PENGGELAPAN
OLEH :
NIM : 1902030027
PRODI S1 HUKUM
UNIVERSITAS BUMIGORA
MATARAM
202
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang menjadi faktor-faktor atau motivasi seseorang melakukan tindak pidana
penipuan?
2. Bagaiamana upaya aparatur penegak hukum dalam mengatasi tindak pidana penipuan
dan penggelapan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui faktor-faktor atau motivasi seseorang dalam melakukan tindak pidana
penipuan dan penggelapan.
2. Untuk mengetahui upaya apa saja yang dilakukan aparatur penegak hukum dalam
mengatasi tindak pidana penipuan dan penggelapan.
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi kejahatan
Ketika berbicara tentang kejahatan, sebenarnya banyak hal yang dapat diulas.
Paling tidak dimulai dengan definisi kejahatan. Kejahatan sering diartikan sebagai
perilaku pelanggaran aturan hukum akibatnya seseorang dapat dijerat hukuman.
Kejahatan terjadi ketika seseorang melanggar hukum baik secara langsung maupun tidak
langsung, atau bentuk kelalaian yang dapat berakibat pada hukuman. Dalam perspektif
hukum ini, perilaku kejahatan terkesan aktif, manusia berbuat kejahatan. Namun
sebenarnya “tidak berperilaku” pun bisa menjadi suatu bentuk kejahatan, contohnya:
penelantaran anak atau tidak melapor pada pihak berwenang ketika mengetahui terjadi
tindakan kekerasan pada anak di sekitar kita.
Adapula perspektif moral. Perilaku dapat disebut sebagai kejahatan hanya jika
memiliki 2 faktor: 1) mens rea (adanya niatan melakukan perilaku), dan 2) actus
reus (perilaku terlaksana tanpa paksaan dari orang lain). Contohnya: pembunuhan disebut
kejahatan ketika pelaku telah memiliki niat menghabisi nyawa orang lain, serta ide dan
pelaksanaan perilaku pembunuhan dimiliki pelaku sendiri tanpa paksaan dari orang lain.
Jika pelaku ternyata memiliki gangguan mental yang menyebabkan niatnya terjadi diluar
kesadaran, contoh: perilaku kejahatan terjadi pada saat tidur atau tidak sadar, maka faktor
mens rea-nya dianggap tidak utuh, atau tidak bisa secara gamblang dinyatakan sebagai
kejahatan, karena orang dengan gangguan mental tidak bisa dimintai pertanggungjawaban
atas perilakunya (Davies, Hollind, & Bull, 2008).
Tindak pidana penipuan merupakan suatu perbuatan yang sangat merugikan dan
membuat keresahan dalam masyarakat. Di dalam Bab XXV KUHP dimuat berbagai
bentuk penipuan yang dirumuskan dalam Pasal 378 sampai dengan 395.
Pasal 378 KUHP berbunyi “bahwa suatu perbuatan dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hak, mengggunakan nama
palsu atau sifat palsu atau tipu muslihat atau susunan kata -kata bohong menggerakkan
orang lain untuk menyerahkan suatu benda atau mengadakan perjanjian atau meniadakan
perjanjian dihukum pidana penjara selama-lamanya empat tahun.”
Adapun unsur-unsur dari tindak pidana penipuan terdiri dari unsur obyektif yaitu
barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain serta unsur subyektif penipuan ini
adalah dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan
hukum agar korban :
a. Memberikan suatu barang
b. Membuat utang atau menghapus piutang
c. Membujuk/menggerakkan orang lain dengan sarana
d. Nama palsu artinya bukan nama sendiri, termasuk nama yang tidak dimiliki orang lain
termasuk nama tambahan dan gelar
e. Keadaan palsu
f. Rangkaian kata-kata bohong
g. Tipu muslihat.
Sedangkan tindak pidana penggelapan diatur dalam ketentuan Pasal 372 KUHP yang
menyatakan bahwa “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki
barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dan yang ada padanya bukan
karena kejahatan dihukum karena penggelapan dengan hukuman penjara selama -lamanya
4 tahun atau denda sebanyak-banyaknya enam puluh rupiah .”
a. Faktor keimanan
Faktor yang menyebabkan seseorang melakukan tindak pidana penipuan salah
satunya yaitu terdapat dalam diri pelaku itu sendiri. Faktor dari segi keyakinan atau
kepercayaan pelaku menjadi salah satu faktor utama atau yang paling mendasar
penyebab terjadinya tindak pidana ini. Agama ikut berfungsi membentuk sikap hidup dan
budaya masyarakat. Keyakinan atas agama adalah kebudayaan terbesar dalam sejarah
hidup manusia. Agama tidak dapat keluar begitu saja dari jiwa manusia. Simbol-simbol
beragama yang dijadikan alat komunikasi dengan Tuhan merupakan kebudayaan yang
paling pertama lahir pada manusia.
b. Faktor keinginan
Faktor penyebab terjadinya tindak pidana penipuan juga terdapat dari pengaruh luar
diri pelaku. Faktor-faktor ini antara lain yaitu:
a. Faktor Keluarga
b. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi merupakan faktor yang utama dari penyebab terjadinya tindak
pidana tersebut. Tidak hanya tindak pidana penipuan saja, faktor ekonomi jika kita
lihat dan cermati menjadi faktor yang utama dalam penyebab seseorang melakukan
suatu tindak pidana ataupun kejahatan. Dorongan gaya hidup dan himpitan biaya
untuk hidup menjadikan seseorang dapat melakukan apa saja demi tercapainya apa
yang mereka inginkan. Kemiskinan menjadi faktor atau penyebab utama seseorang
melakukan kejahatan. Terjadinya tindak pidana penipuan dengan modus
penggandaan uang salah satu yang paling dominan dipicu oleh faktor ekonomi.
Kebutuhan yang harus dipenuhi dan semakin mahalnya harga-harga kebutuhan
mengakibatkan seseorang harus bekerja keras dalam mendapatkan penghasilan.
Susahnya mencari penghasilan yang lebih dan cukup untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari, menyebabkan pelaku mengambil jalan pintas dengan cara menipu
seseorang. Pelaku merasa bahwa dengan cara menipu penghasilan lebih banyak dan
cepat didapatkan.
c. Faktor Lingkungan
d. Faktor masyarakat
Masyarakat yang dimaksud disini adalah para korban atas tindak pidana
penipuan. Masyarakat yang menjadi korban dari penipuan ini tentu masih percaya
dengan hal-hal atau modus yang dijanjikan pelaku kepada korban seperti halnya
mendapat komisi. Bahkan beberapa orang yang berpendidikan tinggi pun menjadi
korban dalam tindak pidana penipuan ini karena tergiur dengan uang atau hal-hal
yang dijanjikan pelaku.
B. Upaya Aparatur Penegak Hukum dalam mengatasi Tindak Pidana Penipuan dan
Penggelapan
Berbagai program dan kegiatan telah dilakukan sambil terus-menerus mencari cara
yang paling tepat dan efektif untuk mengatasi masalah tersebut.Yang dilakukan harus
bertumpu pada upaya merubah sikap manusia disamping terus merubah pula lingkungan
dimana manusia tersebut hidup dan bermasyarakat dengan manusia lainnya. Hal ini
disebabkan karena kultur dan respon dari masyarakat pada dasarnya adalah adaptasi dari
lingkungannya. Penanggulangan kejahatan empiris terdiri atas tiga bagian pokok, yaitu:
1. Pre-Emtif
Yang dimaksud dengan upaya Pre-Emtif di sini adalah upaya-upaya awal yang
dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Usaha-usaha
yang dilakukan dalam penanggulangan kejahatan secara pre-emtif adalah menanamkan
nilai-nilai/norma-norma yang baik sehingga norma-norma tersebut terinternalisasi dalam
diri seseorang. Meskipun ada kesempatan untuk melakukan pelanggaran/kejahatan tapi
tidak ada niatnya untuk melakukan hal tersebut maka tidak akan terjadi kejahatan. Jadi
dalam usaha pre-emtif, faktor niat menjadi hilang meskipun ada kesempatan. Cara
pencegahan ini berasal dari teori NKK, yaitu : niat + kesempatan terjadilah kejahatan.
Contohnya, di tengah malam pada saat lampu merah lalu lintas menyala maka
pengemudi itu akan berhenti dan mematuhi aturan lalu lintas tersebut meskipun pada
waktu itu tidak ada polisi yang berjaga. Hal ini selalu terjadi di banyak negara seperti
Singapura, Sydney dan kota besar lainnya di dunia. Jadi dalam upaya pre-emtif faktor
niat tidak terjadi.
2. Preventif
Upaya-upaya preventif ini adalah merupakan tindak lanjut dari upaya pre-emtif yang
masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Dalam upaya preventif
yang ditekankan adalah menghilangkan kesempatan untuk dilakukannya kejahatan.
Contoh ada orang ingin penipuan tapi kesempatan itu dihilangkan dengan berbagai upaya
pencegahan yang dilakukan oleh kepolisian, misalnya dengan patroli rutin maupun
penempatan petugas keamanan di ATM. Sejak dahulu kala kejahatan yang termasuk
dalam lingkup Whte Collar Crime, memiliki karakteristik khusus, dan pencegahan
maupun penanggulangannyapun membutuhkan cara-cara khusus, seperti penelitian yang
tergolong lama oleh Politik kriminal yang menyangkut WCC mempunyai karakteristik
khusus. Untuk memahami karakteristik yang bersifat khusus ini perlu dikaji secara
mendalam hakekat WCC, maka karakteristik WCC dan dapat dilihat sebagai politik
kriminal untuk antisipasi yuridis dan non yuridis terhadap penanggulangan kejahatan ini.
3. Represif
Upaya ini dilakukan pada saat telah terjadi tindak pidana/kejahatan yang tindakannya
berupa penegakan hukum (law enforcement) dengan menjatuhkan hukuman,
KESEMUANYA DILAKUKAN DENGAN TRANSPARAN
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tindak pidana penipuan merupakan suatu perbuatan yang sangat merugikan dan
membuat keresahan dalam masyarakat. Di dalam Bab XXV KUHP dimuat berbagai
bentuk penipuan yang dirumuskan dalam Pasal 378 sampai dengan 395.
Pasal 378 KUHP berbunyi “bahwa suatu perbuatan dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hak, mengggunakan nama
palsu atau sifat palsu atau tipu muslihat atau susunan kata -kata bohong menggerakkan
orang lain untuk menyerahkan suatu benda atau mengadakan perjanjian atau meniadakan
perjanjian dihukum pidana penjara selama-lamanya empat tahun.”
Sedangkan tindak pidana penggelapan diatur dalam ketentuan Pasal 372 KUHP yang
menyatakan bahwa “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki
barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dan yang ada padanya bukan
karena kejahatan dihukum karena penggelapan dengan hukuman penjara selama -
lamanya 4 tahun atau denda sebanyak-banyaknya enam puluh rupiah .”
a. Faktor keimanan
b. Faktor keinginan
2. Pengaruh dari luar diri pelaku
a. Keluarga
b. Ekonomi
c. Lingkungan
d. Masyarakat
Upaya Aparatur Penegak Hukum dalam mengatasi Tindak Pidana Penipuan dan
Penggelapan :
1. Pre-Emitif
2. Preventif
3. Refresif
B. SARAN
Dalam menanggulangi tindak pidana penipuan saya selaku penulis berharap agar
apparat penegak hukum khususnya polisi lebih aktif lagi dalam hal pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana penipuan dan penggelapan ini.
2. Untuk Masyarakat
Agar tidak menjadi korban maupun pelaku tindak pidana tindak pidana
penipuan, masyarakat perlu melakukan tindakan pencegahan dengan selalu berhati-
hati, waspada dan tidak mudah tergiur dengan modus-modus atau keuntungan yang
ditawarkan oleh siapapun. Masyarakat baik korban ini maupun masyarakat lain yang
terkait dengan tindak pidana penipuan ini juga harus lebih aktif dalam bekerjasama
dengan polisi dalam melakukan komunikasi yang baik dan memberikan informasi
yang benar untuk membantu mempermudah proses penyidikan kasus tindak pidana
penipuan dan penggelapan.