Anda di halaman 1dari 5

TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT PADA DATA POLIS ASURANSI

Tindak pidana pemalsuan surat adalah tindak pidana yang implikasinya berdampak pada
kebenaran dan kepercayaan terhadap orang. Pelaku sering kali memakai Surat palsu bertujuan
untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri. Tindak pidana pemalsuan Surat yang
sering terjadi adalah pemalsuan data polis asuransi yang merupakan perjanjian asuransi atau
pertanggungan bersifat konsensual yang harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta antara
pihak yang mengadakan perjanjian. Tindak pidana penipuan dalam asuransi sering terjadi
untuk meraih keuntungan bagi diri sendiri, dengan menarik kepercayaan orang lain yang
ingin menggunakan suatu produk asuransi akan tetapi dengan dokumen asuransi yang palsu.

Dalam perspektif KUHP, pemalsuan polis asuransi diatur di dalam Bab XII dari Buku II
mengenai kejahatan, dengan membahas mengenai perbuatan kepalsuan dari surat yakni suatu
bentuk dari jenis sebuah pelanggaran dari kepercayaan bagi diri sendiri maupun orang lain.
Pemalsuan dalam perasuransian mengenai surat tersebut tertuang di dalam Pasal 263 Ayat (1)
dan Ayat (2) KUHP:

(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan
sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti
daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai
surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian
tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara
paling lama enam tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu
atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan
kerugian.

Kemudian di dalam Pasal 264 KUHP:


(1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika
dilakukan terhadap:
- Akta-akta otentik,
- Surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari
suatu Lembaga umum,
- Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dan suatu perkumpulan,
yayasan, perseroan atau maskapai.
- Talon, tanda bukti deviden atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2
dan 3 atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu
- Surat Kredit atau surat dagang yang diperuntukan untuk diedarkan.

(2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut
dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan
tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Bahwa lebih lanjut ketentuan tindak pidana bidang perasuransian tentang pemalsuan data
atau dokumen diatur dalam pasal 78 undang-undang No 40 Tahun 2014 (UU Asuransi):
Setiap Orang yang melakukan pemalsuan atas dokumen Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 33 UU Asuransi:
Setiap Orang dilarang melakukan pemalsuan atas dokumen Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah.
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, pemalsuan data maupun dokumen polis asuransi
untuk tujuan apapun adalah murni melawan hukum, berdasarkan Pasal 78 UU Asuransi
tersebut diatas, pelaku yang melakukan Tindakan tersebut dapat dikenakan pidana penjara
maksimal 6 (enam) tahun dan denda maksimal Rp5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).

TINDAK PIDANA PENGGELAPAN PREMI/KONTRIBUSI ASURANSI


Premi adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh Perusahaan Asuransi atau perusahaan
reasuransi dan disetujui oleh Pemegang Polis untuk dibayarkan berdasarkan perjanjian
Asuransi atau perjanjian reasuransi, atau sejumlah uang yang ditetapkan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mendasari program asuransi wajib untuk
memperoleh manfaat,

Sedangkan Kontribusi adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh Perusahaan Asuransi
Syariah atau perusahaan reasuransi syariah dan disetujui oleh Pemegang Polis untuk
dibayarkan berdasarkan perjanjian Asuransi Syariah atau perjanjian reasuransi syariah untuk
memperoleh manfaat dari. Dana Tabarru' dan/atau dana investasi Peserta dan untuk
membayar biaya pengelolaan atau sejumlah uang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mendasari program asuransi wajib untuk memperoleh
manfaat.

Dalam pelaksanaan kegiatan perasuransian pembayaran premi/kontribusi yang dilakukan


melalui agen asuransi tidak selalu berjalan dengan benar, sering dijumpai kasus-kasus
mengenai uang pembayaran premi/kontribusi melalui agen asuransi yang tidak disetor ke
perusahaan asuransi yang bersangkutan. Akibatnya tertanggung dianggap berstatus polis
lapse yaitu polis dianggap tidak lancar atau tidak efektif karena tidak melakukan
pembayaran premi/kontribusi. Hal ini mengakibatkan dilakukannya pemutihan polis
asuransi tertanggung dengan kondisi yang baru. Artinya premi/kontibusi yang tidak disetor
agen tersebut dianggap bahwa tertanggung tidak melakukan pembayaran premi/kontribusi.

Tindak pidana penggelapan premi/kontibusi asuransi sebagaimana yang diatur di dalam


pasal 76 UU Asuransi tidak dapat dilepaskan dari rumusan tindak pidana penggelapan yang
secara umum diatur di dalam Pasal 372 KUHP atau dalam beberapa kasus dapat juga diatur
dalam pasal 378 KUHP. Hal ini dikarenakan dalam UU Asuransi tidak menentukan lebih
jauh apa yang dimaksud dengan bagian inti “menggelapkan” tersebut. Dengan demikian,
makna bagian inti atau unsur “menggelapkan” adalam undang-undang asuransi, harus
ditafsirkan sebagai “penggelapan” dalam prespektif KUHP.

Menurut Pasal Pasal 372 KUHP penggelapan adalah tindak pidana: “Barangsiapa dengan
sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian
adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasannya bukan karena kejahatan
diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau
pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”

Tindak pidana penggelapan yang sebagaimana tersebut dalam BAB XXIV KUHP lebih
tepat disebut sebagai “tindak pidana penyalahgunaan hak” atau “penyalahgunaan
kepercayaan‟. Karena dengan penyebutan tersebut maka akan lebih memudahkan bagi
setiap orang untuk mengetahui perbuatan apa yang sebenarnya dilarang dan diancam pidana
dalam ketentuan tersebut.

Unsur-unsur Tindak Pidana Penggelapan

Terdapat beberapa unsur dalam tindak pidana penggelapan, yaitu sebagai berikut:

Unsur-unsur Objektif yang meliputi:

a. Unsur Mengakui Sebagai Milik Sendiri


Menurut Adami Chazawi mengemukakan bahwa “Perbuatan memiliki adalah berupa
perbuatan menguasai suatu benda seolah-olah ia pemilik benda itu.” Dengan pengertian
ini di jelaskan bahwa pelaku dengan melakukan perbuatan memiliki atas suatu benda
yang berada dalam kekuasaanya, adalah ia melakukan suatu perbuatan sebagaimana
pemilik melakukan perbuatan terhadap benda itu.

b. Unsur Sesuatu Barang


Perbuatan menguasai suatu barang yang berada dalam kekuasaannya sebagaimana yang
telah diterangkan di atas, tidak mungkin dapat dilakukan pada barang-barang yang sifat
kebendaannya tidak berwujud. Karena objek penggelapan hanya dapat ditafsirkan
sebagai barang yang sifat kebendaannya berwujud, dan atau bergerak.

c. Unsur Yang Seluruh Atau Sebagian Milik Orang Lain


Unsur ini memberikan kita pemahaman bahwa barang yang dikuasai oleh pelaku
penggelapan bukanlah miliknya sendiri melainkan milik orang lain atau badan hukum.
Lebih lanjut Adami Chazawi memberikan penegasannya bahwa: “Benda yang tidak ada
pemiliknya, baik sejak semula maupun tidak dilepaskan hak miliknya tidak dapat
menjadi objek penggelapan. Benda milik suatu badan hukum, seperti milik Negara
adalah berupa benda yang tidak/bukan dimiliki oleh orang, adalah ditafsirkan sebagai
milik orang lain, dalam arti bukan milik petindak, dan oleh karena itu dapat menjadi
objek pengelapan atau pencurian”

Unsur-unsur Subjektif meliputi:


a. Dengan Sengaja
Unsur ini merupakan unsur kesalahan dalam tindak pidana penggelapan, dimana
terdapat beberapa klasifikasi kesengajaan pelaku dalam penggelapan yaitu:

- Petindak mengetahui, sadar bahwa perbuatan memiliki benda milik orang lain
yang berada dalam kekuasaannya itu sebagai perbuatan yang melawan hukum,
suatu perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya atau
bertentangan dengan hak orang lain.
- Petindak dengan kesadaran yang sedemikian itu menghendaki untuk melakukan
perbuatan memiliki.
- Petindak mengetahui, menyadari bahwa ia melakukan perbuatan memiliki itu
adalah terhadap suatu benda, yang disadarinya bahwa benda itu milik orang lain
sebagaian atau seluruhnya.
- Petindak mengetahui, menyadari bahwa benda milik orang lain berada dalam
kekuasaannya bukan karena kejahatan. Kesengajaan yang harus ditujukan pada
semua unsur yang dibelakangnya itu harus dibuktikan dalam persidangan. Oleh
karenanya hubungan antara orang yang menguasai dengan barang yang dikuasai
harus sedemikian langsungnya, sehingga untuk melakukan sesuatu terhadap
barang tersebut orang tidak memerlukan tindakan lain.

b. Unsur Secara Melawan Hukum


Suatu benda milik orang lain berada dalam kekuasaan seseorang didapatkan oleh
sebab perbuatan melawan hukum (suatu kejahatan) maupun oleh sebab perbuatan
yang sesuai dengan hukum. Adami Chazawi menjelaskan bahwa sebagai syarat dari
penggelapan ini adalah barang yang berada dalam kekuasaan petindak haruslah oleh
sebab perbuatan yang sesuai dengan hukum seperti karena penitipan, pinjaman,
perjanjian sewa, penggadaian, dan sebagainya. Kemudian orang yang diberi
kepercayaan untuk menyimpan dan sebagainya itu menguasai barang tersebut untuk
diri sendiri secara melawan hukum, maka orang tersebut berarti melakukan
penggelapan.

Tindak Pidana Penggelapan Premi Asuransi

Ketentuan pidana yang terdapat di dalam UU Asuransi bermaksud supaya norma hukum
administratuf yang terdapat dalam UU Asuransi tersebut ditaati oleh para pelaku usaha
perasuransian sebagaimana terkait Tindak pidana penggelapan premi asuransi yang diatur di
dalam Pasal 76 UU Asuransi: “Setiap Orang yang menggelapkan Premia atau Kontribusi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (5) dan Pasal 29 Ayat (4) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah)”

Pasal 28 Ayat (5) UU Asuransi


“Agen Asuransi dilarang menggelapkan Premi atau Kontribusi”

Pasal 29 Ayat (4) UU Asuransi


“Perusahaan pialang asuransi dan perusahaan pialang reasuransi dilarang menggelapkan
Premi atau Kontribusi”

Kemudian di dalam Pasal 372 KUHP telah menentukan: “Barangsiapa dengan sengaja dan
melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah
kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya buka karena kejahatan,
diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda
paling banyak Sembilan ratus rupiah.”

Berdasarkan Pasal 372 KUHP dan Pasal 76 UU Asuransi tersebut diatas, dapat dipahami
bahwa unsur-unsur tindak pidana penggelapan premi asuransi adalah:
- Dengan sengaja dan melawan hukum
- Memiliki premi/kontibusi asuransi yang seluruh atau Sebagian adalah kepunyaan orang
lain.
- Yang ada padanya bukan karena kejahatan.
Bahwa yang dimaksud dengan premi/kontribusi dalam tindak pidana penggelapan harus
dipahami sebagai “sejumlah uang”

Berdasarkan hal tersebut, maka ketika seorang agen asuransi didakwa melakukan tindak
pidana penggelapan premi asuransi

Anda mungkin juga menyukai