Anda di halaman 1dari 3

HUKUM PIDANA

Sebagai bagian dari hukum publik bersama dengan hukum tata negara, hukum pajak, dan hukum
administrasi negara, hukum pidana merupakan serangkaian aturan yang mengatur tindakan larangan.
Menurut Prof. Moeljanto S.H., hukum pidana merupakan bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku
di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
 Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan
disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar
larangan tersebut.
 Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan
itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
 Menentukan dengan cara bagimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang
yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Dalam buku Pengantar Hukum Indonesia yang ditulis oleh R. Abdoel Djamali S.H., hukum pidana
sesungguhnya bertujuan untuk mencegah gejala-gejala sosial yang kurang sehat di samping sebagai sebuah
pengobatan bagi pihak yang terlanjur berlaku tidak baik alias menyimpang. Dengan demikian, tujuan adanya
hukum pidana secara konkret adalah:
 untuk menakut-nakuti setiap orang agar jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik; dan
 untuk mendidik orang yang pernah melakukan perbuatan tidak baik menjadi baik dan dapat
diterima kembali dalam kehidupan lingkungannya.
Adapun berdasarkan rumusan hukumnya, hukum pidana dibedakan menjadi dua, yakni hukum pidana
materiil dan hukum pidana formal.
 Hukum pidana materiil (substantive criminal law) adalah serangkaian peraturan hukum atau
perundang-undangan yang menetapkan perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dihukum atau
dilarang untuk dilakukan, siapa saja yang dapat dijatuhi hukuman atas tindakan tersebut, dan
hukuman apa saja yang dapat diberikan pada subjek yang melanggar serta hal-hal apa saja yang
dapat mejadi pengecualian berlakunya penerapan hukum ini.
 Hukum pidana formal (hukum acara pidana) adalah serangkaian ketentuan hukum yang mengatur
tata pelaksanaan atau penerapan hukum pidana materill dalam implementasinya. Atau dalam
definisi lain, hukum pidana formal merupakan segala ketentuan terkait prosedur penuntutan pihak-
pihak yang diduga melakukan perbuatan pidana ke muka pengadilan.
Dalam menyebut sebuah tindakan sebagai delik alias tindak pidana, maka harus ada syarat-syarat yang
terpenuhi, yakni:
1. harus ada perbuatan yang dilakukan baik oleh seseorang maupun beberapa orang;
2. perbuatan tersebut memenuhi isi ketentuan hukum yang berlaku;
3. perbuatan tersebut terbukti sebagai perbuatan yang salah dan dapat dipertanggungjawabkan;
4. perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum; dan
5. harus ada ancaman hukuman untuk perbuatan tersebut.
 TINDAK PIDANA PENIPUAN
Untuk menjelaskan hal ini, mari merujuk pada pasal 378 KUHP yang termaktub dalam Bab XXV
tentang Perbuatan Curang (Bedrog) seperti berikut ini.
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan
hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan
rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau
supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun.”
Maka berdasarkan rumusan tersebut, terdapat unsur-unsur yang dimaksud dalam perbuatan
penipuan, yakni:
1. tindakan dilakukan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan
hukum;
2. menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu atau supaya memberi utang maupun
menghapuskan piutang;
3. dan menggunakan salah satu cara penipuan baik menggunakan nama palsu, martabat palsu,
tipu muslihat, dan rangkaian kebohongan lainnya.
Tiga unsur di atas merupakan dasar untuk menentukan apakah pelanggaran perjanjian yang
dilakukan termasuk dalam kategori penipuan atau tidak. Bila dari awal sudah ditemukan adanya niat
buruk dari pihak yang mengingkari perjanjian seperti menggunakan nama palsu atau serangkaian
kebohongan lainnya, maka perkara jual beli atau utang piutang tersebut dikategorikan sebuah
perkara pidana.
Sebagai penjelasan pasal 378 KUHP tentang Penipuan, R. Soesilo dalam KUHP Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menyatakan bahwa:
1. Membujuk = melakukan pengaruh dengan kelicikan terhadap orang sehingga orang itu
menurutinya berbuat sesuatu yang apabila mengetahui duduk perkara yang sebeneranya ia
tidak akan berbuat demikian itu.
2. Memberikan barang = barang itu tidak perlu harus diberikan (diserahkan) kepada terdakwa
sendiri, sedang yang menyerahkan itu pun tidak perlu harus orang yang dibujuk sendiri, bisa
dilakukan oleh orang lain.
3. Menguntungkan diri sendiri dengan melawan hak = menguntungkan diri sendiri dengan
tidak berhak.
4. Nama palsu = berarti nama yang bukan namanya sendiri. Nama ‘Saimin’ dikatakan ‘Zaimin’
itu bukan menyebut nama palsu, akan tetapi kalau ditulis itu dianggap sebagai menyebut
nama palsu.
5. Keadaan palsu = misalnya mengaku dan bertindak sebagai agen polisi, notaris, pastor,
pegawai kotapraja, pengantar surat pos, dsb-nya yang sebenarnya ia bukan pejabat itu.
6. Akal cerdik atau tipu muslihat = suatu tipuan yang demikian liciknya, sehingga seorang yang
berpikiran normal dapat tertipu. Suatu tipu muslihat sudah cukup, asal cukup liciknya.
7. Rangkaian kata-kata bohong = satu kata bohong tidak cukup, di sini harus dipakai banyak
kata-kata bohong yang tersusun sedemikian rupa, sehingga kebohongan yang satu dapat
ditutup dengan kebohongan yang lain, sehingga keseluruhannya merupakan suatu ceritera
sesuatu yang seakan-akan benar.
8. Tentang “barang” tidak disebutkan pembatasan, bahwa barang itu harus kepunyaan orang
lain. Jadi membujuk orang untuk menyerahkan barang sendiri, juga dapat masuk penipuan,
asal elemen-elemen lain dipenuhinya.
Dalam bukunya yang berjudul Hukum Perjanjian, Soebekti memberi penjelasan bahwa penipuan
terjadi jika salah satu pihak memberikan keterangan yang palsu atau tidak benar dengan sengaja dan
disertai oleh tipu muslihat untuk membujuk pihak lawan perjanjian agar memberi perizinan. Dalam
kata lain, pihak yang menipu melakukan tindakan secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawan.

Anda mungkin juga menyukai