Anda di halaman 1dari 11

KELOMPOK 3

Dhimas Fergiawan : 183112330050030


Mochamad Taufiqurrohman : 183112330050034
Kharmain Anggozalih : 183112330050066
A. Masa Pembinaan, Pengembangan dan Pembukuan (Abad VII-X M)

Dalam masa periode Pembinaan, Pengembangan, dan Pembukuan ini hukum islam
dikembangkan lebih lanjut. Periode ini berlangsung lebih kurang dua ratus lima puluh tahun
lamanya, yang dimulai pada bagian kedua abad VII sampai dengan abad X Masehi. Dilihat
dari kurun waktu ini, pembinaan dan pengembangan hukum islam dilakukan dimasa
pemerintahan Khalifah Umayyah (662-750) dimana hukum fiqih Islam sebagai salah satu
kebudayaan islam dikembangakan dan Khalifah Abbasiyah (750-1258) yang merupakan
zaman puncak perkembangannya.

Menurut hasil karyanya para mujtahid itu dapat diklasifikasikan menjadi ; 1) mujtahid
mutlak yaitu para ulama ( jamak dari alim = orang berilmu) yang pertama kali mengusahakan
terbentuknya hukum fiqih islam berdasarkan ijtihad mereka tentang ayat-ayat hukum dalam
Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad. Para mujtahid mutlak ini seperti Abu Hanifah, Malik
bin Anas, As-Syafi’I, Ahmad bin Hambal. 2) Mujtahid mazhab adalah orang yang meneruskan
dasar-dasar ajaran yang telah diberikan oleh mujtahid mutlak.
Contohnya adalah Al-Gazali dengan kitabnya al-Basith (ringkasan dari karya Syafi’I dalam
buku-bukunya yang dianggap sebagai qaul-jaddid (pendapat baru). 3) Mujtahid Fatwa yaitu
orang yang melanjutkan pekerjaan mujtahid mazhab untuk menentukan hukum suatu
masalah melalui fatwa atau nasihatnya.
Sebagai contoh dapat dikemukakan an-Nawawi dengan bukunya Minhaj at-Talibin (jalan bagi
para siswa). 4) Ahli tarjih yaitu orang-orang yang dengan ilmu pengetahuan yang ada
padanya dapat membandingkan mana yang lebih “kuat” pendapat-pendapat yang ada, serta
memberi penjelasan atau komentar atas pendapat yang berbeda yang dikemukakan oleh
para mujtahid tersebut diatas. Ke dalam kelompok ini sekedar contoh dapat disebutkan Ibnu
Hajar Haitami dengan kitabnya Tuhfah (Hadiah).
Pada saat ini mujtahid atau imam besar yang masih diikuti pendapat dan karyanya oleh
sebagian besar umat muslim di dunia yakni dikenal 4 (empat) imam besar yang terdiri dari :
1) Abu Hanifah ( Al-Nukman bin Tsabit) 700-767 M
Bukan orang arab, tetapi keturunan parsi yang lahir di kufah irak dan dibesarkan jauh dari
madinah.
2) Malik bin Anas
Hidup di hijaz, daerah hadits dalam suasana badawah (kampung). Keturunan arab yaman
dan hidup dalam keluarga ahli hadits. Cenderung menggunakan hadits daripada ratio. Malik
bin Anas ini merupakan seorang pengumpul hadist yang menyusunnya dalam kitab hadist
yang dikenal dengan nama Kitab Al Muwatta (jejak langkah atau perintis).
3) Muhammad Idris As-Syafi’i
Memadukan 2 aliran sebelumnya. Keluarga arab quraisy yang miskin di daerah gazza
palestina. Mula-mula hidup di mekah dan madinah (cenderung pada aliran maliki), kemudian
ke bagdad irak dan belajar pada hanifah (buku khilaf malik). Terkenal dengan qaul jadid
(pendapat lama di irak) dan qaul qadim (pendapat baru di mesir) untuk kasus yang sama,
karena faktor waktu, tempat dan kondisi. Kitab: al umm. Karena itu ia dapat menyatukan
kedua aliran Hanafi dan Maliki dan merumuskan sumber-sumber Hukum Islam baru.
4) Ahmad bin Hambal
Sangat keras dan tegas dalam menvonis aliran-aliran dalam islam yang menyalahi al-qur’an
dan sunnah. Lebih keras dari imam malik (tradisionalis). Sikap ini lahir karena reaksi atas
aliran-aliran syiah, khawarij, mu’takzillah dll (misalnya menganggap alqur’an adalah
makhluk).
Pada masa ini ahli hukum tidak lagi menggali hukum fiqih Islam dari sumbernya yang asli
tapi hanya sekedar mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada dalam mashabnya masing-
masing. Yang menjadi ciri umum pemikiran hukum dalam masa ini adalah para ahli hukum
tidak lagi memusatkan usahanya untuk memahami prinsip-prinsip atau ayat-ayat hukum
yang terdapat pada Al Qur’an dan sunah, tetapi pikirannya ditumpukan pada pemahaman
perkataan-perkataan, pikiran-pikiran hukum para imamnya saja.
B. Masa Kelesuan Pemikiran (Abad XM-XIXM)
Pada masa ini ahli hukum tidak lagi menggali hukum fiqih Islam dari sumbernya yang asli
tapi hanya sekedar mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada dalam mashabnya masing-
masing. Yang menjadi ciri umum pemikiran hukum dalam masa ini adalah para ahli hukum
tidak lagi memusatkan usahanya untuk memahami prinsip-prinsip atau ayat-ayat hukum
yang terdapat pada Al Qur’an dan sunah, tetapi pikirannya ditumpukan pada pemahaman
perkataan-perkataan, pikiran-pikiran hukum para imamnya saja.
Faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran atau kelesuan hukum islam dimasa itu adalah
a) Kesatuan wilayah islam yang luas telah retak dengan munculnya beberapa Negara
baru.
1. Ketidakstabilan politik.
2. Pecahnya kesatuan kenegaraan atau pemerintahan menyebabkan merosotnya
kewibawaan pengendalian perkembangan hukum.
b) Gejala kelesuan berfikir timbul dimana-mana dengan demikian perkembangan hukum
Islam pada periode ini menjadi lesu.
a. Pada Masa Taqlid
Sejak itu, mulailah gejala untuk mengikuti saja pendapat para ahli sebelumnya (ittiba’ –
taqlid). Periode taqlid ini adalah periode dimana semangat ijtihad mutlak para ulama sudah
pudar dan berhenti.
b. Sebab-sebab terhentinya gerakan ijtihad :
Ada 4 faktor penting yang menyebabkan terhentinya gerakan ijtihad dan suburnya kebiasaan
bertaqlid kepada para imam terdahulu, yaitu:
1. Terpecah-pecahnya Daulah Islamiyah ke dalam beberapa kerajaan yang antara satu
dengan yang lainnya saling bermusuhan, saling memfitnah, memasang berbagai perangkap,
tipu daya dan pemaksaan dalam rangka meraih kemenangan dan kekuasaan.
2. Pada pariode ketiga para imam Mujtahid terpolarisasi dalam beberapa golongan.
Masing-masing golongan membentuk menjadi aliran hukum tersendiri dan mempunyai
khittah tersendiri pula. Misalnya ada kalanya dalam rangka membela dan memperkuat
mazhabnya masing-masing dengan cara mengemukakan argumentasi yang melegitimasi
kebenaran mazhabnya masing-masing mengedepankan kekeliruan mazhab lain yang dinilai
bertentangan dengan mazhabnya.
3. Umat Islam mengabaikan sistem kekuasaan perundang-undangan, sementara di sisi
lain mereka juga tidak mampu merumuskan peraturan yang bisa menjamin agar seseorang
tidak ikut berijtihad kecuali yang memang ahli dibidangnya.
4. Para ulama dilanda krisis moral yang menghambat mereka sehingga tidak bisa
sampai pada level orang-orang yang melakukan ijtihad. Di kalangan mereka terjadi saling
menghasut dan egois mementingkan diri sendiri.
c. Kesungguhan Ulama Dalam Pembentukan Hukum Pada Periode Ini
Para ulama pada tiap-tiap mazhab bisa dibagi menjadi beberapa level atau tingkatan, yaitu:
1. Tingkatan Pertama (ahli ijtihad dalam mazhab)
Mereka ini tidak berijtihad dalam hukum syariat secara ijtihad mutlak, mereka hanya
berijtihad mengenai berbagai kasus yang terjadi dengan dasar-dasar ijtihad yang telah
dirumuskan oleh para imam mazhab mereka.
2. Tingkatan Kedua (ahli ijtihad mengenai beberapa masalah yang tidak ada riwayat dari
imam mazhabnya.)
Mereka ini tidak menyalahi para imam mereka dalam berbagai hukum cabang dan juga tidak
menyalahi dasar-dasar ijtihad yang mereka gunakan.
3. Tingkatan Ketiga ( ahli takhrij)
Mereka ini tidak berijtihad dalam mengistimbatkan hukum mengenai berbagai masalah. Akan
tetapi, karena keterikatan mereka kepada dasar-dasar dan rujukan mazhab yang dianutnya,
maka merka tidak berusaha mengeluarkan illat-illat hukum dan prinsip-psrinsipnya.
4. Tingkatan Keempat (ahli tarjih)
Mereka ini mampu membandingkan diantara beberapa riwayat yang bermacam-macam yang
bersumber dari pada imam mazhab merekadan sekaligus mampu mentarjih, menetapkan
mana yang kuat antara satu riwayat dengan riwayat lainnya.
5. Tingkatan Kelima (ahli taqlid)
Mereka ini mampu membeda-bedakan riwayat-riwayat yang jarang dikenal dan riwayat yang
sudah terkenal dan jelas, dan mampu membeda-bedakan antara dalil-dalil yang kuat dan
yang lemah.
C. Masa kebangkitan kembali (abad XIXM sampai sekarang)
Setelah mengalami kelesuan dalam beberapa abad lamanya, pemikiran Islam telah bangkit
kembali, timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid tersebut yang telah membawa
kemunduran hukum islam. Pada abad ke XIV telah timbul seorang mujtahid besar yang
menghembuskan angin segar dalam perkembangan hukum islam yang bernama Ibnu
Taimiyyah dan muridnya Ibnu Qayyim al Jaujiyyah.[6] kemudian pola pemikiran mereka
dilanjutkan pada abad ke XVII oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab yang terkenal dengan
gerakan baru di antara gerakan-gerakan para ahli hukum yang menyarankan kembali
kepada Al-Qur’an dan Sunnah.[7] Gerakan ini oleh Prof. H. Muhammad Daud Ali, SH dalam
bukunya. Hukum Islam, disebutkan sebagai gerakan Salaf (Salafiah) yang ingin kembali
kepada kemurnian ajaran Islam di zaman salaf (permulaan), generasi awal dahulu.
Hanya saja barangkali pemikiran-pemikiran hukum Islam yang mereka ijtihadkan khususnya
Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim, tidak menyebar luas kepada dunia Islam sebagai akibat dari
kondisi dan situasi dunia Islam yang berada dalam kebekuan, kemunduran dan bahkan
berada dalam cengkeraman orang lain, ditambah lagi dengan sarana dan prasarana
penyebaran ide-ide seperti percetakan, media massa dan elektronik serta yang lain
sebagainya tidak ada, padahal sesungguhnya ijtihad-ijtihad yang mereka hasilkan sangat
berilian, menggelitik dan sangat berpengaruh bagi orangyang mendalaminya secara serius.
Ijtihad-ijtihad besar yang dilakukan oleh kedua dan bahkan ketiga orang tersebut di atas,
dilanjutkan kemudian oleh Jamaluddin Al-Afgani (1839-1897) terutama di lapangan politik.
Jamaluddin Al-Afganiinilah yang memasyhurkan ayat Al- Qur’an : Sesungguhnya Allah tidak
akan merubah nasib suatu bangsa kalau bangsa itu sendiri tidak (terlebih dahulu) berusaha
mengubah nasibnya sendiri (Q.S. Ar-Ra’du (13) : 11). Ayat ini dipakainya untuk
menggerakan kebangkitan ummat Islam yang pada umumnya dijajah oleh bangsa Barat
pada waktu itu. Al-Afgani menilai bahwa kemunduran ummat Islam itu pada dasarnya adalah
disebabkan penjajahan Barat.

Anda mungkin juga menyukai