Hukum perkawinan
Dosen pengampu:
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas semua
kehendaknya, tim penyusun berhasil menyelesaikan tugas makalah dengan tepat
waktu yang berjudul “penghalang ahli waris.” Dalam penyusunan makalah ini,
semua isi ditulis berdasarkan buku-buku dan jurnal referensi yang berkaitan
dengan ahli waris. Dengan mengucap puji syukur dengan kehadirat allah SWT,
atas segala rahmat dan karuniaNya yang telah di limpahkan kepada seluruh
manusia, dan tidak lupa juga kita bersholawat kepada nabi muhammad SAW,
Apabila dalam isi makalah ditemukan kekeliruan atau informasi yang kurang
valid, tim penyusun sangat terbuka dengan kritik dan saran yang membangun
untuk diperbaiki selanjutnya.
Cover........................................................................................................................I
Kata pengantar......................................................................................................II
Daftar isi...............................................................................................................III
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4
A. Latar belakang..............................................................................................4
B. Rumusan masalah.........................................................................................4
BAB II
PEMBAHASAN.........................................................................................5
A. Hubungan keluarga dan hubungan
darah......................................................5
B. Asa asas dan tujuan
perkawinan...................................................................5
C. Syarat syarat
perkawinan..............................................................................6
D. Tata cara melangsungkan
perkawinan..........................................................6
E. Akibat hukum adanya perkawinan...............................................................7
F. Pencegahan dan pembatalan putusnya
perkawinan......................................8
G. Jenis jenis perkawinan..................................................................................9
BAB III PENUTUPAN
A. Kesimpulan................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................
3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Perkawinan merupakan masalah yang esensial bagi kehidupan Manusia,
karena disamping perkawinan sebagai sarana untuk membentuk Keluarga,
perkawinan tidak hanya mengandung unsur hubungan manusia Dengan
manusia tetapi juga menyangkut hubungan keperdataan, Perkawinan juga
memuat unsur sakralitas yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya.1 Karena
hubungan itulah untuk melakukan sebuah perkawinan Harus memenuhi syarat
maupun rukun perkawinan, bahwa perkawinan Harus di catat dan dilakukan di
hadapan di Pegawai Pencatat Perkawinan Untuk mendapatkan kepastian
hukum. Bahwa sesungguhnya seseorang yang akan melaksanakan sebuah
Perkawinan diharuskan memberitahukan dahulu kepada Pegawai Pencatat
Perkawinan. Pemberitahuan tersebut dapat dilakukan secara lisan oleh
Seorang maupun oleh kedua mempelai. Dengan adanya pemberitahuan
Tersebut, K. Wantjik Saleh berpendapat bahwa maksud untuk melakukan
Perkawinan itu harus dinyatakan pula tentang nama, umur,
Agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai. Dalam
Hal salah seorang atau kedua calon mempelai pernah kawin, harus
Disebutkan juga nama suami atau istri terdahulu.
B. Rumusan masalah
5
C. Syarat syarat perkawinan
Fat materiil, sedang Pasal 12 mengatur mengenai syarat perkawinan yang
bersifat formil.
Syarat perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 s/d 11
UU No. I tahun 1974 yaitu:
7
F. Pencegahan dan pembatalan Putusnya perkawinan
Pencegahan perkawinan adalah menghindari suatu perkawinan berdasarkan
larangan hukum islam yang diundangkan. Pencegahan perkawinan dilakukan
bila tidak terpenuhi dua persyaratan ini. Pertama, syarat materiil adalah syarat
yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan, akta nikah, dan larangan
perkawinan. Kedua, syarat administratif adalah syarat perkawinan yang
melekat pada setiap rukun perkawinan, yang meliputi calon mempelai laki-
laki dan wanita, saksi, wali, dan pelaksanaan akad nikahnya.
a. Perspektif UU No. 1/1974
Pencegahan perkawinan diatur dalam UU No. 1/1974 dalam pasal 13 yang
berbunyi:
“Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan.”
Tidak memenuhi persyaratan seperti yang dimaksud didalam ayat diatas
mengacu kepada dua hal yaitu syarat administrative dan syarat materiil. Syarat
administratif berhubungan dengan administratif perkawinan pada bagian tata
cara perkawinan. Adapun syarat materiil menyangkut hal-hal mendasar seperti
larangan perkawinan.
Pembatalan perkawinan adalah usaha untuk tidak dilanjutkannya hubungan
perkawinan setelah sebelumnya perkawinan itu terjadi. Dalam memutus
permohonan pembatalan perkawinan, pengadilan harus selalu memperhatikan
ketentuan agama mempelai. Jika menurut agamanya perkawinan itu sah maka
pengadilan tidak bisa membatalkan perkawinan.
Dalam pasal 22 UU perkawinan disebutkan bahwa perkawinan dapat
dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan
perkawinan. Namun bila rukunnya yang tidak terpenuhi berarti pernikahannya
yang tidak sah. Perkawinan dapat dibatalkan berdasarkan UU No. 1 tahun
1974 pasal 22, 24, 26 dan 27 serta berdasarkan KHI pasal 70 dan 71.
Dalam hukum islam suatu pernikahan dianggap sah jika dalam suatu akad
nikah tersebut sudah terpenuhi syarat serta rukunnya. Jika suatu perkawinan
kurang salah satu syarat maupun rukunnya maka akad nikah tersebut dianggap
tidak sah. Jika yang tidak terpenuhi hanya salah satu rukunnya, akad tersebut
adalah batal. Adapun jika yang tidak terpenuhi adalah salah satu dri syaratnya
maka akad nikah tersebut dianggap fasid.
G. Jenis-jenis perkawinan
Perkawinan beda warganegara
Perkawinan hanya terjadi antara dua orang yang tunduk pada hukum yang
berlainan karena perbedaan kewarganegaraan salah satu pihak kewarganegaraan.
Perkawinan campuran ini tidak hanya berdampak pada pasangan suami-istri, juga
berdampak secara langsung kepada anak. Hal ini terlihat dimana status
kewarganegaraan anak dari perkawinan campuran menurut Undang-Undang No.
12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan (UU Kewarganegaraan), adalah bersifat
ganda, dan dapat memilih kewarganegaraanya sendiri setelah berumur 18 tahun.
Jika anak memilih menjadi WNI, maka ia harus membuat pernyataan untuk
menjadi WNI. Pernyataan tersebut dibuat secara tertulis dan pengajuannya secara
elektronik melalui laman resmi Direktrorat Jenderal Administrasi Hukum Umum
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Batas waktu penyampain
pernyataan untuk memilih kewarganegaraan tersebut adalah tiga tahun sejak
berumur 18 tahun atau telah menikah.
Akibat WNI menikah dengan WNA
WNI yang menikah dengan seorang WNA akan kehilangan kewarganegaraan RI,
pada waktu dalam satu tahun setelah pernikahannya berlangsung menyatakan
keterangan untuk itu, kecuali apabila ia dengan kehilangan kewarganegarannya RI
itu, ia menjadi tampa kewarganegaraan. Kewarganegaraan akan diperoleh kembali
jika pada waktu ia setelah perkawinannya terputus menyatakan keterangan untuk
itu. Keterangan itu harus dinyatakan dalam jangka waktu satu tahun setelah
perkawinannya terputus kepada Pengadilan Negeri atau Perwakilan di RI tempat
tinggalnya.
Perkawinan antara 2 (dua) orang (laki-laki dan perempuan) yang berbeda
kewarganegaraan, dan salah satu adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang
dilangsungkan di Kedutaan Besar Negara Asing di Indonesia, pada dasarnya
dianggap sebagai perkawinan yang dilangsungkan di luar wilayah Indonesia.
Perkawinan yang dianggap sebagai perkawinan yang dilangsungkan di luar
Indonesia tersebut, harus didaftarkan di kantor Catatan Sipil paling lambat 1 (satu)
tahun setelah yang bersangkutan kembali ke Indonesia. Bila tidak, maka
perkawinan campuran tersebut belum diakui oleh hukum Indonesia.
10
Istri tidak berhak mendapatkan nafkah dan harta gono-gini jika terjadi perceraian.
Selanjutnya jika suami meninggal dunia maka isteri tidak berhak untuk
mendapatkan warisan dari suaminya. Anak yang sah berdasarkan UUP adalah
anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Perkawinan dibawah tangan adalah
perkawinan yang tidak sah karena tidak dilakukan menurut agama dan
kepercayaannya tersbeut sehingga anak yang dilahirkan adalah anak di luar
perkawinan adalah anak di luar perkawinan. Anak ini hanya memiliki hubungan
perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Anak yang lahir di luar perkawinan
tetap bisa mendapatkan akta kelahiran melalui pencatatan kelahiran dan hanya
tercantum nama ibunya saja. Sebelum putusan MK, menurut pasal 43 ayat (1)
UUP jo pasal 100 Kompilasi Hukum Islam anak tidak berhak mewaris dari
ayahnya karena anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan
keluarga ibunya.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 telah memungkinakan
anak yang lahir diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan
ayah biologinya. Anak tersebut baru bisa mendapatkan hubungan perdata dengan
ayah biologisnya jika dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Untuk membuktikan asal-
usul dari orang tua si anak yang lahir diluar pekawinan maka dilaksanakan tes
DNA.
11
BAB III PENUTUPAN
KESIMPULAN
Pernikahan adalah ikatan lahir batin anrata seorang laki-laki dengan seorang
perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan merupakan suatu ikatan suci
yang sakral untuk mengikat hubungan perempuan dan laki-laki.
12
DAFTAR PUSTAKA
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan
di Indonesia, Airlangga University Press, 1988, Hlm. 39.