Di susun oleh
Reskiya jumita
TLM22023
A/1
Di susun oleh
Reskiya jumita
TLM22023
A/1
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Terdapat banyak ungkapan yang dapat di pakai untuk menggambarkan pengertian korupsi,
meskipun tidak seutuhnya benar. Akan tetapi tidak terlalu menjauh dari hakikat dan pengertian
korupsi itu sendiri. Ada sebagian yang menggunakan istilah “ikhtilas” untuk menyebutkan prilaku
koruptor, meskipun dalam kamus di temukan arti aslinya yaitu mencopet atau merampas harta
orang lain.
Realitanya praktikal korupsi yang selama ini terjadi ialah berkaitan dengan pemerintahan
sebuah Negara atau public office, sebab esensi korupsi merupakan prilaku yang menyimpang dari
norma-norma yang berlaku di pemerintahan yang terletak pada penggunaan kekuasaan dan
wewenang yang terkadung dalam suatu jabatan di sau pihak dan di pihak lain terdapat unsure
perolehan atau keuntungan, baik berupa uang atau lainnya. Sehingga tidak salah apabila ada
yang memberikan definisi korupsi dengan ungkapan “Akhdul Amwal Hukumah Bil Bathil” apapun
istilahnya, korupsi laksana dunia hantu dalam kehidupan manusia. Mengapa saya
mengungkapkan dunia hantu, sebab dunia hantu merupakan dunia yang tidak tampak wujut
jasadnya, akan tetapi hanya dapat dirasakan dampaknya. Dunia hantu merupakan sebuah ilusi-
fantasi yang mengimplikasikan terhadap dunia ketidak jujuran, kebohongan, dan hilangnya
sebuah kepercayaan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian korupsi menurut islam
2. Dalil larangan korupsi
3. Hukuman terhadap koruptor
4. Cara pemberantasan korupsi menurut islam
5. Korupsi menurut pandangan Muhammadiyah
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
sebuah dosa atau kesalahan tak terpisahkan pada dasarnya. Ini dibedakan dari malum
prohibitum, yang mana sebuah kesalahan hanya dikarenakan ia dilarang (Malum in se is
a Latin phrase meaning wrong or evil in itself. The phrase is used to refer to conduct
assessed as sinful or inherently wrong by nature, independent of regulations governing the
conduct4 It is distinguished from malum prohibitum, which is wrong only because it is prohibited).
Contohnya seperti pembunuhan dan pencurian.
Secara umum masyarakat di Indonesia memahami korupsi sebagai suatu tindakan yang
merugikan Keuangan Negara. Namun berdasarkan pengertian yang terdapat pada Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dijumpai 30 jenis tindak pidana korupsi.
Dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disebutkan,
pengertian tindak pidana korupsi adalah: “Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara”.
Secara garis besar ketiga puluh jenis tindak pidana korupsi tersebut intinya dikelompokkan
menjadi tujuh yaitu; 1) kerugian keuangan negara, 2) suap-menyuap, 3) penggelapan dalam
jabatan, 4) pemerasan, 5) perbuatan curang, 6) benturan kepentingan dalam jabatan, dan 7)
gratifikasi.5 Untuk jenis yang ketujuh yaitu gratifikasi diatur dalam pasal 12B Ayat 1 Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Yang dimaksud
dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian
uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Garatifikasi
tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Deskripsi mengenai gratifikasi
tersebut bila dicermati masih umum dan mutlak, ada yang netral (boleh) dan yang terlarang. Dan
supaya jelas kapan sebuah gratifikasi itu dianggap menjadi kejahatan korupsi, perlu dilihat
rumusan Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 yaitu setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan
4
Istilah atau term korupsi secara eksplisit tidak terdapat dalam Islam (Al- Qur’an-Hadits atau
Syar’i). Namun demikian, Islam mengemukakan istilah dan konsep lain yang mirip dan identik
dengan istilah korupsi. Terdapat dua istilah yang sering diangkat terkait dengan istilah
korupsi, yaitu istilah ghulul dan risywah. Pada uraian selanjutnya akan dideskripsikan mengenai
kedua istilah tersebut.
Islam membagi Istilah Korupsi kedalam beberapa Dimensi. Yaitu risywah (suap), saraqah
(pencurian) al gasysy (penipuan) dan khianat (penghianatan). Yang pertama, korupsi dalam
dimensi suap (risywah) dalam pandangan hukum Islam merupakan perbuatan yang tercela dan
juga merupakan dosa besar serta Allah sangat melaknatnya. Islam tidak menentukan apa
hukuman bagi pelaku suap, akan tetapi menurut fuquha bagi pelaku suap-menyuap ancaman
hukumanya berupa hukuman ta’zir (jarimah ta’zir) yang disesuaikan dengan peran masing-masing
dalam kejahatan. Suap adalah memberikan sesuatu kepada orang penguasa atau pegawai
dengan tujuan supaya yang menyuap mendapat keuntungan dari itu atau dipermudahkan
urusanya. Jika praktek suap itu dilakuakan dalam ruang lingkup peradilan atau proses
penegakkan hokum maka hal itu merupakan kejahatan yang berat atau sejahat-jahatnya
kejahatan. Abu Wail mengatakan bahwa apabila seorang hakim menerima hadiah, maka berarti
dia telah makan barang haram, dan apabila menerima suap, maka dia sampai pada kufur.
Yang kedua, Korupsi dalam dimensi pencurian (saraqah). Saraqah (pencurian) menurut
etimologinya berarti melakukan sesuatu tindakan terhadap orang lain secara
tersembunyi.Sedangkan menurut Abdul Qadir ‘Awdah pencurian didefinisikan sebagai suatu
indakan yang mengambil harta orang lain dalam keadaan sembunyi-sembunyi, artinya mengambil
tanpa sepengetahuan pemiliknya. Jadi sariqah adalah mengambil barang milik orang lain dengan
cara melawan hokum atau melawan hak dan tanpa sepengetahuan pemiliknya. Seperti halnya
korupsi yang mengambil harta dengan cara melawan hak dan tanpa sepengetahuan pemiliknya
(rakyat/masyarakat). Dalam syariah ancaman terhadap pelaku sariqah (pencurian) ditentukan
dengan jelas sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al Maidah: 38, Allah berfirman :
Artinya:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, maka potomglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”(QS. Al-Maidah:38)
Sehubungan dengan hukuman potong tangan dalam jarimah sariqah (pencurian) terdapat
perbedaan pendapat apakah juga berlaku terhadap korupsi karena berdasarkan hadist Nabi SAW,
yang bersabda:
“Tidak dipotong tangan atas penghianatan harta (korupstor ), perampok dan pencopet”.
5
Yang ketiga, Korupsi dalam dimensi penipuan (al gasysy). Secara tegas berdasarkan
sabda Rosulullah saw, Allah mengharamkan surga bagi orang-orang yang melakukan penipuan.
Terlebih penipuan itu dilakukan oleh seorang pemimpin yang mempecundangi rakyatnya. “Dari
Abu Ya’la Ma’qal ibn Yasar berkata: “ Aku mendengar Rosulullah saw. Bersabda :” seorang
hamba yang dianugerahi allah jabatan kepemimpinan, lalu dia menipu rakyatnya; maka Allah
mengharamkannya masuk surga.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Yang keempat, Korupsi dalam dimensi khianat (penghianatan). Bahasa Agama tentang
korupsi yang sebenarnya adalah khianat (penghianatan), khianat berkecenderungan mengabailak,
menyalahgunakan, dan penyelewengan terhadap tugas, wewenang dan kepercayaan yang
amanahkan kepada dirinya. Khianat adalah pengingkaran atas amanah yang dibebankan kepada
dirnya atau mengirangi kewajiban-kewajiban yang seharusnya dipenuhi. Perilaku khianat akan
menyebabkan permusuhan diantara sesame karena orang yang berkhianat selalu memutar-
balikkan fakta, dan juga berakibat terjadinya destruksi baik secara moral, social maupun secara
politik-ekonomi. Islam melarang keras bagi orang-orang yang beriman terhadap perbuatan khianat
baik terhadapa Allah, Rasul serta terhadap sesamanya. Dalam surat Al-Anfal: 27, Allah berfirman:
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan
(juga) janganlah kamu menghianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu
mengetahuinya”. (QS. Al-Anfal:27)
Dari apa yang telah dijelaskan diatas, bahwasanya korupsi (dengan berbagai nama) dalam
Islam digolongkan sebagai suatu perbuatan yang tercela dan pelakunya dikualifikasi sebagai
orang-orang yang munafik, dzalim, fasik dan kafir, serta merupakan dosa besar yang ancaman
hukumanya (selain had dan ta’zir) adalah neraka jahannam.
Ada banyak Ayat dan Hadits, disamping yang sudah disebutkan di depan, yang
menjelaskan posisi atau hukum korupsi dalam pandangan Islam, diantaranya :Firman Allah SWT
dalam surat al-Baqarah [2] :188
10
D. CARA PEMBERANTASAN KORUPSI MENURUT ISLAM
Sesungguhnya terdapat niat cukup besar untuk mengatasi korupsi. Bahkan, telah dibuat
satu tap MPR khusus tentang pemberantasan KKN, tapi mengapa tidak kunjung berhasil?
Tampak nyata bahwa penanganan korupsi tidak dilakukan secara komprehensif, sebagaimana
ditunjukkan oleh syariat Islam berikut:
1. Sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Hal
itu sulit berjalan dengan baik bila gaji tidak mencukupi. Para birokrat tetaplah manusia biasa
yang mempunyai kebutuhan hidup serta kewajiban untuk mencukup nafkah keluarga. Agar
bisa bekerja dengan tenang dan tidak mudah tergoda berbuat curang, mereka harus diberikan
gaji dan tunjangan hidup lain yang layak. Berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan hidup
aparat pemerintah, Rasul dalam hadis riwayat Abu Dawud berkata, “Barang siapa yang
diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika
belum beristri hendaknya menikah, jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil
pelayan, jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Adapun
barang siapa yang mengambil selainnya, itulah kecurangan”.
2. Larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada
aparat pemerintah pasti mengandung maksud agar aparat itu bertindak menguntungkan
pemberi hadiah. Tentang suap Rasulullah berkata, “Laknat Allah terhadap penyuap dan
penerima suap” (HR Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata,
“Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima
hakim adalah kufur” (HR Imam Ahmad). Suap dan hadiah akan berpengaruh buruk pada
mental aparat pemerintah. Aparat bekerja tidak sebagaimana mestinya. Di bidang peradilan,
hukum ditegakkan secara tidak adil atau cenderung memenangkan pihak yang mampu
memberikan hadiah atau suap.
3. Perhitungan kekayaan. Setelah adanya sikap tegas dan serius, penghitungan harta mereka
yang diduga terlibat korupsi merupakan langkah berikutnya. Menurut kesaksian anaknya, yakni
Abdullah bin Umar, Khalifah Umar pernah mengalkulasi harta kepala daerah Sa’ad bin Abi
Waqash (Lihat Tarikhul Khulafa). Putranya ini juga tidak luput kena gebrakan bapaknya. Ketika
Umar melihat seekor unta gemuk milik anaknya di pasar, beliau menyitanya. Kenapa? Umar
tahu sendiri, unta anaknya itu gemuk karena digembalakan bersama-sama unta-unta milik
Baitul Mal di padang gembalaan terbaik. Ketika Umar menyita separuh kekayaan Abu Bakrah,
orang itu berkilah “ Aku tidak bekerja padamu “. Jawab Khalifah, “Benar, tapi saudaramu yang
pejabat Baitul Mal dan bagi hasil tanah di Ubullah meminjamkan harta Baitul Mal padamu
untuk modal bisnis !” (lihat Syahidul Aikral). Bahkan, Umar pun tidak menyepelekan
penggelapan meski sekedar pelana unta (Lihat Kitabul Amwal).
11
Apa yang dilakukan Umar merupakan contoh baik bagaimana harta para pejabat dihitung,
apalagi mereka yang disinyalir terlibat korupsi. Seluruh yayasan, perusahaan-perusahaan,
ataupun uang yang disimpan di bank-bank dalam dan luar negeri semuanya diusut. Kalau perlu
dibuat tim khusus yang independen untuk melakukannya, seperti halnya Muhammad bin
Maslamah pernah diberi tugas khusus oleh Umar untuk hal tersebut. Baru setelah itu, dibuktikan
lewat pengadilan.
Di dalam buku Ahkamul Bayyinat, Syekh Taqiyyuddin menyatakan bahwa pembuktian itu
bisa berupa pengakuan dari si pelaku, sumpah, kesaksian, dan dokumentasi tertulis. Kaitannya
dengan dokumentasi tertulis ini Allah Swt. menegaskan di dalam al-Quran:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya. Hendaklah penulis di antara kalian menuliskannya
dengan benar. Janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah
mengajarkannya…” (QS al-Baqarah [2]: 282).
Bila dicermati, penulisan dokumen ini sebenarnya merupakan bukti tentang siapa yang
berhak dan apa yang terjadi. Oleh karena kata “maka tuliskanlah (faktubuh)” dalam ayat tersebut
umum, maka mencakup semua muamalah dan semua dokumen termasuk perjanjian, katabelece,
keputusan pemerintah yang dibuatnya, dan lain-lain.
Di samping itu, pembuktian pun dilakukan dengan pembuktian terbalik. Bila semua bukti
yang diajukan tidak diterima oleh terdakwa, maka terdakwa itu harus membuktikan dari mana
harta itu diperoleh dan harus pula menunjukkan bahwa hartanya itu bukan hasil korupsi. Hal ini
bisa dilihat dari apa yang dicontohkan oleh Umar bin Khaththab. Ketika Umar menyita separuh
kekayaan Abu Bakrah, orang itu berkilah, “ Aku tidak bekerja padamu “. Jawab Khalifah, “Benar,
tapi saudaramu yang pejabat Baitul Mal dan bagi hasil tanah di Ubullah meminjamkan harta Baitul
Mal padamu untuk modal bisnis !” Setelah itu, Abu Bakrah tidak dapat membuktikan bahwa
dakwaan Umar tersebut salah. Ia tidak dapat menunjukkan bahwa hartanya itu bukan hasil
nepotisme. Akhirnya, Umar pun tetap pada putusannya (Lihat Syahidul Aikral). Cara inilah yang
sekarang dikenal dengan istilah pembuktian terbalik yang sebenarnya sangat efektif mencegah
aparat berbuat curang. Tapi anehnya cara ini ditentang untuk dimasukkan dalam perundang-
undangan.
4. Teladan pemimpin. Khalifah Umar menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah
bin Umar, karena kedapatan digembalakan bersama di padang rumput milik Baitul Mal
Negara. Hal ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara. Demi menjaga
agar tidak mencium bau secara tidak hak, Khalifah Umar bin Abdul Azis sampai menutup
hidungnya saat membagi minyak kesturi kepada rakyat. Dengan teladan pemimpin, tindak
penyimpangan akan mudah terdeteksi sedari dini. Penyidikan dan penyelidikan tindak korupsi
12
pun tidak sulit dilakukan. Tapi bagaimana bila justru korupsi dilakukan oleh para pemimpin?
Semua upaya apa pun menjadi tidak ada artinya sama sekali.
5. Hukuman setimpal. Pada galibnya, orang akan takut menerima risiko yang akan mencelakaan
dirinya. Hukuman dalam Islam memang berfungsi sebagai zawajir (pencegah). Artinya, dengan
hukuman setimpal atas koruptor, diharapkan orang akan berpikir sekian kali untuk melakukan
kejahatan itu. Dalam Islam, tindak korupsi bukanlah seperti pencurian biasa yang pelakunya
dipotong tangannya. “Perampas, koruptor, dan pengkhianat tidak dikenakan hukuman potong
tangan” (HR Ahmad, Ashabus Sunan, dan Ibnu Hibban). Akan tetapi, termasuk jarîmah
(kejahatan) yang akan terkenai ta’zir. Bentuknya bisa berupa hukuman tasyh’ir (berupa
pewartaan atas diri koruptor – dulu diarak keliling kota, sekarang bisa lewat media massa).
Berkaitan dengan hal ini, Zaid bin Khalid al-Juhaini meriwayatkan Rasulullah pernah
memerintahkan para sahabat untuk menshalati seorang rekan mereka yang gugur dalam
pertempuran Hunain. Mereka, para sahabat, tentu saja heran, karena seharusnya seorang
yang syahid tidak disembahyangi. Rasul kemudian menjelaskan, “Sahabatmu ini telah berbuat
curang di jalan Allah.” Ketika Zaid membongkar perbekalan almarhum, ia menemukan
ghanimah beberapa permata milik kaum yahudi seharga hampir 2 dirham (lihat al-
Muwwatha ). Atau, bisa juga sampai hukuman kurungan. Menurut Abdurrahman al-Maliki
dalam kitab Nidzamul ‘Uqubat fil Islam (hlm. 190), hukuman kurungan koruptor mulai 6 bulan
sampai 5 tahun. Namun, masih dipertimbangkan banyaknya uang yang dikorup. Bila mencapai
jumlah yang membahayakan ekonomi negara, koruptor dapat dijatuhi hukuman mati.
Inilah pentingnya seruan penerapan syariat Islam guna menyelesaikan segenap problem
yang dihadapi negeri ini, termasuk dalam pemberantasan korupsi. Karena itu, selamatkan
Indonesia dari keserakahan para koruptor.
14
konsep-konsep normatif dan fikih, atau pemberian yang pada dasarnya halal menjadi haram
karena mengandung unsur korupsi.
Berikut ini adalah beberapa istilah sebagai bentuk ekspresi yang mengandung unsur-
unsur korupsi.
1. Ghulu>l
Konsep yang sering dihubungkan dengan korupsi karena dilihat sebagai bentuk
pengkhianatan atas amanat yang seharusnya dijaga, adalah ghulu>l. Secara leksikal,
ghulu>l bermakna "akhdhu al-syai’ wa dassah fi> mat>'ih", yaitu mengambil sesuatu dan
2. Rishwah (Suap)
Secara leksikal, rishwah mengacu pada kata rasha>- yarshu>-rishwah, yang bermakna
al-ju'l yang berarti upah, hadiah, pemberian atau komisi. Sedangkan rishwah
(penyuapan) secara terminologis adalah tindakan memberikan harta dan yang
15
semisalnya untuk membatalkan hak milik pihak lain atau mendapatkan atas hak
dalam bahasa Indonesia. 22 Namun, tidak sepenuhnya rishwah identik dengan korupsi,
karena istilah tersebut mengandung cakupan yang lebih luas. Sebagaimana
telah dipaparkan sebelumnya bahwa korupsi mencakup beragam bentuk
penyalahgunaan wewenang termasuk penyalahgunaan yang tidak ada unsur suapnya.
Dengan kata lain, rishwah. tidak sama persis dengan korupsi. Namun, merupakan salah
satu bentuk ekspresi dari korupsi.
3. Khianat
Secara umum, hhianat berarti tidak menepati janji. Dalam al-Qur'an Surat al-Anfal
ayat 27 juga telah dijelaskan tentang larangan mengkhianati amanat sesama manusia
beriringan dengan larangan mengkhianati Allah dan Rasul-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan
Rosul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
pergaulan. 24
Dalam hubungan pemidanaan yang dibicarakan dalam fikih, hhianat dikhususkan
untuk tindakan yang mengingkari pinjaman barang yang telah dipinjamnya, dengan
6. Intika>b
Menurut Muhammadiyah, konsep selanjutnya yang banyak disinggung dalam kitab
fikih adalah intika>b dan iktila>s}. Intika>b adalah "akhdhu syai’ mugha>labatah" yang berarti
merampas atau menjambret, dan ikhtila>s} adalah "qat}f syai’ jiha>ran bi>had}rat s}a>h}ibih fi>ghaflah
17
7. Akl suh}}t (makan hasil atau barang haram)
Konsep terakhir yang menurut Muhammadiyah dekat dengan korupsi adalah suh}}t.
Menurut asal katanya, suh}}t berarti sesuatu yang membinasakan. Kemudian dianggap
sebagai sesuatu yang haram, karena dianggap sesuatu yang haram pasti
membinasakan pelakunya. Adapun suh}}t disebutkan dalam QS. al-Ma>idah (5): 1, di
mana ayat al-Qur'an yang menyebutkan tentang suh}}t adalah:
Artinya : “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong,
banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk
minta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah
dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi
mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka
putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah
dilakukan.36
Nampaknya kecenderungan Muhammadiyah untuk menggunakan terminologi ghulu>l
dan rishwah terhadap korupsi daripada terminologi lain adalah berdasarkan pada beberapa
pertimbangan berikut:
Berkaitan dengan tidak dikenalnya terminologi korupsi dalam khazanah Islam dan modus
operandi yang relatif baru dan canggih sehingga sulit untuk dikaitkan dengan jari>mah h}ad
yang memiliki unsur-unsur tertentu yang seringkali tidak dapat terpenuhi atau samar untuk
18
menarik definisinya kepada tindak pidana korupsi. Misalnya, kesukaran untuk
menganalogikan korupsi terhadap h}ira>bah, hal ini disebabkan karena pada h}ira>bah, konsep
yang terpenting adalah adanya unsur kekerasan. Sedangkan dalam korupsi sendiri,
seringkali menggunakan cara-cara yang halus bahkan dilegalkan dengan perangkat
hukum yang koruptif serta dilakukan atas dasar suka sama suka.
2. Pemilihan konsep ghulu>l dan rishwah memudahkan para
penegak hukum untuk menentukan jenis sanksi yang disesuaikan dengan berat tindak
pidana korupsi, yakni dengan instrumen ta'zi>r, yang dengan kata lain bahwa jenis
sanksinya tidak ditentukan sehingga memberi keleluasan hakim untuk menjatuhkan
jenis sanksi yang setimpal dengan tindak kejahatannya. Sedangkan untuk mengaitkan
korupsi dengan jari>mah h}ad masih diliputi keraguan dan kesamaran dalam
menganalogikan unsur materiil, dan Rasulullah memerintahkan untuk menghindari dari
sanksi h}ad apabila terdapat keraguan atau kesamaran.
3. Dengan memanfaatkan ketenturan ta'zi>r sebagai
perangkat kriminalisasi tindak pidana korupsi, maka dapat dengan mudah mengaitkan
pada berbagai jenis sanksi yang terberat seperti h}ad, sampai pada jenis hukuman yang
paling ringan seperti hukuman penjara.
19
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tidak ada satu dalil pun yang membenarkan perilaku korupsi dalam Islam. Bahkan Islam
melarang dengan tegas terhadap tindakan korupsi karena di dalamnya mengandung unsur
pencurian, penggunaan hak orang lain tanpa izin / penyalahgunaan jabatan, penyelewengan harta
negara, suap / sogok, pengkhianatan, dan perampasan / perampokan.
Islam memandang korupsi sebagai perbuatan yang dapat merugikan masyarakat,
mengganggu kepentingan publik, dan menimbulkan teror terhadap kenyamanan dan ketertiban
masyarakat. Hukum Islam memberikan sanksi yang tegas terhadap perilaku korupsi seperti
hukuman terhadap jiwa, hukuman terhadap badan, hukuman terhadap harta benda, dan hukuman
terhadap kemerdekaan seseorang.
Dalam upaya meminimalisir terjadinya korupsi, filosofi Islam menganjurkan agar dilakukan
pencegahan secepat mungkin. Sebagaimana adagium “mencegah suatu penyakit lebih baik
daripada mengobatinya”, begitu juga dengan korupsi yang lebih baik dicegah daripada diberantas
secara tuntas. Untuk itu diperlukan langkah dan strategi yang tepat, salah satunya adalah dengan
cara meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan dan menanamkan pendidikan anti
korupsi secara dini bagi generasi penerus bangsa.
20
DAFTAR PUSTAKA
Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi, (Jakarta, Zikrul Hakim,
1997),hal.154-155
A.Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1993), hal.69
Wahab Afif, Hukum Pidana Islam, Banten ( Yayasan Ulumul Quran, 1988), hal. 214
http://thamrin.wordpress.com/2006/07/14/korupsi-dalam-dimensi-sejarah-indonesia-bagian-
keempat-penutup/
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 1992), h.87
http://ibrahim-muhlis.blogspot.com/2011/02/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
http://mgtabersaudara.blogspot.com/2011/06/ketegasan-syariat-islam-dalam.html
http://arengiff.blogspot.com/2011/01/korupsi-dalam-islam.html
http://www.fahmina.or.id/artikel-a-berita/mutiara-arsip/630-korupsi-pandangan-dan-sikap-
islam.html
http://bagindams.blogspot.com/2009/11/korupsi-dalam-perspektif-islam_23.html
http://ganimeda.wordpress.com/2010/12/07/perspektif-islam-terhadap-korupsi/
http://hukum.kompasiana.com/2012/04/23/filsafat-pemidanaan-islam-dalam-pemberian-hukuman-
bagi-koruptor/
http://zulchizar.wordpress.com/2010/07/10/cara-pemberantasan-korupsi-dalam-perspektif-islam/
http://alquran.babinrohis.esdm.go.id
21