Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

GUGATAN DALAM SENGKETA TATA USAHA NEGARA

DISUSUN OLEH :

1. M. SUDIYANDONI E. K (NPM. 1580740070)


2. RISKI FEBRIANTI (NPM. 1580740041)

PROGRAM STUDI HUKUM


FAKULTAS ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BENGKULU
2018

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini. Makalah yang bertema “Gugatan Dalam Sengketa
Tata Usaha Negara” ini.
Dalam menyusun makalah ini, penulis menghadapi masalah. Namun berkat
kerja sama yang bagus sebagai usaha yang gigih dan jerih payah penulis serta
bantuan juga bimbingan dari berbagai pihak, maka kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik.
Kami sebagai penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Untuk
itu, penulis menerima kritik dan saran yang membangun dari segala pihak guna
meningkatkan makalah berikutnya. Walaupun penulis tahu masih ada kekurangan
tapi tetap berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca umumnya dan
penulis khususnya.

Bengkulu, Januari 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER ........................................................................................................ i
KATA PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan .......................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Gugatan ...................................................................... 3
B. Bagian-Bagian Gugatan dan Kepala Gugatan ............................. 3
C. Subyek Gugatan dan Identitas Para Pihak dalam Gugatan .......... 6
D. Objek Gugatan ............................................................................. 14

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan .................................................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) bukan negara yang
mengedepankan kekuasaan (machstaat). Artinya segala sesuatu yang
dilakukan di Indonesia wajib didasarkan atas hukum yang berlaku. Selain itu,
makna negara hukum adalah jaminan bahwa warga negara Indonesia akan
mendapatkan perlindungan hukum, terutama ketika warga negara dirugikan
atau diserang hak-hak hukumnya. Termasuk ketika Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang melakukannya. Untuk itulah pemerintah menyediakan
penyaluran ketika warga negara ingin mencari keadilan atas tindakan yang
tidak sesuai yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mempunyai akibat ruginya hak-hak hukum warga negara melalui beracara di
Peradilan Tata Usaha Negara. Tahap pertama dalam beracara di seluruh
lembaga Pengadilan termasuk Pengadilan Tata Usaha Negara adalah
mendaftarkan gugatan secara tertulis melalui Kepaniteraan Pengadilan. Hal
tersebut merupakan suatu keharusan yang dilakukan karena telah diatur di
dalam Undang-Undang, selain itu karena dengan surat gugatanlah Hakim akan
dengan mudah memeriksa perkara. Untuk menyusun suatu surat gugatan
(gugatan tertulis) tersebut haruslah dibutuhkan pengetahuan dan tekhnik-
tekhnik tertentu yang diperoleh dari sumber hukum acara Peradilan Tata
Usaha Negara. karena dengan kesalahan dalam surat gugatan dapat
berimplikasi yang fatal terhadap gugatan yang diajukan. Atas dasar latar
belakang tersebutlah makalah ini disusun selain untuk memenuhi tugas
kelompok dalam mata kuliah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah makalah ini
akan membahas beberapa hal sebagai berikut :

1
1. Apakah yang dimaksud dengan Gugatan dan apakah yang dimaksud
dengan surat gugatan ?
2. Ada berapakah bagian-bagian penting dalam surat gugatan dan apakah yg
dimaksud dengan kepala gugatan ?
3. Siapakah subyek sengketa serta bagaimana cara penulisan identitas para
pihak dalam surat gugatan pada sengketa Tata Usaha Negara ?
4. Apa saja obyek gugatan dalam sengketa Tata Usaha Negara ?

C. Tujuan Penulisan.
Tujuan merupakan ungkapan sasaran-sasaran yang ingin dicapai dalam
makalah ini. Dalam makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1. Memberikan pemahaman mengenai pengertian gugatan dan surat gugatan
dalam Peradilan Tata Usaha Negara.
2. Memberikan pemahaman mengenai bagian-bagian surat gugatan dan
ketentuan terkait kepala surat gugatan yang diajukan dalam sengketa Tata
Usaha Negara.
3. Memberikan pemahaman mengenai subyek atau para pihak yang
bersengketa dan cara penulisan identitas para pihak dalam sengketa Tata
Usaha Negara.
4. Memberikan pemahaman mengenai obyek sengketa dalam Peradilan Tata
Usaha Negara.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Gugatan.
Pengertian gugatan terdapat dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1 Angka 11 UU No. 51 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara. Dalam Pasal dan Angka tersebut dinyatakan bahwa “Gugatan adalah
permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat tata usaha
negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan”. Berdasarkan
rumusan Ketentuan diatas, dapat dipahami bahwa unsur-unsur dari gugatan
adalah sebagai berikut :
1. Berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara untuk
menyatakan batal atau tidak sah suatu KTUN ataupun menuntut untuk
diterbitkan suatu KTUN.
2. Diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara melalui Kepaniteraan perkara
3. Tujuan diajukannya gugatan untuk mendapatkan putusan.
Lebih lanjut, pengaturan terkait gugatan, terdapat ketentuan pula bahwa
gugatan yang diajukan kepada Pengadilan haruslah secara tertulis. Hal
tersebut sesuai dengan isi Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 jo. Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 disebutkan
bahwa Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan
tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan
Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah,
dengan atau tanpa disertai tuntutan gati rugi dan/atau rehabilitasi. Dari pasal
itulah kemudian dikenal Surat Gugatan.

B. Bagian-Bagian Gugatan dan Kepala Gugatan.


Setelah dijelaskan mengenai surat gugatan diatas. Perlu rasanya dibahas
mengenai bagian-bagian dari surat gugatan. hal tersebut penting mengingat

3
masing-masing bagian memiliki fungsi yang berbeda-beda dan mempunyai
celah untuk disangkal (dieksepsi) oleh pihak Tergugat apabila tidak jeli dalam
merumuskannya.
Bagian-bagian surat gugatan sebenarnya telah disinggung di dalam Pasal
56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang berbunyi “Gugatan
harus memuat : a. nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan
penggugat, atau kuasanya; b. nama, jabatan, dan tempat kedudukan tergugat;
c. dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh Pengadilan.”
Dari ketentuan Pasal tersebut dapat kita simpulkan bahwa yang merupakan
bagian-bagian dari surat kuasa adalah Identitas para pihak, dasar gugatan dan
petitum. Hal itulah yang dapat ditangkap dari redaksi Pasal 56 tersebut. Tetapi
dalam referensi lain juga dikatakan bahwa sebelum memasuki identitas para
pihak, surat gugatan juga sebaiknya dilengkapi dengan kepala gugatan. kepala
gugatan mempunyai peran yang cukup penting dalam surat gugatan karena di
dalam kepala gugatan memuat diataranya adalah tempat dan tanggal
pengajuan gugatan, perihal, dan alamat gugatan. tampat dan tanggal gugatan
mempunyai fungsi yang sangat vital, tempat pengajuan gugatan merupakan
hal yang sangat penting menyangkut daerah hukum Pengadilan tempat Perkara
diajukan1. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 yang berbunyi :
1. Ayat (1) Gugatan Sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada
Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan Tergugat.
2. Ayat (2) Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara dan berkedudukan tidak dalam satu faerah Hukum Pengadilan,
Gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
3. Ayat (3) Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah
hukum Pengadilan tempat kediaman Pengugat, maka Gugatan dapat

1
Titik Triwulan, dkk., Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara Indonesia (Jakarta: Kencana, 2011). Hlm 594.

4
diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
Penggugat selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.
4. Ayat (4) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha
Negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah,
Gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat.
5. Ayat (5) Apabila Penggugat dan Tergugat berkedudukan atau berada di
luar negeri, Gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.
6. Ayat (6) Apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat
di luar negeri, Gugatan diajukan kepada Pengadilan ditempat kedudukan
Tergugat. Apabila tempat pengajuan salah maka dapat mempunyai
resikonya adalah dapat dieksepsi oleh pihak Tergugat. Hal tersebut diatur
dalam Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Sedangkan pentingnya tanggal pengajuan gugatan berkaitan erat dengan
masa waktu pengajuan gugatan. mengenai tenggang waktu pengajuan
gugatan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 yang berbunyi “Gugatan dapat diajukan hanya dalam
tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau
diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara”.
sehingga tanggal pada gugatan dapat dilihat apakah gugatan yang diajukan
telah lewat dari masa pengajuan gugatan atau belum. Apabila ternyata
tanggal pengajuan gugatan telah melewati masa pengajuan gugatan yang
ditentukan oleh Undang-Undang, maka hal tersebut mempunyai resiko
kemungkinan tidak diterimanya gugatan atau gugatan dinyatakan tidak
berdasar oleh Majelis Hakim berdasarkan Pasal 62 ayat (1) point E yang
menyatakan “Dalam rapat permusyawaratan, Ketua Pengadilan berwenang
memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan
pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan
tidak diterima atau tidak berdasar, dalam hal :
a. pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang
Pengadilan;

5
b. syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak
dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberi tahu dan
diperringatkan;
c. gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak;
d. apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat;
e. gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.”
Perihal gugatan penting untuk mengetahui apa yang disengketakan dan
diajukan untuk diperiksa oleh Penggugat.
Di dalam kepala surat gugatan, alamat kantor PTUN atau PTTUN juga
harus ditulis secara lengkap termasuk kode posnya walaupun mungkin
kotanya berbeda.
Misalnya: Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya Jalan … No… di
Sidoarjo Kode Pos ……Tentang hal ini harus disesuaikan dengan penyebutan
yang telah ditentukan dalam UU No. 19 Tahun1960 dan Keppres No. 52 tahun
1990.

C. Subyek Gugatan dan Identitas Para Pihak dalam Gugatan.


1. Pihak Penggugat.
Seperti halnya pada pemeriksaan pada sidang pengadilan lainnya di
lingkungan kekuasaan kehakiman, para pihak yang bersengketa dalam
peradilan Tata Usaha Negara disebut dengan Penggugat dan Tergugat.
Ketentuan mengenai para pihak dalam Peradilan Tata Usaha Negara diatur
di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004. Di dalam pasal 53 Undang-Undang tersebut
dikatakan bahwa “Orang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat
mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang
berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu
dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti
rugi dan atau rehabilitasi.” Dari ketentuan pasal tersebut dapat diketahui

6
bahwa yang dapat bertindak sebagai penggugat dalam Peradilan Tata
Usaha Negara adalah :
a. Orang yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan
Tata Usaha Negara;
b. Badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh
suatu Keputusan Tata Usaha Negara.
Jadi, pada pemeriksaan di sidang pengadilan di lingkungan Peradilan
Tata Usaha Negara tidak dimungkinkan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara bertindak sebagai Penggugat. Memang, sebelum berlakunya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara masih dimungkinkan bertindak sebagai penggugat, tetapi semenjak
berlakunya Undang-Undang tersebut hal tersebut sudah tidak
dimungkinkan lagi. Hanya saja menurut Para Ahli hukum, Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) dapat bertindak sebagai penggugat dalam sengketa
Tata Usaha Negara, tetapi hanya terbatas pada permasalahan sertifikat
tanah, karena alas hak dari gugatan adalah hak keperdataan dari BUMN
tersebut.
Berapa banyak orang ataupun badan hukum perdata tidak
dipermasalahkan untuk maju sebagai penggugat dalam Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara, selain itu juga apakah orang atau badan
hukum perdata yang dituju ataupun tidak dituju oleh Keputusan Tata
Usaha Negara yang diselenggarakan juga dapat menjadi penggugat,
asalkan kesemuanya mempunyai unsur yang sama, yaitu merasa dirugikan
kepentingannya oleh Keputusan Tata Usaha Negara. Kepentingan yang
dimaksud dalam rumusan pasal tersebut menurut Indroharto harus
mengandung ketentuan sebagai berikut :
a. Menunjuk kepada nilai yang harus dilindungi oleh hukum.
Nilai-nilai yang harus dilindungi oleh hukum menurut Indroharto
ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut :

7
1) Kepentingan dalam kaitannya yang berhak menggugat.
Atas dasar yurisprudensi peradilan perdata yang ada sampai
sekarang, kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum itu baru
ada ketika kepentingan itu jelas :
a) Kepentingan itu ada hubungannya dengan penggugat sendiri;
b) Kepentingan itu harus bersifat pribadi;
c) Kepentingan itu harus bersifat langsung;
d) Kepentingan itu secara objektif dapat ditentukan, baik
mengenai luas maupun mengenai intensitasnya.
2) Kepentingan dalam hubungannya dengan Keputusan Tata Usaha
Negara yang bersangkutan. Artinya, penggugat harus dapat
menunjukkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang
digugatnya itu merugikan dirinya sendiri secara langsung.
b. Kepentingan proses, artinya apa yang hendak dicapai dengan
melakukan suatu proses gugatan yang bersangkutan. Maksudnya
adalah, bahwa tujuan yang hendak dicapai dengan berproses adalah
terlepas dari kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum. Jadi,
berproses yang tidak ada tujuan apa-apa harus dihindarkan, tidak
diperbolehkan. Demikian pendapat Indroharto tentang apa yang
dimaksud dengan “kepentingan” dalam Pasal 35 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004.2
2. Pihak Tergugat.
Tergugat dalam sengketa Peradilan Tata Usaha Negara terdapat
dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009. Dalam Pasal tersebut disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada
padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau

2 R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Jakarta: Sinar Grafika,

2013). Hlm. 59-62.

8
badan hukum perdata. Yang dimaksudkan “wewenang” dalam Pasal
tersebut adalah wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, jadi wewenang dalam pengertian hukum publik. Lalu dari
pengertian dalam Pasal tersebut, apakah kriteria agar Badan atau Pejabat
dapat dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, telah
dijelaskan dalam Bab 3 tentang Keputusan Tata Usaha Negara. Dari
ketentuan Pasal 1 angka 6 tersebut dapat diketahui bahwa sebagai
Tergugat dibedakan sebagai berikut :
a. Badan Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan Tata Usaha
Negara berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang
dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum
perdata.
b. Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan Tata Usaha
Negara berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang
dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum
perdata.
Berdasarkan rumusan Pasal 1 angka 6 tersebut, yaitu dengan
perumusan “berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang
dilimpahkan kepadanya”, maka untuk menentukan Badan Usaha atau
Pejabat yang menjadi Tergugat dalam sengketa Tata Usaha Negara, perlu
terlebih dahulu diperhatikan jenis dari wewenang Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara pada waktu mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara,
apakah atribusi, pemberi kuasa (mandat), atau pelimpahan wewenang
(delegasi).
Dengan memperhatikan apa yang dimaksud dengan masing-masing
jenis wewenang tersebut, Mahkamah Agung memberikan petunjuk kepada
Kepala Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan Kepala Pengadilan Tata
Usaha Negara sebagai berikut :
a. Jika wewenang yang diberikan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
adalah wewenang atribusi atau wewenang delegasi maka yang menjadi
Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang

9
memperoleh wewenang tersebut untuk mengeluarkan Keputusan Tata
Usaha Negara yang disengketakan.
b. Jika wewenang yang diberikan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
adalah wewenang pemberi kuasa (mandat), maka yang menjadi
Tergugatnya adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha yang memberikan
wewenang kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan.3
3. Pihak Intervensi.
Dalam proses penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang
sedang berlangsung, selain Penggugat danTergugat, kadang-kadang
terdapat pihak ketiga yang mempunyai kepentingan terhadap penyelesaian
sengketa Tata Usaha Negara tersebut, sehingga pihak ketiga tersebut
diberikan kesempatan oleh Undang-Undang untuk ikut serta dalam
penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung
tersebut. keikut sertaan pihak ketiga ini, dalam istilah kepustakaan hukum
disebut intervensi. Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,
intervensi diatur dalam Pasal 83 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
yang menentukan :
a. Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan
dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik
atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan maupun atas
prakarsa Hakim, dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara dan
bertindak sebagai :
1) Pihak yang membela haknya, atau
2) Peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang
bersangkutan.
b. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikabulkan
atau ditolak oleh Pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam
berita acara sidang.

3 Ibid., hlm. 65-71.

10
c. Permohonan banding terhadap putusan Pengadilan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan tersendiri, tetapi harus
bersama-sama dengan permohonan banding terhadap putusan akhir
dalam pokok sengketa.
Apa yang dimaksud dengan “kepentingan”dalam Pasal 83 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 adalah sama dengan apa yang
dimaksud dengan “kepentingan” dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.
Dalam masalah tenggang waktu yang harus diperhatikan apabila
pihak-pihak diluar Penggugat dan Tergugat yang merasa dirugikan
kepentingannya ingin masuk dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha
Negara, Mahkamah Agung selaku Pemegang Kekuasaan Tertinggi dalam
Kekuasaan Kehakiman memberikan petunjuk kepada Kepala Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara dan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara,
bahwa gugatan intervensi dapat diajukan paling lambat sebelum
pemeriksaan saksi-saksi, hal mana untuk menghindari pemeriksaan
persiapan yang harus diulang lagi.
Mengenai prakarsa keikutsertaan pihak ketiga dalam proses
penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung, dari
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 dapat diketahui bahwa pihak ketiga tersebut bertindak :
a. Atas prakarsa sendiri.
Pihak ketiga atas prakarsa sendiri ikut serta dalam proses
penyelesaian perkara Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung
untuk mempertahankan dan membela hak dan kepentingannya agar ia
jangan sampai dirugikan oleh putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
yang sedang berlangsung.

11
b. Atas prakarsa Hakim.4
Mengenai keikutsertaan pihak ketiga atas prakarsa Hakim
kedalam proses penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang sedang
berlangsung, Mahkamah Agung telah memberikan petunjuk sebagai
berikut :
1) Sebaiknya sebelum Hakim mengeluarkan penetapan dalam putusan
selanya yang bermaksud menarik pihak ketiga atas inisiatif Hakim,
perlu yang bersangkutan dipanggil lebih dahulu dan diberi
penjelasan apakah ia bersedia masuk dalam perkara yang sedang
diperiksa.
2) Pihak ketiga yang bukan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang bergabung dengan pihak Tergugat Asal, seyogyanya
berkedudukan sebagai saksi yang menyokong Tergugat, karena ia
mempunyai kepentingan yang paralel dengan Tergugat Asal dan ia
tidak dapat berkedudukan sebagai pihak Tergugat sesuai ketentuan
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Selain keikut sertaan pihak ketiga dalam proses penyelesaian
sengketa Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung atas prakarsa
pihak ketiga sendiri dan atas prakarsa Hakim, dalam penjelasan Pasal
83 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dijelaskan
bahwa adakalanya pihak ketiga juga dapat ditarik untuk masuk dalam
proses penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang sedang
berlangsung atas inisiatif atau permintaan salah satu pihak sebagai
Penggugat II Intervensi atau Tergugat II Intervensi5.
c. Identitas Para Pihak dalam Surat Gugatan.
Penggugat dalam upaya mempertahankan haknya dalam
sengketa dengan mengajukan perkaranya (gugatannya) kepada Majelis
Hakim sidang Pengadilan Tata Usaha Negara diwajibkan untuk

4 Ibid., hlm. 76-79.


5 Ibid., hlm. 82.

12
menjelaskan gambaran perkaranya secara tertulis dalam bentuk surat
gugatan.
Dalam proses penyelesaian perkara, surat gugatan merupakan hal
yang sangat penting. hal tersebut dikarenakan bahwa surat gugatan
mempunyai beberapa fungsi, diantaranya adalah agar mempermudah
majelis Hakim dalam memeriksa perkara tersebut, terutama dalam
acara pembuktian. Selain itu surat gugatan juga berfungsi
mempermudah pihak tergugat untuk memberikan jawaban dan
bantahannya terhadap sengketa yang terjadi.
Dalam surat gugatan ada beberapa hal yang penting yang harus
diperhatikan dalam pembuatannya. Hal tersebut dimaksudkan agar
surat gugatan tersebut tidak terkena eksepsi (tangkisan) dari pihak
tergugat atau penolakan dari majelis Hakim yang memeriksa perkara
tersebut. Salah satu hal yang penting dalam surat gugatan tersebut
adalah penulisan identitas para pihak yang bersengketa. Dalam format
surat gugatan tersebut terdapat tiga identitas para pihak, yaitu pihak
Penggugat, Tergugat dan Intervensi (apabila ada).
Penulisan identitas para pihak telah dijelaskan dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 dalam Pasal 56 ayat (1) bahwa identitas
penggugat yang harus ditulis atau dijelaskan dalam surat gugatan
diantaranya adalah Nama Penggugat, Kewarganegaraan Penggugat,
Tempat Tinggal Penggugat, dan Pekerjaan Penggugat atau kuasanya.
Nama dan domisili penggugat dalam identitas para pihak merupakan
hal yang penting, karena dari hal tersebutlah dapat diketahui
kepentingan (langsung dan tidak langsung) penggugat terhadap obyek
sengketa. Selain itu juga untuk mengetahui apakah penggugat
merupakan Badan Hukum Perdata atau tidak.
Khusus mengenai sengketa kepegawaian domisili penting untuk
mengetahui kesesuaian domisili dengan kompetensi PTUN. Sedangkan
identitas Tergugat hanya ditulis Nama Tergugat , Jabatan Tergugat dan
Tempat Kedudukan Tergugat saja. Nama Instansi atau Badan atau

13
Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat harus secara jelas disebutkan
dalam surat gugatan yaitu terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara mana gugatan tersebut dialamatkan yakni yang mengeluarkan
Keputusan yang menjadi obyek sengketa.[6] Apabila identitas para
pihak tidak ditulis seperti yang diatur dalam Pasal 56 ayat (1) seperti
diatas, maka surat gugatan tersebut rawan terkena eksepsi dari
Tergugat sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 77 dalam Undang-
Undang tersebut.

D. Objek Gugatan
Pembahasan berikutnya setelah pembahasan mengenai pengertian
gugatan, kepala gugatan dan identitas para pihak adalah obyek gugatan, yang
mana obyek gugatan tersebut merupakan bagian ketiga dari surat gugatan
setelah identitas para pihak. Pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
dikenal ada dua objek yang dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara,
yaitu :
1. Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)
Menurut UU Nomor 5 tahun 1986 tentang pasal 1 angka (3) tentang
Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan bahwa KTUN adalah
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi
tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan
final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata6.
Jika di uraikan apa yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha
Negara, maka akan di temukan unsur-unsurnya yaitu:
a. Bentuk penetapan itu harus tertulis
Menurut Pasal 1 angka 3 UU No.5 Tahun 1986 (Pasal 1 angka 9
UU No. 5 tahun 1986 jo. UU No. 51 Tahun 2009) menyebutkan bahwa

6 SF Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara (Yogyakarta: Liberty, 2003). Hlm. 69.

14
istilah penetapan tertulis terutama menunjuk kepada isi dan bukan
bentuk kepada bentuk keputusan yang di keluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan ini diharuskan tertulis, namun
yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat surat
keputusan pengangkatan dan sebagainya.
Lebih lanjut pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa sebuah memo
atau nota akan merupakan suatu keputusaan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara apabila sudah jelas: pertama, badan atau pejabat tata
usaha mana yang mengeluarkanya, kedua, maksud serta mengenai hal
apa isi dari memo atau nota itu, ketiga, pada siapa memo atau nota itu
ditujukan dan apa yang di tetapkan di dalamnya.
b. Ia dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara;
Menurut pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun 1986 (pasal 1 angka 8
UU No. 5 tahun 1986 jo. UU No. 51 tahun 2009) yang dimaksud
dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau
pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Badan atau pejabat tersebut mempunyai wewenang untuk
melaksanakan urusan pemerintahan yang diperoleh dengan cara
atribusi, delegasi atau mandat. Selanjutya dalam Pasal 1 angka 1
disebutkan bahwa “urusan pemerintahan” adalah kegiatan yang
bersifat eksekutif dalam artian bukan kegiatan yang legislatif atau
yudikatif.
Menurut pasal 1 angka 2 UU No. 1986 (pasal 1 angka 8 UU No.
5 tahun 1986 jo. UU No. 51 tahun 2009) menyebutkan bahwa
peraturan perundang-undangan terdiri dari: Pertama, peraturan yang
bersifat mengikat secara umum yang di keluarkan oleh Badan
Perwakilan rakyat bersama pemerintah, baik di tingkat pusat maupun
daerah. Kedua, keputusan badan atau pejabat tata usaha Negara yang
bersifat mengikat umum, baik di tingkat pusat atau di tingkat daerah.

15
Sedangkan menurut pasal 8 ayat (1) UU No. 12 tahun 2011
mencakup peraturan yang di tetapkan oleh MPR, DPR, DPD, MA,
MK, BPK, KY, BI, Menteri, Badan, Lembaga atau Komisi yang di
bentuk dengan Undang-undang atau peraturan pemerintah atas perintah
Undang-undang, DPRD Peovinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten atau
Kota, Bupati atau Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
c. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Oleh penjelasan pasal 1 angka 3 UU No. 5 tahun 1986 (pasal 1
angka 9 UU No. 5 tahun 1986 jo. UU No. 51 tahun 2009) di sebutkan
bahwa yang di maksud dengan “tindakan hukum tata usaha Negara”
adalah perbuatan hukum badan atau pejabat tata usaha Negara yang
bersumber pada ketentuan hukum tata usaha Negara yang dapat
menimbulkan hak dan kewajiban pada orang lain.
Dengan tindakan hukum Tata Usaha Negara adalah tindakan
dari badan atau pejabat tata usaha Negara yang dilakukan atas dasar
perturan perudang-undangan yang berlaku yang menimbulkan akibat
hukum mengenai urusan pemerintahn terhadap seseorang atau badan
hukum perdata.
Karena tindakan hukum dari badan atau pejabat tata usaha
Negara tersebut atas dasar perundang-undangan menimbulkan akibat
hukum mengenai urusan pemerintahan, maka dapat dikatakan tindakan
hukum dari badan atau pejabat tata usaha Negara itu selalu merupakan
tindakan hukum publik sepihak.
d. Bersifat Konkret, Individual dan final;
Menurut penjelasan pasal 1 angka 3 UU No. 5 tahun 1986 ini yaitu:
1) Bersifat konkret, artinya objek yang di putuskan dalam Keputusan
Tata Usaha Negara idak abstrak, tetapi berwujud, tertent, atau
dapat di tentukan, umpamanya keputusan mengenai pembongkaran
rumah si A, izin bagi usaha bagi si B, dan pemberhentian bagi si A
sebagi pegawai negeri.

16
2) Bersifat individual, artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak
di tunjukan untuk umum, tetapi tertentu, baik alamat maupun hal
yang dituju. Kalau yang dituju lebih dari seorang, maka tiap-tiap
nama oaring yang terkena keputusan itu disebutkan, umpama
keputusan tentang perbuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran
menyebutkan nama-nama yang terkena keputusan tersebut.
3) Bersifat final, artinya sudah definitive dan karenanya dapat
menimbilkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan
persetujuan instansi atasa atau instansi lain belum bersifat final,
karena belum dapat menimbulkan suatu hak dan kewajiban pada
pihak yang bersangkutan, umpamanya keputusan pengangkatan
seorang pegawai negeri memerlukan persetujuan dari Badan
Kepegawaian Negara.
e. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Yang dimaksud dengen “menimbulkan akibat hukum” adalah
menimbulkan akibat hukum tata usaha Negara, karena penetapan
tertulis yang di keluarkan oleh badab atau pejabat tata usaha Negara
yang menimbulkan akibat hukum tersebut adalah berisi tindakan hkum
tata usaha Negara.
Akibat hukum tata usaha Negara tersebut dapat berupa:
1) Menguatkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang
telah ada (diclaratoir), misalnya surat keterangan dari pejabat
pembuat akta tanah yang isinya menyebutkan antara A dan B
memang telah terjadi jual beli tanah atau surat keterangan dari
kepala desa yang isinya menyebutkan tentang asal-usul anak yang
akan nikah.
2) Menimbulkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang
baru (Constitutief), misalnya keputusan jaksa agung tentang
pengangkatan calon pegawai sipil atau keputusan menteri
perindustrian dan perdagangan yang isinya menyebutkan suatu

17
Perseroan Terbatas di berikan izin untuk mengimpor suatu jenis
barang.
3) (a) Menolak untuk menguatkan hubungan hukum atau keadaan
hukum yang telah ada, misalanya keputusan Jaksa Agung tentang
penolakan untuk mengangkat calon Pegawai Negari Sipil atau
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang penolakan
permohonan perpanjangan Hak Guna Usaha.
(b) Menolak untuk menimbulkan hubungan hukum atau keadaan
hukum yang baru, misalnya keputusan jaksa agung tentang
penolakan untuk mengangkat calon Pegawai Negari Sipil atau
keputusan mentri perindustrian dan perdagangan tentang penolakan
permohonan dari suatu Perseroan Terbatas untuk mengimpor suatu
barang.
2. Fiktif Negatif ( yang dianggap sama dengan KTUN)
Disamping KTUN, terdapat satu lagi objek yang dapat di gugat di
Pengadilan Tata Usaha Negara yaitu Fiktif Negatif. Fiktif Negatif ini tidak
ada wujudnya atau abstrak. Abstrak disini maksudnya adalah tidak
berbentuk Surat KTUN, hal ini terjadi apabila Badan atau Pejabat TUN
tidak mengeluarkan SK yang dimohonkan kepadanya oleh Penggugat,
sedang hal itu menjadi kewajibannya maka hal tersebut dianggap sama
dengan KTUN. KTUN ini dikenal dengan istilah Fiktif Negatif yang juga
merupakan Objek gugatan yang merupakan kompetensi Peradilan Tata
Usaha Negara. Pengaturan mengenai Fiktif Negatif terdapat dalam Pasal 3
UU No. 5 Tahun 1986 sebagai berikut :
a. Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan
keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut
disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
b. Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan
keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana
ditentukan data peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat,

18
maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah
menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
c. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak
menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya
permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan7.

7
Ibid., hlm. 55.

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan.
Kesimpulan yang dapat kita ambil dari makalah ini adalah bahwa di
dalam Peradilan Tata Usaha Negara ketika terdapat orang atau Badan Hukum
Perdata yang merasa dirugikan haknya oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara
dengan cara tertulis maupun lisan yang akan dituangkan di dalam surat
gugatan. Gugatan pada umumnya memuat beberapa bagian penting
diantaranya adalah kepala surat, identitas para pihak, dan obyek sengketa yang
dijelaskan secara rinci dan jelas. Bahwa para pihak yang bersengketa dalam
Peradilan Tata Usaha Negara dapat ditempatkan sebagai Penggugat, Tergugat,
dan Intervensi. Dalam surat gugatan para pihak yang bersengketa diwajibkan
untuk menyebutkan identitas meliputi : Penggugat harus disebutkan Nama
Penggugat, Kewarganegaraan Penggugat, Tempat Tinggal Penggugat, dan
Pekerjaan Penggugat atau kuasanya, dan Tergugat harus disebutkan Nama
Tergugat , Jabatan Tergugat dan Tempat Kedudukan Tergugat. Hal tersebut
telah ditetapkan di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Pasal 56 ayat
(1).
Dalam sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut pastilah
terdapat obyek sengketa yang melatarbelakangi terjadinya sengketa. Obyek
sengketa dalam Peradilan Tata Usaha Negara yaitu Keputusan Tata Usaha
Negara (KTUN) yang mana diatur dalam Pasal 1 ayat 2 dan 3 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009. dan
Obyek Fiktif Negatif ( yang dianggap sama dengan KTUN) yang diatur dalam
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.

20
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Rozali. 2002. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada..

Harahap, Zairin. 1997. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.

Marbun, SF. 2003. Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta: Liberty.

Wiyono, R. 2014. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Sinar
Grafika.

Anda mungkin juga menyukai