Anda di halaman 1dari 29

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI......................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................................4
C. Tujuan Penelitian..............................................................................................5
D. Manfaat Penelitian............................................................................................5
E. Orisinalitas Penelitian.......................................................................................6
F. Tinjauan Pustaka............................................................................................10
G. Metode Penelitian...........................................................................................22
H. Sistematika Penulisan....................................................................................27
JADWAL PELAKSANAAN PENELITIAN............................................................29

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita yang disebut sebagai suami isteri yang bertujuan untuk membangun

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.1

Menurut Islam, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam

menyebutkan bahwa “Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah

Pernikahan, yaitu suatu akad yang sangat kuat atau miitsaqan gholidhoh untuk

mentaati perintah Allah dan melaksanakan berdasarkan ibadah.”2

Pernikahan yang sah menurut Negara secara nyata dikatakan dalam Undang-

Undang Perkawinan, yaitu bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut

hukum agama dan kepercayaannya masing-masing, dan disamping itu setiap

perkawinan harus dicatat menurut peraturan yang berlaku.3

Pernikahan merupakan salah satu cara persatuan antara dua jiwa (laki-laki

dan perempuan) yang dulunya merupakan sebuah kehidupan pribadi.Setelah

menikah, orang-orang tersebut akan mempertimbangkan visi dan misi keluarga

secara bersama-sama. Berdasarkan ketentuan tersebut, hukum perkawinan di

Indonesia menganut pada asas monogami.

Di Indonesia perkawinan sah yang diakui adalah perkawinan monogami

(pernikahan satu suami dengan satu isteri), namun undang-undang juga


1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
2
Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam
3
Prof. DR. Lili Rasjidi, 1991, Hukum Perkawinan Dan Perceraian Di Malaysia Dan Indonesia, PT
Rosdakarya, Bandung, Cetakan Pertama, h. 72.

1
memberikan peluang bagi adanya perkawinan poligami yang berarti .suatu

perkawinan dimana seorang suami memiliki lebih dari seorang isteri dengan

alasan-alasan tertentu.

Asas monogami ditegaskan kembali dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan

yang menyatakan bahwa pada prinsipnya dalam perkawinan seorang laki-laki

mempunyai istri, begitu pula sebaliknya. 4 Namun asas perkawinan monogami

dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bersifat terbuka atau tidak mutlak,

artinya hanya merupakan instruksi untuk membentuk perkawinan monogami

dengan cara mempersulit sistem poligami dan mengura ngi ruang lingkup

penggunaannya.

Poligami merupakan masalah mendasar yang dihadapi banyak perempuan.

Banyak wanita yang dipoligami dengan alasan yang tidak rasional dan

menyebabkan wanita dirugikan atau menderita. Dalam Islam, poligami memang

tidak dilarang, seorang pria dapat memiliki dua, tiga atau bahkan empat istri.

Namun terdapat syarat tertentu yang harus dipenuhi, terutama untuk bersikap adil

kepada istri-istrinya. Bersikap adil yang dimaksudkan adalah adil dalam

segalanya. Namun demikian, banyak kasus di masyarakat yang menunjukkan

bahwa para suami belum menyadari hal tersebut karena telah mengabaikan

kewajiban untuk bersikap seadil-adilnya kepada istri atau para istrinya yang

sebelumnya.

Menurut Plato5 (dalam bukunya Fence Wantu) Keadilan merupakan

kemampuan memperlakukan setiap orang sesuai dengan haknya masing-masing.

4
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermassa, Jakarta, 1987, h. 1.
5
Fence Wantu,Idee des recht Kepastian Hukum, Keadilan, dan Kemanfaatan (implementasi
dalam proses peradilan perdata), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2011 h. 88.

2
Dapat dikatakan bahwa keadilan adalah nilai kebijakan dari segala sesuatu, dan

moralitas diukur dengan tindakan yang harus dilakukan secara moral, bukan

hanya oleh tindakan manusia.

Berbicara keadilan dalam perkawinan poligami tidak lepas dari hak dan

kewajiban, seorang suami yang melakukan perkawinan poligami harus memenuhi

segala hak dan kewajibannya, dalam perkawinan poligami yang menjadi hal

prioritas Masalahnya adalah hak atas harta dalam pernikahan dan hak untuk

memuaskan kebutuhan.

Dalam penelitian ini perkawinan poligami yang dimaksud adalah perkawinan

yang sah (legal) karena jika berbicara tentang pembagian hak atas harta terhadap

istri kedua dalam perkawinan poligami tentunya harus perkawinan poligami yang

sah dilihat dari perspektif hukum negara dan hukum agama, hal ini legal karena

hanya mengatur pembagian hak atas harta untuk perkawinan poligami yang sah,

dan jika perkawinan poligami itu illegal atau tidak sah, maka tidak ada aturan

untuk pembagian harta bersama oleh istri kedua. Hal tersebut tertuang dalam

dalam Pasal 35 dan 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan.

Dalam konteks perkawinan poligami yang dikaitkan dengan fakta sosial,

keberadaan istri kedua dalam poligami biasanya mengarah atau memicu terjadinya

perilaku tidak adil dalam perkawinan. Sebagaimana kita ketahui bersama, dalam

perkawinan poligami, status istri pertama dan istri kedua adalah sama di depan

hukum, karena undang-undang dan ketentuan tidak menjelaskan secara jelas atau

eksplisit pembagian harta antara istri pertama dan istri kedua.

3
Terkait persoalan harta bersama dalam perkawinan poligami merupakan

masalah yang cukup pelik serta bisa merugikan istri kedua jika tidak dilakukan

pembukuan yang tepat dan bertanggung jawab. Ketentuan-ketentuan yang

mengatur soal kepemilikan harta bersama dalam perkawinan poligami diatur

sangatlah sederhana dan umum.

Terlepas dari pro dan kontra serta terlepas dari kelebihan dan kekurangan

poligami, sangat jelas sekali bahwa poligami merupakan topik yang sulit dan

menarik untuk dibahas, bahkan setelah banyak praktik poligami. Dalam

praktiknya, masih banyak pelaku poligami yang belum memenuhi syarat atau

ketentuan yang diatur dalam hukum negara maupun agama. Keberadaan hak-hak

istri dalam perkawinan poligami semakin menjadi tidak jelas, terutama terkait

dengan pembagian harta bersama, karena tidak ada peraturan perundang-

undangan yang mengaturnya secara eksplisit, namun masih banyak saja yang

mempraktekkan perkawinan poligami

Berdasarkan uraian permasalahan di atas maka penulis tertarik mengangkat

judul proposal : Analisis Putusan Hakim Terhadap Pembagian Harta

Bersama Dalam Perkawinan Poligami (Studi Putusan Nomor

2693/Pdt.G/Pa.Jbg).

B. Rumusan Masalah

Dalam penelitian terhadap Pembagian Harta Bersama Dalam Pernikahan

Poligami ini, ada beberapa yang dapat dijadikan rumusan masalah, yaitu :

1. Bagaimana pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami ?

4
2. Bagaimana pertimbangan hukum Hakim terhadap penetapan harta bersama

dalam perkawinan poligami pada Putusan Pengadila Agama Jombang

Nomor 2693/Pdt.G/Pa.Jbg ?

3.

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana pembagian harta bersama dalam perkawinan

poligami

2. Untuk mengetahui bagaimana keputusan Hakim terhadap pembagian harta

bersama dalam perkawinan poligami pada Putusan Peengadilan Agama

Jombang Nomor 2693/Pdt.G/Pa.Jbg

D. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini penulis mengharapkan hendaknya penelitian ini

bermanfaat dan berguna baik bagi penulis, pembaca dan masyarakat. Dengan

demikian berikut beberapa manfaat yang dapat dirasakan oleh penulis maupun

pembaca, yaitu :

1. Manfaat Teoritis

a) Menambah wawasan penulis dibidang ilmu hukum pada umumnya,

khususnya dalam hal hukum tentang perkawinan yaitu yang berkaitan

dengan pelaksanaan pembagian Harta Bersama dalam Perkawinan

Poligami

b) Sebagai referensi atau pedoman bagi penelitian-penelitian berikutnya

dan perkembangan ilmu hukum khususnya dalam hal pelaksanaan

pembagian Harta Bersama dalam Perkawinan Poligami

5
c) Dapat berguna sebagai bahan informasi bagi pembaca serta masyarakat

yang ingin mengetahui masalah hukum yang berhubungan dengan

pelaksanaan pembagian Harta Bersama dalam Perkawinan Poligami.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sarana

informasi serta dapat menjadi sumbangan pemikiran yang berkenaan

dengan Pembagian Harta Bersama dalam Perkawinan Poligami

E. Orisinalitas Penelitian

Berkaitan penelitian serupa dilakukan sebelum adanya penelitian

menganalisis topik pembahasan sama dengan topik pembahasan penelitian ini.

namun demikian, terkait pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami

Berdasarkan persamaan, perbedaan, dan kontribusi dimiliki tiap-tiap peneliti

terdapat kebaruan atas penelitian, yaitu:

1. PEMBAGIAN HARTA
OKTAV ANGGI
BERSAMA SETELAH
PRASASTI
PERCERAIAN PADA
PERKAWINAN POLIGAMI
SKRIPSI
(STUDI KASUS Pengadilan
Agama Bantul Nomor
UNIVERSITAS JEMBER
0834/Pdt.G/2014/PA.Btl)
ISU HUKUM
1. Apakah ratio decidendi hakim dalam memutus perkara
Putusan Nomor 0834/Pdt.G/2014/PA.Btl telah sesuai
dengan Hukum Perkawinan ?
2. Apa akibat hukum keluarnya Putusan Nomor
0834/Pdt.G/2014/PA.Btl bagi para pihak ?
HASIL PENELITIAN

6
1. Dilihat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, KHI, dan Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Perkawinan, perkawinan yang dilakukan oleh Penggugat
dengan Tergugat I seharusnya tidak sah karena tergugat I
telah melakukan perkawinan poligami tanpa izin dari isteri
sebelumnya dan untuk melakukan perkawinan poligami pun
tidak memenuhi prosedur-prosedur yang telah ditentukan.
2. Akibat hukum dari keluarnya Putusan Pengadilan Agama
Bantul Nomor 0834/Pdt.G/2014/PA.Btl yakni :
a. Terhadap Isteri
Semua hak dan kewajiban selama perkawinan menjadi
hapus sejak saat itu bekas isteri memperoleh kembali
status yang tidak kawin. Haram melakukan hubungan
suami isteri. Isteri berhak mendapatkan mut’ah sesuai
dengan kedudukan dan kemampuan suami.
b. Terhadap Harta Kekayaan
Pengaturan tentang harta kekayaan yang diperoleh
selama perkawinan dimana isteri mempunyai hak yang
sama dengan suami bila terjadi perceraian harta bersama
diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan Pasal 35,36, dan 37.
PERSAMAAN Mengkaji dan menganalisis
pembagian harta bersama dalam
perkawinan poligami
PERBEDAAN Objek kajian berupa Putusan
Perkara Nomor
0834/Pdt.G/2014/PA.Btl
KONTRIBUSI
No PROFIL JUDUL
.

7
2. HELMY ZIAUL FUAD
KEDUDUKAN HARTA
YOGYAKARTA BERSAMA DALAM
PERKAWINAN POLIGAMI
UNIVERSITAS ISLAM (STUDI PADA PERKARA
NEGERI SUNAN NO.2198/12/PA.MALANG)
KALIJAGA
ISU HUKUM
1. Bagaimana pertimbangan hakim yang dipakai dalam
menetapakan harta bersama dalam perkara poligami,
putusan Pengadilan Agama Malang Nomor:
2198/2012/PA.Mlg?
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam dan hukum Positif
terhadap putusan hakim perkara Nomor: 2198/2012/PA.Mlg
?

HASIL PENELITIAN
1. Pertimbangan Hakim dalam Putusan perkara yang
memberikan izin suami untuk melakukan perkawinan
poligami dan menyertakan penetapan harta bersama telah
sesuai dengan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No.1 tahun
1974 jo Pasal 1 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam dan telah
sesuai dengan Pasal 94 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam.
Untuk menjamin terpisahnya harta bersama dalam
perkawinan poligami dan dapat diantisipasi dengan
penetapan harta bersama oleh pengadilan. Ini dimaksud agar
tidak terjadi sengketa dikemudian hari.
2. Baik hukum Islam maupun hukum positif sama-sama
mengakui keberadaan harta bersama dalam perkawinan,
akan tetapi hukum Islam dan hukum Positif tidak
mengaturnya lebih lanjut. Kedua hukum tersebut
memandang putusan Hakim tersebt telah mengakomodir

8
tiga asas hukum yang baik, yaitu asas keadilan, asas
kepastian, dan asas kemanfaatan. Hal ini sesuai dengan
Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No.
KMA/032/SK/IV/2006 yang mempunyai tujuan melindungi
hak istri terdahulu.
PERSAMAAN Mengkaji dan menganalisis
pembagian harta bersama dalam
perkawinan poligami
PERBEDAAN Objek kajian berupa Putusan
Perkara Nomor.489/K/Ag/2011
MAHKAMAH AGUNG
KONTRIBUSI

F. Tinjauan Pustaka

A. Tinjauan Umum Tentang Hukum Perkawinan

1. Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 01 Tahun 1974

Perkawinan menurut istilah dalam bahasa Indonesia berasal dari

kata "kawin" yang secara bahasa berarti terbentuknya sebuah keluarga

dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau yang bias

disebut dengan bersetubuh. Terlebih lagi, perkawinan bisa juga disebut

"nikah", yang berasal dari kata "nikah" yang secara harfiah berarti

berkumpul, bersyafaat, dan berarti persetubuhan.6

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Pasal 1

disebutkan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang

pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri yang bertujuan untuk

6
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia, Jakarta, 2006, h.2.

9
membentuk keluarga(rumah tangga), yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa."7

Perkawinan bukan saja ikatan lahir atau batin saja, juga melainkan

kedua unsur tersebut harus bersatu agar menjadikan keseimbangan

dalam hidup berkeluarga (rumah tangga). Perkawinan merupakan

hubungan hukum seorang pria dan wanita untuk hidup bersama

sebagai suami isteri. Bagi agama Islam, Ikatan lahir terjadi dengan

adanya upacara perkawinan yaitu pengucapan akad nikah oleh calon

mempelai pria kepada wali nikah mempelai wanita yang disebut ijab

qobul. Bagi agama lain selain agama Islam, upacara perkawian bisa

dilakukan sesuai dengan ketentuan agama dan kepercayaan masing-

masing.

yang sah hanya dilakukan oleh seorang pria dan wanita agar

menjadi keluarga yang bahagia dan sesuai dengan Peraturan Uu no. 1

Tahun Tahun 1974.

2. Pernikahan Menurut Hukum Islam

Pernikahan adalah suatu sunatullah yang berkaitan dengan semua

ciptaan Tuhan (baik manusia, hewan, atau tumbuhan). Dasar hukum

pernikahan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) terdapat dalam

Pasal 2 dan Pasal 3 yang menyebutkan bahwa “Perkawinan menurut

hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau

miitsaaqan ghaliizhan untuk mentaati perintah Allah SWT dan yang

7
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

10
melaksanakannya merupakan ibadah”8. Serta mewujudkan kehidupan

rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warrahmah.9

Secara etimologi pernikahan berasal dari bahasa arab yaitu nikah (

‫ )نـكـح‬dan zawaja (‫ )زواج‬yang berarti “bergabung” ( ‫“ )ضم‬hubungan

kelamin” (‫ )وطـء‬dan juga berarti “akad” (‫)عـقـد‬.10

Ensiklopedia Hukum Islam juga menjelaskan bahwa perkawinan

merupakan upaya membimbing naluri seksual pasangan dalam

keluarga dan menghasilkan keturunan yang dapat menjamin

kelangsungan hidup manusia di muka bumi. Adanya pernikahan yang

sejalan dengan lahirnya manusia pertama di muka bumi serta

merupakan fitrah manusia yang dianugerahkan oleh Allah SWT.11

Berdasarkan beberapa definisi di atas, perlu diketahui bahwa

tujuan pernikahan adalah untuk menciptakan rumah tangga yang

bahagia, abadi, damai, dan penuh kasih sayang.

B. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Poligami

1. Pengertian Poligami

Kata poligami berasal dari Bahasa Yunani yang terdiri dari dua

pokok kata, yaitu poli yang berarti banyak dan gamein yang berarti

kawin. Jadi poligami berarti perkawinan yang banyak, atau dalam

Bahasa Indonesian bias juga disebut “permaduan”. Dalam teori ilmu

Hukum, poligami biasanya diungkapkan sebagai sistem perkawinan

antara laki-laki dengan lebih dari satu perempuan.


8
Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam
9
M. Idris Ramusya, Hukum Perkawinan Islam, Bumi aksara, Jakarta, 2006, h.14.
10
Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah (Beirur: Darul Masyriq, 1986), h. 876.
11
Abdul Aziz Hasan, Ensiklopedi Hukum Islam Jilid 3, Ichtiar Baru Van Houv, Jakarta, 2016, h. 1329

11
Poligami merupakan suatu ikatan perkawinan yang mengawini

beberapa lawan jenisnya dalam waktu bersamaan, bukan berarti

bersamaan saat ijab qobul, tetapi bersamaan dalam menjalani

kehidupan berkeluarga dan berumah tangga secara bersama-sama.12

Selain poligami yakni pernikahan laki-laki dengan beberapa wanita

sekaligus, ada pula yang disebut poliandri, yakni wanita menikahi

beberapa laki-laki secara bersamaan. Dalam praktiknya, poligami

dianggap biasa di kalangan masyarakat. Pada saat yang sama, poliandri

dianggap tabu, meskipun di beberapa negara diakui jenis pernikahan

ini,

2. Poligami menurut Hukum Islam

Islam menerima poligami sebagai pengecualian, karena

perkawinan yang diingikan Islam adalah perkawinan monogami.

Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa’ ayat 3:

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)

perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka

kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau

empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka

(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang

demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Q.S

Anisa’ ayat 3).

Para mufassir berpendapat, poligami merupakan rukhhsah yang

dilakukan karena alasan darurat demi mendapatkan kemaslahatan, baik

12
Al-Qamar Hamid. Hukum Islam Alternatif Terhadap Masalah Fiqih Kontemporer. Jakarta. Restu
Ilahi, 2005, h. 19.

12
kemaslahatan dalam agama, sosial maupun kemanuasiaan. Karena

keadaan darurat, dalam keadaan normal, seorang laki-laki seharusnya

hanya mempunyai satu istri, yaitu monogami.

Ayat ini berbicara mengenai diperbolehkannya poligami dan itu

pun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh orang yang

sangat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan. Selain itu,

diakhir ayat tersebut juga dianjurkan untuk ber-monogami.

3. Poligami Menurut Hukum Positif Indonesia

Dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

menganut asas monogami. Akan tetapi, dalam beberapa kasus, seorang

pria dapat memiliki lebih dari satu istri jika keyakinan agamanya

mengizinkan. Hal tersebut secara tegas dijelaskan dalam Penjelasan

Umum Undang-undang Perkawinan tersebut, bahwa Undang-undang

ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang

bersangkutan karena hukum dan agamanya mengijinkan, seorang

suami dapat beristri lebih dari satu orang. Namun demikian

perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun

dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan, harus atau hanya dapat

dilakukan apabila dipenuhi berbagai syarat tertentu dan diputus oleh

pengadilan.

Padahal, monogami telah menjadi salah satu asas yang tertuang

dalam Pasal 3 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tentang

Perkawinan tahun 1974. Dalam asas tersebut, seorang laki-laki hanya

boleh memiliki satu istri dan seorang perempuan hanya dapat memiliki

13
satu suami. Izin bisa diberikan jika pihak terkait menghendaki, suami

boleh punya istri lebih dari satu.13

4. Syarat-Syarat Poligami

Poligami dapat dilakukan apabila telah melakukan

persyaratanpersyaratan tertentu yang telah ditentukan dalam Undang-

Undang Perkawinan. Ketentuan tersebut ada dalam Pasal 3 ayat (2)

Undang-Undang Perkawinan beserta penjelaasannya sebagai berikut

harus ada ijin dari pengadilan, bila dikehendaki oleh yang

bersangkutan, hukum dan agama dari yang bersangkutan

mengijinkannya, artinya tidak ada larangan dalam hal ini.

Poligami dapat dilaksanakan selama syarat-syarat tertentu yang

diatur dalam "UU Perkawinan" terpenuhi. Ketentuan ini tertuang

dalam Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan, dan penjelasannya sebagai

berikut: Harus diizinkan oleh pengadilan, dan jika yang bersangkutan

berkehendak, maka hukum dan agama yang bersangkutan

mengizinkan, yang artinya tidak ada larangan dalam hal ini. Berarti.

Jika suami ingin berpoligami harus mendapat izin dari pengadilan,

terutama bagi umat Islam yang harus mengajukan izin ke pengadilan

agama. Untuk mendapat izin dari pengadilan, syarat-syarat tertentu

harus dipenuhi dan disertai dengan alasan yang wajar sebagaimana

diatur dalam Pasal 4 dan 5 Undang-Undaang Perkawinan, sebagai

berikut:

1) Harus mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah

tempat tinggalnya (Pasal 4 ayat 1).


13
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

14
2) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan harus

dipenuhi syarat-syarat tertentu (Pasal 5 ayat 1), yaitu:

a. Adanya persetujuan istri-istri yang terdahulu, baik secara lisan

maupun tertulis

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan

hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-

istri dan anak-anak mereka

3) Pengadilan hanya akan memberi ijin apabila permohonan itu

didasarkan pada alasan-alasan yang dibenarkan, seperti ditentukan

dalam Pasal 4 ayat (2), sebagai berikut:

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan;

c. Apabila istri tidak memperoleh keturunan

Adapula syarat-syarat poligami yang diatur dalam Pasal 5 Undang-

Undang Perkawinan, yaitu :

1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan,

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini

harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut

a. Adanya persetujuan dari istri-istri;

b. Adanya kepastian bahwa suami mapu menjamin

keperluankeperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka;

15
c. Adanya jaminan bahwa suami akan selalu berlaku adil

terhadap istri-istri dan anak-anak mereka

2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini apabila

istrinya menghilang tidak ada kabar selama sekurang-kurangnya 2

(dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat

penilaian dari Hakim Pengadilan.

Tujuan yang hendak dicapai dengan adanya Undang-undang

Perkawinan ini adalah terwujudnya keluarga (rumah tangga) yang

bahagia rukun dan kekal untuk selama-lamanya sesuai dengan

Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974. Dalam undang-undang ini

ditekankan bahwa pelaksanaan poligami itu ialah suatu

pengecualian yang hanya diperbolehkan bagi seorang pria yang

betul-betul memenuhi persyaratan yang harus dipenuhinya, jadi

tidak setiap pria boleh poligami.

C. Tinjauan Umum tentang Harta Bersama Dalam Perkawinan

a. Harta Bersama Perkawinan Poligami Menurut UU No. 1 Tahun 1974

Harta benda perkawinan adalah harta yang termasuk dalam

perkawinan, dan merupakan gabungan dari harta asal suami, harta asal

isteri dan harta bersama. Pasal 35 UU No 1 tentang Perkawinan tahun

1974 mengatur bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan

menjadi milik bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami dan

istri serta hak waris setiap pasangan dan properti yang diperoleh

sebagai hadiah atau hak waris berada di bawah kendali mereka sendiri

selama para pihak tidak memiliki keputusan lain. Mengenai harta

16
bersama, suami atau istri bisa bertindak dengan persetujuan bersama.

Mengenai harta benda masing-masing, suami dan istri berhak

melakukan tindakan hukum terhadap harta kekayaannya.14

Harta benda perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:

1) Harta Bersama, Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh

selama perkawinan, tanpa dipersoalkan asalnya baik yang

diperoleh dari istri maupun dari suami, semuanya merupakan harta

milik bersama suami istri;

2) Harta Bawaan, Harta Bawaan adalah harta yang dibawa masuk

oleh masing-masing suami istri kedalam perkawinannya. Yang

termasuk harta bawaan yakni benda yang diperoleh masing-masing

sebagai hadiah atau warisan.15

Tujuan pernikahan adalah untuk membangun keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal atas dasar ketuhanan Yang Maha Esa.

Namun, jika tujuan tersebut tidak tercapai, maka suami atau istri bisa

memilih untuk memutuskan perkawinan. Pasal 38 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan dapat putus

karena kematian, perceraian dan atas keputusan Pengadilan.

Pernikahan putus karena kematian adalah takdir Tuhan Yang Maha

Esa, dan pernikahan yang putus akibat perceraian berarti tujuan

pernikahan tidak dapat tercapai. Putusnya perkawinan yang

diakibatkan oleh perceraian dapat terjadi berdasarkan gugatan

14
Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
15
Siti Musdah Mulia. Islam Menggugat Poligami. Jakarta: PT. Gramedia. 2005, h.8.

17
perceraian atau karena talak. Sesuai dengan Pasal 114 Kompilasi

Hukum Islam (KHI).16

Menurut Pasal 116 Kumpulan Hukum Islam (KHI), perceraian

dapat terjadi karena alasan berikut:

1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,

penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun

berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah

atau karena hal lain di luar kemampuannya;

3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun

atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan

berlangsung;

4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan

berat yang membahayakan pihak yang lain; dan

5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan

akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami

atau istri;

6) Suami melanggar taklik talak dan;

7) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya

ketidakrukunan dalam rumah tangga

Akibat perceraian ini, otomatis akan berpengaruh pada harta

bersama suami istri. Apabila terjadi perceraian, harta bersama

dibagi menjadi 2 (dua) antara suami dan istri. Separuh dari harta
16
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata. Bandung: Alumni, 1985, h. 100.

18
bersama adalah milik pasangan yang hidup terlama. Pada saat yang

sama, pembagian harta bersama suami atau istri yang hilang suami

atau istrinya harus ditunda hingga ditentukan kepastian hidup dan

mati. pembagian harta bersama melalui pengadilan agama biasanya

karena kedua belah pihak tidak memiliki kesamaan atau titik temu

dalam pembagiannya (dalam hal ini pasangan tersebut akan

bercerai atau sudah bercerai). Permohonan pembagian harta

perkawinan melalui Pengadilan Agama dapat diajukan bersamaan

dengan permohonan cerai (kumulatif), atau dapat diajukan secara

terpisah setelah perceraian diputus. Jika proses perceraian ditolak,

permohonan untuk berbagi aset dengannya juga bisa ditolak.

Pasalnya, pembagian harta perkawinan merupakan bagian dari

proses perceraian.

b. Harta Bersama Perkawinan Poligami Menurut Hukum Islam

Kompilasi Hukum Islam memberikan pengaturan yang hampir mirip

dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai harta benda

dalam perkawinan. Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak

menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau

istri.17 Menurut pasal ini, hak milik digabung menjadi harta bersama dalam

perkawinan.

Pasal 86 ayat 1 KHI selanjutnya menyebutkan bahwa “Pada dasarnya

tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena

perkawinan”. Selanjutnya pasal 86 ayat 2 KHI menyatakan “Harta istri

17
Pasal 85 KHI

19
tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta

suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya”

Berdasarkan 2 pasal tersebut dapat ditafsirkan adanya pengaturan yang

memisahkan hak kepemilikan pada harta benda dalam perkawinan

sebagaimana yang ditetapkan oleh kaidah-kaidah hukum Islam.

1) Pertama yakni terdapat ketentuan yang mengatur adanya harta

bersama (pasal 85 KHI). Dengan demikian, keberadaan harta

bersama ini berdampak mencampurkan harta milik suami-istri

selama perkawinan menjadi hak milik bersama suami-istri, baik

dari segi penghasilan masing-masing menjadi harta bersama.18

2) Kedua yakni terdapat ketentuan yang mengatur bahwa tidak ada

penggabungan harta dalam perkawinan, melainkan tetap terjadi

pemisahan harta benda. Ayat 1 pasal 86 KHI secara tegas

memberikan dasar hukum untuk meniadakan harta bersama

sehingga secara otomatis meniadakan pula hak kepemilikan secara

kolektif suami dan istri

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa KHI membagi harta

perkawinan menjadi harta pribadi dan harta bersama. Keputusan

Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 tentang

Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, dalam Pasal 82

menyatakan: hak seorang istri yang dipoligami adalah mendapat

tempat tinggal dan biaya hidup yang seimbang dengan istri lainnya.

18
Harahap, Informasi Materi KHI Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam Dalam Kompilasi Hukum
Islam dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Indonesia, P.T. Logos Wacana Ilmu, Jakarta
2008, H. 44.

20
Di dalam KHI, harta bersama para istri yang dibawa oleh

perkawinan kedua suami yang berpoligami sebenarnya telah

ditetapkan, yaitu Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia

Nomor 154 Tahun 1991 (tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden

Nomor 1 Tahun 1991), Pasal 92 mengatur sebagai berikut: “Suami

atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual

atau memindahkan harta bersama.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembagian

harta bersama bagi istri yang dipoligami. Dalam perkawinan poligami,

bentuk harta bersama, suami dan masing-masing istri tidak dipisahkan.

Istri pertama tetap menerima porsi harta bersama, meskipun suaminya

telah menikah untuk kedua, ketiga atau keempat kalinya. Jadi,

proposisi untuk pembagian adalah bahwa kepemilikan bersama istri

pertama lebih besar daripada istri kedua, istri kedua lebih besar dari

istri ketiga, dan istri ketiga lebih besar dari istri keempat.19

G. Metode Penelitian

Metode penelitian dalam masalah yang akan dibahas untuk

memberikan informasi yang sesuai dengan keilmuan yang mudah

dipahami semua orang secara umum. Metode artinya cara melakukan

sesuatu dengan teratur (sistematis). Sedangkan, penelitian dalam Bahasa

insggris yaitu research yang berasal darikata re berarti kembali dan to

search berarti mencari. Research itu mencari kembali.20 Jadi, metode

19
Desi Fitrianti, Harta Bersama Dalam Perkawinan Poligami Menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Dan Hukum Islam. Intelektualita: volume 06, nomor 01, 2017.
20
Zainuddin Ali, (2018), Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika. h. 1.

21
penelitian hukum adalah ilmu tentang cara melakukan penelitian dengan

mencari atau menemukan yang benar dalam suatu masalah.21

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam menyusun penelitian ini

adalah yuridis normatif atau penelitian kepustakaan atau dengan

istilah lain penelitian hukum doktrinal yang mana dalam penelitian

hukum dikonsepkan dan dikembangkan.22 Penelitian normatif adalah

penelitian hukum dengan bahan kepustakaan yang mencakup

penelitian terhadap asas-asas hukum,penelitian terhadap sistematika

hukum, dan penelitian terhadap perbandingan hukum.23 Penelitian ini

dilakukan dengan mengkaji bahan kepustakaan atau ketentuan hukum

islam yang berkaitan dengan pembagian harta bersama dalam

perkawinan poligami.

b. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan yang mendapatkan

berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari

jawabannya. Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian

hukum diantaranya adalah:24

a) Pendekatan Undang-undang (statute approach)

Pendekatan Undang-undang ini dilakukan dengan menelaah

terhadap masalah yang berkaitan dengan isu yang dihadapinya.


21
ibid. h. 18.
22
Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, (2018), Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
Jakarta: Prenadamedia Group Kencana. h. 124.
23
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, (2019), Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. h. 13.
24
Peter Marzuki Mahmud, (2019), Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Jakarta: Prenadamedia Group
Kencana. h. 133.

22
Undang-undang atau peraturan yang berkaitan dengan

permasalahannya adalah:

1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

2. Kompilasi Hukum Islam

3. Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Perkawinan

4. Putusan Pengadilan Agama Jombang Nomor

2693/Pdt.G/Pa.Jbg

b) Pendekatan Komparatif (comparative approach)

Pendekatan komparatif ini dilakukan dengan membandingkan

undang-undang yang satu dengan undang-undang yang lainnya

agar mendapatkan perbedaan dan persamaan diantara undang

undang tersebut.25 Dalam melakukan perbandingan tersebut akan

memperoleh gambaran mengenai undang-undang atau putusan

pengadilan yang kasusnya serupa.

c) Pendekatan Konseptual (conceptual approach)

Pendekatan dilakukan karena memang belum atau tidak ada

aturan hukum untuk masalah yang dihadapi, pendekatan beranjak

dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang

dalam ilmu hukum, sehingga melakirkan pengertian hukum dan

asas-asas hukum yang relevan dengan permasalahan dihadapinya.

c. Jenis dan Bahan Hukum

25
Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, (2018), Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris.
Jakarta: Prenadamedia Group Kencana. h. 140.

23
Sumber penelitian yang berupa bahan hukum terdiri dari bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer

yang terdiri dari perundang-undangan dan putusan hakim.26 Bahan

hukum primer ini menggunakan yang bersumber dari Kompilasi

Hukum Islam, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

serta Putusan Pengadilan Agama Jombang Nomor 2693/Pdt.G/Pa.Jbg.

Sedangkan, untuk bahan hukum sekunder yaitu berupa publikasi

tentang hukum yang merupakan dokumen tidak resmi.27 Seperti

halnya menggunakan buku-buku hukum, jurnal hukum, artikel hukum,

kamus hukum, hasil penelitian, dan referensi lainnya.28

Dalam penelitian hukum normatif lebih mengutamakan

melalui bahan kepustakaan atau literature lainnya yang berkaitan

dengan masalah yang diteliti.

d. Teknik Pengumpulan Data

a) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum yang memiliki kekuatan hukum mengikat yang

terdiri dari peraturan perundang-undangan, seperti Kompilasi

Hukum Islam (KHI), Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dan peraturan lainnya yang berhubungan dengan

permasalahan penelitian.

b) Bahan Hukum Sekunder

26
Zainuddin Ali, (2018), Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika. h. 47.
27
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, (2003), Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. h. 33
28
Peter Marzuki Mahmud, (2019), Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Jakarta: Prenadamedia Group
Kencana. h. 181.

24
Bahan hukum sekunder merupakan bahan yang dikumpulkan

dalam penelitian kepustakaan yang mana bahan-bahan atau data-

data yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan

dapat dipakai untuk menganalisa permasalahan, seperti hasil karya

dari kalangan hukum ataupun literature yang mengenai tentang

pembagian harta bersama.

c) Bahan Hukum Tertier

Bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhdap

bahan hukum primer dan sekunder misalnya kamus hukum,

ensiklopedia, dan jurnal, agar diperoleh informasi terbaru dan

berkaitan dengan permasalahannya, maka kepustakaan yang dicari

dan diperoleh harus relevan dan mutahir.29

e. Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis yang di pakai dalam Penulisan skripsi ini

adalah teknik deskriptif kualitatif, yaitu suatu cara menganalisa

yang menghasilkan logika penalaran kualitatif ,dimana penulis

melakukan pemecahan masalah yang diteliti dengan cara

memaparkan data yang telah diperoleh baik dari studi lapangan

ataupun dengan studi kepustakaan. Analisis dilakukan secara

kualitatif, berlaku bagi data atau bahan hukun serta studi kasus

yang diteliti mengenai Putusan Pengadilan Agama Jombang

29
Bambang Sunggono, 1997, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Jakarta, Raja Grafindo
Persada, h.116

25
Nomor 2693/Pdt.G/Pa.Jbg, karena penelitian hukum cenderung

bersifat deskriptif terhadap data sekunder.

H. Sistematika Penulisan

Untuk dapat memberikan gambaran yan komprehensif, maka penulis

menyajikan dalam bentuk sistematika penulisan yang bertujuan supaya

hasil penelitian dapat dilakukan secara runtut dan sistematis sebagai

berikut :

BAB I : PENDAHULUAN, merupakan bab pendahuluan bab

pendahuluan yang antara lain berisi latar belakang, masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian serta

sistematika penulisan

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA, merupakan bab yang berisi tentang teori

umum yang merupakan penjelasan secara universal dari penelitian, yang

akan penulis gunakan untuk menjawab permasalahan yang diteliti, yakni

pembagian harta bersama dalam pernikahan poligami.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, membahasa

mengenai hasil penelitian yakni bagaimana pembagian harta bersama di

dalam pernikahan poligami, serta bagaimana pertimbangan hukum hakim

terhadap pelaksanaan pembagian harta bersama dalam perkawinan

poligami.

BAB IV : PENUTUP, merupakan kesimpulan dan saran dari hasil

penelitian yang telah dilakukan oleh penulis.

26
27
JADWAL PELAKSANAAN PENELITIAN

No Bulan ke-
Jenis Kegiatan
. 1 2 3

1. Persiapan

2. Melakukan studi

pustaka

3. Menyusun instrument

penelitian

4. Melaksanakan

penelitian lapang atau

penelitian bahan

hukum

5. Menganalisis

data/bahan hukum

6. Menulis laporan akhir

tugas akhir

29

Anda mungkin juga menyukai