Anda di halaman 1dari 11

Nama : Dedek Ardiansah

Nim : 210101080
Mata Kuliah : Hukum Pidana Khusus (02)
Dosen Pengampu : Dr. Liza Agnesta Krisna, S.H,.M.H.

1. Penjelasan Terhadap Pasal 3 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2010

Pasal 3 :

“Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,


membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah
bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas
harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan dipidana karena
tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah).”

Unsur menyembunyikan dan menyamarkan dalam pasal 3 UU


TPPU

Dalam Pasal 3 UU TPPU, unsur menyembunyikan atau menyamarkandidahului


dengan frasa “dengan tujuan”.
Frasa “dengan tujuan” dalam Pasal 3 menunjukkan adanya mens rea pada diri
pelaku berupa adanya sikap batin yang menghendaki terjadi atau terwujudnya
perbuatan. Dengan kata lain, “dengan tujuan” bermakna bahwa pelaku mempunya
tujuan yang hendak dicapai yang disadari sepenuhnya, yaitu untuk menyembunyikan
dan menyamarkan harta kekayaan.
Dengan demikian, pada diri pelaku sudah ada unsur kesalahan (opzettelijk, schuld)
karena ada kesengajaan yang diinsyafi secara sadar. Artinya pelaku memiliki
pengetahuan mutlak dan kesadaran sempurna bahwa harta kekayaan berasal dari tindak
pidana, namun dengan sengaja menyembunyikan atau menyamarkannya agar tampak
seperti bukan hasil kejahatan. Pelaku berperan aktif, sehingga dalam Pasal 3 ini pelaku
dapat dikualifisikan sebagai pelaku aktif.
Pasal 3 UU TPPU, menunjukkan adanya mens rea untuk menyembunyikan atau
menyamarkan hasil kejahatan. Artinya terdapat unsur kesengajaan dan kesalahan
dalam diri pelaku.1

1
Efendi Lod Simanjuntak, Artikel Beda pasal 3 dan pasal 4 UU TPPU , HUKUM ONLINE, Jakarta, 2022.
2. Pembuktian Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)

Unsur-unsur tindak pidana dibedakan dalam dua macam yaitu:


1. Unsur Subjektif, unsur ini terdapat dalam diri si pelaku tindak pidana,
meliputi: Kesengajaan, Kealpaan, Niat, Maksud, Dengan rencana lebih dahulu,
Perasaan takut.
2. Unsur objektif, unsur ini terdapat diluar diri si pelaku tindak pidana,
meliputi: perbuatan atau kelakuan manusia, akibat yang menjadi syarat mutlak
dari delik, unsur melawan hukum, unsur lain yang menentukan sifat tindak
pidana, unsur yang memberatkan pidana, unsur tambahan yang menentukan
tindak pidana.
Perumusan tindak pidana dalam Undang-Undang TPPU diantaranya ditemui
dalam beberapa pasal sebagai berikut:
Pasal 2 menyatakan:
1) Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak
pidana:
a. Korupsi
b. Penyuapan
c. Narkotika
d. Psikotropika
e. Penyelundupan tenaga kerja
f. Penyelundupan migrant
g. Di bidang perbankan
h. Di bidang pasar modal
i. Di bidang perasuransian
j. Kepabeanan
k. Cukai
l. Perdagangan orang
m. Perdagangan senjata gelap
n. Terorisme
o. Penculikan
p. Pencurian
q. Penggelapan
r. Penipuan
s. Pemalsuan uang
t. Perjudian
u. Prostitusi
v. Di bidang perpajakan
w. Di bidang kehutanan
x. Di bidang lingkungan hidup
y. Di bidang kelautan dan perikanan, atau
z. Tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat)
tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum
Indonesia.

2) Harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau
digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme,
organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.

Ketentuan di atas menentukan secara limitatif kejahatan-kejahatan yang


menjadi tindak pidana asal (predicate crime) dari Tindak Pidana Pencucian Uang
yang merupakan follow up crime. Hal ini menunjukkan bahwa untuk terjadinya
TPPU terlebih dahulu ada tindak pidana/kejahatan lain yang telah dilakukan oleh
pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana yang telah ditentukan secara
limitatif dalam Pasal 2.

Pasal 3 menyatakan:
“Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,
membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa keluar
negeri. Mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau
perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan
dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20
(dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).”

Pasal 4 menyatakan:
“Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber,
lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak atau kepemilikan yang sebenarnya atas
harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana
pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”

Pasal 5 menyatakan :
(1) Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah)
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pihak pelapor
yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini.

Tindak pidana pencucian uang yang terdapat dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal
5 mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

Pertama,Unsur subjektif, yaitu pelaku sebagai subjek hukum orang atau


organisasi (badan hukum).Unsur Subjektif ini berkaitan dengan unsur kesalahan yaitu
sengaja (opzet) dan/atau kelalaian (culpa).

Bentuk kesalahan yang dirumuskan dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5


khususnya terdapat dalam kata-kata “Harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana”, maka dapat dipastikan sebagian untuk
kesengajaan, sebagian untuk kealpaan. Konsekuensi logisnya, pasal tersebut tidak
hanya mensyaratkan kesengajaan tetapi juga kealpaan yang dialternatifkan dengan
kesengajaan.
Dalam konteks teori penyebutan culpa yaitu culpa yang sesungguhnya dan
culpa yang tidak sesungguhnya. Culpa sesungguhnya berarti akibat yang dilarang
itu timbul karena kealpaannya, sedangkan culpa tidak sesungguhnya berarti
melakukan suatu perbuatan berupa kesengajaan namun salah satunya di culpakan.
Dari uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa ketentuan Pasal 3, Pasal 4,
dan Pasal 5 tersebut termasuk dalam culpa yang tidak sesungguhnya. Masalahnya
ketentuan tersebut kontradiktif dengan penjelasan Pasal 5 ayat (1), yang menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan “Patut diduganya” adalah suatu kondisi yang
memenuhi setidak-tidaknya pengetahuan, keinginan, atau tujuan pada saat terjadinya
transaksi yang diketahuinya yang menunjukkan adanya pelanggaran hukum.
Penjelasan Pasal 5 ayat (1) ini mengubah konsekuensi bentuk kesalahan dari kealpaan
menjadi kesengajaan. Hal ini terbukti dari kata-kata “suatu kondisi yang memenuhi
setidak-tidaknya pengetahuan, keinginan, atau tujuan”. adanya pengetahuan dan
keinginan atau weten en willen adalah syarat mutlak kesengajaan dan bukan kealpaan.

Kedua, Unsur Objektif, yaitu :


a) perbuatan (transaksi keuangan atau finansial) dengan maksud untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dari bentuknya
yang tidak sah (ilegal) seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah (legal);
b) merupakan hasil tindak pidana.

Unsur objektif berkaitan dengan istilah melawan hukum yang bermuara pada
pertanggungjawaban pidana si pelaku. Dalam praktik peradilan, apabila unsur
melawan hukum dinyatakan dalam rumusan tindak pidana, maka penuntut umum
harus mencantumkan dan menguraikannya di dalam dakwaan dan kemudian
membuktikannya di persidangan. Ketidakmampuan penuntut umum untuk
membuktikan unsur melawan hukum ini maka konsekuensinya adalah terdakwa harus
dibebaskan dari dakwaan penuntut umum (vrijspraak).
Berbeda dengan kedudukan melawan hukum yang tidakdinyatakan dalam
rumusan tindak pidana namun melawan hukum dalam konteks ini disyaratakan harus
ada dalam setiap tindak pidana. Dalam praktiknya, penuntut umum dalam hal ini
tidak perlu mencantumkan dan menguraikannya dalam surat dakwaan dan tidak ada
pula kewajiban untuk membuktikannya di persidangan, melainkan terdakwalah yang
berusaha untuk membuktikan bahwa perbuatan yang dilakukannya tidak bersifat
melawan hukum. Ketika melawan hukum tidak ditemui pada perbuatan yang
didakwakan maka konsekuensinya terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan
(onslag van alle rechtsvervolging).
Dari uraian tersebut diatas dapat dinyatakan bahwa sifat melawan hukum
memiliki 4 (empat) makna. Pertama, sifat melawan hukum diartikan syarat umum
dapat dipidananya suatu perbuatan sebagaimana definisi perbuatan pidana yakni
kelakukan manusia yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum
dan dapat dicela; kedua, kata melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik,
dengan demikian sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat
dipidananya suatu perbuatan; ketiga, sifat melawan hukum formil mengandung arti
semua unsur dari rumusan delik telah terpenuhi; dan keempat, sifat melawan hukum
materiil mengandung 2 (dua) pandangan, pertama dari sudut perbuatannya yang
mengandung arti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak
dilindungi oleh pembuat undang-undang dalam rumusan delik, dan kedua dari sudut
sumber hukumnya, dimana sifat melawan hukum mengandung pertentangan dengan
asas kepatutan, keadilan, dan hukum yang hidup di masyarakat.
Sifat melawan hukum merupakan hal pokok yang harus ada/mutlak dalam
setiap rumusan tindak pidana. Kata melawan hukum adalah kata yang sudah baku
digunakan untuk menterjemahkan kata dari bahasa Belanda wederrechtelijk, atau dari
bahasa Inggris unlawful. Dengan demikian wederrechtelijk atau unlawfulness dapat
diterjemahkan sifat melawan hukum atau bersifat melawan hukum.
Sifat melawan hukum merupakan salah satu unsur dari tindak pidana,
kedudukan sifat melawan hukum sebagai salah satu unsur tindak pidana begitu sangat
penting, sehingga dikatakan perhatian utama hukum pidana yaitu perbuatan-
perbuatan yang bersifat melawan hukum saja, karena perbuatan-perbuatan inilah yang
dilarang dan diancam pidana.
Sifat melawan hukum dalam ketentuan Pasal 3, 4, dan 5 sejalan dengan
ketentuan Pasal 2 yang menjelaskan adanya tindak pidana asal dalam Tindak Pidana
Pencucian Uang. Dengan kata lain, untuk menetapkan telah terjadi suatu Tindak
Pidana Pencucian Uang dan pelakunya, maka terlebih dahulu dibuktikan adanya
tindak pidana asal. Akan tetapi ketentuan itu menjadi tidak jelas atau kontradiktif
dengan adanya ketentuan Pasal 69 yang menyatakan: “Untuk dapat dilakukan
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak
pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya”.
Ketentuan Pasal 69 tersebut mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum
karena jelas-jelas Pasal 2, 3, 4, dan 5 mengatakan dengan tegas bahwa untuk Tindak
Pidana Pencucian Uang harus ada tindak pidana asal dan ini harus dibuktikan terlebih
dahulu atau setidak-tidaknya dibuktikan secara bersama-sama.Terdakwa Tindak
Pidana Pencucian Uang (Money laundering) seharusnya diputuskan bersalah terlebih
dahulu pada predicate crime nya. Memang dalam praktek, sudah banyak dikeluhkan
oleh institusi penegak hukum jika dikaitkan dengan proses pembuktian. Namun
demikian, bukanlah menjadi unsur pembenar untuk mempermudah proses perkara
money laundering.
Gencarnya penegakan hukum sebagai extra-ordinary crime tidaklah
lantas menciptakan sistem yang super extra-ordinary yang justru melanggar hak-hak
Terdakwa bahkan tujuan hukum acara pidana untuk mencari dan menemukan
kebenaran materiil tidak akan tercapai.2

3. Hukuman Terhadap Seseorang Yang Melakukan Percobaan Pembantuan Jahat


Terhadap TPPU

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan


Tindak Pidana Pencucian Uang. Pasal 10. Setiap Orang yang berada di dalam atau di luar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang turut serta melakukan percobaan,
pembantuan, atau Permufakatan Jahat untuk melakukan tindak pidana Pencucian Uang
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan
Pasal 5. Santie, sanksi: adalah alat pemaksa. Memaksa menegakkan hukum ialah
memaksa mengindahkan norma-norma hukum.3
Dalam ketentuan Pasal 53 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
dinyatakan bahwa mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah
ternyata dan adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan
semata- mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.4
Penyertaan adalah pengertian yang meliputi semua bentuk Penyertaan atau
terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan
masingmasing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana. Orang-orang yang
terlibat dalam kerja sama yang mewujudkan tindak pidana, perbuatan masing-masing
dari mereka berbeda satu dengan yang lain. Tetapi dari perbedaan yang ada menjadi
suatu hubungan yang sedemikian di mana perbuatan satu menunjang perbuatan
yang lainnya sehingga menjadikan suatu perbuatan tindak pidana (Adami Chazawi,
2005:75).
Kualifikasi masing-masing delik penyertaan baik status dan kapasitas seseorang

2
Eddy O.S Hiariej, Beberapa Catatan Kritis Terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Makalah Disampaikan dalam Workshop
Pemulihan Aset Tindak Pidana oleh Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI)
Pusat Bekerjasama Dengan MAHUPIKI DKI, Jakarta 28-29 Agustus 2014.
3
C.S.T., Kansil, Christine S.T. Kansil, Engelien R. Palandeng dan Godlieb N. Mamahit, Kamus Istilah Aneka
Hukum, Edisi Pertama, Cetakan Kedua, Jala Permata Aksara, Jakarta, 2010. hlm. 383.

4
Samuel Saut Martua Samosir. Keterkaitan Percobaan atau Permufakatan Jahat. hlm. 5.
dalam suatu delik sebagai pembuat maupun sebagai pembantu. Hal ini dijelaskan dalam
Pasal 55 dan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pembantuan adalah
orang yang sengaja memberi bantuan berupa sarana, informasi, atau kesempatan kepada
orang lain yang melakukan tindak pidana, di mana pembantuan tersebut diberikan baik
pada saat atau sebelum tindak pidana itu sendiri terjadi
Pasal 55 KUHP ayat:
1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta
melakukan perbuatan;
2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau
penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja
menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang


diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya. Pasal 56. Dipidana sebagai pembantu
kejahatan:

1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;


2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk
melakukan kejahatan.

Pasal 57 ayat:
Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi
sepertiga.
a. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
b. Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri.
c. Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuata
yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya.

Permufakatan untuk melakukan tindak pidana adalah kesepakatan dari beberapa


orang (lebih dari satu) untuk melakukan suatu tindak pidana sesuai dengan Pasal 88
KUHP. Permufakatan dalam KUHP untuk pemidanaannya beragam, antara satu pasal
dengan pasal yang lain tidak sama ada yang dipidana sama tetapi ada juga yang menjadi
faktor meringankan namun demikian formulasinya tidak sama. Namun demikian sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 pemidanaan permufakatan jahat sama
dengan pelaku tindak pidana pencucian uang atau delik selesai.

1. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
2. Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri.
3. Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan
yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya.

Permufakatan untuk melakukan tindak pidana adalah kesepakatan dari beberapa


orang (lebih dari satu) untuk melakukan suatu tindak pidana sesuai dengan Pasal 88
KUHP. Permufakatan dalam KUHP untuk pemidanaannya beragam, antara satu pasal
dengan pasal yang lain tidak sama ada yang dipidana sama tetapi ada juga yang menjadi
faktor meringankan namun demikian formulasinya tidak sama. Namun demikian sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 pemidanaan permufakatan jahat sama
dengan pelaku tindak pidana pencucian uang atau delik selesai.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan


Tindak Pidana Pencucian Uang.

Pasal 6 ayat:

(1) Dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi
dan/atau Personil Pengendali Korporasi.
(2) Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana Pencucian Uang:
a) dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi;
b) dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi;
c) dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan
d) dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi.

Penjelasan Pasal 6 ayat (1) Korporasi mencakup juga kelompok yang terorganisasi
yaitu kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 (tiga) orang atau lebih, yang eksistensinya
untuk waktu tertentu, dan bertindak dengan tujuan melakukan satu atau lebih tindak
pidana yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan tujuan memperoleh keuntungan
finansial atau nonfinansial baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pasal 7 ayat:
1) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda paling
banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap

Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:

a. pengumuman putusan hakim;


b. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi;
c. pencabutan izin usaha;
d. pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi;
e. perampasan aset Korporasi untuk negara; dan/atau
f. pengambilalihan Korporasi oleh negara.
Pasal 8 :
Dalam hal harta terpidana tidak cukup untuk membayar pidana denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, pidana denda tersebut diganti dengan
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan.

Pasal 9 ayat:
(1) Dalam hal Korporasi tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana denda tersebut diganti dengan
perampasan Harta Kekayaan milik Korporasi atau Personil Pengendali
Korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan.
(2) Dalam hal penjualan Harta Kekayaan milik Korporasi yangdirampas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, pidana kurungan
pengganti denda dijatuhkan terhadap Personil Pengendali Korporasi dengan
memperhitungkan denda yang telah dibayar.5

4. kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)

KASUS BANK MEGA MONEY LOUNDRING

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyimpulkan


kasus pembobolan dana PT Elnusa Tbk dan Pemkab Batubara di PT Bank Mega Tbk,
merupakan tindak pidana pencucian uang. Wakil Ketua PPATK Gunadi
mengatakan aliran dana Elnusa mengarah ke perorangan dan diinvestasikan di
deposito. Sedangkan dana Pemkab Batubara mengarah ke rekening perseorangan dan
diinvestasikan deposito.
“Kami juga menemukan adanya penyalahgunaan Jabatan di Bank Mega
Cabang Bekasi-Jababeka,” kata Gunadi dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi
XI, Rabu (25/5).
Gunadi menjelaskan, berdasarkan penelusuran PPATK sejak April 2011, dalam
kasus Elnusa terdapat 33 laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) dan 69
laporan transaksi keuangan tunai (LTKT). Untuk Dana Pemkab Batubara, terdapat 18
LTKM dan 34 LTKT. Saat ini, PPATK telah mengirim laporan tersebut kepada
penyidik Polda dan Kejaksaan Agung.
Dalam kasus dana Pemkab Batubara, PPATK telah membekukan 10 rekening
yang dicurigai menerima dana dari rekening Pemkab Batubara yang ada di Bank
5
Aguita Bintang Murtika Sari, Rofikah. Praktek Perjudian Online Sebagai Tindak Pidana Asal Dari Tindak
Pidana Pencucian Uang (Studi Putusan No.1132/PID.B/2014/PN.JKT UTR). Recidive Volume 7 No. 1,
Januari-April 2018 (Lihat Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana (Bagian 3). PT RajaGrafindo Persada.
Mega Jababeka. “Kami menstop 10 rekening yang ditengarai dari rekening
Pemerintah Kabupaten Batubara yang jumlahnya senilai Rp4,4 miliar,” tuturnya.
Menurut Gunadi, uang Rp4,4 miliar itu bisa dapat menjadikan asset
recovery Bank Mega. Selain itu, PPATK menemukan adanya kesamaan modus yang
terjadi pada pembobolan di Bank Mega yakni adanya tindak pidana pencucian uang.
Atas kasus ini, PPATK memberikan lima rekomendasi kepada Bank Indonesia
(BI) agar lebih mengamankan sistem perbankan nasional. Pertama, penyidik dan
penuntut umum harus mencantumkan adanya pengenaan sanksi pidana pencucian
uang sesuai dengan Pasal 7 Undang-undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU).
Kedua, PPATK mengusulkan peningkatan kerjasama antar bank dan penyedia
jasa keuangan lainnya dalam membantu proses penyelamatan dana hasil tindak pidana
seperti penundaan transaksi dalam Pasal 26 Undang-undang PPTPPU.
Ketiga, peningkatan peran aktif penyedia jasa keuangan, PPATK dan penegak
hukum untuk melaksanakan kewenangan yang diberikan UU PPTPPU, seperti
penundaan transaksi, penghentian sementara transaksi dan pemblokiran guna
mencegah berpindahnya dana dari hasil tindak pidana.
Kelima, penyedia jasa keuangan khususnya bank wajib melakukan enhanced
due diligence dalam hal terdapat transaksi penempatan Deposito on Call (DoC) dana
milik Pemerintah Daerah/BUMN dalam jumlah yang signifikan atau besar pada
kantor cabang bank atau cabang pembantu bank yang relatif kecil. Sekadar
catatan, Pasal 7 UU PPTPPU menyatakan, selain terkena sanksi denda, korporasi bisa
terancam izin usahanya. Sanksi berat ini berlaku jika perusahaan ikut terlibat atau
menikmati hasil kejahatan. Sanksi paling ringan berupa denda maksimal Rp1 miliar,
bila bank sebagai penyedia jasa keuangan sengaja tidak melaporkan keberadaan
transaksi mencurigakan.
BI sendiri baru saja menjatuhkan sanksi kepada Bank Mega terkait kasus
pembobolan dana Elnusa sebesar Rp111 miliar dan Pemkab Batubara Rp80 miliar.
Namun, BI memutuskan tidak mencabut izin usaha bank milik taipan Chairul Tanjung
tersebut.

Keputusan RDG

Rapat Dewan Gubernur BI tanggal 23 Mei 2011 memutuskan; Pertama,


mengenakan sanksi kepada Bank Mega dengan menghentikan penambahan
nasabah DoC baru dan perpanjangan DoC lama, termasuk untuk produk sejenis
seperti Negotiable Certificate of Deposit (NCD), selama satu tahun, menghentikan
pembukaan jaringan kantor baru selama satu tahun. Sanksi tersebut berlaku sejak 24
Mei 2011.
Kedua, BI akan melakukan fit and proper test terhadap manajemen dan
pejabat eksekutif Bank Mega. Ketiga, BI menginstruksikan Bank Mega untuk
mereview seluruh kebijakan dan prosedur, khususnya aktivitas pendanaan (funding)
termasuk penetapan target, limit dan kewenangan untuk kantor cabang, kantor cabang
pembantu, kantor kas dan individu, baik nominal maupun suku bunga, pengaturan
wilayah kerja kantor serta mekanisme inisiasi nasabah baru.
BI juga menginstruksikan agar Bank Mega untuk memperbaiki fungsi internal
control dan risk management, termasuk kecukupan jumlah auditor di setiap kantor,
proses check and balance baik melalui tahapan kewenangan maupun sistem, fungsi
pengawasan kantor pusat terhadap kantor-kantor di bawahnya dan prinsip know your
employee.
Kemudian, bank sentral meminta Bank Mega memberhentikan pegawai di
bawah pejabat eksekutif yang terlibat dalam kasus dana nasabah atas nama PT Elnusa
dan dana Pemkab Batubara, Sumatera Utara di KCP Bekasi Jababeka. Bank Mega
juga diinstruksikan segera membentuk escrow account senilai dana Elnusa dan
Pemkab Batubara.
Pencairan escrow account tersebut hanya dapat dilakukan dengan persetujuan
BI dalam hal sudah tidak terdapat sengketa antara bank dengan nasabah, baik yang
diselesaikan melalui keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau
melalui kesepakatan para pihak.
Kendati telah menjatuhkan sanksi kepada Bank Mega, BI meminta nasabah
bank tersebut untuk tenang dan tidak panik. Bank sentral menilai, secara keseluruhan
kondisi keuangan bank masih tetap apik. Menurut Deputi Gubernur BI Halim
Alamsyah, Bank Mega bukanlah bank yang buruk. Hanya saja, kelemahan terjadi di
dalam konteks koordinasi kantor cabang dengan kantor pusat.
“Bank Mega tetap baik, kondisi permodalan bank ini tetap kuat dengan
likuiditas sangat likuid,” ujarnya di tempat yang sama.6

6
PPATK : Kasus Bank Mega Money Loundring, https://www.hukumonline.com/berita/a/kasus-bank-mega-
money-laundering-lt4dde1e60a8a3a/. diakses tanggal 1 april 2023.

Anda mungkin juga menyukai