Anda di halaman 1dari 17

TINDAK PIDANA

KHUSUS

Ratih Dwi Anggraini P.K SH., MH

Fakultas Hukum
Program Study Ilmu Hukum
Universitas Widya Gama Mahakam
Samarinda
MATERI
 PENGERTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI
 SUBYEK HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI

 SISTEM PERADILAN TINDAK PIDANA


KORUPSI

 KEKHUSUSAN DELIK KORUPSI DARI SUDUT


HUKUM PIDANA FORMIL
 KEKHUSUSAN DELIK KORUPSI DARI SUDUT
HUKUM PIDANA MATERIIL
Pengertian Tindak Pidana
Korupsi
 Istilah korupsi berasal dari kata Latin corruptio
artinya penyuapan, dan corrumpere diartikan
merusak.
 “Korupsi berasal dari kata corruption atau
corruptus yang secara harfiah berarti kebusukan,
keburukan, ketidakjujuran, dan tidak bermoral”.
Andi Hamzah
 “Korupsi ada apabila seseorang secara tidak sah
meletakkan kepentingan pribadi diatas
kepentingan masyarakat dan sesuatu yang
dipercayakan kepadanya untuk dilaksanakan”.
Robert Klitgaard
Pengertian Tindak Pidana
Khusus
 Pengertian korupsi diatur juga dalam Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, yaitu:
 Pasal 2 ayat (1): “Tindak Pidana Korupsi adalah setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana …”
 Pasal 3: “Setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana ….”.
Pengertian Tindak Pidana
Khusus
 Barangsiapa melakukan tindak pidana tersebut dalam
KUHP yang ditarik sebagai tindak pidana korupsi, yang
berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
rumusannya diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal
dalam KUHP tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur
yang terdapat dalam masing-masing Pasal KUHP.
 Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pada Pasal 1 butir 3,
dimuat pengertian korupsi sebagai berikut: “korupsi
adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang tindak pidana korupsi”.
Subyek Hukum Tindak Pidana
Korupsi
 Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dalam ketentuan Bab I, II, III
dapat disimpulkan bahwa subyek hukum dalam
tindak pidana korupsi adalah:
 Korporasi
Kumpulan orang atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum.

 Pegawai Negeri
Subyek Hukum Tindak Pidana
Korupsi
 Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pasal 92, pegawai negeri adalah:
 Orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan
aturan-aturan umum, begitu juga orang-orang yang bukan karena
pemilihan menjadi anggota badan pembentuk undang-undang
badan pemerintahan, badan perwakilan rakyat, yang dibentuk oleh
pemerintah atau atas nama pemerintah; begitu juga semua
anggota dewan subak, semua kepala rakyat Indonesia asli dan
kepala golongan timur asing yang menjalankan kekuasaan sah.
 Hakim termasuk ahli memutus perselisihan (wasit) yang
menjalankan peradilan administrasi, ketua/anggota
peradilan agama.
 Anggota angkatan perang.
 Penerima gaji atau upah dari keuangan negara atau
daerah.
Subyek Hukum Tindak Pidana
Korupsi
 Penerima gaji atau upah dari korporasi yang menerima
bantuan dari keuangan negara atau daerah.
 Penerima gaji atau upah dari korporasi lain yang
menggunakan modal atau fasilitas dari negara atau
masyarakat.
Sistem Peradilan Tindak Pidana
Korupsi
 Dalam sistem peradilan tindak pidana korupsi, hakim dapat
menerapkan sistem pembuktian terbalik.
 Sedangkan istilah Sistem Pembuktian Terbalik telah dikenal
oleh masyarakat sebagai bahasa yang dengan mudah dapat
dicerna pada masalah dan salah satu solusi pemberantasan
korupsi.
 Disini ada suatu beban pembuktian yang diletakkan kepada
salah satu pihak, yang universalitas terletak pada Penuntut
Umum, namun mengingat adanya sifat kekhususan yang
sangat mendesak beban pembuktian itu diletakkan tidak lagi
pada diri Penuntut Umum, tetapi kepada Terdakwa.
 Proses pembalikan beban dalam pembuktian inilah yang
kemudian dikenal sebagai “Pembalikan Beban Pembuktian”
yang bagi masyarakat awam hukum (lay-man) cukup dikenal
dengan istilah “Sistem Pembuktian Terbalik”.
Sistem Peradilan Tindak
Pidana Korupsi
 Darwan Prinst mengemukakan pendapatnya mengenai
pembuktian terbalik dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
sebagai berikut: “Pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
dilahirkan suatu sistem pembuktian terbalik yang khusus
diberlakukan untuk tindak pidana korupsi. Menurut sistem
pembuktian terbalik, terdakwa harus membuktikan bahwa
gratifikasi bukan merupakan suap. Jadi, dengan demikian
berlaku asas praduga tak bersalah”.

 Selain yang disebutkan diatas, pembuktian terbalik juga


diberlakukan terhadap tuntutan perampasan harta benda
terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana
korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, 3, 4, 13, 14, 15
dan 16 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan Pasal 15-21
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
Sistem Peradilan Tindak
Pidana Korupsi
 Fungsi Sistem Pembuktian Terbalik atau Sistem Pembalikan
Beban Pembuktian mensyaratkan adanya sifat limitatif
(terbatas) dan eksepsional (khusus). Dari pendekatan doktrin
dan komparasi sistem hukum pidana, makna atau arti
“Terbatas” atau “Khusus” dari implementasi Sistem Pembalikan
Beban Pembuktian (di Indonesia nantinya) adalah:
 Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya
terbatas dilakukan terhadap delik “gratification”
(pemberian) yang berkaitan dengan “bribery”
(suap), dan bukan terhadap delik-delik lainnya
dalam tindak pidana korupsi. Delik-delik lainnya
dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang tertuang dalam
Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 beban
pembuktiannya tetap berada pada Jaksa Penuntut
Umum.
Sistem Peradilan Tindak
Pidana Korupsi
 Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya
terbatas dilakukan terhadap “perampasan” dari
delik-delik yang didakwakan terhadap siapapun
sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 sampai dengan
Pasal 16 UU No. 31 Tahun 1999. Perlu ditegaskan
pula bahwa sistem pembuktian terhadap dugaan
pelanggaran pada Pasal 2 sampai dengan Pasal 16
UU No. 31 Tahun 1999 tetap dibebankan kepada
Jaksa Penuntut Umum. Hanya saja, apabila Terdakwa
berdasarkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum
dianggap terbukti melakukan pelanggaran salah satu
dari delik-delik tersebut dan dikenakan perampasan
terhadap harta bendanya. Terdakwa wajib
membuktikan (berdasarkan sistem pembalikan beban
pembuktian) bahwa harta bendanya bukan berasal
dari tindak pidana korupsi.
Sistem Peradilan Tindak
Pidana Korupsi
 Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas penerapan asas
Lex Temporis-nya, artinya sistem ini tidak dapat diberlakukan secara Retroaktif
(berlaku surut) karena potensiel terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM), pelanggaran terhadap asas legalitas, dan menimbulkan apa yang
dinamakan asas Lex Talionis (balas dendam).
 Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas dan tidak
diperkenankan menyimpang dari asas “Daad-daderstrafrecht”.
KUHPidana yang direncanakan bertolak dari pokok pemikiran
keseimbangan monodualistik, dalam arti memperhatikan keseimbangan
dua kepentingan, antara kepentingan masyarakat dan kepentingan
individu, artinya Hukum Pidana yang memperhatikan segi-segi obyek dari
perbuatan (daad) dan segi-segi subyektif dari orang/pembuat (dader).
Dari pendekatan ini, sistem pembalikan beban pembuktian sangat tidak
diperkenankan melanggar kepentingan dan hak-hak prinsipiel dari
pembuat/pelaku (tersangka/terdakwa). Bahwa penerapan sistem
pembalikan beban pembuktian ini sebagai realitas yang tidak dapat
dihindari, khususya terjadinya minimalisasi hak-hak dari “dader” yang
berkaitan dengan asas “non self-incrimination” dan “presumption of
innocence”, namun demikian adanya suatu minimalisasi hak-hak tersebut
sangat dihindari akan terjadinya eliminasi hak-hak tersebut, dan apabila
terjadi, inilah yang dikatakan bahwa sistem pembalikan beban
pembuktian adalah potensiel terjadinya pelanggaran HAM.
Sistem Peradilan Tindak
Pidana Korupsi
 Ada 2 (dua) hal pokok yang harus menjadi
atensi semua pihak berkaitan dengan Sistem
Pembalikan Beban Pembuktian yang
rencananya akan diterapkan dalam Sistem
Hukum Pidana Indonesia. Bahwa Sistem
Pembalikan Beban Pembuktian diterapkan
secara terbatas dan khusus hanya terhadap 2
(dua) perbuatan saja, yaitu :
 Penyuapan dan
 Perampasan Harta Benda Terdakwa.
Kekhususan Delik Korupsi dari
Sudut Hukum Pidana Formil
 PRIORITAS PENYELESAIAN PERKARA
KORUPSI
 PERLUASAN SUMBER ALAT BUKTI PETUNJUK
 KELELUASAAN PENYIDIK
 MAKSIMALISASI UPAYA PENGEMBALIAN
KERUGIAN NEGARA
 KEWAJIBAN MEMBERIKAN KESAKSIAN
 PENGADILAN IN ABSENTIA
 PEMBUKTIAN TERBALIK
 PERAN SERTA MASYARAKAT
Kekhususan Delik Korupsi dari
Sudut Hukum Pidana Materiil
 PENGERTIAN PEGAWAI NEGERI DIATUR
DALAM PASAL 1 AYAT (1) UU NO. 31 TAHUN
1999,
 KORPORASI SEBAGAI SUBYEK HUKUM
DIATUR DALAM PASAL 1 AYAT (3) UU NO. 31
TAHUN 1999.
 HUKUMAN PENUH UNTUK PERCOBAAN DAN
PEMBANTUAN
 PERLUASAN WILAYAH INDONESIA
 PIDANA TAMBAHAN
 GRATIFIKASI
 PENJARA MINIMUM
THANKS

Anda mungkin juga menyukai