PERKAWINAN
Mata kuliah :
Filsafat Hukum Islam
Dosen Pengampu :
Bustanul Arifin, M.Sy
Di Susun Oleh :
Imam Lukman Hakim
Jajang Nur Alim
M. Illyan Wafi Izain
B. Rumusan Masalah
1. Apa Arti Perkawinan Dalam Islam ?
2. Apa Hikmah, Rahasia, Dan Tujuan Perkawinan ?
3. Bagaimana Posisi Dan Relasi Laki-laki Dan Perempuan Dalam Rumah
Tangga ?
4. Apa Hikmah Bagian Laki-laki Dan Perempuan Dalam Kewarisan ?
C. Tujuan Masalah
BAB II
` PEMBAHASAN
A. Arti Perkawinan Dalam Islam
Perkawinan yang dalam istilah agama disebut “Nikah” ialah melakukan suatu akad
atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk
menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu hidup
berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman (mawaddah wa rahmah) dengan
cara-cara yang diridhai oleh Allah SWT.1
Pengertian perkawinan ada beberapa pendapat yang satu dan lainnya berbeda. Tetapi
perbedaan pendapat ini sebetulnya bukan untuk memperlihatkan pertentangan yang sungguh-
sungguh antara pendapat yang satu dengan yang lain. Menurut ulama Syafi’iyah adalah suatu
akad dengan menggunakan lafal nikah atau zawj yang menyimpan arti wati’ (hubungan
intim). Artinya dengan pernikahan seseorang dapat memiliki atau dapat kesenangan dari
pasangannya.
Suatu akad tidak sah tanpa menggunakan lafal-lafal yang khusus seperti akan
kithabah, akad salam, akad nikah. Nikah secara hakiki adalah bermakna akad dan secara
majas bermakna wat’un.
Sedangkan arti nikah menurut istilah adalah melakukan suatu akad atau perjanjian
untuk mengikat diri antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk menghalalkan
suatu hubungan kelamin antara keduanya sebagai dasar suka rela atau keridhaan hidup
keluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara yang diridhai Allah
SWT.
Pengertian nikah itu ada tiga, yang pertama adalah secara bahasa nikah adalah
hubungan intim dan mengumpuli, seperti dikatakan pohon itu menikah apabila saling
membuahi dan kumpul antara yang satu dengan yang lain, dan juga bisa disebut secara majaz
nikah adalah akad karena dengan adanya akad inilah kita dapat menggaulinya. Menurut Abu
Hanifah adalah Wati’ akad bukan Wat’un (hubungan intim). Kedua, secara hakiki nikah
adalah akad dan secara majaz nikah adalah Wat’un (hubungan intim) sebalinya pengertian
secara bahasa, dan banyak dalil yang menunjukkan bahwa nikah tersebut adalah akad seperti
yang dijelaskan dalam alQuran dan Hadist, antara lain adalah firman Allah. Pendapat ini
adalah pendapat yang paling diterima atau unggul menurut golongan Syafi’yah dan Imam
1 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, (Yogyakarta : Liberty Yogyakarta,
1989), 9
5
Malikiyah. Ketiga, pengertian nikah adalah antara keduanya yakni antara akad dan Wati’
karena terkadang nikah itu diartikan akad dan terkadang diartikan wat’un (hubungan intim).2
Dengan demikian agama Islam memandang bahwa, perkawinan merupakan basis
yang baik dilakukan bagi masyarakat karena perkawinan merupakan ikatan lahir batin yang
sah menurut ajaran Islam, dan merupakan perjanjian yang mana hukum adat juga berperan
serta dalam penyelesaian masalah-masalah perkawinan seperti halnnya pernikahan dini atas
latar belakang yang tidak lazim menurut hukum adat hingga hal ini adat menjadikan hukum
untuk mengawinkan secara mendesak oleh aparat desa, yang itu mengacu kepada
kesepakatan masyarakat yang tidak lepas dari unsur agama Islam.3
Sebagaimana halnya institusi yang berlabel syariah, landasan hukum pegadaian syariah juga
mengacu pada syariah Islam yang bersumber dari Al-Quran, hadits Nabi SAW, dan hukum
positif. Adapun landasan yang dipakai adalah sebagai berikut:
1. Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 283:
اْؤ تُ ِم َن ضا َفلُْيَؤ ِّد الَّ ِذي ُ ضةٌ فَِإ ْن َِأم َن َب ْع
ً ض ُك ْم َب ْع َ َم تَ ِج ُدوا َكاتِبًا فَ ِر َها ٌن َم ْقبُو
ْ َوِإ ْن ُك ْنتُ ْم َعلَى َس َف ٍر َول
ِ ِ
ٌ ادةَ َو َم ْن يَ ْكتُ ْم َها فَِإ نَّهُ آث ٌم َقلْبُهُ َواللَّهُ بِ َماَت ْع َملُو َن َعل
يم َّ ََأما َنتَهُ َولْيَت َِّق اللَّهَ َربَّهُ َوال تَ ْكتُ ُموا
َ الش َه
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan
janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya;
dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”4
2. Hadits
ِ ُ ال رس َ َ ق- رضي اهلل عنه- ََو َع ْن َأبِي ُه َر ْي َرة
ُ اَلظَّ ْه ُر ُي ْر َك- صلى اهلل عليه وسلم- ول اَللَّه
a. ب ُ َ َ َ ق:ال
ِ َّ ِ ِ ِ َّر ي ْشر ِِ
ب
ُ ب َويَ ْش َر ُ َ ُ ِّ َولَبَ ُن اَلد,بَِن َف َقته ِإذَا َكا َن َم ْر ُهونًا
ُ َو َعلَى اَلذي َي ْر َك ,ب بَن َف َقته ِإذَا َكا َن َم ْر ُهونًا
ِ اَل ي ْغلَ ُق اَ َّلر ْهن ِمن ص- :صلَّى اَللَّه علَي ِه وسلَّم- ول اَللَّ ِه
b. ُ لَه,ُاحبِ ِه اَلَّ ِذي َر َهنَه ُ ال َر ُس
َ َ ق:ال
َ ََو َع ْنهُ ق
َ ْ ُ َ َ ََ َْ ُ َ
3. Hukum Positif
Dalam Pasal 19 ayat (1) huruf q Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah disebutkan bahwa kegiatan Usaha Bank Umum Syariah antara lain
melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang social
sepanjang tidak bertentangan denga Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Ketentuan inilah yang menurut hemat penulis menjadi
dasar hukum bagi bank syariah untuk memberikan produk berdasarkan akad rahn.6
8 M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoretis Praktis (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2012), hal 286-287.
8
9 Heri Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, hal 185.
9
4. Nasabah melunasi barang yang digadaikan menurut akad; pelunasan penuh, ulang gadai,
angsuran, atau tebus sebagian.
Perbedaan utama antara biaya gadai dan bunga pegadaian adalah dari sifat bunga yang
bisa berakumulasi dan berlipat ganda sementara biaya gadai hanya sekali dan ditetapkan di
muka.
Adapun teknis pegadaian syariah dapat diilustrasikan dalam gambar berikut:
Prinsip utama barang yang digunakan untuk menjamin adalah barang yang dihasilkan
dari sumber yang sesuai dengan syariah, atau keberadaan barang tersebut di tangan nasabah
bukan karena hasil praktik riba, masyir, dan gharar. Barang-barang tersebut antara lain,
seperti:
1. Barang perhiasan, seperti: perhiasan yang terbuat dari intan, mutiara, emas, perak, platina,
dan sebagainya.
2. Barang rumah tangga, seperti: perlengkapan dapur, perlengkapan makan atau minum,
perlengkapan kesehatan, perlengkapan taman, dan sebagainya.
3. Barang elektronik seperti: radio, tape recorder, video player, televisi, computer, dan
sebagainya.
4. Kendaraan seperti: sepeda onthel, sepeda motor, mobil, dan sebagainya.
5. Barang-barang lain yang dianggap bernilai, seperti: kain batik tulis.
Implementasi operasional pegadaian syariah hampir mirip dengan pegadaian
konvensional. Seperti halnya pegadaian konvensional, pegadaian syariah juga menyalurkan
10
uang pinjaman dengan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah
sangat sederhana. Masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak
sebagai jaminan, dan uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang relatif singkat. Begitu
pun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat
bukti rahn dengan waktu proses yang juga singkat.
Akan tetapi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep, teknik transaksi, dan pendanaan,
pegadaian syariah memiliki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan
pegadaian konvensional.10
10 M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoretis Praktis, hal 292.
11 Ibid., hal 282-283.
11
keuntungan dari pembebanan biaya administrasi dan biaya sewa tempat penyimpanan
emas.
c. Pelaksanaan misi pegadaian sebagai BUMN yang bergerak di bidang pembiayaan
berupa pemberian bantuan kepada masyarakat yang memerlukan dana dengan
prosedur yang relatif sederhana.
d. Berdasarkan PP No. 10 tahun 1990, laba yang diperoleh digunakan untuk:
1) Dana pembangunan semesta (55 %)
2) Cadangan umum (20%)
3) Cadangan tujuan (5%)
4) Dana sosial (20%)
12 Heri Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, hal 197.
12
13
DAFTAR PUSTAKA
Al Arif, M. Nur Rianto. 2012. Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoretis Praktis.
Bandung: CV Pustaka Setia.
Anshori, Abdul Ghofur. 2009. Perbankan Syariah Di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
As’ad, Aliy. 1980. Fathul Muin. Kudus: Menara Kudus.
Hassan, A. 2006. Tarjamah Bulughul Maram. Bandung: Diponegoro.
Umam, Khaerul. 2013. Manajemen Perbankan Syariah. Bandung: CV Pustaka Setia, 2013.
Sjahdeini, Sutan Remi. 2014. Perbankan Syariah: Produk-Produk Dan Aspek-Aspek
hukumnya. Kencana Prenadamedia Group.
Sudarsono, Heri. 2012. Bank & Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan
Ilustrasi.Yogyakarta: Ekonista.
14