abu Hurairah, dari Nabi saw., beliau bersabda:
Wanita itu dinikahi karena empat faktor ; karena hartanya, karena
keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya.Maka
pilihlah wanita (untuk diperistri) karena faktor agamanya, niscaya
kamu selamat. (H.R. Al-Buhariy, Muslim dan selainnya)
Pada hakikatnya mencari wanita yang memiliki keempat perkara tersebut bukan hal
mudah, sehingga disamping mengenal betul kehidupan keluarganya, juga tidak dapat
mengabaikan pendekatan spiritual yakni sebuah pendekatan yang diajarkan oleh para
‘Alim ‘Ulama dengan melaksanakan shalat sunnah Istikhoroh.
Adapu memilih wanita untuk menjadi pendamping hidup dari sisi keturunan atau
nasabnya, merupakan anjuran bagi seorang muslim untuk memilih wanita yang berasal
dari keluarga yang taat beragama, baik status sosialnya dan terpandang di tengah
masyarakat. Dengan mendapatkan wanita dari nasab yang baik itu, diharapkan nantinya
akan lahir keturunan yang baik pula. Sebab mendapatkan keturunan yang baik itu adalah
bagian dari perintah agama. Sesuai dengan firman Allah SWT :
ض َعفًـا خَا فُوْ َعلَ ْي ِه ْم فَ ْليَتَّقُوْ اهللاَ َو ْليَقُوْ لُوْ ا قَوْ اًل
ِ ًش اّلَ ِذ ْينَ لَوْ تَ َر ُكوْ ا ِم ْن ِخ ْلفِ ِه ْم ُذرِّ يَّة
َ َو ْليَ ْخ
)٩( َش ِد ْيدًا
Artinya : dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka
meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah, dan
hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar. (QS. An-Nisa’ ayat 9)
Memilih wanita untuk menjadi pendamping hidup dari sisi hartanya lebih jangan
dijadikan sebagai prioritas karena itu akan menjadi salah satu faktor menurunkannya
derajat laki-laki. Namun ketikam memilih wanita dari sisi hartanya dapat menjadikan laki-
laki lebih bertanggungjawab dalam pengamalan dakwah syari’at islam itu menjadi baik.
Sedangkan memilih wanita untuk menjadi pendamping hidup dari sisi kecantikannya
secara normatif mungkin akan menjadi sebuah kebanggaan dan kepuasan sendiri. Karena
kecantikan itu sifatnya relatif, sehingga tidak ada kelebihan kecuali kecantikannya itu
sendiri.
Dan mengapa mesti agama karna wanita yang cantik dan menarik, tetapi tanpa
diiringi perilaku yang baik menurut agama, maka kecantikannya itu mungkin justru akan
menjadikan rumah tangganya tidak bahagia. Begitu juga kebangsawanan dan kekayaan,
bila tidak diiringi perilaku yang baik menurut agama, maka kebangsawanan dan kekayaan
tersebut akan menjadikan orang yang memilihnya bernasib ibarat budak yang selalu
dihinakan oleh tuannya.
dari empat faktor tersebut (harta, keturunan, kecantikan, dan agama) tidaklah
berhubungan dengan kafa’ah (persamaan status, misalnya status social antara calon suami
dan istri), tetapi hanya sekedar kelaziman pertimbangan. Agama disebut sebagai faktor
yang harus diutamakan dalam memilih jodoh, paling tidak akan ada jaminan keamanan
iman dari perbuatan musyrik
B. Nikah Mut’ah
Nikah menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata Nakaha-Yankihu-
Nikahan, yang berarti kawin. Menurut istilah nikah adalah ikatan suami istri yang sah
yang menimbulkan akibat hukum dan hak serta kewajiban bagi suami istri. Kata lain yang
dipakai untuk menggambarkan pernikahan adalah kata zawaja, yang kata bendanya zauj,
yang berarti pasangan atau jodoh. Sedangkan Mut’ah berasal dari kata mata’a yamta’u
mat’an wa mat’atan yang berarti kesenangan atau kenikmatan, barang yang
menyenangkan atau bersenang-senang untuk mendapatkan kelezatan.
Nikah mut’ah adalah ikatan pernikahan antara seorang laki-laki dan wanita dengan
maskawin yang disepakati bersama, yang dalam akad disebutkan batas waktu berlakunya
pernikahan. Apabila batas waktu yang telah ditentukan itu tiba, maka dengan sendirinya
berakhirlah ikatan pernikahan itu tanpa terlebih dahulu melalui proses perceraian.
Defenisi nikah mut’ah juga dikemukakan oleh ulama mazhab Syafi’i dan
Maliki yang pada dasarnya menunjuk adanya pembatasan waktu tertentu. Menurut ulama
madzhab Syafi’i, mazhab Hanbali, dan Mazhab Maliki, nikah mut’ah disebut juga dengan
nikah muaqqat (nikah yang dibatasi waktunya). Akan tetapi, ulama mazhab Hanafi ada
perbedaan antara nikah mut’ah dan muaqqat, di mana akad dalam nikah mut’ah
menggunakan kata-kata mut’ah seperti kalimat mata’tuka nafsi.
Dengan demikian, maka nikah mut’a itu merupakan nikah kontrak, misalnya
untuk tiga hari, satu bulan atau untuk selama masa dalam studi di S1, S2, atau S3. Karena
nikah mut’ah terikat oleh waktu tertentu, maka nikah yang tidak terikat oleh waktu
tertentu biasa disebut dengan nikah da’im (nikah permanen).
Nikah mut’ah merupakan warisan dari tradisi masyarakat pra Islam yang
dimaksudkan untuk melindungi wanita di lingkungan sukunya. Pada masa Islam, nikah
seperti ini mengalami pasang surut. Pada masa Rasulullah SAW, nikah mut’ah mengalami
beberapa kali perubahan hukum, dua kali dibolehkan dan dua kali dilarang, dan akhirnya
diharamkan untuk selamanya. Pada masa sahabat, larangan Rasulullah SAW pada
dasarnya tetap menjadi pegangan jumhur sahabat. Akan tetapi, ada sebagian kecil di antara
mereka yang masih membenarkan, bahkan melakukan praktek nikah mut’ah, seperti yang
dilakukan oleh Jabir bin Abdullah. Pada masa kekhalifahannya, Umar bin al-Khattab (581-
644) secara tegas melarang siapa saja yang melakukan nikah mut’ah dengan ancaman
hukum rajam. Larangan Umar ini dapat menghentikan secara total praktek nikah mut’ah.
Keadaan ini tetap terpelihara sampai generasi berikutnya. Dalam konteks ini alHafizh
Ibnu Katsir berkata : Tidak ada keraguan lagi, nikah mut’ah hanya diperbolehkan pada
permulaan Islam. Sebagian ulama berpendapat, bahwa ia dihalalkan kemudian
dimansukhkan (dihapus), lalu dihalalkan kemudian dimansukhkan. Sebagian yang lain
berpendapat, bahwa penghalalan dan pengharaman berlaku terjadi beberapa kali.
Menurut ulama mazhab empat serta jumhur sahabat dan tabi’in, yang dirujuk oleh
kaum Sunni nikah mut’ah untuk selanjutnya dilarang. Ada beberapa hal yang menjadi
dasar larangan tersebut yaitu: Pertama, larangan Rasulullah SAW., dalam beberapa hadis.
Menurut Ibnu Rusyd larangan tersebut diketahui secara mutawatir. Seluruh hadis yang
memuat larangan ini menurut ahli hadis adalah shahih. Di antaranya adalah hadis riwayat
Ibnu Majah, Rasulullah SAW., bersabda, “Wahai sekalian manusia, aku telah
membolehkan kalian melakukan nikah mut’ah. Ketahuilah! Sekarang Allah telah
mengharamkannya sampai hari kiamat nanti.” Kedua, sebagian ulama berpendapat bahwa
keharaman nikah mut’ah dalam Islam sudah merupakan hasil ijma’. Ketiga, dilihat dari
tujuannya, nikah mut’ah hanya untuk memenuhi kebutuhan syahwat, bukan untuk
menjaga kesejahteraan dan kelangsungan keturunan, sebagaimana diharapkan dari
perkawinan.
Nikah mut’ah tidak mengakibatkan hubungan waris antara suami dan istri, serta
antara ayah dan anak. Hubungan waris hanya terjadi antara ibu dengan anak. Pada
dasarnya, setelah pernikahan berakhir menurut waktu yang telah ditentukan, maka anak
hanya berada dalam tanggungan istri (ibunya).
Menurut sumber jelas sekali, hukum nikah mut’ah itu haram, lain lagi dengan faham
syi’ah. Mereka membolehkan nikah mut’ah sebagaimana pendapat umum mengetahuinya.
Tentu saja mereka beralasan pula, bahkan menggunakan ayat dan hadits sebagai
alasannya.
Menurut ulama kalangan Syi’ah, nikah mut’ah tetap dibolehkan atau dihalalkan
sampai sekarang, sama halnya dengan nikah permanen (nikah daim). Hal ini didasarkan
pada beberapa hal sebagai berikut :
1. QS. al-Nisa’ (4) ayat 24 menurut qiraah Ibnu Mas’ud yang di dalamnya
disisipkan kalimat ilaa ajal musamma. Mereka menolak pendapat yang mengatakan bahwa
ayat tersebut hukumnya sudah dinasakhkan oelh dalil lain atau ijmak ulama.
2. Hadis yang membolehkan nikah mut’ah, sebagaimana yang diriwayatkan
Imam Muslim dari al-Rabi’ bin Saburah dari Jabir bin Abdullah.
3. Pendapat beberapa orang sahabat (seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud,
Jabir Bin Abdullah, dan Abu Said al-khudri) dan Tabi’in (seperti Atha bin Abi Rabah
dan Said bin Zubair).
Demikian juga halnya pendapat para ulama Nahdlatul Ulama (NU) juga telah
menetapkan fatwa terkait nikah mut’ah dalam forum Bahtsul Masail Diniyah Munas NU
pada bulan November 1997 di Nusa Tenggara Barat. Dalam fatwanya, ulama NU
menetapakan bahwa nikah mut’ah atau kawin kontrak hukumnya haram dan tidak sah.
”Nikah mut’ah menurut ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, khususnya mazhab empat,
hukumnya haram dan tidak sah.” Nikah mut’ah berdasarkan jumhur fukaha termasuk
salah satu dari empat macam nikah fasidah (rusak atau tak sah). Sebagai dasar hukumnya,
ulama NU bersandar pada pendapat Imam al-Syafi’iy dan Syaikh Husain Muhammad
Mahluf dalam Fatwa al-Syar’iyyah.
Artinya:
Artinya:
Umat telah sepakat tentang kepastian haram antara yang menyusu dengan wanita
yang menyusukan. Anak yang menyusu hukumnya berubah menjadi anak dari wanita
yang menyusukan. Sehingga anak itu haram untuk menikahi wanita tersebut selamanya.
Karna bagaimanapun bisa dikatakan bahwa saudara sepersusuan posisinya dibawah
saudara sedarah. Seperti kita tau juga bahwa saudara sedarah atau saudara sepersusuan
tidak boleh terikat dalam suatu tali pernikahan
Kaedah yang harus diketahui masyarakat adalah bahwa keharaman wanita yang
menyusui mencakup keharaman menikahi ibu, ayah dan nenek dari wanita yang menyusui.
Keharaman ini mencakup pula keharaman menikahi saudara sepersusuan dan adik-adik
saudara sepersusuan. Keharaman ini juga mencakup anak kandung dari si wanita yang
menyusui dan juga terhadap cucunya. Selain itu, juga mencakup pada keharaman untuk
menikahi saudara perempuan atau saudara laki-laki dari wanita yang menyusui.
Adapun dari pihak orang yang menyusui, keharaman ini juga berlaku bagi anak dari
orang yang menyusu, tidak lebih. Sedangkan saudara dari orang yang menyusu tidak
termasuk orang-orang yag haram dinikahi pihak wanita yang menyusu.
Anak tiri (anak dari suami wanita ini) dari wanita yang menyusui juga haram untuk
dinikahi oleh anak yang menyusu pada wanita ini. Karena persusuan mengikuti garis
keturunan (nasab)
dapat disimpulkan bahwa menikah dengan anak, bagi laki-laki maupun
perempuan, dari wanita yang menyusui tidak dibolehkan berdasarkan syariat
Islam, baik anak itu saudara sepersusuan atau adik dari saudara sepersusuan.
Dengan disamakannya hubungan susuan dengan hubungan nasab, maka
perempuan yang haram dikawini karena hubungan susuan itu secara lengkap
adalah sebagai berikut :
1) Ibu susuan. Termasuk dalam Ibu susuan itu adalah ibu yang menyusukan,
yang menyusukan ibu susuan, yang melahirkan ibu susuan, dan garis
lurus ke atas. Yang menyusukan Ibu, yang menyusukan nenek dan
seterusnya ke atas, yang melahirkan ayahsusuan, yang menyusukan ayah
susuan, dan seterusnya ke atas melalui hubungan nasab atau susuan.
2) Anak susuan. Termasuk adalah anak susuan itu ialah anak yang
dilahirkan ibu susuan, yang disusukan ibu susuan, yang dilahirkan istri
ayah susuan, anak yang disusukan istri ayah susuan, yang disusukan ibu,
yang disusukan istri dari ayah.
4) Paman susuan. Yang termasuk paman susuan itu adalah saudara dari ibu
saudara ini adalah anak dari saudara sesusuan, cucu dari saudara
sesusuan, dan seterusnya kebawah. Orang-orang yang disusukan oleh
saudara sesusuan, yang disusukan oleh anak saudara sesusuan, yang
disusukan oleh saudara perempuan, yang disusukan oleh istri saudara
laki-laki, dan seterusnya garis ke bawah dalam hubungan nasab dan
susuan.