Anda di halaman 1dari 4

Upaya Hukum yang Bisa Ditempuh bila Utang Tidak Dibayar

Utang menjadi salah satu peristiwa yang umum terjadi di masyarakat. Peruntukannya
pun kini tidak hanya untuk membantu keperluan mendesak, tetapi juga dapat menunjang
kegiatan ekonomi dalam bisnis. Namun tentu banyak kondisi di mana seseorang yang
melakukan utang tidak mampu membayar utangnya kembali atau gagal bayar utang.

A. Aturan Hukum Perjanjian Utang Piutang

Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum perdata yang diatur dalam Pasal 1313
KUHPerdata, yang berbunyi:

“suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri
terhadap satu orang lain atau lebih”.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, ada empat syarat yang diperlukan
agar suatu perjanjian dapat dikatakan sah secara hukum, yaitu:

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;


2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu pokok persoalan tertentu; dan
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.

Secara khusus, mengenai perjanjian utang piutang sebagai perbuatan pinjam-


meminjam diatur dalam Pasal 1754 KUHPerdata, sebagai berikut:

“pinjam pakai habis adalah suatu perjanjian, yang menentukan pihak pertama menyerahkan
sejumlah barang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak
kedua itu akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan
keadaan yang sama”.

Konsep utang piutang masuk ke dalam konsep yang diatur oleh Hukum Perdata,
hubungan tersebut terjadi karena hal berikut:

1. Perjanjian antara pihak yang satu dengan yang lain. Misalnya dalam jual-beli, sewa
menyewa, utang piutang, tukar menukar, dan pemberian kuasa.
2. Ketentuan undang-undang yang bermanfaat atau saling menguntungkan bagi pihak-
pihak. Misalnya, perwakilan sukarela, pembayaran tanpa utang, perbuatan menurut
hukum, dan pewarisan.
3. Ketentuan undang-undang yang merugikan orang lain. Misalnya perbuatan melawan
hukum.

Dalam praktiknya seseorang dapat dikatakan wanprestasi (ingkar janji) dalam


membayar utang sesuai Pasal 1234 KUHPerdata adalah sebagai berikut:

1. Utang tidak dibayar sama sekali, artinya pihak yang berhutang (debitur) benar-benar
tidak melaksanakan kewajibannya membayar utang.
2. Membayar utang namun tidak dilunasi sepenuhnya. Artinya pihak yang berhutang
(debitur) membayar utangnya namun tidak tepat waktu.
3. Melaksanakan perbuatan yang dilarang dalam perjanjian. Artinya, bila dalam
perjanjian/kontrak yang dibuat terdapat larangan yang mengharuskan para pihak tidak
melakukan suatu perbuatan, namun ternyata dalam prakteknya terdapat salah satu
pihak melaksanakan larangan tersebut, maka pihak yang melaksanakan larangan
tersebut dapat dinyatakan telah melakukan wanprestasi.

Lalu, umumnya salah satu langkah hukum yang dapat dilakukan bila terdapat pihak
yang melakukan wanprestasi adalah melaporkan debitur kepada pihak kepolisian dengan
tuduhan melakukan tindak pidana penggelapan dan penipuan.

Mengenai apakah boleh seseorang melaporkan orang lain ke pihak berwajib


(kepolisian) karena tidak membayar utang, pada dasarnya tidak ada ketentuan yang melarang
hal tersebut. Akan tetapi, perlu diingat bahwa Pasal 19 ayat (2) UU HAM, telah mengatur
sebagai berikut:

“tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan
berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam
perjanjian utang piutang”.

Merujuk pada ketentuan Pasal 19 ayat (2) UU HAM tersebut, meski ada laporan yang
masuk ke pihak Kepolisian terkait sengketa utang piutang, pengadilan tidak boleh
memidanakan seseorang karena ketidakmampuan membayar utang.

B. Aturan Hukum Penggelapan dan Penipuan dalam KUHP

Namun, pada praktiknya permasalahan utang piutang yang tidak dapat diselesaikan
secara musyawarah seringkali dilaporkan ke pihak kepolisian dengan dasar penggelapan dan
penipuan yang diatur dalam ketentuan KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini
diterbitkan dan UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,
yakni pada tahun 2026, yaitu:

KUHP UU 1/2023
Pasal 372 Pasal 486
Barang siapa dengan sengaja dan melawan Setiap orang yang secara melawan hukum
hukum memiliki barang sesuatu yang memiliki suatu barang yang sebagian atau
seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan seluruhnya milik orang lain, yang ada dalam
orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena tindak pidana,
kekuasaannya bukan karena kejahatan dipidana karena penggelapan, dengan pidana
diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau
penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV yaitu
pidana denda paling banyak Rp900 ribu. Rp200 juta.
Pasal 378 Pasal 492
Barang siapa dengan maksud untuk Setiap orang yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, dengan memakai secara melawan hukum dengan memakai
nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu nama palsu atau kedudukan palsu,
muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian
menggerakkan orang lain untuk menyerahkan kata bohong, menggerakkan orang supaya
barang sesuatu kepadanya, atau supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang,
memberi hutang maupun menghapuskan membuat pengakuan utang, atau menghapus
piutang, diancam karena penipuan dengan piutang, dipidana karena penipuan, dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
atau pidana denda paling banyak kategori V
yaitu Rp500 juta.

Pada dasarnya, substansi dari tindak pidana penggelapan dan tindak pidana penipuan
adalah jelas berbeda dari suatu perjanjian utang piutang yang merupakan perbuatan hukum
perdata. Maka, untuk dapat diproses secara pidana, harus dipenuhi dua unsur, yaitu adanya
unsur actus reus (physical element) dan unsur mens rea (mental element). Unsur actus
reus adalah esensi dari kejahatan itu sendiri atau perbuatan yang dilakukan, sedangkan
unsur mens rea adalah sikap batin pelaku pada saat melakukan perbuatan.
Selain itu, sebagai informasi, Pasal 379a KUHP dan Pasal 497 UU 1/2023 juga
mengatur adanya kriminalisasi bagi seseorang yang menjadikan sebagai mata pencaharian
atau kebiasaan membeli barang dengan cara berutang, dengan maksud sengaja tidak akan
membayar lunas barang tersebut, sebagai berikut:

KUHP UU 1/2023
Pasal 379 Pasal 497
Barang siapa menjadikan sebagai mata Setiap Orang yang menjadikan sebagai mata
pencarian atau kebiasaan untuk membeli pencaharian atau kebiasaan membeli Barang
barang-barang, dengan maksud supaya tanpa dengan maksud untuk menguasai Barang
pembayaran seluruhnya memastikan tersebut bagi diri sendiri atau orang lain tanpa
penguasaan terhadap barang-barang itu untuk melunasi pembayaran, dipidana dengan
diri sendiri maupun orang lain, diancam pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dengan pidana penjara paling lama empat atau pidana denda paling banyak kategori V
tahun. yaitu Rp500 juta.

Berdasarkan penjelasan di atas, membuat laporan atau pengaduan ke polisi memang


hak semua orang yang berkepentingan, namun belum tentu perkara tersebut dapat naik ke
proses peradilan. Hal tersebut dikarenakan unsur dari tindak pidana perlu dipenuhi. Selain itu,
disinilah peran dan integritas penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, hakim dan advokat
sangat diharapkan untuk tidak merusak sistem peradilan yang ada atau dengan memidanakan
suatu perbuatan hukum perdata.

Anda mungkin juga menyukai