Anda di halaman 1dari 14

FILSAFAT HUKUM PERKAWINAN DAN

PERKAWINAN

Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas semester III

Mata kuliah :
Filsafat Hukum Islam

Dosen Pengampu :
Bustanul Arifin, M.Sy

Di Susun Oleh :
Imam Lukman Hakim
Jajang Nur Alim
M. Illyan Wafi Izain

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AT-TAHDZIB (STAIA)


JURUSAN SYARIAH PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH
REJOAGUNG NGORO JOMBANG
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga
dan keluarga sejahtera yang bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah
dan tanggung jawab. Berdasarkan Undang-undang No.1 Tahun 1974 dikatakan
bahwa “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Berlakunya Undang-
undang No.1 Tahun 1974, menimbulkan unifikasi hukum dalam perkawinan di
Indonesia, dimana perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
agama atau kerohanian karena perkawinan bukan saja mengutamakan unsur
jasmani tetapi unsur rohani juga memegang peranan penting. Tujuan perkawinan
dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 adalah membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal. Oleh karena itu suami istri perlu saling membantu dan
melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya serta
membantu mencapai kesejahteraan spiritual dan material (Prakoso dan Murtika,
1987:13).
Sahnya suatu perkawinan ditinjau dari Undang-undang Perkawinan
Nasional yaitu “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Sahnya suatu perkawinan itu
ditentukan oleh aturan agama dan kepercayaan mereka yang melakukan
perkawinan, apabila suatu perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan
ketentuan agama dan kepercayaannya, dengan sendirinya menurut hukum
perkawinan belum sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan
perkawinan. Sahnya perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 pasal
2 berbunyi “1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu. 2) Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Penjelasan pasal 2 ayat
(1) dikatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undangundang Dasar 1945. Hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya yang dimaksud itu termasuk ketentuan
perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya
itu sepanjang tidak ditentukan lain dalam Undangundang tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Arti Perkawinan Dalam Islam ?
2. Apa Hikmah, Rahasia, Dan Tujuan Perkawinan ?
3. Bagaimana Posisi Dan Relasi Laki-laki Dan Perempuan Dalam Rumah
Tangga ?
4. Apa Hikmah Bagian Laki-laki Dan Perempuan Dalam Kewarisan ?

C. Tujuan Masalah

1. Mengetahui Arti Perkawinan Dalam Islam


2. Mengetahui Hikmah, Rahasia, Dan Tujuan Perkawinan
3. Mengetahui Posisi Dan Relasi Laki-laki Dan Perempuan Dalam Rumah Tangga
4. Mengetahui Hikmah Bagian Laki-laki Dan Perempuan Dalam Kewarisan
4

BAB II
` PEMBAHASAN
A. Arti Perkawinan Dalam Islam
Perkawinan yang dalam istilah agama disebut “Nikah” ialah melakukan suatu akad
atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk
menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu hidup
berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman (mawaddah wa rahmah) dengan
cara-cara yang diridhai oleh Allah SWT.1
Pengertian perkawinan ada beberapa pendapat yang satu dan lainnya berbeda. Tetapi
perbedaan pendapat ini sebetulnya bukan untuk memperlihatkan pertentangan yang sungguh-
sungguh antara pendapat yang satu dengan yang lain. Menurut ulama Syafi’iyah adalah suatu
akad dengan menggunakan lafal nikah atau zawj yang menyimpan arti wati’ (hubungan
intim). Artinya dengan pernikahan seseorang dapat memiliki atau dapat kesenangan dari
pasangannya.
Suatu akad tidak sah tanpa menggunakan lafal-lafal yang khusus seperti akan
kithabah, akad salam, akad nikah. Nikah secara hakiki adalah bermakna akad dan secara
majas bermakna wat’un.
Sedangkan arti nikah menurut istilah adalah melakukan suatu akad atau perjanjian
untuk mengikat diri antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk menghalalkan
suatu hubungan kelamin antara keduanya sebagai dasar suka rela atau keridhaan hidup
keluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara yang diridhai Allah
SWT.
Pengertian nikah itu ada tiga, yang pertama adalah secara bahasa nikah adalah
hubungan intim dan mengumpuli, seperti dikatakan pohon itu menikah apabila saling
membuahi dan kumpul antara yang satu dengan yang lain, dan juga bisa disebut secara majaz
nikah adalah akad karena dengan adanya akad inilah kita dapat menggaulinya. Menurut Abu
Hanifah adalah Wati’ akad bukan Wat’un (hubungan intim). Kedua, secara hakiki nikah
adalah akad dan secara majaz nikah adalah Wat’un (hubungan intim) sebalinya pengertian
secara bahasa, dan banyak dalil yang menunjukkan bahwa nikah tersebut adalah akad seperti
yang dijelaskan dalam alQuran dan Hadist, antara lain adalah firman Allah. Pendapat ini
adalah pendapat yang paling diterima atau unggul menurut golongan Syafi’yah dan Imam

1 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, (Yogyakarta : Liberty Yogyakarta,
1989), 9
5

Malikiyah. Ketiga, pengertian nikah adalah antara keduanya yakni antara akad dan Wati’
karena terkadang nikah itu diartikan akad dan terkadang diartikan wat’un (hubungan intim).2
Dengan demikian agama Islam memandang bahwa, perkawinan merupakan basis
yang baik dilakukan bagi masyarakat karena perkawinan merupakan ikatan lahir batin yang
sah menurut ajaran Islam, dan merupakan perjanjian yang mana hukum adat juga berperan
serta dalam penyelesaian masalah-masalah perkawinan seperti halnnya pernikahan dini atas
latar belakang yang tidak lazim menurut hukum adat hingga hal ini adat menjadikan hukum
untuk mengawinkan secara mendesak oleh aparat desa, yang itu mengacu kepada
kesepakatan masyarakat yang tidak lepas dari unsur agama Islam.3

B. Hikmah, Rahasia, Dan Tujuan Perkawinan


C. Mengetahui Posisi Dan Relasi Laki-laki Dan Perempuan Dalam Rumah Tangga
D. Hikmah Dan Bagian Laki-laki Dan Perempuan Dalam Kewarisan

Sebagaimana halnya institusi yang berlabel syariah, landasan hukum pegadaian syariah juga
mengacu pada syariah Islam yang bersumber dari Al-Quran, hadits Nabi SAW, dan hukum
positif. Adapun landasan yang dipakai adalah sebagai berikut:
1. Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 283:

‫اْؤ تُ ِم َن‬ ‫ضا َفلُْيَؤ ِّد الَّ ِذي‬ ُ ‫ضةٌ فَِإ ْن َِأم َن َب ْع‬
ً ‫ض ُك ْم َب ْع‬ َ ‫َم تَ ِج ُدوا َكاتِبًا فَ ِر َها ٌن َم ْقبُو‬
ْ ‫َوِإ ْن ُك ْنتُ ْم َعلَى َس َف ٍر َول‬
ِ ِ
ٌ ‫ادةَ َو َم ْن يَ ْكتُ ْم َها فَِإ نَّهُ آث ٌم َقلْبُهُ َواللَّهُ بِ َماَت ْع َملُو َن َعل‬
‫يم‬ َّ ‫ََأما َنتَهُ َولْيَت َِّق اللَّهَ َربَّهُ َوال تَ ْكتُ ُموا‬
َ ‫الش َه‬
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan
janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya;
dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”4

2 Abd. Rahman, Fiqh ‘Ala Mazahib Al Arba’ah, Juz IV, 7.


3 Imam Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar, (Yogyakarta : Liberty, 1991), 1-2.
4.
6

2. Hadits
ِ ُ ‫ال رس‬ َ َ‫ ق‬- ‫ رضي اهلل عنه‬- َ‫َو َع ْن َأبِي ُه َر ْي َرة‬
ُ ‫ اَلظَّ ْه ُر ُي ْر َك‬- ‫ صلى اهلل عليه وسلم‬- ‫ول اَللَّه‬
a. ‫ب‬ ُ َ َ َ‫ ق‬:‫ال‬
ِ َّ ِ ِ ِ ‫َّر ي ْشر‬ ِِ
‫ب‬
ُ ‫ب َويَ ْش َر‬ ُ َ ُ ِّ ‫ َولَبَ ُن اَلد‬,‫بَِن َف َقته ِإذَا َكا َن َم ْر ُهونًا‬
ُ ‫ َو َعلَى اَلذي َي ْر َك‬ ,‫ب بَن َف َقته ِإذَا َكا َن َم ْر ُهونًا‬

ُ‫– اَ َّلن َف َقة‬

ّ ‫)ر َواهُ اَلْبُ َخا ِر‬


(‫ي‬ َ
Dari Abi Hurairah, Ia berkata: Telah bersabda Rasululllah SAW: “Tunggangan
yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang
digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang
menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan
pemeliharaan.” Diriwayatkan oleh Bukhori.

ِ ‫ اَل ي ْغلَ ُق اَ َّلر ْهن ِمن ص‬- :‫صلَّى اَللَّه علَي ِه وسلَّم‬- ‫ول اَللَّ ِه‬
b. ُ‫ لَه‬,ُ‫احبِ ِه اَلَّ ِذي َر َهنَه‬ ُ ‫ال َر ُس‬
َ َ‫ ق‬:‫ال‬
َ َ‫َو َع ْنهُ ق‬
َ ْ ُ َ َ ََ َْ ُ َ

‫ظ ِع ْن َد َأبِي َد ُاو َد‬


َ ‫َأن اَل َْم ْح ُفو‬ ٌ ‫ َو ِر َجالهُ ثَِق‬,‫ْحاكِ ُم‬
َّ ‫ ِإاَّل‬.‫ات‬ ِ ‫ رواهُ اَلد‬- ُ‫ و َعلَْي ِه غُرمه‬,ُ‫غُْنمه‬
َ ‫ َوال‬,‫َّارقُطْن ُّي‬
َ ََ ُ ْ َ ُ
ِ
ُ‫َوغَْي ِره ِإ ْر َسالُه‬
Dari Abu Hurairah, Ia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW: “Tidak terlepas
kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat
dan menanggung resikonya.” Diriwayatkan oleh Daruqutni dan Hakim.5

3. Hukum Positif
Dalam Pasal 19 ayat (1) huruf q Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah disebutkan bahwa kegiatan Usaha Bank Umum Syariah antara lain
melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang social
sepanjang tidak bertentangan denga Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Ketentuan inilah yang menurut hemat penulis menjadi
dasar hukum bagi bank syariah untuk memberikan produk berdasarkan akad rahn.6

E. Rukun dan Syarat Gadai Syariah7

5 A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram (Bandung: Diponegoro, 2006), hal 379.


6 Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2009),
hal 171.
7 Heri Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, hal 175.
7

Dalam menjalankan pegadaian syariah, pegadaian harus memenuhi rukun gadai


syariah. Rukun gadai tersebut antara lain:
1. Ar-Rahin (yang menggadaikan), syaratnya yaitu: orang yang telah dewasa, berakal, bisa
dipercaya, cakap bertindak hukum dan memiliki barang yang akan digadaikan.
2. Al-Murtahin (yang menerima gadai), yaitu: orang, bank, atau lembaga yang dipercaya
oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang.
3. Al-Marhun/ Rahn (barang yang digadaikan), yaitu: barang yang digunakan rahin untuk
dijadikan jaminan dalam mendapatkan uang. Marhun itu harus memenuhi beberapa
syarat, yaitu:
a. Harus diperjualbelikan.
b. Harus berupa harta yang bernilai.
c. Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah
d. Harus diketahui keadaan fisiknya, maka piutang tidak sah untuk digadaikan harus
berupa barang yang diterima secara langsung.
e. Harus dimiliki oleh rahin setidaknya harus seizing pemiliknya.
4. Al-Marhun bih (utang), sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasar
besarnya tafsiran marhun. Al-Marhun bih itu harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
a. Harus merupakan hak yang wajib diberikan/ diserahkan kepada pemiliknya.
b. Memungkinkan pemanfaatan.
c. Harus dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya.
5. Sighat (Ijab dan Qabul), yaitu: kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam
melakukan transaksi gadai. Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan dengan
waktu-waktu pada masa depan.

F. Akad Perjanjian Gadai8


Dalam transaksi gadai terdapat empat akad untuk mempermudah mekanisme
perjanjiannya, yaitu sebagai berikut:
1. Qard al-Hasan
Akad ini digunakan nasabah untuk tujuan konsumtif. Oleh karena itu, nasabah
dikenakan biaya perawatan dan penjagaan barang gadain kepada pegadaian. Ketentuan
transaksi pada akad qard al-hasan, yaitu:

8 M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoretis Praktis (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2012), hal 286-287.
8

a. Barang gadai hanya dapat dimanfaatkan dengan jalan menjual;


b. Karena bersifat sosial, tidak ada pembagian hasil. Pegadaian hanya diperkenankan
untuk mengenakan biaya administrasi kepada rahin.
2. Mudharabah
Akad ini diberikan bagi nasabah yang ingin meperbesar modal usahanya atau
untuk pembiayaan lain yang bersifat produktif. Ketentuan transaksi pada
akad mudharabah ialah:
a. Barang gadai dapat berupa barang bergerak dan barang tidak bergerak, seperti:
emas, elektronik, kendaraan bermotor, tanah, rumah, bangunan, dan lain-lain;
b. Keuntungan dibagi setelah dikurangi dengan biaya pengelolaan marhun.
3. Ba’i Muqayyadah
Akad ini diberikan bagi nasabah untuk keperluan yang bersifat produktif, seperti
pembelian alat kantor dan modal kerja. Dalam hal ini, murtahin juga dapat
menggunakan akad jual-beli untuk barang atau modal kerja yang diinginkan oleh rahin.
Barang gadai adalah barang yang dapat dimanfaatkan oleh rahin dan murtahin.
4. Ijarah
Objek dari akad ini adalah pertukaran manfaat tertentu. Bentuknya
adalah murtahin menyewakan tempat penyimpanan barang.

G. Operasional Pegadaian Syariah


Operasi pegadaian syariah menggambarkan hubungan di antara nasabah dan pegadaian.
Adapun teknis pegadaian syariah adalah sebagai berikut:9
1. Nasabah menjaminkan barang kepada pegadaian syariah untuk mendapatkan pembiayaan.
Kemudian pegadaian menaksir barang jaminan untuk dijadikan dasar dalam memberikan
pembiayaan.
2. Pegadaian syariah dan nasabah menyetujui akad gadai; akad ini mengenai berbagai hal,
seperti kesepakatan biaya administrasi, tarif jasa simpan, pelunasan dan sebagainya.
3. Pegadaian syariah menerima biaya administrasi dibayar diawal transaksi, sedangkan untuk
jasa simpan disaat pelunasan utang.

9 Heri Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, hal 185.
9

4. Nasabah melunasi barang yang digadaikan menurut akad; pelunasan penuh, ulang gadai,
angsuran, atau tebus sebagian.
Perbedaan utama antara biaya gadai dan bunga pegadaian adalah dari sifat bunga yang
bisa berakumulasi dan berlipat ganda sementara biaya gadai hanya sekali dan ditetapkan di
muka.
Adapun teknis pegadaian syariah dapat diilustrasikan dalam gambar berikut:

Prinsip utama barang yang digunakan untuk menjamin adalah barang yang dihasilkan
dari sumber yang sesuai dengan syariah, atau keberadaan barang tersebut di tangan nasabah
bukan karena hasil praktik riba, masyir, dan gharar. Barang-barang tersebut antara lain,
seperti:
1. Barang perhiasan, seperti: perhiasan yang terbuat dari intan, mutiara, emas, perak, platina,
dan sebagainya.
2. Barang rumah tangga, seperti: perlengkapan dapur, perlengkapan makan atau minum,
perlengkapan kesehatan, perlengkapan taman, dan sebagainya.
3. Barang elektronik seperti: radio, tape recorder, video player, televisi, computer, dan
sebagainya.
4. Kendaraan seperti: sepeda onthel, sepeda motor, mobil, dan sebagainya.
5. Barang-barang lain yang dianggap bernilai, seperti: kain batik tulis.
Implementasi operasional pegadaian syariah hampir mirip dengan pegadaian
konvensional. Seperti halnya pegadaian konvensional, pegadaian syariah juga menyalurkan
10

uang pinjaman dengan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah
sangat sederhana. Masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak
sebagai jaminan, dan uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang relatif singkat. Begitu
pun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat
bukti rahn dengan waktu proses yang juga singkat.
Akan tetapi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep, teknik transaksi, dan pendanaan,
pegadaian syariah memiliki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan
pegadaian konvensional.10

H. Tujuan dan Manfaat Pegadaian Syariah11


Sifat usaha pegadaian pada prinsipnya menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan
masyarakat umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan yang
baik. Oleh karena itu pegadaian bertujuan sebagai berikut:
1. Turut melaksanakan dan menunjang pelaksanaan kebijaksanaan dan program pemerintah
di bidang ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya melalui penyaluran uang
pembiayaan/ pinjaman atas dasar hukum gadai.
2. Pencegahan praktik ijon, pegadaian gelap, dan pinjaman tidak wajar lainnya.
3. Pemanfaatan gadai bebas bunga pada gadai syariah memiliki efek jaring pengaman sosial
karena masyarakat yang butuh dana mendesak tidak lagi dijerat pinjaman/ pembiayaan
berbasis bunga.
4. Membantu orang-orang yang membutuhkan pinjaman dengan syarat mudah.
Adapun manfaat pegadaian, antara lain sebagai berikut:
1. Bagi nasabah
Tersedianya dana dengan prosedur yang relative lebih sederhana dan dalam waktu
yang lebih cepat dibandingkan dengan pembiayaan/ kredit perbankan. Di samping itu,
nasabah juga mendapat manfaat penaksiran nilai barang bergerak secara professional.
Mendapatkan fasilitas penitipan barang bergerak yang aman dan dapat dipercaya.
2. Bagi perusahaan pegadaian
a. Penghasilan yang bersumber dari sewa modal yang dibayarkan oleh peminjam dana;
b. Penghasilan yang bersumber dari ongkos yang dibayarkan oleh nasabah memperoleh
jasa tertentu. Bank syariah yang mengeluarkan produk gadai syariah mendapat

10 M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoretis Praktis, hal 292.
11 Ibid., hal 282-283.
11

keuntungan dari pembebanan biaya administrasi dan biaya sewa tempat penyimpanan
emas.
c. Pelaksanaan misi pegadaian sebagai BUMN yang bergerak di bidang pembiayaan
berupa pemberian bantuan kepada masyarakat yang memerlukan dana dengan
prosedur yang relatif sederhana.
d. Berdasarkan PP No. 10 tahun 1990, laba yang diperoleh digunakan untuk:
1) Dana pembangunan semesta (55 %)
2) Cadangan umum (20%)
3) Cadangan tujuan (5%)
4) Dana sosial (20%)

I. Perbedaan Pegadaian Syariah Dan Pegadaian Konvensional 12

12 Heri Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, hal 197.
12

No. Pegadaian Syariah Pegadaian Konvensional


Biaya administrasi menurut ketetapan Biaya administrasi menurut prosentase
1.
berdasarkan golongan barang. berdasarkan golongan barang.
2. 1 hari dihitung 5 hari. 1 hari dihitung 15 hari.
3. Jasa simpanan berdasarkan taksiran. Sewa modal berdasarkan uang pinjaman.
Apabila pinjaman tidak dilunasi, barang Apabila pinjaman tidak dilunasi, barang
4.
jaminan akan dijual kepada masyarakat. jaminan dilelang kepada masyarakat.
Uang pinjaman (UP) gol A 90 % dari
Uang pinjaman (UP) gol A 92 % dari
taksiran.
5. taksiran.
Uang pinjaman (UP) gol BCD 90 % dari
Uang pinjaman (UP) gol BCD 88%- 86 %
taksiran.
6. Penggolongan nasabah D-K-M-I-L. Penggolongan nasabah P-N-I-D-L.
Jasa simpanan dihitung dengan konstanta Sewa modal dihitung dengan prosentase x
7.
x taksiran. uang pinjaman.
8. Maksimal jangka waktu 3 bulan. Maksimal jangka waktu 4 bulan.
Uang kelebihan (UK) = hasil penjualan – Uang kelebihan (UK) = hasil lelang –
9. (uang pinjaman + jasa penitipan + biaya (uang pinjaman + sewa modal + biaya
penjualan) lelang)
Bila dalam satu tahun uang kelebihan Bila dalam satu tahun uang kelebihan
10. tidak diambil diserahkan kepada tidak diambil maka uang kelebihan
Lembaga ZIS. tersebut menjadi milik pegadaian.
BAB III
KESIMPULAN
Pegadaian Syariah adalah badan usaha yang secara resmi mempunyai ijin untuk
melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana
ke masyarakat atas dasar hukum gadai seperti dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata pasal 1150.
Landasan hukum pegadaian syariah juga mengacu pada syariah Islam yang bersumber
dari Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 283, hadits Nabi SAW, dan hukum positif yaitu Pasal
19 ayat (1) huruf q Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Adapun rukun gadai syariah yaitu: ar-rahin, al-murtahin, al-marhun/ rahn, al-marhun
bih, dan sighat.
Sedangkan akad untuk mempermudah mekanisme perjanjiannya, yaitu: Qard al-Hasan,
Mudharabah, Ba’i Muqayyadah dan Ijarah.
Kemudian perasi pegadaian syariah menggambarkan hubungan di antara nasabah dan
pegadaian. Adapun teknis pegadaian syariah adalah sebagai berikut:
1.             Nasabah menjaminkan barang kepada pegadaian syariah untuk mendapatkan pembiayaan.
Kemudian pegadaian menaksir barang jaminan untuk dijadikan dasar dalam memberikan
pembiayaan.
2.             Pegadaian syariah dan nasabah menyetujui akad gadai
3.             Pegadaian syariah menerima biaya administrasi dibayar diawal transaksi, sedangkan untuk
jasa simpan disaat pelunasan utang.
4.             Nasabah melunasi barang yang digadaikan menurut akad; pelunasan penuh, ulang gadai,
angsuran, atau tebus sebagian.

13
DAFTAR PUSTAKA
Al Arif, M. Nur Rianto. 2012. Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoretis Praktis.
Bandung: CV Pustaka Setia.
Anshori, Abdul Ghofur. 2009. Perbankan Syariah Di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
As’ad, Aliy. 1980. Fathul Muin. Kudus: Menara Kudus.
Hassan, A. 2006. Tarjamah Bulughul Maram. Bandung: Diponegoro.
Umam, Khaerul. 2013. Manajemen Perbankan Syariah. Bandung: CV Pustaka Setia, 2013.
Sjahdeini, Sutan Remi. 2014. Perbankan Syariah: Produk-Produk Dan Aspek-Aspek
hukumnya. Kencana Prenadamedia Group.
Sudarsono, Heri. 2012. Bank & Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan
Ilustrasi.Yogyakarta: Ekonista.

14

Anda mungkin juga menyukai