Anda di halaman 1dari 22

PERJANJIAN NOMINAT III

(Pinjam Pakai, Pinjam Meminjam, Perjanjian Untung-Untungan, dan Pemberian Kuasa)

Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah sat tugas Mata Kuliah Hukum Perikatan
Jaminan

Diampu Oleh:

Hj. Ifa Mutiatul Choiroh, SH., M.Kn

Disusun Oleh:

Alivia Maya Safitri (05010221001)

Febry Wahyu Nur Cahyo (05010221007)

Zefinanda Dwi Aurelita (05010221028)

HUKUM EKONOMI SYARI’AH


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2023
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................................................
BAB I...............................................................................................................................................
PENDAHULUAN...........................................................................................................................
A. Latar Belakang................................................................................................................5
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................5
BAB II.............................................................................................................................................
PEMBAHASAN..............................................................................................................................
C. Pinjam Pakai....................................................................................................................7
1. Definisi........................................................................................................................7
2. Hak dan Kewajiban para Pihak Pinjam Pakai.............................................................7
3. Perbedaan Pinjam Pakai dengan Sewa........................................................................8
4. Resiko Pinjam Pakai....................................................................................................8
D. Pinjam Meminjam...........................................................................................................9
1. Definisi........................................................................................................................9
2. Hak dan Kewajiban para Pihak Pinjam Meminjam..................................................10
3. Meminjam dengan Bunga..........................................................................................11
4. Resiko Pinjam Meminjam.........................................................................................11
E. Perjanjian Untung-Untungan........................................................................................12
1. Definisi......................................................................................................................12
2. Bunga Cagak Hidup..................................................................................................13
3. Perjudian dan Pertaruhan...........................................................................................13
F. Pemberian Kuasa...........................................................................................................14
1. Definisi......................................................................................................................14
2. Macam-Macam Kuasa Hukum..................................................................................15
3. Hak dan Kewajiban para Pihak Pemberian Kuasa....................................................16
4. Penerima Kuasa Melampaui Batas Wewenangnya....................................................17
5. Berakhirnya Peemberian Kuasa................................................................................18
BAB III..........................................................................................................................................
PENUTUP.....................................................................................................................................
A. Kesimpulan..................................................................................................................21
B. Saran.............................................................................................................................21

2
Kata Pengantar
Syukur Alhamdulillah atas segala rahmat serta karunia Allah SWT. Yang dimana atas
izin-Nya kita dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Tak lupa pula sholawat
serta salam yang kami haturkan kepada Nabi Muhammad SAW. Beserta seluruh ummatnya
yang senantiasa beristiqomah sampai akhir zaman.

Makalah yang berjudul “Perjanjian Nominat III” disusun guna memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Hukum Perikatan Jaminan yang diampu oleh Hj. Ifa Mutiatul Choiroh, SH.,
M.Kn

Dengan terselesaikan makalah ini, kami selaku penyusun makalah mengucapkan


terimakasih kepada:

1. Hj. Ifa Mutiatul Choiroh, SH., M.Kn, selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum
Perikatan Jaminan yang telah membimbing kami dalam proses Perkuliahan Tatap Muka.

2. Kedua orang tua beserta keluarga kami yang selalu memberikan dukungan serta do’a
kepada kami.

3. Beberapa situs web, artikel, jurnal penelitian, dan buku yang telah memberikan bantuan
kepada kami dalam proses pengumpulan bahan materi guna penyusunan makalah ini.

Akhirul kalam, kami yang menyadari bahwasannya pada makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan
makalah untuk kedepannya. Semoga makalah yang kami susun bermanfaat dan memenuhi
harapan bagi kita semua, Amiin.

Gresik, 24 April 2023

Tim penyusun

3
DAFTAR ISI

4
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Perjanjian Nominat Hukum Perikatan dan Jaminan adalah perjanjian yang
digunakan dalam hukum perdata untuk mengikatkan suatu perjanjian tertentu antara
pihak-pihak yang terlibat. Dalam perjanjian ini, pihak yang mengikatkan diri sebagai
pihak yang memberikan jaminan (penjamin) akan menanggung akibat apabila pihak
lain yang disebut sebagai pihak yang dijamin (debitur) tidak dapat memenuhi
kewajiban yang telah disepakati.
Perjanjian Nominat Hukum Perikatan dan Jaminan diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Indonesia, pada bagian tentang
perjanjian. Selain itu, perjanjian ini juga diatur dalam beberapa undang-undang
lainnya seperti Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia dan Undang-Undang tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Perjanjian ini menjadi penting terutama dalam dunia bisnis, karena
memungkinkan para pihak untuk melakukan transaksi dengan lebih aman dan
terjamin. Dalam perjanjian ini, penjamin akan menjamin kewajiban yang diemban
oleh debitur dengan memberikan jaminan berupa uang, barang, atau hak tertentu. Jika
terjadi wanprestasi atau ketidakmampuan dari debitur untuk memenuhi kewajibannya,
maka penjamin akan menggantikan kewajiban tersebut.

2. Rumusan Masalah
1. Apa saja hal yang berhubungan dengan pinjam pakai?
2. Apa saja hal yang berhubungan dengan pinjam meminjam?
3. Apa saja hal yang berhubungan dengan perjanjian untung-untungan?
4. Apa saja hal yang berhubungan dengan pemberian kuasa?

5
BAB II

6
PEMBAHASAN

3. Pinjam Pakai
4. Definisi
Pinjam Pakai adalah salah satu jenis dari kontrak nominat. Kontrak nominaat
merupakan perjanjian bernama dan terdapat dalam pasal 1319 KUH Perdata yang berbunyi :
“Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak dikenal
dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan
bab yang lalu.”
Perjanjian pinjam pakai adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu memberikan
suatu barang kepada pihak lain untuk dipakai dengan cuma-cuma, dengan syarat bahwa yang
menerima barang setelah memakai atau setelah lewatnya waktu pada suatu waktu tertentu
akan mengembalikannya. Perjanjian Pinjam Pakai diatur dalam pasal 1740-1753
KUHPerdata. Pada pasal 1742 KUH Perdata menyebutkan bahwa, benda (barang) yang
dipinjam-pakaikan dalam perjanjian adalah segala macam barang yang dapat dipakai dan
tidak musnah atau tidak habis karena pemakaiannya.
5. Hak dan Kewajiban para Pihak Pinjam Pakai
Hak dan kewajiban muncul secara bersamaan. Kendati sifatnya berbeda dan
berlawanan, eksistensinya tidak dapat dipisahkan. Dengan sendirinya, hukum tidak dapat
memberikan keuntungan kepada seseorang tanpa sekaligus menimpakan beban pada orang
lain. Atau dengan kata lain, hukum tidak mungkin menciptakan hak bagi seseorang, kecuali
dengan menciptakan kewajiban yang setara bagi orang lain. Begitu pula dengan perjanjian
pinjam pakai memiliki hak dan kewajiban yang harus diterima dan di penuhi.1
Adapun kewajiban dari pihak yang meminjamkan, yaitu :
1. Tidak boleh minta kembali barang yang telah dipinjamkan, kecuali telah lewat waktu.
2. Hanya boleh meminta kembali barang yang dipinjamkan sebelum lewatnya waktu, apabila
ada alasan-alasan yang mendesak atau overmacht dan terjadi situasi ia sendiri sangat
memerlukan barang tersebut.
3. Mengganti biaya yang telah dikeluarkan di peminjam dalam keadaan luar biasa dan sangat
diperlukan, yang sifatnya sangat mendesak dan peminjam sendiri tidak sempat
memberitahukan hal tersebut.
4. Bertanggung jawab atas kerugian sebagai akibat pihak yang meminjamkan tidak
memberitahukan bahwa barang tersebut mempunyai cacat tersembunyi yang diketahuinya.
1
Ibid., halaman 122

7
Menurut Pasal 1744-1745 KUH Perdata, kewajiban si peminjam adalah:
1. Peminjam wajib menyimpan dan memelihara barang pinjamannya seolah-olah ia pemilik
barang tersebut.
2. Peminjam tidak boleh memakai barang pinjaman untuk suatu keperluan lain.
3. Peminjam bertanggung jawab tentang musnahnya barang pinjaman.
Hak orang yang meminjamkan adalah:2
1. Orang yang meminjamkan barang itu tetap menjadi pemilik barang yang dipinjamkan
(Pasal 1741 KUH Per).
2. Orang yang meminjamkan tidak boleh meminta kembali barang yang dipinjamkan selain
setelah lewat waktu yang telah ditentukan atau setelah barangnya dipergunakan (Pasal 1750
KUH Per).
3. Apabila orang yang meminjamkan mempunyai alasan yang cukup, maka ia dapat minta
bantuan hakim untuk memaksa peminjam mengembalikan barang tersebut (pasal 1751 KUH
Per).

6. Perbedaan Pinjam Pakai dengan Sewa


Perjanjian pinjam-pakai termasuk sesuatu hal yang diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Pengertian pinjam-pakai hampir mirip dengan pengertian sewa
menyewa, perbedaan yang mencolok adalah pinjam-pakai bersifat cuma-cuma, sedangkan
sewa-menyewa bersifat komersil yang diikuti pembayaran harga sewa.3
Persamaan antara pinjam-pakai dan sewa ialah benda yang dipinjam-pakaikan atau
disewakan, diketika jangka waktu yang ditentukan berakhir, maka benda tersebut harus
dikembalikan kepada pemiliknya.4

7. Resiko Pinjam Pakai


Mengenai resiko dalam perjanjian pinjam pakai, pasal 1744 KUH Perdata
menyebutkan bahwa : Resiko dalam perjanjian pinjam pakai berada di tangan si pemakai. 
Sedangkan pasal 1745 KUH Perdata menegaskan bahwa :

2
P.N.H Simanjuntak, Op.cit., halaman 314
3
2019 Aghadiati, “Tinjauan Pustaka Tinjauan Pustaka,” Convention Center Di Kota Tegal 1 (2017): 6–32.
4
AZ. Nasution. Hukum dan Perlindungan konsumen: Suatu pengan tar. Jakarta: Daya Widya, 1999, h. 14

8
 Apabila barang yang dipinjam musnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja, maka
peminjam bertanggung jawab atas kemusnahan barang tersebut dan juga bertanggung jawab
atas barang-barang yang diakibatkan oleh barang tersebut.

Ketentuan yang berlaku dalam perjanjian pinjam pakai :

a. Apabila barang yang dipinjam itu berkurang harganya selama pemakaian dan hal tersebut
di luar kesalahan si pemakai, maka pihak peminjam tidak bertanggung jawab atas
berkurangnya harga barang tersebut.
b. Apabila peminjam selama memakai barang telah mengeluarkan biaya-biaya sementara,
maka peminjam tidak boleh menuntut kembali pada yang meminjamkan, kecuali apabila
ada perjanjian yang menyatakan demikian.
c. Apabila pihak peminjam terdiri dari beberapa orang secara bersama-sama, maka masing-
masing untuk keseluruhan bertanggung jawab atas barang tersebut.

8. Pinjam Meminjam
1. Definisi

Perjanjian pinjam meminjam adalah perjanjian di mana pihak yang satu


memberikan pinjaman kepada pihak yang lain, dengan persetujuan bahwa pihak yang
meminjam akan mengembalikan pinjaman tersebut pada waktu tertentu dengan
membayar bunga yang telah disepakati. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 436 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menyatakan bahwa "Pinjaman
adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu menyerahkan kepada pihak lain
suatu barang dengan persetujuan bahwa barang itu akan dikembalikan, dan pihak yang
meminjam berkewajiban membayar bunga atas pinjaman itu."
Dalam perjanjian pinjam meminjam, pihak yang meminjam wajib
mengembalikan pinjaman pada waktu yang telah disepakati, baik berupa barang maupun
uang. Hal ini diatur dalam Pasal 1134 KUHPerdata yang menyatakan bahwa "Perjanjian
harus dipatuhi dengan itikad baik." Selain itu, jika terdapat kesepakatan mengenai bunga,
maka pihak yang meminjam juga berkewajiban membayar bunga tersebut. Hal ini diatur
dalam Pasal 1236 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa "Pada umumnya,
peminjam wajib membayar bunga."

9
Perjanjian pinjam meminjam termasuk dalam perjanjian nominat yang memiliki
aturan dan ketentuan tersendiri dalam KUHPerdata. Perjanjian pinjam meminjam juga
memiliki ciri-ciri yaitu adanya pemberian pinjaman oleh pihak yang satu kepada pihak
yang lain, adanya kewajiban untuk mengembalikan pinjaman pada waktu yang telah
disepakati, dan adanya kesepakatan mengenai pembayaran bunga.
Dalam perjanjian pinjam meminjam, terdapat beberapa hal yang harus diatur
dengan jelas agar terhindar dari sengketa di kemudian hari. Hal ini dijelaskan dalam
Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa "Suatu perjanjian tidak hanya
mengikat pihak-pihak yang membuatnya, tetapi juga harus dipatuhi menurut syarat-
syarat yang telah diatur dalam perjanjian itu." Oleh karena itu, perjanjian pinjam
meminjam harus mencantumkan ketentuan mengenai jumlah pinjaman, waktu
pengembalian, besarnya bunga yang harus dibayar, dan sanksi yang diberikan jika
terdapat pelanggaran dalam perjanjian tersebut.

2. Hak dan Kewajiban para Pihak Pinjam Meminjam

Hak dan kewajiban pihak peminjam dan meminjam dalam hukum


perikatan/perjanjian nominat dapat dijelaskan sebagai berikut:
 Hak dan kewajiban pihak peminjam :
a. Hak peminjam untuk menggunakan barang yang dipinjam untuk keperluan yang sah
dan sesuai dengan perjanjian. (Pasal 1153 KUHPerdata)
b. Kewajiban peminjam untuk merawat barang yang dipinjam sebaik-baiknya sesuai
dengan fungsinya dan menjaga agar tidak rusak atau hilang. (Pasal 1154 KUHPerdata)
c. Kewajiban peminjam untuk mengembalikan barang yang dipinjam pada saat yang
telah disepakati atau sebelumnya jika diminta oleh pemberi pinjaman. (Pasal 1156
KUHPerdata)

 Hak dan kewajiban pihak meminjam


a. Hak meminjam untuk menerima pembayaran atas penggunaan barang yang dipinjam,
baik dalam bentuk uang atau barang yang sejenis. (Pasal 1160 KUHPerdata)
b. Kewajiban meminjam untuk memberikan barang yang dipinjam dalam keadaan yang
baik dan sesuai dengan perjanjian. (Pasal 1155 KUHPerdata)
c. Kewajiban meminjam untuk menerima kembali barang yang dipinjam pada saat yang
telah disepakati atau sebelumnya jika diminta oleh peminjam. (Pasal 1156 KUHPerdata)

10
3. Meminjam dengan Bunga

Dalam perjanjian pinjam meminjam, terdapat beberapa bentuk pemberian


jaminan yang dilakukan oleh pihak yang meminjam. Salah satu bentuk jaminan yang
sering diberikan adalah dengan memberikan bunga kepada pihak yang meminjam. Hal
ini sesuai dengan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau disingkat
KUHPerdata yang menyatakan bahwa "Para pihak berhak membuat perjanjian apa saja
selama tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum."
Dalam hal ini, bunga yang diberikan tidak boleh melebihi batas yang telah diatur oleh
undang-undang. Menurut Pasal 1733 ayat (1) KUHPerdata, besarnya bunga yang
dibayarkan harus disepakati oleh kedua belah pihak. Jika tidak ada kesepakatan, maka
bunga yang diberikan sebesar 6% per tahun, sesuai dengan ketentuan Pasal 7 Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perbankan. Namun demikian, jika terdapat
perjanjian lain yang mengatur besarnya bunga, maka perjanjian tersebutlah yang berlaku.

Dalam hal terdapat wanprestasi atau ketidakmampuan pihak yang meminjam


untuk membayar pinjaman beserta bunga yang telah disepakati, Pasal 1131 KUHPerdata
mengatur bahwa pihak yang meminjam wajib membayar ganti rugi atas kerugian yang
diderita oleh pihak yang memberikan pinjaman. Oleh karena itu, sangat penting bagi
kedua belah pihak untuk mengetahui dan memahami dengan baik isi dari perjanjian
pinjam meminjam, termasuk besarnya bunga yang harus dibayarkan. Kesimpulannya,
bunga yang diberikan dalam perjanjian pinjam meminjam merupakan hal yang sah dan
diatur dalam hukum perikatan, namun besarnya bunga yang dibayarkan harus disepakati
oleh kedua belah pihak atau mengikuti ketentuan undang-undang yang berlaku. Adanya
perjanjian tersebut akan memberikan kepastian hukum bagi kedua belah pihak, serta
mencegah terjadinya sengketa di kemudian hari.

4. Resiko Pinjam Meminjam

Pinjam meminjam adalah suatu bentuk perjanjian yang sering terjadi dalam
kehidupan sehari-hari. Namun, terdapat beberapa risiko yang perlu diperhatikan oleh
kedua belah pihak dalam perjanjian pinjam meminjam.
1) Risiko wanprestasi atau ketidakmampuan pihak yang meminjam untuk membayar
kembali pinjamannya. Hal ini diatur dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum

11
Perdata (KUHPerdata) yang menyatakan bahwa jika salah satu pihak tidak memenuhi
kewajibannya dalam perjanjian, maka pihak yang lain berhak menuntut ganti rugi atas
kerugian yang dideritanya.
2) Risiko bunga yang tinggi atau tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal 1338
KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian dapat dibuat selama tidak bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Jika bunga yang diberikan
melebihi batas yang telah diatur oleh undang-undang atau tidak sesuai dengan
kesepakatan yang telah disepakati, maka pihak yang meminjam dapat mengalami
kerugian yang besar.
3) Risiko hukum dan administrasi, seperti perbedaan interpretasi atas isi perjanjian,
penggunaan dokumen palsu, dan ketidaktahuan atas aturan dan prosedur yang
berlaku. Risiko ini dapat diatasi dengan melakukan konsultasi dengan ahli hukum atau
melakukan verifikasi dokumen secara cermat.
Kesimpulannya, perjanjian pinjam meminjam memiliki risiko yang perlu
diperhatikan oleh kedua belah pihak. Oleh karena itu, sebelum melakukan perjanjian,
baik pemberi pinjaman maupun penerima pinjaman harus memahami dan mengetahui
konsekuensi hukum dari perjanjian tersebut. Hal ini akan meminimalisir risiko yang
mungkin terjadi di kemudian hari

9. Perjanjian Untung-Untungan
1. Definisi

Perjanjian untung-untungan dalam perjanjian nominat matakuliah hukum


perikatan adalah suatu perjanjian di mana para pihak saling mengikatkan diri untuk
memperoleh keuntungan atau mengalami kerugian dalam suatu peristiwa yang belum
pasti. Dasar hukum perjanjian ini terdapat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menyatakan bahwa "setiap perjanjian yang dibuat
secara sah mengikat para pihak yang membuatnya." Namun, Pasal 1380 KUHPerdata
juga menegaskan bahwa "suatu perjanjian tidak sah jika isinya bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum." Oleh karena itu, untuk sahnya
sebuah perjanjian untung-untungan, maka peristiwa yang menjadi dasar perjanjian
tersebut tidak boleh melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini juga telah
dijelaskan oleh Prof. Subekti dalam bukunya yang berjudul "Hukum Perjanjian" yang

12
menyatakan bahwa "perjanjian untung-untungan yang didasarkan pada peristiwa yang
dilarang oleh hukum tidak dapat dianggap sah."

2. Bunga Cagak Hidup

Bunga cagak hidup dalam perjanjian untung-untungan merupakan komponen


penting dalam hukum perikatan. Menurut Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata), bunga cagak hidup adalah bunga yang besarnya tidak ditentukan
dalam perjanjian, namun dihitung berdasarkan jumlah utang pada saat jatuh tempo.
Dalam perjanjian untung-untungan, bunga cagak hidup biasanya ditambahkan sebagai
bentuk imbalan atau hadiah jika salah satu pihak berhasil memenangkan taruhan.
Namun, penggunaan bunga cagak hidup dalam perjanjian untung-untungan masih
menjadi perdebatan di kalangan ahli hukum. Sebagian menganggap bahwa bunga cagak
hidup tidak dapat dijadikan bagian dari perjanjian untung-untungan karena dapat
dianggap sebagai unsur riba. Meskipun demikian, putusan Mahkamah Agung Nomor
1955 K/Pdt/1985 menyatakan bahwa bunga cagak hidup dapat diizinkan dalam
perjanjian untung-untungan, selama tidak bertentangan dengan norma agama atau
moralitas yang berlaku.
Dalam prakteknya, pihak yang mengajukan perjanjian untung-untungan dapat
menambahkan klausul yang menjelaskan besaran bunga cagak hidup yang akan
dikenakan pada pihak yang kalah. Namun, jika klausul tersebut dianggap merugikan
salah satu pihak atau bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, maka bunga
cagak hidup tersebut dapat dibatalkan oleh hakim.
Pada dasarnya, penggunaan bunga cagak hidup dalam perjanjian untung-
untungan masih memerlukan pertimbangan yang cermat. Meskipun dapat diizinkan
dalam beberapa kasus tertentu, penggunaannya harus sesuai dengan norma agama,
moralitas, dan ketentuan hukum yang berlaku.

3. Perjudian dan Pertaruhan

Perjudian dan pertaruhan termasuk ke dalam kategori perjanjian untung-untungan


dalam hukum perikatan. Menurut Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata), perjanjian untung-untungan adalah perjanjian di mana keberhasilannya
bergantung pada keberuntungan semata. Dalam perjudian dan pertaruhan, pihak-pihak

13
yang terlibat saling bertaruh untuk memenangkan uang atau barang dengan cara
memasang taruhan.

Namun, perjudian dan pertaruhan sebenarnya tidak sah dalam hukum perikatan
karena bertentangan dengan ketertiban umum dan moral. Hal ini sesuai dengan Pasal
1330 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perikatan yang bertentangan dengan
undang-undang atau kesusilaan adalah tidak sah. Meskipun demikian, terdapat
pengecualian untuk perjudian dan pertaruhan dalam beberapa situasi tertentu, seperti
dalam konteks kegiatan sosial atau olahraga. Namun, dalam hal tersebut, taruhan hanya
diperbolehkan dengan jumlah yang kecil dan tidak mempengaruhi kesejahteraan
masyarakat secara keseluruhan.

Dalam hal perjudian dan pertaruhan yang tidak sah, pihak yang kalah dalam
taruhan tidak memiliki hak hukum untuk meminta kembali uang atau barang yang telah
mereka pertaruhkan. Selain itu, mereka juga tidak dapat menuntut pihak yang menang
untuk memberikan hadiah yang telah dijanjikan. Dalam prakteknya, perjudian dan
pertaruhan dapat menjadi sumber permasalahan hukum dan dapat berdampak buruk bagi
kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, sebaiknya dihindari dan
dihindarkan dari praktik perjudian dan pertaruhan yang tidak sah dalam kehidupan
sehari-hari

10. Pemberian Kuasa


1. Definisi

Pemberian kuasa adalah tindakan memberikan kekuasaan atau wewenang kepada


orang lain untuk melakukan tindakan atau membuat keputusan atas nama orang yang
memberikan kuasa. Pemberian kuasa dapat dilakukan secara langsung atau melalui surat
kuasa dan bertujuan untuk memudahkan pelaksanaan tindakan atau pengambilan keputusan
yang sulit atau rumit. Namun, orang yang memberikan kuasa tetap bertanggung jawab atas
tindakan atau keputusan yang diambil oleh penerima kuasa. Menyelenggarakan suatu urusan
ini adalah suatu perbuatan hukum yang akan melahirkan akibat hukum. Kuasa dapat
diberikan dalam suatu akte umum; tulisan di bawah tangan; bahkan dengan sepucuk surat
ataupun lisan. Maknanya dengan apapun bentuknya pemberian kuasa dia adalah mengikat
sejak tercapainya kata sepakat di antara para pihak.

14
Secara umum, surat kuasa tunduk pada prinsip hukum yang diatur dalam Bab Keenam
Belas, Buku III KUH Perdata , sedang aturan khususnya diatur dan tunduk pada ketentuan
hukum acara yang digariskan HIR dan RBg. Untuk memahami pengertian kuasa secara
umum, dapat dirujuk Pasal 1792 KUH Perdata y ang berbunyi : “Pemberian kuasa adalah
suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang
menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan“.5
Bertitik tolak dari ketentuan pasal tersebut, dalam perjanjian kuasa, terdapat dua pihak
yang terdiri dari :

1. Pemberi kuasa atau lastgever

2. Penerima kuasa atau disingkat kuasa, yang diberi perintah atau mandat melakukan sesuatu
untuk dan atas nama pemberi kuasa. Lembaga hukumnya disebut pemberian kuasa atau
lastgeving (volmacht,full power) jika :

1. pemberi kuasa melimpahkan perwakilan atau mewakilkan kepada penerima kuasa untuk
mengurus kepentingannya, sesuai dengan fungsi dan kewenangan yang ditentukan dalam
surat kuasa.

2. Dengan demikian penerima kuasa berkuasa penuh, bertindak mewakili pemberi kuasa
terhadap pihak ketiga untuk dan atas nama pemberi kuasa.

3. Oleh karena itu pemberi kuasa bertanggung jawab atas segala perbuatan kuasa sepanjang
perbuatan yang dilakukan kuasa tidak melebihi wewenang yang diberikan pemberi kuasa.

2. Macam-Macam Kuasa Hukum

Setelah membahas definisi dan pengertian dari pemberian kuasa, maka selanjutnya
ada macam-macam jenis kuasa hukum yang diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Kuasa Umum, diatur dalam Pasal 1795 KUHPerdata. Menurut pasal ini, kuasa umum
bertujuan memberi kuasa kepada seseorang untuk mengurus kepentingan pemberi kuasa,
yaitu:6

5
Laila M. Rasyid, Herinawati, "MODUL PENGANTAR HUKUM ACARA PERDATA", (Sulawesi: Unimal Press, 2015),
hal.49
6
“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M.
Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.6

15
a). Melakukan tindakan pengurusan harta kekayaan pemberi kuasa;

b). Pengurusan itu, meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan pemberi
kuasa atas harta kekayaannya;

c). Dengan demikian titik berat kuasa umum, hanya meliputi perbuatan atau tindakan
pengurusan kepentingan pemberi kuasa. Dengan demikian, dari segi hukum, kuasa umum
adalah pemberian kuasa mengenai kepengurusan, yaitu disebut beherder atau manajer untuk
mengatur kepentingan pemberi kuasa.

2. Kuasa Khusus, diatur dalam Pasal 1795 KUHPerdata. Menjelaskan bahwa pemberian
kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau
lebih. Bentuk inilah yang menjadi landasan pemberian kuasa untuk bertindak di depan
Pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa sebagai pihak principal.

3. Kuasa Istimewa, diatur dalam Pasal 1796 KUHPerdata. Selanjutnya, ketentuan pemberian
kuasa istimewa dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 157 HIR atau Pasal 184 RBg. Jika
ketentuan pasal-pasal ini dirangkai, diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi agar
kuasa khusus tersebut sah menurut hukum sebagai kuasa istimewa. Syarat yang dimaksud
adalah: a). Bersifat limitatif, yaitu terbatas untuk tindakan tertentu yang sangat penting; b).
Harus berbentuk akta otentik, menurut Pasal 123 HIR, surat kuasa istimewa hanya dapat
diberikan dalam bentuk surat yang sah, R. Soesilo menafsirkannya dalam bentuk akta otentik.

4. Kuasa Perantara, diatur dalam Pasal 1792 KUHPerdata dan Pasal 62 KUHD. Kuasa
perantara disebut juga sebagai agen (agent). Dengan kata lain disebut sebagai agen
perdagangan atau makelar. Disebut juga broker atau "perwakilan dagang".

Dalam praktinya, kuasa umum dipergunakan untuk kegiatan sehari-hari seperti


menunjuk seseorang guna mengurus perihal kekayaan kita atau sejenisnya yang dapat dinilai
dengan uang. Sedangkan untuk kuasa khusus adalah kuasa yang lazim dipergunakan ketika
beracara di pengadilan dalam mengurus perkara. Kuasa istimewa sifatnya sangat penting,
hingga harus menggunakan akta otentik, dalam artian pemberian kuasa ini dihadapan pejabat
yang berwenang. Dan terakhir, kuasa perantara sering dipergunakan dalam lapangan bisnis
untuk menunjuk agen, atau perwakilan dagang.

16
3. Hak dan Kewajiban para Pihak Pemberian Kuasa
Hubungan hukum yang terjadi antara pemberi kuasa dan penerima akan menimbulkan
akibat hukum. Akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban para pihak. Kewajiban
penerima kuasa disajikan berikut ini.7
a. Melaksanakan kuasanya dan bertanggung jawab atas segala biaya, kerugian, dan bunga
yang timbul dari tidak dilaksanakannya kuasa itu.
b. Menyelesaikan urusan yang telah mulai dikerjakannya pada waktu pemberi kuasa
meninggal dan dapat menimbulkan kerugian jika tidak segera diselesaikan.
c. Bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan kelalaian-
kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya.
d. Memberi laporan kepada pemberi kuasa tentang apa yang telah dilakukan, serta memberi
perhitungan segala sesuatu yang diterimanya.
e. Bertanggung jawab atas orang lain yang ditunjuknya sebagai penggantinya dalam
melaksanakan kuasanya:
(1) bila tidak diberikan kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya;
(2) bila kuasa itu diberikan tanpa menyebutkan orang tertentu, sedangkan orang yang
dipilihnya ternyata orang yang tidak cakap atau tidak mampu (Pasal 1800 s.d. Pasal 1803
KUH Perdata).

Hak penerima kuasa adalah menerima jasa dari pemberi kuasa. Hak pemberi kuasa
adalah menerima hasil atau jasa dari penerima kuasa. Kewajiban pemberi kuasa adalah
a. memenuhi perjanjian yang telah dibuat antara penerima kuasa dengan pemberi kuasa;
b. mengembalikan persekot dan biaya yang telah dikeluarkan penerima kuasa;
c. membayar upah kepada penerima kuasa;
d. memberikan ganti rugi kepada penerima kuasa atas kerugian yang dideritanya sewaktu
menjalankan kuasanya;
e. membayar bunga atas persekot yang telah dikeluarkan penerima kuasa terhitung mulai
dikeluarkannya persekot tersebut (Pasal 1807 s.d. Pasal 1810 KUH Perdata).

4. Penerima Kuasa Melampaui Batas Wewenangnya


Jika penerima kuasa melampaui batas wewenang yang diberikan kepadanya, maka hal
tersebut merupakan pelanggaran hukum dan bertentangan dengan prinsip-prinsip yang

7
Yulia, "Hukum Acara Perdata", (Sulawesi: Unimal Press), September, 2018.

17
mengatur hubungan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa.8 Tindakan penerima kuasa
yang melampaui batas wewenang tersebut dapat menimbulkan kerugian atau bahkan
merugikan pemberi kuasa.
Dalam situasi seperti ini, pemberi kuasa dapat mengambil tindakan hukum terhadap
penerima kuasa yang melanggar wewenang yang telah diberikan. Tindakan yang dapat
diambil antara lain adalah mencabut kuasa yang telah diberikan, mengajukan gugatan
hukum, atau bahkan melaporkan penerima kuasa ke pihak berwajib jika tindakan yang
dilakukan melanggar hukum. Dalam hal ini, sangat penting bagi pemberi kuasa untuk
menetapkan batas-batas yang jelas mengenai wewenang yang diberikan kepada penerima
kuasa sebelum memberikan kuasa tersebut. Hal ini akan membantu mencegah terjadinya
penyalahgunaan kuasa dan melindungi kepentingan pemberi kuasa.
Akibat hukum dari pelanggaran yang dilakukan oleh penerima kuasa yang melampaui
batas wewenang dapat beragam, tergantung pada sifat dan tingkat keparahan pelanggaran
yang dilakukan. Beberapa akibat hukum yang mungkin terjadi antara lain:
 Pencabutan kuasa: Pemberi kuasa berhak untuk mencabut kuasa yang telah diberikan
kepada penerima kuasa yang melampaui batas wewenang. Pencabutan ini biasanya
dilakukan sebagai tindakan pertama untuk menghentikan tindakan penerima kuasa yang
tidak sah.
 Gugatan hukum: Pemberi kuasa dapat mengajukan gugatan hukum terhadap penerima
kuasa yang melanggar wewenang yang telah diberikan. Gugatan ini dapat diajukan
untuk meminta ganti rugi atau tuntutan hukum lainnya tergantung pada kasusnya.
 Tanggung jawab pidana: Jika tindakan penerima kuasa yang melampaui batas
wewenang yang dilakukan adalah tindakan pidana, maka pihak berwajib dapat
menuntut tanggung jawab pidana terhadap penerima kuasa tersebut.
 Sanksi administratif: Jika penerima kuasa adalah seorang pegawai negeri atau pejabat
publik, maka pelanggaran yang dilakukan dapat mengakibatkan sanksi administratif
seperti penurunan pangkat, pemberhentian sementara, atau pemberhentian dengan tidak
hormat.

Dalam setiap kasus, akibat hukum yang mungkin terjadi akan ditentukan oleh hukum
yang berlaku dan faktor-faktor yang terkait dengan kasus tersebut. Oleh karena itu, sangat
penting untuk memperoleh nasihat hukum dari ahli yang berkompeten jika menghadapi
situasi di mana penerima kuasa melampaui batas wewenang.
8
Suharsono, Anang, "PELAKSANAAN KUASA YANG MELAMPAUI BATAS WEWENANG SEBUAH STUDI KASUS",
Universitas Airlangga, Surabaya, 17 Juli 2013.

18
11. Berakhirnya Peemberian Kuasa
Pasal 1813 KUH perdata, membolehkan berakhirnya perjanjian kuasa secara
sepihak atau unilateral. Ketentuan ini secara diametral bertentangan dengan pasal 1338
KUH perdata ayat 2 yang menegaskan bahwa, persetujuan tidak dapat ditarik atau
dibatalkan secara sepihak tetapi harus didasarkan kesepakatan kedua belah pihak (secara
bilateral”). Hal-hal yang dapat mengakhiri pemberian kuasa menurut pasa 1813 KUH
perdata:
a. Pemberian kuasa menarik kembali secara sepihak

Ketentuan penarikan atau pencabutan kembali kuasa oleh pemberi kuasa diatur lebih lanjut
dalam pasal 1814 KUH perdata dan seterusnya, dengan acuhan:

- Pencabutan tanpa memerlukan persetujuan daripenerima kuasa.

- Pencabutan dapat dilakukan secara tegas dengan bentuk:

1. Mencabut secara tegas dengan tertulis atau

2. Meminta kembali surat kuasa darimpenerima kuasa

• Pencabutan secara diam-diam, berdasarkan pasal 1816 KUH prdata. Caranya, pemberi
kuasa mengangkat atau menujuk kuasa baru untuk melaksanakan urusan yang sama.
Tindakan itu berakibat, kuasa yang pertama, terhitung sejak tanggal pemberian kuasa
kepada kuasa yang baru, ditarik secara diam-diam.9

• Sehubung dengan pencabutan secara sepihak, ada baiknya dilakukan secara terbuka,
dengan cara memb, meritahukannya atau dengan mengumumkannya. Cara yang demikian,
memberi perlindungan hukum kepada pemberi kuasa maupun kepada pihak ketiga, karena
sejak itu, setiap tindakan yang dilakuakan kuasa untuk dan atas nama pemberi kuasa, tidak
sah dan dianggap melawan hukum, sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada
pemberi kuasa. Sebaliknya jika pencabutan tidak terbuka, semua tindakan hukum yang
dilakukannya dengan pihak ketiga yang beritikad baik, tetap mengikat kepada pemberi
kuasa.

b. Salah satu pihak meninggal

Pasal 1813 KUH perdata menegaskan, dengan meninggalnya salah satu pihak dengan
sendirinya pemberi kuasa berakhir demi hukum. Hubungan hukum perjanjian kuasa, tidak
9
Rivo Chairun Siddiq, "ISI SURAT KUASA DAN BATASAN WEWENANG PENERIMA KUASA DI PENGADILAN TATA
USAHA NEGARA", Universitas Ekasakti, Padang, 2021. hal.8

19
berlanjut kepada ahli waris. Jika hubungan itu hendak dilanjutkan oleh ahli waris, harus
dibuat surat kuasa baru. Paling tidak, ada penegasan tertulis dari ahli waris yang berisi
pernyataan, melanjutkan persetujuan pemberin kuasa dimaksud.

c. Penerima kuasa melepas kuasa


Pasal 1817 KUH perdata, memberi hak secara sepihak kepada kuasa untuk
melepaskan kuasa yang diterimanya, dengan syarat;

- Harus memberitahu kehendak pelepasan itu kepada pemberi kuasa;

- Pelepasan tidak boleh dilakukan pada saat yang tidak layak.

Ukuran tentang ini, didasarkan pada perkiraan objektif, apakah pelepasan itu dapat
menimbulkan kerugian kepada pemberi kuasa.

20
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran
Makalah ini penulis selesaikan dengan semaksimal mungkin, dengan
membagikan wawasan dan pengetahuan. Namun demikian penulis menyadari
kekurangan dalam makalah ini, karena makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca guna tersusun
secara sempurna untuk kedepannya.

21
DAFTAR PUSTAKA

22

Anda mungkin juga menyukai