Anda di halaman 1dari 16

Makalah

Hukum perkawinan
Dosen pengampu:

Penulis: muhammad yusuf


Nim: 022221010
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH
IAIN FATTAHUL MULUK PAPUA
Kata pengantar

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas semua
kehendaknya, tim penyusun berhasil menyelesaikan tugas makalah dengan tepat
waktu yang berjudul “penghalang ahli waris.” Dalam penyusunan makalah ini,
semua isi ditulis berdasarkan buku-buku dan jurnal referensi yang berkaitan
dengan ahli waris. Dengan mengucap puji syukur dengan kehadirat allah SWT,
atas segala rahmat dan karuniaNya yang telah di limpahkan kepada seluruh
manusia, dan tidak lupa juga kita bersholawat kepada nabi muhammad SAW,
Apabila dalam isi makalah ditemukan kekeliruan atau informasi yang kurang
valid, tim penyusun sangat terbuka dengan kritik dan saran yang membangun
untuk diperbaiki selanjutnya.

Senin 01 Mei 2023


2
DAFTAR ISI

Cover........................................................................................................................I
Kata pengantar......................................................................................................II
Daftar isi...............................................................................................................III

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4
A. Latar belakang..............................................................................................4
B. Rumusan masalah.........................................................................................4
BAB II
PEMBAHASAN.........................................................................................5
A. Hubungan keluarga dan hubungan
darah......................................................5
B. Asa asas dan tujuan
perkawinan...................................................................5
C. Syarat syarat
perkawinan..............................................................................6
D. Tata cara melangsungkan
perkawinan..........................................................6
E. Akibat hukum adanya perkawinan...............................................................7
F. Pencegahan dan pembatalan putusnya
perkawinan......................................8
G. Jenis jenis perkawinan..................................................................................9
BAB III PENUTUPAN
A. Kesimpulan................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................
3
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Perkawinan merupakan masalah yang esensial bagi kehidupan Manusia,
karena disamping perkawinan sebagai sarana untuk membentuk Keluarga,
perkawinan tidak hanya mengandung unsur hubungan manusia Dengan
manusia tetapi juga menyangkut hubungan keperdataan, Perkawinan juga
memuat unsur sakralitas yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya.1 Karena
hubungan itulah untuk melakukan sebuah perkawinan Harus memenuhi syarat
maupun rukun perkawinan, bahwa perkawinan Harus di catat dan dilakukan di
hadapan di Pegawai Pencatat Perkawinan Untuk mendapatkan kepastian
hukum. Bahwa sesungguhnya seseorang yang akan melaksanakan sebuah
Perkawinan diharuskan memberitahukan dahulu kepada Pegawai Pencatat
Perkawinan. Pemberitahuan tersebut dapat dilakukan secara lisan oleh
Seorang maupun oleh kedua mempelai. Dengan adanya pemberitahuan
Tersebut, K. Wantjik Saleh berpendapat bahwa maksud untuk melakukan
Perkawinan itu harus dinyatakan pula tentang nama, umur,
Agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai. Dalam
Hal salah seorang atau kedua calon mempelai pernah kawin, harus
Disebutkan juga nama suami atau istri terdahulu.
B. Rumusan masalah

A. Hubungan keluarga dan hubungan darah


B. Asa asas dan tujuan perkawinan
C. Syarat syarat perkawinan
D. Tata cara melangsungkan perkawinan
E. Akibat hukum adanya perkawinan
F. Pencegahan dan pembatalan putusnya perkawinan
G. Jenis jenis perkawinan
4
BAB II PEMBAHASAN

A. Hukum keluarga dan hubungan darah


Istilah hukum keluarga berasal dari terjemahan Familierecht (Belanda) atau
family law (Inggris). Hukum keluarga, seperti yang ditemukan oleh Ali
Afandi, didefinisikan sebagai seperangkat ketentuan yang berkaitan dengan
hubungan kekerabatan dan perkawinan (perkawinan, tanggung jawab orang
tua, perwalian, pengampuan, ketidakhadiran).
Definisi Tahir Mahmud pada hakekatnya mempertimbangkan dua aspek, yaitu
asas hukum dan ruang lingkup hukum. Meskipun ruang lingkup penelitian
hukum keluarga meliputi peraturan keluarga, tanggung jawab rumah tangga,
waris, mahar, perwalian dan lain-lain. Jika Anda khawatir, definisi ini terlalu
luas karena termasuk warisan, yang merupakan bagian dari hukum properti
dalam hukum perdata BW.
Definisi ini setidaknya mencakup dua aspek penting, yaitu aturan hukum dan
isi (cakupan) hukum. Aturan hukum meliputi hukum keluarga tertulis dan
hukum keluarga tidak tertulis. Hukum keluarga tertulis adalah dasar hukum
yang berasal dari undang-undang, kontrak dan kasus hukum.
Hukum Keluarga Tidak Tertulis adalah asas-asas hukum keluarga yang
timbul, tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Misalnya di
Kota Mamari Sasak. Ilmu hukum keluarga meliputi perkawinan, perceraian,
harta perkawinan, nasab, perwalian dan perwalian.
Hubungan darah adalah pertalian darah antara orang yang satu dan orang lain
karena berasal dari leluhur yang sama. Hubungan darah menurut garis lurus
keatas disebut dengan “leluhur”, sedangkan hubungan darah menurut garis
lurus kebawah disebut dengan keturunan.
B. Asas asas dan hukum perkawinan
Asas perkawinan itu adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Pasal
1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974.
Tujuan perkawinan berdasarkan pasal 1 UUP yakni untuk membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, artinya UUP menghendaki perkawinan itu haruslah berlangsung
untuk seumur hidup dan perceraian hanya merupakan alternatif terakhir
setelah jalan lain.

5
C. Syarat syarat perkawinan
Fat materiil, sedang Pasal 12 mengatur mengenai syarat perkawinan yang
bersifat formil.

Syarat perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 s/d 11
UU No. I tahun 1974 yaitu:

Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai Untuk


melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun
harus mendapat ijin kedua orangtuanya/salah satu orang tuanya, apabila salah
satunya telah meninggal dunia/walinya apabila kedua orang tuanya telah
meninggal dunia.
Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun
dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kalau ada penyimpangan
harus ada ijin dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua
pihak pria maupun wanita.
Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat
kawin lagi kecuali memenuhi Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4.
Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan
bercerai lagi untuk kedua kalinya.
Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.

D. Tata cara melangsungkan perkawinan


Syarat ekstern berkaitan dengan formalitas yang harus dipenuhi. Tata cara
melangsungkan perkawinan berbeda antara agama yang satu dengan agama
yang lain. Namun secara garis besar tata cara melangsungkan perkawinan
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (PP 9/1975).
Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan terlebih dahulu
memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan
akan dilangsungkan paling lambat 10 hari kerja sebelum perkawinan
dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut dilakukan secara lisan atau tertulis
oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya. Pemberitahuan tersebut
memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon
mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan
nama istri atau suami terdahulu.
6

Pegawai Pencatat akan melakukan penelitian terhadap pemberitahuan tersebut.


Apabila tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan telah dipenuhi dan tidak
terdapat halangan perkawinan, maka dilakukan pengumuman. Pengumuman
ditempelkan di tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.
Tujuan dari adanya pemberitahuan dan pengumuman adalah:
Memberikan kesempatan kepada pihak yang mengetahui adanya halangan
perkawinan untuk mencegahnya;
Menjamin agar pejabat tidak begitu saja dengan mudahnya melangsungkan
perkawinan;
Memberikan perlindungan kepada calon suami istri dari perbuatan yang
tergesa-gesa;
Memberikan kepastian tentang adanya perkawinan.
Perkawinan dilangsungkan paling tidak 10 hari setelah dilakukannya
pengumuman kehendak perkawinan. Apabila tidak ada pihak yang melakukan
pencegahan perkawinan, maka perkawinan dilakukan sesuai dengan hukum
agama dan kepercayaan masing-masingdi hadapan Pegawai Pencatat serta
dihadiri oleh dua orang saksi. Setelah perkawinan dilangsungkan, kedua
mempelai, para saksi dan Pegawai Pencatat membubuhkan tanda tangannya
pada akta perkawinan. Khusus untuk perkawinan yang dilangsungkan menurut
agama Islam, akta perkawinan juga ditandatangani oleh wali nikah atau yang
mewakilinya. Penandatanganan akta perkawinan tersebut menjadi dasar
bahwa perkawinan telah tercatat secara resmi.
Akta perkawinan dibuat dalam dua rangkap. Yang pertama disimpan oleh
Pegawai Pencatat, sedangkan yang lainnya disimpan di Panitera Pengadilan
dalam wilayah Kantor Pencatatan Perkawinan itu berada. Sedangkan kepada
suami dan istri masing-masing diberikan kutipan dari akta perkawinan.
E. Akibat hukum adanya perkawinan
Perkawinan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di dalam
Pasal 2 mengisyaratkan bahwa suatu perkawinan menjadi sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dan
tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

7
F. Pencegahan dan pembatalan Putusnya perkawinan
Pencegahan perkawinan adalah menghindari suatu perkawinan berdasarkan
larangan hukum islam yang diundangkan. Pencegahan perkawinan dilakukan
bila tidak terpenuhi dua persyaratan ini. Pertama, syarat materiil adalah syarat
yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan, akta nikah, dan larangan
perkawinan. Kedua, syarat administratif adalah syarat perkawinan yang
melekat pada setiap rukun perkawinan, yang meliputi calon mempelai laki-
laki dan wanita, saksi, wali, dan pelaksanaan akad nikahnya.
a. Perspektif UU No. 1/1974
Pencegahan perkawinan diatur dalam UU No. 1/1974 dalam pasal 13 yang
berbunyi:
“Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan.”
Tidak memenuhi persyaratan seperti yang dimaksud didalam ayat diatas
mengacu kepada dua hal yaitu syarat administrative dan syarat materiil. Syarat
administratif berhubungan dengan administratif perkawinan pada bagian tata
cara perkawinan. Adapun syarat materiil menyangkut hal-hal mendasar seperti
larangan perkawinan.
Pembatalan perkawinan adalah usaha untuk tidak dilanjutkannya hubungan
perkawinan setelah sebelumnya perkawinan itu terjadi. Dalam memutus
permohonan pembatalan perkawinan, pengadilan harus selalu memperhatikan
ketentuan agama mempelai. Jika menurut agamanya perkawinan itu sah maka
pengadilan tidak bisa membatalkan perkawinan.
Dalam pasal 22 UU perkawinan disebutkan bahwa perkawinan dapat
dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan
perkawinan. Namun bila rukunnya yang tidak terpenuhi berarti pernikahannya
yang tidak sah. Perkawinan dapat dibatalkan berdasarkan UU No. 1 tahun
1974 pasal 22, 24, 26 dan 27 serta berdasarkan KHI pasal 70 dan 71.
Dalam hukum islam suatu pernikahan dianggap sah jika dalam suatu akad
nikah tersebut sudah terpenuhi syarat serta rukunnya. Jika suatu perkawinan
kurang salah satu syarat maupun rukunnya maka akad nikah tersebut dianggap
tidak sah. Jika yang tidak terpenuhi hanya salah satu rukunnya, akad tersebut
adalah batal. Adapun jika yang tidak terpenuhi adalah salah satu dri syaratnya
maka akad nikah tersebut dianggap fasid.

G. Jenis-jenis perkawinan
Perkawinan beda warganegara
Perkawinan hanya terjadi antara dua orang yang tunduk pada hukum yang
berlainan karena perbedaan kewarganegaraan salah satu pihak kewarganegaraan.
Perkawinan campuran ini tidak hanya berdampak pada pasangan suami-istri, juga
berdampak secara langsung kepada anak. Hal ini terlihat dimana status
kewarganegaraan anak dari perkawinan campuran menurut Undang-Undang No.
12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan (UU Kewarganegaraan), adalah bersifat
ganda, dan dapat memilih kewarganegaraanya sendiri setelah berumur 18 tahun.
Jika anak memilih menjadi WNI, maka ia harus membuat pernyataan untuk
menjadi WNI. Pernyataan tersebut dibuat secara tertulis dan pengajuannya secara
elektronik melalui laman resmi Direktrorat Jenderal Administrasi Hukum Umum
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Batas waktu penyampain
pernyataan untuk memilih kewarganegaraan tersebut adalah tiga tahun sejak
berumur 18 tahun atau telah menikah.
Akibat WNI menikah dengan WNA
WNI yang menikah dengan seorang WNA akan kehilangan kewarganegaraan RI,
pada waktu dalam satu tahun setelah pernikahannya berlangsung menyatakan
keterangan untuk itu, kecuali apabila ia dengan kehilangan kewarganegarannya RI
itu, ia menjadi tampa kewarganegaraan. Kewarganegaraan akan diperoleh kembali
jika pada waktu ia setelah perkawinannya terputus menyatakan keterangan untuk
itu. Keterangan itu harus dinyatakan dalam jangka waktu satu tahun setelah
perkawinannya terputus kepada Pengadilan Negeri atau Perwakilan di RI tempat
tinggalnya.
Perkawinan antara 2 (dua) orang (laki-laki dan perempuan) yang berbeda
kewarganegaraan, dan salah satu adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang
dilangsungkan di Kedutaan Besar Negara Asing di Indonesia, pada dasarnya
dianggap sebagai perkawinan yang dilangsungkan di luar wilayah Indonesia.
Perkawinan yang dianggap sebagai perkawinan yang dilangsungkan di luar
Indonesia tersebut, harus didaftarkan di kantor Catatan Sipil paling lambat 1 (satu)
tahun setelah yang bersangkutan kembali ke Indonesia. Bila tidak, maka
perkawinan campuran tersebut belum diakui oleh hukum Indonesia.

Surat bukti perkawinan itu didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat


tinggal pihak mempelai yang berkewarganegaraan Indonesia di Indonesia (sesuai
dengan ketentuan dalam pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan). Proses pencatatan perkawinan yang diatur oleh undang-
undang itu sendiri antara 2 (dua) orang yang berbeda kewarganegaraan, pada
prinsipnya tidak menjadikan perkawinan itu tidak sah, karena proses pencatatan
adalah proses administratif. Namun dalam hukum nasional Indonesia, proses
pencatatan ini telah menjadi bagian dari hukum positif, karena hanya dengan
proses ini, maka masing-masing pihak diakui segala hak dan kewajibannya di
muka hukum.
Perkawinan beda agama
Berdasar putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986 para pasangan beda
keyakinan dapat meminta penetapan pengadilan. Yurisprudensi tersebut
menyatakan bahwa kantor catatan sipil boleh melangsungkan perkawinan beda
agama, sebab tugas kantor catatan sipil adalah mencatat, bukan mengesahkan.
Hanya saja, tidak semua kantor catatan sipil mau menerima pernikahan beda
agama. Kantor catatan sipil yang bersedia menerima pernikahan beda agama pun
nantinya akan mencatat perkawinan tersebut sebagai perkawinan non-Islam.
Pasangan tetap dapat memilih menikah dengan ketentuan agama masing-masing.
Caranya, mencari pemuka agama yang memiliki persepsi berbeda dan bersedia
menikahkan pasangan sesuai ajaran agamanya, misalnya akad nikah ala Islam dan
pemberkatan Kristen.
Namun, cara ini juga tak mudah karena jarang pemuka agama dan kantor catatan
sipil yang mau menikahkan pasangan beda keyakinan. Akhirnya, jalan terakhir
yang sering dipakai pasangan beda agama di Indonesia untuk melegalkan
pernikahannya adalah tunduk sementara pada salah satu hukum agama. Biasanya,
masalah yang muncul adalah gesekan antar-keluarga ihwal keyakinan siapa yang
dipakai untuk pengesahan.
Perkawinan di bawah tamgan
UUP dan peraturan perkawinan sebelumnya tidak mengatur perkawinan di bawah
tangan atau perkawinan siri. Istilah perkawinan dibawah tangan atau perkawinan
siri biasa digunakan masyarakat untuk orang-orang yang melakukan perkawinan
tanpa prosedur yang diatur UUP. Biasanya perkawinan dibawah tangan
dilaksanakan berdasarkan agama atau adat istiadat calon suami atau calin isteri.
Secara agama dan adat, perkawinan tersebut sah namun secara hukum perkawinan
tersebut tidak diakui secara resmi oleh negara. Secara huku, perkawinan di bawah
tangan dianggap tidak pernah ada sehingga dampaknya sangat merugikan bagi
isteri atau anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

10

Istri tidak berhak mendapatkan nafkah dan harta gono-gini jika terjadi perceraian.
Selanjutnya jika suami meninggal dunia maka isteri tidak berhak untuk
mendapatkan warisan dari suaminya. Anak yang sah berdasarkan UUP adalah
anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Perkawinan dibawah tangan adalah
perkawinan yang tidak sah karena tidak dilakukan menurut agama dan
kepercayaannya tersbeut sehingga anak yang dilahirkan adalah anak di luar
perkawinan adalah anak di luar perkawinan. Anak ini hanya memiliki hubungan
perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Anak yang lahir di luar perkawinan
tetap bisa mendapatkan akta kelahiran melalui pencatatan kelahiran dan hanya
tercantum nama ibunya saja. Sebelum putusan MK, menurut pasal 43 ayat (1)
UUP jo pasal 100 Kompilasi Hukum Islam anak tidak berhak mewaris dari
ayahnya karena anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan
keluarga ibunya.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 telah memungkinakan
anak yang lahir diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan
ayah biologinya. Anak tersebut baru bisa mendapatkan hubungan perdata dengan
ayah biologisnya jika dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Untuk membuktikan asal-
usul dari orang tua si anak yang lahir diluar pekawinan maka dilaksanakan tes
DNA.

11
BAB III PENUTUPAN

KESIMPULAN
Pernikahan adalah ikatan lahir batin anrata seorang laki-laki dengan seorang
perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan merupakan suatu ikatan suci
yang sakral untuk mengikat hubungan perempuan dan laki-laki.
12
DAFTAR PUSTAKA
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan
di Indonesia, Airlangga University Press, 1988, Hlm. 39.

Anda mungkin juga menyukai