Anda di halaman 1dari 28

PERJANJIAN BERNAMA (HIBAH, PENITIPAN BARANG, PINJAM

PAKAI, PINJAM MEMINJAM, KUASA, PERDAMAIAN)


MAKALAH
Hukum Perikatan (Kontrak)
Untuk Memenuhi Nilai Mata Kuliah yang diampu oleh Bapak Setiawan
Wicaksono, SH., M.Kn.

Oleh
Bagus Dwi Budiman (195020400111021/1)
Nabila Nursanti Septiashari (195020400111051/3)
Stefanus Sandi Mega Bhirawa (195020401111013/6)
Benedictus Maylino L.T. Sihombing (195020407111012/17)
Yohana Virnanda (195020407111018/21)
Eka Mufidatul Hikmah (195020407111051/36)

PROGRAM STUDI EKONOMI, KEUANGAN DAN PERBANKAN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FEBRUARI 2022
KATA PENGANTAR

Rasa syukur penulis panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis untuk bisa
menyelesaikan penulisan makalah kali ini. Penulisan makalah yang berjudul
PERJANJIAN BERNAMA (HIBAH, PENITIPAN BARANG, PINJAM PAKAI,
PINJAM MEMINJAM, KUASA, PERDAMAIAN) ini dimaksud untuk
memenuhi tugas kuliah pada semester enam pada mata kuliah Hukum
Perikatan (Kontrak)
Penulis memahami apabila penulisan kali ini tidak dapat terselesaikan
tanpa dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin
menyampaikan ucapan terimakasih pada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini terutama kepada:
1. Bapak Setiawan Wicaksono, SH., M.Kn. sebagai dosen pengampu mata
kuliah Hukum Perikatan (Kontrak).
2. Segenap anggota kelompok penulis.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini jauh dari kata
sempurna, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun atau
konstruktif sangat diharapkan oleh penulis sehingga makalah ini bermanfaat
bagi siapa pun yang membaca.

Malang, 13 Februari 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................ i


DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 1
1.3 Tujuan ................................................................................................................ 2
1.4 Manfaat .............................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................... 3
2.1 Hibah ................................................................................................................. 3
2.1.1Definisi Hibah.............................................................................................. 3
2.1.2 Dasar hukum hibah ................................................................................... 3
2.1.3 Ketentuan dalam Hibah ............................................................................ 3
2.1.4 Contoh Aktivitas Hibah ............................................................................ 5
2.2 Penitipan Barang ............................................................................................. 6
2.2.1 Definisi Penitipan Barang dan Dasar Hukum ....................................... 6
2.2.2 Jenis Penitipan Barang berdasar KUHPerdata ...................................... 7
2.2.3 Penitipan Barang Murni (Sejati) .............................................................. 7
2.2.4 Sekuestrasi (Penitipan Barang Sengketa) ............................................... 7
2.3 Pinjam Pakai ..................................................................................................... 9
2.3.1 Definisi dan Dasar Hukum Pinjam Pakai ......................................... 9
2.3.2 Ketentuan Umum Pinjam Pakai......................................................... 9
2.3.3 Kewajiban Penerima Pinjaman .......................................................... 9
2.3.4. Kewajiban Pemberi Pinjaman .......................................................... 10
2.3.5. Contoh Surat Perjanjian Pinjam Pakai .......................................... 12
2.4 Pinjam Meminjam (Barang) ........................................................................ 13
2.4.1Perjanjian Pinjam Meminjam Barang ..................................................... 13
2.4.2 Ciri-ciri ....................................................................................................... 13

ii
2.4.3 Unsur-unsur.............................................................................................. 13
2.4.4 Sistematika Perjanjian ............................................................................. 14
2.5 Kuasa ................................................................................................................ 15
2.5.1Definisi Kuasa............................................................................................ 15
2.5.2 Dasar Hukum ........................................................................................... 16
2.5.3 Formalitas yang Diperhatikan ............................................................... 16
2.5.4 Penentuan Pemberian Surat Kuasa ....................................................... 16
2.5.5 Kewajiban dan Tanggung Jawab para Pihak ....................................... 17
2.5.6 Penyusunan Surat Kuasa ........................................................................ 17
2.5.7 Pelimpahan Pemberian Surat Kuasa ..................................................... 18
2.5.8 Berakhirnya Pemberian Kuasa............................................................... 18
2.5.9 Contoh-Contoh Surat Kuasa .................................................................. 19
2.6 Perdamaian ..................................................................................................... 20
2.6.1 Definisi.................................................................................................... 20
2.6.2 Subjek Dan Objek Perdamaian .......................................................... 21
2.6.3 Perdamaian yang Dilarang ................................................................... 21
BAB III PENUTUP ................................................................................................. 23
3.1. Kesimpulan ................................................................................................ 23
3.2 Saran........................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 24

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam kehidupan sehari-hari, orang pada umumnya melakukan
aktivitas yang berhubungan dengan orang lain. Hal tersebut merupakan
bentuk dari perjanjian dimana masyarakat melakukan kegiatan apapun
dengan memberikan perjanjian sebagai dasar utamanya. Perjanjian
hukum menurut pasal 1304 KUHPerdata merupakan suatu bentuk
perjanjian dimana menempatkan seseorang sebagai bentuk jaminan
pelaksanaan dari bentuk perikatan dimana mewajibkan untuk melakukan
sesuatu, jika tidak melakukan hal tersebut. Perjanjian di Indonesia pada
umumnya memiliki suatu bentuk perjanjian dengan nama tertentu
disebut dengan perjanjian bernama (benoemd/nominaat) serta juga ada
perjanjian tidak bernama (onbenoemd overenkomst/innominaat). Secara
khusus topik ini membahas mengenai perjanjian bernama
(benoemd/nominaat).
Perjanjian yang dibuat secara sah merupakan suatu perjanjian yang
mempunyai kesepakatan sebelumnya antara dua pihak, kemudian
memiliki kemampuan/kecakapan dalam melakukan penegakan hukum,
kemudian adanya objek, dan juga adanya kausa yang bersifat mutlak yang
harus terpenuhi agar perjanjian itu bisa menjadi sah dihadapan hukum
(Pasal 1320 KUHPerdata). Perjanjan dalam hal ini perjanjian bernama
mempunyai beberapa jenis yangimana terdapat pada bab 1-18 undang-
undang KUHPerdata dengan jumlah dari perjanjian bernama ini hanya
beberapa yaitu Jual Beli, Tukar Menukar, Sewa Menyewa, Perjanjian
Melakukan Pekerjaan, Persekutuan Perdata, Badan Hukum, Hibah,
Penitipan Barang, Pinjam Pakai, Pinjam Meminjam, Pemberian Kuasa,
Bunga Tetap Abadi, Perjanjian Untung Untungan, Penanggungan Utang
dan Perdamaian. Namun dalam topik kali ini akan membahas lebih
spesifik mengenai Hibah, Penitipan barang, Pinjam pakai, Pinjam
meminjam, Kuasa dan Perdamaian.

1.2 Rumusan Masalah


Berangkat dari latar belakang dan analisa yang telah dijabarkan
sebelumnya, dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut.

1
1. Bagaimana konsep perjanjian bernama dalam hibah?
2. Bagaimana konsep perjanjian bernama dalam penitipan barang?
3. Bagaimana konsep perjanjian bernama dalam pinjam pakai?
4. Bagaimana konsep perjanjian bernama dalam pinjam meminjam?
5. Bagaimana konsep perjanjian bernama dalam kuasa?
6. Bagaimana konsep perjanjian bernama dalam perdamaian?

1.3 Tujuan
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memberikan informasi dan
juga menjelaskan kepada pembaca tentang kegiatan-kegiatan masyarakat
sehari-hari yang terkadang dianggap biasa saja namun memiliki dasar
hukum yaitu Perjanjian (HIBAH, PENITIPAN BARANG, PINJAM
PAKAI, PINJAM MEMINJAM, KUASA, PERDAMAIAN), agar
masyarakat tidak lagi menyepelekan hal tersebut dan terhindar dari
kesalahan yang akan membuat masyarakat terjerat kasus hukum.

1.4 Manfaat
Setelah membaca makalah ini pembaca dapat mengetahui definisi,
dasar hukum, ciri-ciri, apa yang boleh dan tidak boleh dan lain sebagainya
dari kegiatan Perjanjian (HIBAH, PENITIPAN BARANG, PINJAM PAKAI,
PINJAM MEMINJAM, KUASA, PERDAMAIAN). Sehingga pembaca
dapat terhindar dari kasus hukum mengenai perjanjian tersebut.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hibah
2.1.1Definisi Hibah
Berdasarkan pasal 1666 KUHPerdata, penghibahan (dalam
bahasa belanda schenking, bahasa Inggris: donation) merupakan
perjanjian penghibah yang mana semasa hidupnya memberikan suatu
barang atau hak kepemilikannya kepada orang lain secara cuma -
cuma yang mana barang tersebut akan digunakan untuk keperluan si
penerima hibah yang tidak bisa ditarik kembali. Hibah termasuk
perjanjian dengan cuma - cuma. Hal ini ini dikarenakan dalam hibah
hanya ada prestasi dari satu pihak tanpa memerlukan kontra prestasi
sebagai imbalan.
2.1.2 Dasar hukum hibah
Menurut KUH Perdata, dasar hukum penghibahan diatur
sebagai berikut :
1. Hal – hal yang mengatur tentang hibah diatur dalam pasal 1666
sampai dengan pasal 1675 KUHPerdata.
2. Kecakapan dalam memberi dan menerima hibah diatur dalam
pasal 1676 sampai dengan pasal 1681.
3. Pelaksanaan hibah telah diatur didalam pasal 1682 sampai
dengan pasal 1687 KUHPerdata.
4. Sementara itu, hal terkait pencabutan serta pembatalan hibah
diatur dalam pasal 1688 sampai dengan pasal 1693.
2.1.3 Ketentuan dalam Hibah
Berdasarkan KUHPerdata, telah diatur beberapa ketentuan umum
terkait dengan hibah yang diantaranya adalah :
1. Hibah diberikan hanya untuk hal-hal yang sudah ada. Jika ada
hal-hal yang hanya dapat digunakan di masa depan, maka
hibah saja tidak ada gunanya atau batal (Pasal 1667).
2. Pemberi hibah tidak boleh membuat janji bahwa ia tetap
berkuasa untuk menjual atau memberikan kepada orang lain
suatu barang yang termasuk dalam hibah. Hadiah semacam
ini, hanya mengenai barangnya, akan dianggap batal (Pasal
1668).

3
3. Pemberi hibah boleh membuat perjanjian bahwa ia tetap
menikmati manfaat dari barang-barang yang dihibahkannya,
baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, atau bahwa
ia tetap memberikan kenikmatan atau penikmatan hasilnya
kepada orang lain yang dalam hal ini ketentuan-ketentuan Bab
X Buku Kedua Kitab Undang - undang harus diperhatikan
(Pasal 1669).
4. Hibah menjadi batal jika dilakukan dengan syarat bahwa hibah
itu akan melunasi hutang-hutang atau pengeluaran-
pengeluaran lain yang dinyatakan secara tegas dalam akta
hibah atau dalam suatu daftar yang dibubuhkan padanya.
(Pasal 1670)
5. Pemberi Hibah dapat berjanji bahwa dia akan menggunakan
sejumlah uang dari aset yang disumbangkan. Jika ia meninggal
dunia tanpa menggunakan uang sebesar itu, maka yang
dihibahkan tetap untuk penerima hibah (Pasal 1671).
6. Pemberi hibah dapat membuat perjanjian bahwa ia masih
berhak untuk mengambil kembali barang yang telah
diberikannya jika penerima hibah atau ahli warisnya
meninggal terlebih dahulu dari pemberi hibah, tetapi hal ini
tidak dapat diperjanjikan selain hanya untuk kepentingan
pemberi hibah. (Pasal 1672)
7. Akibat dari hak untuk mengambil kembali barang-barang yang
telah dihibahkan adalah bahwa segala pemindahan barang-
barang yang telah dihibahkan itu dianggap batal dan barang-
barang itu dikembalikan kepada si pemberi dan bebas dari
segala beban dan hipotek yang mungkin dititipkan atas
barang-barang tersebut.. (Pasal 1673).
8. Jika ada hukuman karena menyerahkan sesuatu yang
disumbangkan kepada orang lain, si pemberi tidak wajib
menanggungnya. Ketentuan ini juga sangat wajar, karena
hibah merupakan kesepakatan bebas, artinya tidak ada
imbalan atas prestasi yang diperoleh penerima hibah. Pemberi
tidak berkewajiban untuk menikmati dan menanggung cacat
tersembunyi seperti dalam kasus penjual. (Pasal 1674).
9. Pengangkatan ahli waris atau diwariskan dengan wasiat
(wasiat) dengan syarat penerima wasiat dilarang mengalihkan
harta warisan (seumur hidup). Jika hal-hal ini terjadi ketika dia
meninggal, mereka harus memberikan kepada orang lain atau

4
kepada orang yang ditunjuk berdasarkan perjanjian(Pasal
1675)
2.1.4 Contoh Aktivitas Hibah
Salah satu bentuk aktivitas hibah adalah hibah tanah. Dalam
proses pelaksanaan hibah tanah diperlukan kelengkapan data baik
dari data barang tersebut yang pada kali ini berupa tanah, data
penghibah serta penerima hibah. Data tanah yang diperlukan antara
lain :
 PBB asli selama 5 tahun disertai dengan bukti bayar
 Sertifikat tanah
 IMB
 Bukti pembayaran listrik, telepon dan air (Apabila ada)
apabila ada beban hak tanggungan seperti hipotek,
lampirkan sertifikat hak tanggungan atas tanah dan
bangunan itu, dilengkapi dengan surat lunas dan surat
roya asli dari bank.
Setelah dokumen yang diperlukan telah dilengkapi, maka proses
berikutnya dalam hibah tanah dapat dilanjutkan dengan sebagai
berikut :
1. Pembuatan Akta Hibah Oleh PPAT
Pihak-pihak yang berpartisipasi, yaitu pemberi dan penerima,
harus hadir dalam proses pelaksanaan akta hibah, dan
sekurang-kurangnya ada dua orang saksi yang memenuhi
syarat.
2. Akta Hibah didaftarkan ke kantor pertanahan
Setelah PPAT menandatangani sertifikat, langkah selanjutnya
bagi PPAT adalah menyerahkan sertifikat dan dokumen terkait
ke kantor pertanahan untuk pendaftaran dalam waktu 7 hari
setelah penandatanganan PPAT. PPAT kemudian akan
memberitahukan secara tertulis kepada para pihak tentang
hukum yang diajukan ke Kantor Pertanahan. Bentuk, isi, dan
tata cara pengesahan UU PPAT diatur dalam Peraturan
Menteri Pertanian/Kementerian Pertanian 1997 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah dan perubahannya.

5
2.2 Penitipan Barang
2.2.1 Definisi Penitipan Barang dan Dasar Hukum
Konservasi merupakan suatu bentuk aktivitas masyarakat yang
lazim dalam kehidupan sehari-hari. Orang-orang menyimpan barang-
barang tersebut dengan maksud agar mereka dapat dengan mudah
menjaga apa yang mereka miliki tanpa takut kehilangannya.
Masyarakat pada umumnya juga melakukan penitipan barang ini
kepada saudara atau teman yang sudah kita kenal untuk menjaga
barang kita dengan cara menitipkannya kepada mereka bila pemilik
barang sedang berpergian. Namun sekarang masyarakat tidak hanya
bergantung kepada orang yang kita kenal melainkan juga ke orang
yang tidak kita kenal namun sebelumnya sudah menyetujui dari
persyaratan yang sudah disepakati sebelumnya. Namun pada
kenyataannya praktek penitipan barang ini tidak mudah untuk
dilakukan oleh semua orang. Hal ini dikarenakan banyaknya risiko
yang terjadi yang dapat menimbulkan kerugian bagi pemilik barang
apabila tidak dilakukan perjanjian terlebih dahulu.
Secara garis besar Penitipan Barang didefinisikan sebagai suatu
persetujuan dari pihak pertama memberikan barang tersebut kepada
pihak kedua untuk disimpan dan kemudian dikembalikan kembali
kepada pihak pertama dengan wujud yang sama seperti pihak kedua
menerima dari pihak pertama tanpa ada kurang sedikitpun.
Sedangkan pengertian Penitipan barang berdasarkan Pasal 1694
KUHPerdata, Penitipan barang bisa terjadi apabila seorang
mendapatkan barang dari orang lain menggunakan kondisi adanya
perjanjian untuk menyimpan barang tersebut dan kemudian
mengembalikan balik pada keadaan aslinya tanpa ada yang kurang.
Penitipan barang ini bisa dikatakan sebagai perjanjian yang konkret
yang berarti bahwa seseorang telah melakukan perbuatan yang
konkret dimana seseorang menitipkan barangnya pada orang lain.
Dasar hukum dari penitipan barang sendiri sudah diatur dalam
Pasal 1694 KUHPerdata hingga Pasal 1739 KUHPerdata (Burgerlijk
Wetboek voor Indonesië). Pasal-pasal ini memiliki definisi yang mana
merupakan perjanjian penitipan barang, peraturan-peraturan
mengenai perjanjian penitipan barang, dan jenis perjanjian penitipan
barang itu. Pasal-pasal ini mengatur ketentuan-ketentuan dalam
melakukan perjanjian dalam melakukan penitipan barang dalam
melakukan penitipan barang dalam melakukan penitipan barang

6
dalam melakukan penitipan barang dalam melakukan penitipan
barang dalam melakukan peniti This becomes the masyarakat's
hukum in carrying out the kegiatan perjanjian penitipan barang in
order for the masyarakat to be more informed about the perjanjian
penitipan barang that is being carried out.
2.2.2 Jenis Penitipan Barang berdasar KUHPerdata
Terdapat jenis-jenis penitipan barang perjanjian yang dijelaskan
dalam KUHPerdata berkaitan dengan penitipan barang. Jenis yang
pertama yaitu Penitipan Murni atau yang bisa disebut dengan
Penitipan Barang Sejati. Lalu jenis penitipan barang yang kedua
adalah Penitipan Barang Sekestrasi atau dapat disebut juga dengan
Penitipan Barang karena Terpaksa.
2.2.3 Penitipan Barang Murni (Sejati)
Penitipan barang murni atau sejati ini merupakan suatu bentuk
penitipan murni yang dianggap dilakukan secara cuma-cuma apabila
tidak dilakukan perjanjian sebaliknya, menurut Pasal 1696
KUHPerdata. Perjanjian ini akan mencakup penitipan benda bergerak
. Penitipan sukarela barang murni ini hanya dapat dilakukan oleh
orang-orang yang ahli dalam melakukan perjanjian. Jika seorang ahli
membuat perjanjian dan menerima titipan barang milik orang lain
dari orang yang tidak ahli dalam membuat perjanjian, orang yang
menerima barang yang dititip harus tunduk kepada semua kewajiban
yang diikul secara sungguh-sungguh (Pasal 1701 KUHPerdata).
Perjanjian penitipan barang murni ini dapat terjadi apabila:
1. Adanya keinginan sukarela dari yang akan melakukan
penitipan serta adanya persetujuan dari pihak yang akan
menerima barang titipan tersebut (Pasal 1699 KUHPerdata).
2. Adanya keadaan yang mendesak dimana penitipan dilakukan
oleh seseorang yang diakibatkan karena keadaan terpaksa atau
bersifat darurat yang disebabkan karena adanya marabahaya
seperti bencana, kebakaran dan lain-lain yang tidak dapat
diprediksi (Pasal 1703 KUHPerdata).
2.2.4 Sekuestrasi (Penitipan Barang Sengketa)
Penitipan Sekestrasi merupakan suatu bentuk penitipan benda
tertentu yang berada dalam kondisi sengketa atau permasalahan
dengan orang lain. Dalam hal ini penerima titipan akan mengikatkan
diri untuk menyimpan barang tersebut dan kemudian akan

7
mengembalikan barang itu ketika permasalahan atau sengketa itu
sudah selesai atas dasar keputusan Hakim (Pasal 1730 KUHPerdata).
Penitipan barang Sekestrasi ini terjadi dikarenakan:
1. Akibat dari suatu perjanjian bila barang yang berada dalam
kondisi bermasalah atau yang sedang dipersengketakan dapat
diberikan kepada orang lain oleh seseorang atau lebih secara
sukarela (Pasal 1731 KUHPerdata).
2. Atas dasar perintah hakim dimana telah terjadi kesepakatan
atara kedua belah pihak yang sedang berengketa yang
kemudian menunjuk seseorang yang diangkat oleh Pengadilan
(Pasal 1737 KUHPerdata).
Dari kedua jenis penitipan barang ini terdapat perbedaan yang
dapat terlihat. Perbedaan tersebut yaitu :

Titipan Murni Sekuestrasi

Bukan benda sengketa Dilakukan atas barang yang


melainkan barang biasa memiliki kondisi sedang
(Pasal 1696 KUHPerdata) bersengketa (Pasal 1730
KUHPerdata)

Terbatas pada benda Dapat dilaksanakan atas


bergerak saja (Pasal 1696 dasar barang yang bersifat
KUHPerdata) bergerak dan tidak bergerak
(Pasal 1734 KUHPerdata)

Berakhir atas kehendak Berakhir jika permasalahan


dari pihak pemberi titipan sengketa sudah berakhir
dengan pihak penerima (Pasa 1730 KUHPerdata)
titipan (Pasal 1702
KUHPerdata)

Dilakukan secara cuma- Diadakan dengan upah atau


cuma (Pasal 1696 biaya-biaya kerugian (Pasal
1732 KUHPerdata)

8
KUHPerdata) & (Pasal
1698 KUHPerdata)

2.3 Pinjam Pakai


2.3.1 Definisi dan Dasar Hukum Pinjam Pakai
Pinjam pakai telah diatur dalam KUHPerdata tepatnya pada
pasal 1740 hingga pasal 1753. Pengertian pinjam pakai menurut pasal
1740 KUHPerdata adalah suatu perjanjian dimana satu pihak
menyerahkan suatu barang kepada pihak lain untuk dapat
digunakan secara cuma – cuma dengan syarat bahwa barang tersebut
akan dikembalikan setelah digunakan atau setelah melewati batas
waktu oleh pihak penerima barang. Pinjam pakai adalah contoh dari
perjanjian unilateral yang dimana hanya ada satu pihak saja yang
berprestasi yakni pihak yang meminjamkan, sedangkan pihak yang
menerima pinjaman tidak memberikan balas prestasi dan hanya
menggunakannya secara cuma – cuma.
2.3.2 Ketentuan Umum Pinjam Pakai
Adapun ketentuan - ketentuan dalam pinjam pakai antara lain :
1. Hanya dapat diadakan atas barang yang bergerak maupun
tidak bergerak dan tidak habis dalam pemakaiannya.
2. Pinjam pakai bukanlah mengenai penyerahan milik,
sehingga risiko atas benda tersebut tetap menjadi
tanggungan yang meminjamkan.
3. Tidak boleh ada bunga kecuali terdapat persetujuan akan hal
itu.
4. Status kepemilikan benda tersebut tetap berada di tangan
pihak yang meminjamkan (KUHP 1741).
5. Dalam pinjam pakai tidak dapat menggunakan uang
maupun beras serta dalam pengembaliannya pun tidak
diperbolehkan dalam bentuk uang. Ini dikarenakan pokok
perjanjian harus lah segala sesuatu yang dipergunakan orang
dan tidak dapat musnah akibat pemakaiannya (1742 KUHP).
2.3.3 Kewajiban Penerima Pinjaman
Pihak penerima pinjaman memiliki beberapa kewajiban
terhadap barang tersebut, yakni :

9
1. Berkewajiban untuk menyimpan dan merawat barang
pinjaman tersebut. Barang tersebut hanya boleh
digunakan sesuai keperluan yang telah ditentukan dalam
perjanjian. Apabila barang tersebut digunakan
menyimpang dari perjanjian yang telah dibuat maka
pihak peminjam dapat terancam mengganti biaya,
kerugian, dan bunga (1744 KUHP).
2. Bertanggung jawab atas musnahnya barang pinjaman
karena peristiwa yang tidak disengaja, sedangkan hal itu
dapat dihindari oleh si peminjam dengan cara
menggunakan barang miliknya sendiri atau apabila
peminjam tidak memperdulikan barang tersebut di saat
terjadinya peristiwa, maka wajib bagi peminjam untuk
bertanggung jawab (KUHP 1745).
3. Memberi ganti rugi barang atas barang yang telah
musnah sesuai dengan harga taksir yang telah ditentukan
pada saat perjanjian meskipun disebabkan oleh peristiwa
yang tidak disengaja, terkecuali apabila telah dijanjikan
sebaliknya (KUHP 1746).
4. Menyusutnya nilai barang pinjaman yang semata - mata
dikarenakan dari pemakaian serta masih sesuai dengan
tujuan peminjaman barang tersebut dan tidak
dikarenakan oleh kesalahan peminjam maka ini tidak
menjadi tanggung jawab dari si peminjam (KUHP 1747).
5. Bertanggung jawab bersama atas pemakaian barang
apabila terdapat lebih dari satu orang meminjam satu
barang secara bersama - sama. (KUHP 1749).
2.3.4. Kewajiban Pemberi Pinjaman
Pemberi pinjaman pun juga memiliki beberapa kewajiban
terhadap barang yang telah ia dipinjamkan, yaitu :
1. Barang yang telah dipinjamkan tidak bisa diminta
kembali oleh si pemberi pinjaman sebelum habis jangka
waktu yang telah ditetapkan saat perjanjian atau apabila
tidak ada ketentuan waktu yang ditetapkan maka di saat
barang pinjaman tersebut telah dianggap selesai
digunakan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
(KUHP 1750).

10
2. Hanya diperbolehkan untuk meminta kembali barang
yang telah dipinjamkan bila terdapat alasan – alasan yang
mendesak atau terdapat situasi dimana pemberi pinjaman
sangat memerlukan barang tersebut, pengadilan dapat
memaksa peminjam untuk mengembalikan barang
pinjaman kepada pemberi pinjaman. (KUHP 1751).
3. Wajib mengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh
peminjam di saat keadaan yang sangat diperlukan dengan
sifatnya yang mendesak guna menyelamatkan barang
pinjaman tersebut dan peminjam tidak sempat
memberitahukan hal tersebut terlebih dahulu kepada
pemberi pinjaman (KUHP 1752).
4. Pihak pemberi pinjaman bertanggung jawab apabila ada
kerugian yang timbul akibat dari si pemberi pinjaman
yang tidak memberitahukan mengenai kondisi barang
pinjaman yang ternyata memiliki catat yang tersembunyi
(KUHP 1753).

11
2.3.5. Contoh Surat Perjanjian Pinjam Pakai

12
2.4 Pinjam Meminjam (Barang)
2.4.1Perjanjian Pinjam Meminjam Barang
2.4.1.1 Definisi
KUH Perdata Pasal 1741 yang mengatur mengenai pinjam
pakai dan Pasal 1754 yang mengatur mengenai pinjam pakai
berbunyi: “suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan suatu barang kepada pihak yang lainnya untuk
dipakai dengan cuma-cuma, dengan syarat bahwa yang
menerima barang ini, setelah memakainya atau setelah lewat
suatu waktu tertentu akan mengembalikannya”. Objek dari
perjanjian yang dimaksud adalah barang yang dapat digunakan
dalam kehidupan sehari-hari dan sifatnya habis karena
pemakaian. Pemindahan barang dari pemilik barang kepada
orang meminjam tidak menyebabkan hak kepemilikan barang
ikut berpindah. Levering (penyerahan) dalam hal ini tidak ada
kaitannya dengan beralihnya hak milik. Dalam kehidupan
sehari-hari, orang biasa menggunakan istilah pinjam
meminjam. Namun, secara hukum, tindakan tersebut adalah
pinjam pakai. Tindakan pokok dari pinjam pakai dan pinjam
pakai habis itu sama, yaitu ada penyerahan objek dari pemilik
barang kepada yang meminjam untuk jangka waktu tertentu
dan dikembalikan kepada yang meminjamkan.
2.4.1.2 Dasar Hukum
Pinjam pakai diatur dalam Pasal 1740 KUHPerdata hingga Pasal
1753 KUHPerdata. Sampai saat ini belum ada pengaturan yang
khusus perihal pinjam pakai.
2.4.2 Ciri-ciri
Ciri-ciri umum perjanjian pinjam meminjam barang adalah:
1. Merupakan perjanjian timbal balik
2. Merupakan perjanjian pinjam pakai
3. Pengembalian barang dalam jangka waktu tertentu
4. Ciri-ciri khusus perjanjian pinjam meminjam barang adalah:
5. Objeknya berupa barang
6. Barang tidak musnah/habis karena pemakaian
2.4.3 Unsur-unsur
Unsur Esensialia

13
1. Objek berupa barang yang tidak habis karena pemakaian
2. Saat dimulainya peminjaman
3. Saat berakhirnya masa peminjaman
Unsur Naturalia
1. Peminjam bertanggung jawab terhadap musnahnya barang
karena pemakaian tidak sesuai tujuan, lebih lama dari waktu
yang ditentukan, dan peristiwa yang tidak disengaja
2. Peminjam tidak dapat menuntut biaya yang dikeluarkan untuk
penggunaan barang tersebut
Unsur Accidentalia
1. Penyelesaian sengketa
2. Adendum
3. Domisili
2.4.4 Sistematika Perjanjian
 Judul dan nomor akta. Judul adalah bagian akta yang biasa
disebut sebagai kepala akta. Judul harus dapat menjelaskan
tindakan hukum yang akan dilakukan oleh para pihak. Pada
perjanjian pinjam pakai maka judul perjanjian dapat
menggunakan judul “Perjanjian Pinjam Meminjam” atau
“Perjanjian Pinjam Pakai”. Nomor akta dapat dituliskan dalam
berbagai format penulisan. Contoh paling sederhana adalah
menuliskan nomor saja (Nomor: 1/Nomor: 01/Nomor: 001).
Contoh lain adalah penulisan nomor dan tahun (Nomor:
1/2020). Penulisan nomor yang lebih spesifik meliputi nomor,
bulan, tahun dan kode institusi. Contoh: Nomor 1/FH-UB
(nama lembaga)/ 06(bulan)/ 2020 (tahun)
 Pembukaan. Kalimat pembukaan diletakkan di bawah bagian
judul dan nomor. Fungsi utama pembukaan adalah
menunjukkan tanggal dibuatnya perjanjian.
 Komparisi. Komparisi adalah bagian penting dalam perjanjian
karena tidak hanya menunjukkan kecakapan namun juga
kewenangan untuk membuat perjanjian.
 Premis. Premis adalah bagian yang menjelaskan alasan para
pihak untuk melakukan tindakan hukum sesuai yang akan
disepakati.
 Isi kontrak. Isi kontrak berisi hak dan kewajiban para pihak
yang disusun berdasarkan kesepakatan bersama. Pasal 1338

14
KUHPerdata menjadi dasar bahwa segala kesepakatan yang
terjadi di antara para pihak berlaku sebagai undang-undang.
 Penutup. Penutup merupakan bagian akhir dalam perjanjian
kredit. Penutup pada umumnya berisi tentang pernyataan
penutup, penyebutan saksi, tanda tangan, dan materai

2.5 Kuasa
2.5.1Definisi Kuasa
Beragamnya kegiatan manusia dewasa ini membuat seseorang
sering kali menghadapi kesulitan mengurus kepentingan-kepentingan
mereka contohnya pengurusan surat penting atau dokumen, sehingga
mereka harus memberi kuasa ke orang lain sebagai wali kegiatan atas
nama dirinya secara lisan maupun tertulis guna mengurus
kepentingan-kepentingannya. Kegiatan ini mengandung makna
pemberian wewenang kepada pihak sekunder untuk melaksanakan
kepentingan yang tidak bisa dilakukan pihak pertama. Dari deskripsi
singkat tersebut memiliki garis besar definisi kuasa itu sendiri. Lebih
jelasnya pengertian kuasa yaitu daya, wewenang atau kekuatan. Di
Belanda kuasa diistilahkan gezag dan macht sedangkan di Bahasa
Inggris kuasa adalah power. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
memaparkan makna kuasa sebagai “yang berisi pemberian kuasa ke
orang lain guna mengurus sesuatu.”
Indonesia sendiri memiliki lembaga pemberian kuasa yang
berfungsi mempermudah ketidak-hadiran seseorang dalam
melaksanakan perbuatan hukum secara langsung untuk dikuasakan
kepada pihak lain. Pemberian wewenang tersebut jadi bagian dari satu
atau lebih perjanjian, karena pemberian kuasa diberikan akibat
hubungan hukum yang telah ada. Oleh karena itu, dalam praktiknya
ada beberapa jenis pemberian kuasa antara lain:
1. Kuasa yang diberikan pada bawahannya
2. Kuasa yang jadi bagian dari perjanjian atau persetujuan
3. Kuasa yang diberikan dalam menggunakan hak suara
atas saham-saham
4. Kuasa yang diberikan bersamaan disertai suatu amanat
(op-dracht) dan
5. Kuasa menandatangani akta notaris.

15
2.5.2 Dasar Hukum
Pasal 1792 hingga pasal 1819 KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek)
telah mengatur definisi kuasa namun, tak ada satu pasal pun yang
jelas mendefinisikan kuasa. Misalkan pasal 1792 BW hanya
mengatakan pemberian kuasa adalah suatu perjanjain dengan mana
seseorang memberikan kekuasaan pada orang lain. Pemberian kuasa
bisa diterima dalam bentuk lisan maupun tertulis menurut pasal 1793
BW dengan bunyi “pemberian kuasa secara lisan mungkin sah dan
sepanjang tak diatur oleh undang-undang lain. Terdapat dua ragam
sifat pemberian kuasa berdasarkan pasal 1795 KUHPerdata yaitu
kuasa umum dan kuasa khusus.
2.5.3 Formalitas yang Diperhatikan
Melaksanakan pemberian dan penerimaan kausa terdapat beberapa
hal formalitas yang perlu diperhatikan yaitu:
1. Dalam perbuatan-perbuatan hukum tertentu wajib berbentuk
akta notarial, contohnya kuasa pemasangan hipotik (Pasal 1171
KUHPerdata).
2. Adanya cap ibu jari kiri pada surat kuasa wajib mendapatkan
keabsahan dari pejabat yang berwenang contohnya notary,
ketua PN, Walikota atau Bupati.
3. Pembuatan surat kuasa secara internasioanl jika ingin
digunakan di dalam negeri wajib disahkan oleh kedutaan besar
Indonesia di luar negeri tempat orang tersebut membuat.
Apabila tidak ada bisa dilegalisasi oleh pejabat berwenang
negara tersebut kemudian ke Kementerian Hukum dan HAM
Indonesia dan Deparlu negara bersangkutan. Pernyataan ini
diatur dalam (Kep. MA 14 April 1973 No. 208K/Sip/1973).
4. Bagi kuasa lisan, kuasa diam-diam dan kuasa lewat surat biasa,
apabila digunakan dalam kepentingan berperkara di
pengadilan bisa diakui sah apabila kuasa tersebut diakui secara
tegas oleh si pemberi kuasa pada pihak kedua.
2.5.4 Penentuan Pemberian Surat Kuasa
Terdapat beberapa ketentuan dalam memberikan kuasa berdasarkan
jenis, sifat pemberian dan jenis. Jenis kuasa berdasar bentuknya yaitu:
1. Kuasa lisan, biasanya digunakan dalam perbuatan yang tidak
berhubungan dengan aktivitas hukum guna pengalihan hak
dan bisa digunakan dalam perkara perdata di pengadilan.

16
2. Kuasa tertulis, berfungsi untuk aktivitas khusus dan mengacu
pada perundang-undangan.
Berdasarkan jenisnya:
1. Kuasa di bawah tangan, maknanya ialah suratnya dibuat
sendiri oleh para pihak bisa dibuat menjadi beberapa bentuk
disahkan/dibukukan atau hanya ditandatangani para pihak
2. Kuasa notarial, draft kuasa dibuat oleh dasar pemikiran pejabat
notaris ataupun draft standar yang telah banyak digunakan
notaris.
Kuasa berdasarkan sifat pemberian
1. Kuasa umum, kuasa ini meliputi segala urusan pemberi kuasa
yang diformulasikan secara umum yang hanya meliputi
tindakan-tindakan menyangkut pengurusan.
2. Kuasa khusus, pemberian kuasa guna melaksanakan
perbuatan hukum tertentu yang disebutkan secara tegas.
2.5.5 Kewajiban dan Tanggung Jawab para Pihak
Pasal 1807 hingga pasal 1811 BW telah mengatur tentang
kewajiban dan tanggung jawab pemberi kuasa, sedangkan pasal 1800
hingga pasal 1806 BW mengatur kewajiban dan tanggung jawab
penerimaan kuasa.
2.5.6 Penyusunan Surat Kuasa
2.5.6.1 Isi Kuasa
Bagian-bagian surat kuasa untuk berbagai keperluan, baik
perdata maupun pidana terdiri dari beberapa bagian seperti
berikut:
1. Judul;
2. Pembuka akta;
3. Komparisi pemberi kuasa;
4. Komparisi penerima kuasa;
5. Pemberian sifat kuasa;
6. Perbuatan yang dikuasakan;
7. Klausul hak retensi (optional);
8. Pemberian hak substitusi (optional);
9. Penutup akta;
10. Pembubuhan materai; dan

17
11. Tanda tangan/cap jempol para pihak.
2.5.6.2 Teknik Penyusunan
Umumnya pembuatan surat kuasa hanya satu rangkap
tetapi guna memenuhi kebutuhan arsip dalam kepentingan
lembaga surat tersebut bisa dibuat rangkap. Namun, rangkapan
yang tidak dibubuhi materai sebelum ditandatangani tidak
digunakan. Jika terdapat kesalahan dalam kalimat surat kuasa,
bisa dilakukan pembenaran (renvoi) tanpa pihak pembuat surat
kuasa yang baru. Prosesnya dilakukan dengan cara pencoretan
kalimat atau kata yang dianggap kurang tepat atau
mengakibatkan ketidakjelasan. Pembenaran dicatat pada
lembar kosong sebelah tanda coretan dan dibubuhi paraf para
pihak maupun saksi.
2.5.7 Pelimpahan Pemberian Surat Kuasa
Pihak kedua bukan akhir dari pelimpahan kuasa namun bisa
diberikan pada pihak ketikga jika dalam surat kuasa tersebut telah
dipaparkan klausul tentang aktivitas pelimpahan kuasa (substitutie).
Dengan penegasan pengangkatan kuasa dilarang atau tidak disetujui
apabila tidak disebutkan oleh klausul “dengan hak substitusi”.
2.5.8 Berakhirnya Pemberian Kuasa
Penarikan kuasa bisa ditarik kembali jika dikehendaki dan
terdapat alasan, apabila penerima kuasa menolak secara sukarela
maka bisa dipaksa melalui pengadilan dengan mengangkat penerima
kuasa baru guna menjalankan kuasa urusan yang sama. Dalam
praktiknya pengumuman penarikan kembali surat kuasa bisa
diperoleh melalui beberapa surat kabar dan diinformasikan dengan
surat pada pihak/relasi yang berkepentingan.

18
2.5.9 Contoh-Contoh Surat Kuasa

19
2.6 Perdamaian
2.6.1 Definisi
Perjanjian perdamaian atau dalam istilah lain disebut
dengan dading diatur oleh KUH Perdata dalam Buku III tentang
Perikatan bab ke-18 Pasal 1851 hingga Pasal 1864. Perdamaian
sendiri didefinisikan sebagai bentuk persetujuan dari
penyelesaian sengketa agar tidak perlu diperiksa atau
diputuskan oleh hakim dalam putusan pengadilan. Definisi
tersebut selaras dengan Pasal 1851 KUH Perdata yang berbunyi
perdamaian adalah suatu persetujuan yang berisi bahwa dengan
menyerahkan, menjanjikan, atau menahan suatu barang, kedua
belah pihak mengakhiri suatu perkara yang sedang diperiksa
pengadilan atau mencegah timbulnya suatu perkara. Selain itu,
Subekti (1995) mendefinisikan perdamaian sebagai suatu
perjanjian formal. Hal ini dikarenakan perdamaian tersebut
dibentuk atas dasar formalitas atau ketentuan tertentu, yang
mana bila formalitas tersebut tidak dipenuhi maka perdamaian
tidak bersifat sah dan mengikat. Formalitas yang dimaksud yaitu
harus adanya pengorbanan dari para pihak yang bersengketa.
Maka jelas bahwa perdamaian akan tercapai ketika para pihak
yang bersengketa memiliki kesadaran untuk merampungkan
perkara perdatanya melalui jalan perdamaian
Pihak-pihak yang akan melakukan perdamaian harus
membuat bentuk perjanjian perdamaian secara tertulis, sesuai
dengan Pasal 1851 ayat (2) KUH Perdata. Tujuan dari adanya
perdamaian tertulis dimanfaatkan sebagai alat bukti yang akan
diserahkan ke pengadilan dan putusan hakim akan disesuaikan
menurut isi perdamaian yang telah dibentuk. Perdamaian
dikatakan sah menurut hukum apabila memenuhi beberapa
unsur, antara lain:
1. Adanya kesepakatan dari pihak-pihak yang bersengketa;
2. Perjanjian berisi mengenai penyerahan, menjanjikan, atau
penahanan atas suatu barang;
3. Pihak-pihak yang bersengketa setuju untuk mengakhiri
perkara; dan
4. Perkara tersebut sedang diperiksa atau mencegah
timbulnya perkara baru.

20
2.6.2 Subjek Dan Objek Perdamaian
Pasal 1852 kuh perdata mengatur bahwa pihak yang berwenang
melakukan perjanjian perdamaian merupakan mereka yang
berwenang untuk melepaskan apa yang telah dicantumkan dalam
perdamaian tertulis tersebut. Disisi lain, di atur pula pihak-pihak
yang tidak memiliki wewenang dalam melakukan perjanjian
perdamaian, antara lain:
1. Para wali dan pengampu, kecuali jika mereka bertindak
menurut ketentuan-ketentuan dari bab xv dan bab xvii
dalam buku kesatu kuh perdata; dan
2. Kepala-kepala daerah dan kepala lembaga-lembaga
umum. Lain halnya dengan subjek perjanjian
perdamaian, objek dari perjanjian perdamaian telah
diatur dalam pasal 1853 kuh perdata, yang berisi sebagai
berikut.
3. Perdamaian dapat diadakan mengenai kepentingan
keperdataan yang timbul dari suatu kejahatan atau
pelanggaran. Dalam hal ini, perdamaian sekali-kali tidak
menghalangi pihak kejaksaan untuk menuntut kejahatan
atau pelanggaran yang bersangkutan, diatur dalam ab. 23,
25, 28, 30 dan pasal 1356 kuh perdata:
4. Setiap perdamaian hanya menyangkut soal yang
tercantum di dalamnya. Sedangkan pelepasan segala hak
dan tuntutan-tuntutan itu berhubungan dengan
perselisihan yang menjadi sebab perdamaian tersebut,
diatur dalam pasal 1350 kuh perdata.
2.6.3 Perdamaian yang Dilarang
Perdamaian yang dilarang atau yang tidak diperbolehkan telah
diatur dalam Pasal 1859 hingga Pasal 1862 KUH Perdata. Perdamaian
yang dilarang antara lain yaitu:
1. Perdamaian karena adanya kesalahan mengenai pihak yang
bersangkutan;
2. Perdamaian yang dilakukan dengan cara penipuan atau
paksaan;
3. Perdamaian mengenai kesalahan duduk perkara tentang
suatu alas hak yang batal, kecuali pihak-pihak terkait telah
melakukan perdamaian dengan pernyataan tegas;
4. Perdamaian yang diadakan atas dasar surat-surat palsu;

21
5. Perdamaian suatu perkara yang telah diakhiri oleh hakim dan
telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti, namun tidak
diketahui oleh salah satu atau kedua belah pihak; dan
6. Erdamaian suatu perkara yang ternyata salah satu pihak
bersangkutan tidak berhak atas surat-surat atau bukti yang
telah diajukan.

22
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Perjanjian adalah hal yang cukup sering terjadi pada kehidupan sehari -
hari. Sebagai masyarakat dari negara yang berlandaskan hukum sudah
semestinya untuk kita setidaknya mengetahui bagaimanakah ketentuan -
ketentuan yang benar dari perjanjian yang telah dicakup dalam Kitab UU
KUHPerdata sehingga apabila terjadi sesuatu yang tidak diharapkan dalam
perjanjian, kita dapat mengetahui kebenarannya dari sudut pandang hukum.
Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu
orang ataupun lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang lain maupun lebih.
Pasal 1319 KUHPerdata telah membedakan perjanjian menjadi dua yakni
perjanjian bernama dan tidak bernama. Perjanjian Bernama (nominaat) sendiri
merupakan perjanjian yang telah diatur dan diberi nama sendiri karena cukup
sering digunakan pada kehidupan sehari - hari, dikelompokkan menjadi
perjanjian - perjanjian khusus dengan jumlah yang terbatas. Perjanjian bernama
diatur dalam KUHPerdata BAB V hingga BAB XVIII Buku III KUHPerdata.
Dalam KUHPerdata setidaknya ada 15 jenis kontrak nominaat, yakni jual beli,
tukar menukar, sewa menyewa, perjanjian melaksanakan pekerjaan, persekutuan
perdata, badan hukum, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam
meminjam, pemberian kuasa, bunga tetap, perjanjian untung - untungan,
penanggungan utang, dan perjanjian damai.
3.2 Saran
Dalam membuat suatu perjanjian bernama diharapkan masyarakat dapat
mengetahui terlebih dahuliu dasar - dasar dalam membuat suatu perjanjian
seperti hak dan kewajiban dari kedua belah pihak. Dengan demikian masyarakat
dapat terhindar dari kesalahpahaman dalam melakukan sebuah perjanjian atau
dapat mengurangi potensi risiko kecurangan yang dilakukan salah satu pihak
ketika mengadakan suatu perjanjian.

23
DAFTAR PUSTAKA

Amalia, N., Ramziati, R., & Kurniasari, T. W. (2015). Modul Praktek Kemahiran Hukum,
Perancangan Kontrak.
Departemen Pendidikan Dan kebudayaan (1978). Hukum Perdata dan Dagang
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesië) Nomer
1694
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesië) Nomer
1730
Kusumadewi, Amalia Sari et al. (2020). Modul Perancangan Kontrak
Pasal 1740, 1741,1742,1743,1744,1745,1746,1747,1749,1750,1751,1752, dan pasal 1753 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
Prihartatik, A. (2016). PINJAM PAKAI MENURUT KUH PERDATA DAN KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA.
https://layanan.hukum.uns.ac.id/data/RENSI%20file/Data%20Backup/Done%
20To%20BackUp/MAKALAH%20PINJAM%20PAKAI%20MENEURUT%20KU
H%20PERDATA%20DAN%20KITAP%20UNDANG%20(2).docx
S. Nurhikmah, “Cara Melakukan Hibah Tanah dan Bangunan ke Keluarga Beserta
Penjelasan dan Syaratnya,” rumah123.com, 2021.
https://artikel.rumah123.com/cara-melakukan-hibah-tanah-dan-bangunan-ke-
keluarga-beserta-penjelasan-dan-syaratnya-82332 (accessed Mar. 12, 2022).
Syarifah, Nur and Perdana, Reghi (2015) Hukum Perjanjian. In: Hubungan Perikatan,
Perjanjian, dan Kontrak. Universitas Terbuka, Jakarta, pp. 1-68.
Wicaksono, F. S. (2009). Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kuasa. VisiMedia.

Anda mungkin juga menyukai