Anda di halaman 1dari 12

PENGERTIAN AKIBAT HUKUM DALAM PERKAWINAN YANG SAH

MENURUT UUP DAN KHI


Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perkawinan
Dosen pengampu : Dr.Muslim lobubun.,S.H.,M.H.

Disusun Oleh:

Natanael P.N Simanjuntak :7420121091

Nurul Rahmadini Manggasali : 7420121100

Marulitua Situmeang :7420121074

Janet Mariana Wambrauw : 7420121055

SEMESTER IV

Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Biak-Papua

Tahun 2022-2023
KATA PENGANTAR

Dalam kesempatan ini, saya ingin menyampaikan makalah tentang "Pengertian Akibat
Hukum dalam Perkawinan yang Sah Menurut Undang-Undang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam". Makalah ini membahas tentang konsekuensi hukum yang
timbul dalam sebuah perkawinan yang sah, baik menurut Undang-Undang Perkawinan
maupun Kompilasi Hukum Islam.

Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik
tentang akibat hukum dalam perkawinan yang sah, terutama bagi pasangan suami istri
yang ingin mengetahui hak dan kewajiban mereka sebagai pasangan yang sah secara
hukum.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis telah melakukan penelitian dan studi literatur
yang mendalam mengenai Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Berbagai sumber yang relevan telah digunakan untuk mendukung dan memperkuat
argumen yang disampaikan dalam makalah ini.

Penulis berharap bahwa makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca untuk memperoleh
pemahaman yang lebih baik tentang akibat hukum dalam perkawinan yang sah. Serta,
dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi para pasangan suami istri dalam
melaksanakan kewajiban dan hak mereka secara sah dan sesuai dengan hukum yang
berlaku.

Biak, 16 Maret 2023

Penulis
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR..................................................................................................2
DAFTAR ISI.................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................4
A. Latar belakang..................................................................................................4
B. Rumusan masalah.............................................................................................4
C. Tujuan...............................................................................................................4
D. Manfaat.............................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAAN...........................................................................................6
A. Persyaratan yang harus dipenuhi dalam perkawinan menurut UUP dan KHI....6
B. Akibat hukum dari perkawinan yang sah, seperti hak dan kewajiban suami
istri, harta bersama, hak asuh anak, dan sebagainya, menurut Undang-Undang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.........................................................7
C. Perbedaan dan persamaan antara Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam dalam pengaturan akibat hukum dalam perkawinan yang sah....8
D. Penyelesaian perselisihan perkawinan dan akibat hukumnya dapat diatur
secara hukum baik dalam Undang - Undang Perkawinan maupun
Kompilasi Hukum Islam...................................................................................9
BAB III PENUTUP....................................................................................................11
Kesimpulan...........................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Perkawinan adalah institusi sosial yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Perkawinan menandai awal dari sebuah keluarga, dan memiliki dampak yang signifikan
dalam kehidupan individu dan masyarakat. Sebagai suatu institusi sosial, perkawinan
diatur oleh undang-undang dan juga memiliki dasar hukum dalam agama. Di Indonesia,
hukum perkawinan diatur oleh Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
(KHI).

Undang-Undang Perkawinan memberikan pengaturan mengenai persyaratan sahnya


perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, harta bersama, pembagian harta saat
perceraian, hak asuh anak, dan sebagainya. Sementara itu, KHI memberikan panduan
bagi umat Muslim tentang hukum perkawinan dalam Islam.

Dalam konteks perkawinan, ada berbagai akibat hukum yang harus dipahami, seperti hak
dan kewajiban suami istri, kewajiban untuk memberikan nafkah, pembagian harta
bersama, dan sebagainya. Oleh karena itu, penelitian tentang pengertian akibat hukum
dalam perkawinan yang sah menurut Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam sangat penting untuk memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai
perkawinan dan akibat hukumnya.

Selain itu, perkawinan juga menjadi isu yang sangat penting dalam masyarakat, terutama
ketika terjadi masalah dalam rumah tangga seperti perceraian atau perselisihan harta.
Oleh karena itu, pemahaman yang baik tentang akibat hukum perkawinan yang sah
menjadi sangat penting dalam memastikan hak dan kepentingan semua pihak terlindungi
secara hukum. Makalah tentang pengertian akibat hukum dalam perkawinan yang sah
menurut Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam akan sangat
bermanfaat dalam memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai hal ini.

B. Rumusan masalah
1. Apa saja persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu perkawinan dapat dianggap sah
menurut Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam?
2. Apa saja akibat hukum dari perkawinan yang sah, seperti hak dan kewajiban suami
istri, harta bersama, hak asuh anak, dan sebagainya, menurut Undang-Undang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam?
3. Apa saja perbedaan dan persamaan antara Undang-Undang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam dalam pengaturan akibat hukum dalam perkawinan yang
sah?

4. Bagaimana penyelesaian perselisihan perkawinan dan akibat hukumnya dapat diatur


secara hukum baik dalam Undang-Undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum
Islam?

C. Tujuan
1. Memaparkan apa saja persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu perkawinan dapat
dianggap sah menurut Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
2. Menjelaskan apa saja akibat hukum dari perkawinan yang sah, seperti hak dan
kewajiban suami istri, harta bersama, hak asuh anak, dan sebagainya, menurut
Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
3. Menjelaskan apa saja perbedaan dan persamaan antara Undang-Undang Perkawinan
dan Kompilasi Hukum Islam dalam pengaturan akibat hukum dalam perkawinan
yang sah.
4. Menjelaskan bagaimana penyelesaian perselisihan perkawinan dan akibat hukumnya
dapat diatur secara hukum baik dalam Undang-Undang Perkawinan maupun
Kompilasi Hukum Islam?.

D. Manfaat
1. Memberikan pemahaman yang lebih baik tentang perkawinan dan akibat hukumnya:
Makalah ini akan membantu pembaca untuk memahami secara lebih rinci
persyaratan, hak dan kewajiban, serta akibat hukum dalam perkawinan yang sah
menurut Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
2. Menjadi referensi bagi pihak yang terlibat dalam perkawinan: Makalah ini dapat
menjadi referensi bagi pihak yang terlibat dalam perkawinan, seperti calon
pengantin, suami istri, hingga pihak yang terlibat dalam perselisihan rumah tangga,
untuk memahami hak dan kewajiban serta akibat hukum dari perkawinan yang sah.
3. Memperkuat pengetahuan tentang hukum perkawinan: Makalah ini dapat
memperkuat pengetahuan dan pemahaman pembaca mengenai hukum perkawinan,
terutama terkait dengan akibat hukumnya yang dapat berdampak pada kehidupan
individu dan masyarakat.
4. Meningkatkan kesadaran hukum dalam masyarakat: Makalah ini dapat
meningkatkan kesadaran hukum dalam masyarakat, terutama terkait dengan
pentingnya memahami hak dan kewajiban dalam perkawinan yang sah, serta upaya
untuk menyelesaikan perselisihan rumah tangga secara hukum.
BAB II
PEMBAHASAAN

A. Persyaratan yang harus dipenuhi dalam perkawinan menurut UUP dan KHI
 Persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu perkawinan dapat dianggap sah menurut
Undang-Undang Perkawinan antara lain:

1. Persyaratan umur: Calon pengantin pria minimal berusia 19 tahun dan calon
pengantin wanita minimal berusia 16 tahun. Namun, dalam kondisi tertentu
seperti adanya persetujuan dari orang tua atau pengadilan, persyaratan umur
tersebut dapat diturunkan.
2. Persyaratan tidak terikat dengan perkawinan lain: Calon pengantin tidak boleh
terikat dengan perkawinan lain, baik yang masih berlangsung maupun belum
bercerai secara hukum.
3. Persyaratan fisik dan mental: Calon pengantin harus dalam keadaan fisik dan
mental yang sehat, serta tidak mengalami gangguan jiwa yang berat.
4. Persyaratan pernikahan bukan dalam garis keturunan yang terlarang: Perkawinan
dalam garis keturunan yang terlarang seperti antara saudara kandung, anak
kandung, cucu kandung, dan sebagainya dilarang.
5. Persyaratan pernikahan di depan pejabat yang berwenang: Pernikahan harus
dilangsungkan di depan pejabat yang berwenang seperti Pegawai Pencatat Nikah
di Kantor Urusan Agama, Kantor Catatan Sipil, atau pejabat pemerintah yang
ditunjuk.
Selain itu, terdapat persyaratan administratif seperti persyaratan dokumen, memiliki
saksi, dan sebagainya yang harus dipenuhi. Persyaratan-persyaratan tersebut berlaku
untuk semua agama dan keyakinan di Indonesia.

 Persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu perkawinan dapat dianggap sah menurut
Kompilasi Hukum Islam antara lain:

1. Persyaratan umur: Calon pengantin pria minimal berusia 19 tahun dan calon
pengantin wanita minimal berusia 16 tahun. Namun, dalam kondisi tertentu
seperti adanya persetujuan dari orang tua atau pengadilan, persyaratan umur
tersebut dapat diturunkan.
2. Persyaratan tidak terikat dengan perkawinan lain: Calon pengantin tidak boleh
terikat dengan perkawinan lain, baik yang masih berlangsung maupun belum
bercerai secara hukum.
3. Persyaratan status: Calon pengantin harus memiliki status hukum yang sah,
misalnya tidak dalam kondisi menjadi seorang hamba sahaya atau orang yang
belum terbebas dari akad nikah yang tidak sah.
4. Persyaratan agama: Calon pengantin harus memiliki agama yang sama, dan
dalam hal calon pengantin beragama Islam, maka calon pengantin perempuan
harus menganut ajaran agama Islam.
5. Persyaratan walinya: Calon pengantin wanita harus memiliki walinya, yaitu
orang yang berhak menikahkan calon pengantin wanita menurut hukum Islam,
misalnya ayah atau kakek dari pihak ibu.
6. Persyaratan mas kawin: Mas kawin atau harta yang diberikan oleh calon
pengantin laki-laki kepada calon pengantin perempuan harus dibayarkan dan
diterima.
7. Persyaratan ijab qabul: Pernikahan harus dilakukan dengan ijab qabul, yaitu
pernyataan dari kedua belah pihak yang menunjukkan kesepakatan untuk
melangsungkan perkawinan.
8. Persyaratan saksi: Pernikahan harus disaksikan oleh minimal dua orang saksi
yang memiliki syarat-syarat tertentu sesuai dengan hukum Islam.
9. Persyaratan tempat: Pernikahan harus dilangsungkan di tempat yang memenuhi
syarat, seperti tempat yang tidak terbuka dan harus berada dalam lingkungan
yang tenang.
10. Persyaratan waktu: Pernikahan dapat dilakukan setiap saat, kecuali pada waktu-
waktu tertentu yang diharamkan oleh agama Islam.

Perlu diingat bahwa persyaratan-persyaratan tersebut merupakan syarat minimum agar


suatu perkawinan dapat dianggap sah menurut Kompilasi Hukum Islam. Selain itu,
terdapat juga persyaratan-persyaratan lain yang dapat ditetapkan oleh masing-masing
agama atau keyakinan.

B. Akibat hukum dari perkawinan yang sah, seperti hak dan kewajiban suami istri,
harta bersama, hak asuh anak, dan sebagainya, menurut Undang-Undang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

 Akibat hukum dari perkawinan yang sah, seperti hak dan kewajiban, suami istri,
harta bersama, hak asuh anak, dan sebagainya menurut Undang-Undang Perkawinan
antara lain sebagai berikut:

1. Hak dan kewajiban suami istri: Setiap suami dan istri memiliki hak dan
kewajiban yang sama dalam perkawinan, seperti hak dan kewajiban untuk saling
menghormati, saling memberi nafkah, dan saling merawat.
2. Harta bersama: Selama perkawinan berlangsung, harta milik suami dan istri
dianggap sebagai harta bersama, kecuali jika terdapat perjanjian pembagian harta
secara tertulis antara kedua belah pihak.
3. Hak asuh anak: Setelah perceraian, hak asuh anak diatur berdasarkan kepentingan
terbaik anak dan kepentingan bersama suami dan istri. Jika suami dan istri tidak
dapat mencapai kesepakatan, hakim akan menentukan pengaturan yang terbaik
untuk anak.
4. Hak waris: Setelah suami atau istri meninggal dunia, warisan akan dibagi sesuai
dengan ketentuan hukum waris yang berlaku di masyarakat. Biasanya, suami atau
istri akan menjadi ahli waris utama satu sama lain.
5. Perceraian: Perceraian dapat dilakukan atas kesepakatan suami dan istri, atau atas
putusan pengadilan. Setelah perceraian, hak dan kewajiban antara suami dan istri
berakhir.
6. Pengadilan agama: Apabila terjadi perselisihan di antara suami istri dalam
hubungan perkawinan, maka dapat diajukan ke Pengadilan Agama untuk
diselesaikan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Dalam rangka menjaga keberlangsungan hubungan perkawinan yang sah, suami dan
istri harus memenuhi kewajiban dan hak masing-masing. Dalam hal terjadi
perselisihan atau perceraian, maka harus dilakukan secara adil dan sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.

 Akibat hukum dari perkawinan yang sah, seperti hak dan kewajiban, suami istri,
harta bersama, hak asuh anak, dan sebagainya menurut Kompilasi Hukum Islam
antara lain sebagai berikut:

1. Hak dan kewajiban suami istri: Setiap suami dan istri memiliki hak dan
kewajiban yang sama dalam perkawinan, seperti hak dan kewajiban untuk saling
menghormati, saling memberi nafkah, dan saling merawat. Selain itu, suami juga
memiliki kewajiban untuk memberikan mahar kepada istri.
2. Harta bersama: Selama perkawinan berlangsung, harta milik suami dan istri
dianggap sebagai harta bersama, kecuali jika terdapat perjanjian pembagian harta
secara tertulis antara kedua belah pihak.
3. Hak asuh anak: Setelah perceraian, hak asuh anak diatur berdasarkan kepentingan
terbaik anak dan kepentingan bersama suami dan istri. Jika suami dan istri tidak
dapat mencapai kesepakatan, hakim akan menentukan pengaturan yang terbaik
untuk anak.
4. Hak waris: Setelah suami atau istri meninggal dunia, warisan akan dibagi sesuai
dengan ketentuan hukum waris yang berlaku di masyarakat. Biasanya, suami atau
istri akan menjadi ahli waris utama satu sama lain.
5. Perceraian: Perceraian dapat dilakukan atas kesepakatan suami dan istri, atau atas
putusan pengadilan. Setelah perceraian, hak dan kewajiban antara suami dan istri
berakhir.
6. Pengadilan agama: Apabila terjadi perselisihan di antara suami istri dalam
hubungan perkawinan, maka dapat diajukan ke Pengadilan Agama untuk
diselesaikan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Dalam Islam, perkawinan adalah suatu ibadah dan hubungan suami istri dianggap
sebagai suatu perikatan suci yang harus dijaga dan dihormati. Oleh karena itu, hak
dan kewajiban antara suami dan istri harus dipenuhi secara adil dan sesuai dengan
ajaran Islam. Hak dan kewajiban ini juga harus selalu dijaga dan dihormati oleh
kedua belah pihak, agar keutuhan perkawinan dapat terjaga dan berlangsung dengan
baik.

C. Perbedaan dan persamaan antara Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi


Hukum Islam dalam pengaturan akibat hukum dalam perkawinan yang sah.

Undang-undang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah dua


peraturan hukum yang berbeda namun terkait dalam pengaturan akibat hukum dalam
perkawinan yang sah. Berikut ini adalah perbedaan dan persamaan antara undang-
undang perkawinan dan KHI dalam hal pengaturan akibat hukum dalam perkawinan
yang sah:

 Perbedaan:
1. Sumber Hukum: Undang-undang perkawinan di Indonesia didasarkan pada
hukum positif Indonesia, sedangkan KHI didasarkan pada hukum Islam.
2. Ruang Lingkup: Undang-undang perkawinan mengatur tentang semua jenis
perkawinan, baik perkawinan agama maupun perkawinan sipil, sedangkan
KHI hanya mengatur tentang perkawinan dalam agama Islam.
3. Penegakan Hukum: Undang-undang perkawinan ditegakkan oleh pengadilan
umum, sedangkan KHI ditegakkan oleh pengadilan agama.

 Persamaan:

1. Mengatur tentang sahnya perkawinan: Baik undang-undang perkawinan


maupun KHI mengatur tentang syarat-syarat sahnya perkawinan, seperti usia
minimal, persetujuan kedua belah pihak, tidak memiliki hubungan keluarga
yang terlarang, dan sebagainya.
2. Mengatur tentang hak dan kewajiban suami istri: Baik undang-undang
perkawinan maupun KHI mengatur tentang hak dan kewajiban suami istri,
seperti hak untuk hidup bersama, hak waris, tanggung jawab nafkah, dan
sebagainya.
3. Mengatur tentang pembubaran perkawinan: Baik undang-undang
perkawinan maupun KHI mengatur tentang tata cara pembubaran
perkawinan, seperti perceraian, talak, atau fasakh.

Dalam pengaturan akibat hukum dalam perkawinan yang sah, kedua peraturan
hukum ini mempunyai tujuan yang sama yaitu melindungi hak dan kewajiban suami
istri serta mencegah terjadinya penyalahgunaan dalam perkawinan. Namun, sumber
hukum, ruang lingkup, dan penegakan hukum menjadi perbedaan antara undang-
undang perkawinan dan KHI.

D. Penyelesaian perselisihan perkawinan dan akibat hukumnya dapat diatur


secara hukum baik dalam Undang-Undang Perkawinan maupun Kompilasi
Hukum Islam.

Undang-Undang Perkawinan mengatur tentang penyelesaian perselisihan perkawinan


melalui cara-cara damai atau melalui proses peradilan. Jika terdapat perselisihan antara
suami istri yang tidak dapat diselesaikan secara damai, mereka dapat mengajukan
permohonan perceraian ke pengadilan. Dalam hal ini, pengadilan akan
mempertimbangkan berbagai faktor seperti kepentingan anak dan harta bersama dalam
memberikan putusan.

Sementara itu, KHI mengatur tentang penyelesaian perselisihan perkawinan melalui


proses peradilan di pengadilan agama. Jika terdapat perselisihan antara suami istri dalam
perkawinan yang sah menurut hukum Islam, mereka dapat mengajukan permohonan
perceraian atau talak ke pengadilan agama.
Akibat hukum dari penyelesaian perselisihan perkawinan juga diatur dalam kedua
peraturan hukum tersebut. Misalnya, jika suami istri bercerai, Undang-Undang
Perkawinan mengatur tentang pembagian harta bersama dan hak asuh anak, sedangkan
KHI mengatur tentang pembagian harta bersama dan nafkah iddah (nafkah yang harus
diberikan suami selama masa perceraian).

Dalam hal ini, baik Undang-Undang Perkawinan maupun KHI mengatur tentang cara-
cara penyelesaian perselisihan perkawinan dan akibat hukumnya, dengan
mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang terlibat.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
(KHI) mengatur tentang akibat hukum dalam perkawinan yang sah dengan
mempertimbangkan prinsip-prinsip hukum yang berlaku di Indonesia. Undang-undang
perkawinan mengatur tentang semua jenis perkawinan, baik perkawinan agama maupun
perkawinan sipil, sedangkan KHI hanya mengatur tentang perkawinan dalam agama
Islam. Meskipun berbeda dalam sumber hukum, ruang lingkup, dan penegakan hukum,
keduanya mengatur tentang syarat sahnya perkawinan, hak dan kewajiban suami istri,
serta tata cara pembubaran perkawinan.

Dalam hal penyelesaian perselisihan perkawinan, baik Undang-Undang Perkawinan


maupun KHI mengatur tentang cara-cara penyelesaian perselisihan perkawinan dan
akibat hukumnya, dengan mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang terlibat.
Sehingga, dalam perkawinan yang sah, terdapat akibat hukum yang harus dipatuhi oleh
suami istri dalam menjalankan hak dan kewajibannya.

Dengan demikian, pemahaman tentang akibat hukum dalam perkawinan yang sah
menurut Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sangat penting bagi
pasangan suami istri dan masyarakat luas. Dengan memahami peraturan hukum yang
berlaku, diharapkan masyarakat dapat memenuhi hak dan kewajiban mereka dalam
perkawinan yang sah serta dapat menghindari perselisihan dan masalah hukum di masa
depan.
DAFTAR PUSTAKA

https://chat.openai.com/

Anda mungkin juga menyukai