KHUSUS
Fakultas Hukum
Program Study Ilmu Hukum
Universitas Widya Gama Mahakam
Samarinda
MATERI
PENGERTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI
SUBYEK HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI
Pegawai Negeri
Subyek Hukum Tindak Pidana
Korupsi
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pasal 92, pegawai negeri adalah:
Orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan
aturan-aturan umum, begitu juga orang-orang yang bukan karena
pemilihan menjadi anggota badan pembentuk undang-undang
badan pemerintahan, badan perwakilan rakyat, yang dibentuk oleh
pemerintah atau atas nama pemerintah; begitu juga semua
anggota dewan subak, semua kepala rakyat Indonesia asli dan
kepala golongan timur asing yang menjalankan kekuasaan sah.
Hakim termasuk ahli memutus perselisihan (wasit) yang
menjalankan peradilan administrasi, ketua/anggota
peradilan agama.
Anggota angkatan perang.
Penerima gaji atau upah dari keuangan negara atau
daerah.
Subyek Hukum Tindak Pidana
Korupsi
Penerima gaji atau upah dari korporasi yang menerima
bantuan dari keuangan negara atau daerah.
Penerima gaji atau upah dari korporasi lain yang
menggunakan modal atau fasilitas dari negara atau
masyarakat.
Sistem Peradilan Tindak Pidana
Korupsi
Dalam sistem peradilan tindak pidana korupsi, hakim dapat
menerapkan sistem pembuktian terbalik.
Sedangkan istilah Sistem Pembuktian Terbalik telah dikenal
oleh masyarakat sebagai bahasa yang dengan mudah dapat
dicerna pada masalah dan salah satu solusi pemberantasan
korupsi.
Disini ada suatu beban pembuktian yang diletakkan kepada
salah satu pihak, yang universalitas terletak pada Penuntut
Umum, namun mengingat adanya sifat kekhususan yang
sangat mendesak beban pembuktian itu diletakkan tidak lagi
pada diri Penuntut Umum, tetapi kepada Terdakwa.
Proses pembalikan beban dalam pembuktian inilah yang
kemudian dikenal sebagai “Pembalikan Beban Pembuktian”
yang bagi masyarakat awam hukum (lay-man) cukup dikenal
dengan istilah “Sistem Pembuktian Terbalik”.
Sistem Peradilan Tindak
Pidana Korupsi
Darwan Prinst mengemukakan pendapatnya mengenai
pembuktian terbalik dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
sebagai berikut: “Pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
dilahirkan suatu sistem pembuktian terbalik yang khusus
diberlakukan untuk tindak pidana korupsi. Menurut sistem
pembuktian terbalik, terdakwa harus membuktikan bahwa
gratifikasi bukan merupakan suap. Jadi, dengan demikian
berlaku asas praduga tak bersalah”.