Anda di halaman 1dari 13

TUGAS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

IDENTIFIKASI UNDANG-UNDANG DALAM PENYELESAIAN PELANGGARAN

MENGGUNAKAN UPAYA NON PENAL

OLEH :

Falya Kiara Hafia (B10020342)

Kelas E

Dosen Pengampu

Dheny Wahyudi, S.H., M.H

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS JAMBI TAHUN AJARAN 2022


TUGAS :

Identifikasi di beberapa UU yang dalam penyelesaian pelanggarannya menggunakan upaya

non penal minimal 5 UU dengan ketentuan sbb :

1. Nama UU

2. Jenis Perbuatan

3. Pasal

4. Mekanisme Penyelesaian

5. Analisis

1. Pencurian Ringan Di Mini Market

Nama UU : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Jenis Perbuatan : Kasus pencurian bernilai ringan di Mini Market UD. Surya

Abadi yang berada di daerah Jl. Dumpil, Buduk, Mengwi, ada dua kasus yang pertama

seorang perempuan berusia 61 tahun melakukan pencurian minyak dan gula serta yang kedua

seorang anak berusia 11 tahun melakukan pencurian beberapa roti karena tidak mempunyai

uang untuk membelinya. Pencurian ringan ialah pencurian yang memiliki unsur-unsur dari

pencurian di dalam bentuk yang pokok, yang karena ditambah dengan unsur-unsur lain (yang

meringankan).

Pasal : 364 KUHP

Mekanisme Penyelesaian : Dalam penyelesaian kasus pencurian bernilai ringan ini ada

alternatif yang dapat dilakukan yaitu peran restorative justice dimana sangat menjunjung

tinggi keadilan bagi masyarakat. Salah satunya yang bisa diterapkan yaitu adanya
penyelesaian secara mediasi yang dilakukan diluar pengadilan, yang merupakan cara

penyelesaian yang dianggap akan memberikan win win solution kepada kedua belah pihak.

Dalam hal penyelesaian permasalahan tindak pidana ringan, terdapat satu penyelesaian yang

dianggap dapat memanusiakan manusia yaitu Restorative Justice, yang dimana dalam hal ini

lebih memfokuskan kepada alasan terjadinya kejahatan, dan juga memperjuangkan hak dari

pelaku tersebut. Mengapa demikian, karena pada dasarnya Restorative Justice akan

menjadikan pelaku dan korban mendapatkan hak yang sama, dan merekomendasikan

permasalahan kedua belah pihak. Dalam hal ini pemilihan penyelesaian hukum dengan

konsep Restorative Justice sangat direkomendasikan dimana ini merupakan proses yang

terbaik bagi pelaku dan juga korban.

Analisis : Dalam Hukum Pidana, mencakup segala norma-norma hukum

yang berisikan larangan – larangan serta apa saja pelanggaran yang tidak boleh dilakukan

oleh masyarakat, yang jika bertentangan dengan undang-undang yang mengatur akan

dijatuhkannya sanksi berupa ancaman hukuman yang sudah ditentukan dalam hukum pidana

tersebut. Tindak pidana ringan, khususnya tindak pidana pencurian bernilai ringan adalah

tindak pidana yang dianggap tidak terlalu serius karena unsur-unsurnya tidak mencakup

dalam tindak pidana berat, maka marak terjadi di dalam lingkungan masyarakat karena

masyarakat merasa pencurian ringan ini tidak akan berdampak buruk bagi mereka, dan hanya

masalah sepele.

Tindak pidana pencurian bernilai ringan dalam hukum positif di Indonesia diatur dalam Pasal

364 KUHP. Faktor ekonomi adalah faktor utama yang menjadikan masyarakat kerap

melakukan dan perbuatan tersebut sangat jauh dari adanya manfaat yang didapatkan, karena

alih – alih mendapatkan keuntungan pelaku justru akan mengalami kerugian yang besar yaitu,

akan mendekam di dalam penjara dan dijatuhi hukuman sesuai sanksi yang diberikan. Pelaku
pencurian akan melakukan cara apapun untuk melakukan atau untuk mendapatkan apa yang

diinginkan. Secara umum sebenarnya faktor pendorong seseorang melakukan kejahatan

adalah kebutuhan mendesak, alasan personal, kondisi sosial, pengaruh lingkungan, kurangnya

tingkat Pendidikan, serta pengaruh alkohol dan narkoba.

Faktor penyebab terjadinya pencurian secara umum biasanya karena kebutuhan yang

mendesak namun, pergaulan juga sangat mempengaruhi jika memiliki teman yang pencuri

akan besar peluang menjadi pencuri juga. Jika dikaitkan terhadap faktor penyebab terjadinya

pencurian ringan ini sebenarnya tidak jauh dari faktor yang terdapat di dalam penyebab

terjadinya tindak pidana pencurian yaitu:

a. FaktorInternal

 Faktor ekonomi, yang mana menjadi masalah penyebab timbulnya pencurian

karena kurangnya kestabilan ekonomi seseorang nantinya membawa sebuah

pengaruh dalam tingkah laku orang itu.

 Faktor Pendidikan, faktor ini juga tidak kalah besar dengan faktor lainnya,

minimnya jenjang pendidikan yang dimiliki seseorang akan dapat

mempengaruhi cara dari berpikir orang tersebut, dalam hal bertingkah laku.

 Faktor kurang kasih sayang, dalam hal ini kasus yang terjadi lebih terhadap

anak, karena kurangnya kasih sayang akan memicu anak tersebut melakukan

pencurian.

b. Faktor Eksternal

 Faktor Lingkungan yang buruk, jika ada seseorang yang lahir dengan kondisi

lingkungan yang kurang baik untuk tumbuh kembangnya, akan memicu orang

tersebut akan terjerumus kedalam tindak kejahatan pencurian.


 Faktor minuman beralkohol atau yang biasa disebut minuman keras atau miras

; faktor ini juga marak terjadi di kalangan remaja hingga orang dewasa, tidak

memperhatikan jumlah minuman keras yang dikonsumsi membuat orang

tersebut menjadi hilang kontrol serta kesadarannya yang dapat membuat

tindakan membahayakan orang – orang disekitar.

Adapun hambatan yang dialami oleh penyidik dalam hal ini, yaitu kurang kooperatifnya

tersangka dalam mengakui perbuatannya, sering kali tidak mengakui kesalahannya. Dan juga

belum adanya aturan yang secara jelas menjelaskan mengenai mediasi nonpenal yang

membuat terhambatnya diterapkannya hal ini membuat penyidik menjadi ragu. Terdapat dua

faktor yaitu, Faktor Internal, yakni faktor-faktor dari penegak hukum (penyidik) yang

menghambat dalam penerapan mediasi non penal serta Faktor Eksternal, yakni faktor – faktor

dari luar penegak hukum yang mempengaruhi penerapan mediasi non penal. Faktor eskternal

ini dapat berasal dari korban dan tersangka maupun keluarganya serta pihak-pihak lain yang

terlibat dan mempengaruhi.

2. Mafia Tanah

Nama UU : -Undang-Undang No. 51 Tahun 1960

-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Jenis Perbuatan : Dikutip dalam Petunjuk Teknis Tanggal 25 Maret 2019

Nomor 01/JUKNIS/D.VII/2019 tentang Perubahan atas Petunjuk Pelaksanaan/Petunjuk

Teknis Tanggal 10 April 2 018 Nomor 01/JUKNIS/D/VII/2018 Tanggal 10 April 2018

tentang Pencegahan Pemberantasan Mafia Tanah disebutkan bahwa mafia tanah

pengertiannya adalah individu atau kelompok dan atau badan hukum yang kemudian

melakukan tindakan dengan sengaja berbuat kejahatan yang kemudian dapat menimbulkan
serta menyebabkan terjadinya terhambat pelaksanaan penanganan sebuah kasus pertanahan.

Keberadaan mafia tanah merupakan permasalahan yang sudah sangat meresahkan

masyarakat.2 Hingga kini ada banyak laporan permasalahan pembangunan dan juga

kemasyarakatan yang dipicu ulah mafia tanah yang membuat perkara tanah menjadi tidak

berujung pangkal. Mafia Tanah melakukan kejahatan dengan cara pemufakatan jahat

sehingga terindikasi keterlibatan mafia tanah dalam kasus pertanahan.

Pasal : Pasal 6 ayat (1) UU No. 51 thn 1960, 266 KUHP dan 378

KUHP

Mekanisme Penyelesain : Sebagai bentuk upaya penanggulangan terhadap tindak pidana

yang dilakukan oleh “Mafia Tanah”, Kepolisian Negara Republik Indonesia menandatangani

Nota Kesepahaman dengan ATR/ BPN selaku lembaga yang menyelenggarakan urusan

pemerintahan di bidang agraria pertanahan dan tata ruang untuk membantu Presiden dalam

menyelenggarakan pemerintahan negara. Sebagai tindak lanjut dari Nota Kesepahaman

tersebut, dibentuklah suatu Satuan Tugas Pencegahan dan Pemberantasan Kasus Terindikasi

Keterlibatan Mafia Tanah di tiap-tiap provinsi yang terdiri dari jajaran Direskrimum

Kepolisian Daerah beserta jajaran di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional.

Tim Satuan Tugas memiliki tugas yang telah diatur didalam Petunjuk Teknis Tanggal 25

Maret 2019 Nomor 01/JUKNIS/D.VII/2019 tentang Perubahan atas Petunjuk

Pelaksanaan/Petunjuk Teknis Nomor 01/JUKNIS/D/VII/2018 Tanggal 10 April 2018 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Mafia Tanah. Kemudian juga di atur dalam Petunjuk Teknis

Nomor 3/Juknis-800/HK.01.01/III/2021 tanggal 3 Maret 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan

Pembinaan Pencegahan dan Penyelesaian Kejahatan Pertanahan.

Analisis : Faktor kriminogen penyebab terjadi tindak pidana yang

dilakukan oleh “Mafia Tanah” disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor
internal bahwa oknum “Mafia Tanah” ini memiliki kecenderungan melakukan tindak pidana

dikarenakan faktor nafsu ingin memiliki, faktor ini menjadi faktor yang paling dominan

sebagai penyebab terjadinya mafia tanah. Kemudian rendahnya budi pekerti seorang pegawai

yang telah mengenyampingkan norma-norma hukum dan etika sebagai seorang pegawai atau

pejabat demi melancarkan perbuatan tindak pidana oleh “Mafia Tanah” tersebut. Adapun

faktor eksternal adalah faktor kesengsaraan dalam suatu kelompok masyarakat, faktor ini juga

dapat dikaitkan dengan faktor ekonomi yang juga merupakan faktor eksternal penyebab

timbulnya tindak pidana yang dilakukan oleh “Mafia Tanah”. Selain itu, faktor lingkungan

masyarakat juga mendukung sebagai penyebab timbulnya tindak pidana yang dilakukan oleh

“Mafia Tanah” apabila kurangnya kesadaran masyarakat akan hukum dalam lingkungan

tertentu, yang kemudian akan memudahkan oknum yang memiliki niat jahat untuk

melancarkan aksinya.

Selain itu, Upaya non penal terhadap “Mafia Tanah” belum dilaksanakan oleh Aparat

Kepolisian maupun Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional selaku

pihak yang menjadi mitra aparat penegak hukum. Hal ini terlihat dari belum adanya aturan

dalam peraturan yang menjadi pedoman dalam pemberantasan tindak pidana tersebut yang

mengatur tentang upaya pencegahan yang memiliki sasaran terhadap faktor-faktor kondusif

yang menimbulkan tindak pidana tersebut. Adapun Upaya penanggulangan yang berlaku saat

ini adalah pihak kepolisian melaksanakan upaya penal yang dilakukan seperti halnya

menanggulangi tindak pidana namun terdapat peran dari Kementerian ATR/BPN sebagai

mitra yang bekerjasama dengan kepolisian dalam menyediakan data-data pertanahan terkait

untuk kemudian dijadikan bahan dilakukannya penyelidikan maupun penyidikan lebih lanjut

oleh aparat kepolisian.

3. Menanggulangi Aliran Sesat


Nama UU :- Undang-Undang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/

Atau Penodaan Agama Tahun 1965

- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Jenis Perbuatan : Kebebasan beragama dan menjalankan agama di Indonesia

sepenuhnya dijamin oleh undang-undang. Namun demikian, sepanjang sejarah keberagaman

hidup dan pemikiran manusia dalam beragama, hampir bisa dipastikan terdapat sekelompok

orang maupun perorangan yang memiliki ritual-ritual menyimpang atau nyeleneh dari agama

yang dianutnya. Akibatnya, selalu ada pihak yang dinyatakan salah, sesat menyimpang dan

keluar dari rel keagamaan umum. Puncaknya, sebagian masyarakat yang tidak puas,

melakukan tindakan main hakim sendiri berupa serangkaian tindakan anarkis seperti eksekusi

paksa massa, pengrusakan, pembakaran sarana fasilitas ibadah dan tindakan kekerasan

lainnya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) selaku lembaga pemegang otoritas atas tafsir agama

di Indonesia, mengeluarkan fatwa dan daftar aliran kepercayaan yang dianggap sesat dan

menyesatkan, diantara aliran yang dianggap menyesatkan itu antara lain Islam Jamaah,

Ahmadiyah, Ikrar Sunah, Qur'an Suci, Sholat Dua Bahasa, dan Lia Eden.

Pasal : - Pasal 1, 2, 3, 4 (PNPS)

: - Pasal 156, 157 KUHP

Mekanisme Penyelesain : penanggulangan aliran sesat/ perbedaan pandangan

keagamaan/kepercayaan, dapat dilakukan dengan melakukan “pendekatan agama” sebagai

sarana non penal. Atau dengan kata lain, pendekatan agama merupakan salah satu upaya non

penal dalam menanggulangi aliran sesat perbedaan pandangan keagamaan/ kepercayaan.

Sedangkan bentuk konkretnya berupa; Pendekatan Pendidikan/ edukatif maupun Pendekatan

kultural dengan cara membangun komitmen bersama, dakwah, dialog, dan lain sebagainya.
Selain itu, konsepsi kebijakan penanggulangan aliran sesat, sepatutnya dilakukan secara

integral. Pendekatan demikian mengandung konsekuensi bahwa segala usaha yang rasional

untuk menanggulangi aliran sesat harus merupakan satu kesatuan yang terpadu. Ini berarti

kebijakan untuk menangulangi aliran sesat adalah mengintegrasikan dan

mengharmonisasikan kegiatan atau kebijakan non penal dan penal itu ke arah penekanan atau

pengurangan faktor-faktor potensial untuk tumbuh dan suburnya aliran sesat di Indonesia.

Dengan pendekatan integral inilah diharapkan penanggulangan aliran sesat benar-benar dapat

berhasil, sehingga ummat dapat hidup berampingan secara damai dalam menjalankan agama,

keyakinan, ibadah dan kepercayaannya sebagaimana dicantumkan dalam Undang-undang

Dasar 1945.

Analisis : Penanggulangan terhadap aliran sesat melalui upaya non

penal dapat ditempuh dengan melakukan pendekatan agama (religion prevention). Di

samping itu diperlukan pula pendekatan budaya/kultural, pendekatan moral/edukatif. Atau

dengan kata lain, pendekatan agama merupakan salah satu upaya non penal dalam

menanggulangi aliran sesat perbedaan pandangan keagamaan/ kepercayaan.

4. Peredaran Kosmetik Ilegal

Nama UU : Keputusan Kepala BPOM RI No. HK.00.05.4.1745

tentang Kosmetik

Jenis Perbuatan : Produk kosmetik ini disusun dalam kemasan yang menarik,

dan di perjualbelikan oleh pelaku usaha dengan harga yang murah dan mudah didapat. Hal ini

disebabkan karena minimnya pengawasan terhadap produk-produk tersebut sehingga sering

kali produk lokal maupun impor yang tidak dilengkapi dengan perizinan, standar produk

yang memadai, aman untuk dipergunakan dapat masuk pasaran dan diperjualbelikan dengan
mudah. Akibat menggunakan kosmetik tersebut masyarakat mengeluh karena terjadi iritasi

dan rasa terbakar pada kulit seperti dalam kasus di atas telah mengalami peristiwa yang

menyebabkan mereka tidak aman dan tidak selamat. Hal ini merupakan bentuk

penyalahgunaan yang umum terjadi dalam suatu produk kosmetik dengan mengunakanbahan

kimia berbahya atau zat adiktif sebagai komposisi campuran di dalam kosmetik yang

diperjual belikan.

Pasal : 1, 2, dan 10

Mekanisme Penyelesaian : Pengawasan terdiri dari pengawasan BPOM dan operasi razia

gabungan dan Melakukan himbauan atau penyuluhan kepada masyarakat, agar masyarakat

tidak menggunakan kosmetik tersebut karena dapat membahayakan kesehatan. Hal ini dapat

dilakukan melalui iklan media massa dan penyebaran informasi melalui edukasi masyarakat

maupun dilintas sektor dengan membagikan brosur atau stiker. Penyuluhan dan himbauan

adalah salah satu usaha untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Penyuluhan ini

dapat berupa pemberian informasi dan arahan atau masukan kepada masyarakat, khususnya

mengenai penyebaran kosmetik illegal atau mengadung zat berbahaya.

Analisis : Maka, dapat diketahui bahwa dalam upaya penanggulangan

kejahatan secara non penal atau pencegahan ini adalah bagaimana pihak BPOM, baik

Kepolisan dan masyarakat itu sendiri melakukan suatu usaha yang positif, serta bagaimana

kita menciptakan suatu kondisi seperti keadaan ekonomi, lingkungan, juga kultur masyarakat

yang menjadi suatu daya dinamika dalam pembangunan dan bukan sebaliknya seperti

menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial yang mendorong timbulnya perbuatan

menyimpang. Juga disamping itu bagaimana meningkatkan kesadaran partisipasi masyarakat

bahwa kemanan dan ketertiban merupakan tanggung jawab bersama dalam rangka

mengurangi peredaran kosmetik illegal


5. Narkotika Yang Berkaitan Dengan Tanaman Tradisional

Nama UU : -Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

-Undang-Undang RI No. 22 Tahun 1997

Jenis Perbuatan : Kejahatan narkotika merupakan masalah yang sangat

kompleks, yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan

kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang

dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten. Permasalahan yang

dibahas, yaitu bagaimana kebijakan non penal dalam pencegahan kejahatan narkotika, apa

saja kendala dan upaya pada penerapan kebijakan non penal dalam pencegahan kejahatan

narkotika. Meskipun dalam kedokteran, sebagian besar golongan narkotika, psikotropika dan

zat adiktif lainnya (NAPZA) masih bermanfaat bagi pengobatan, namun bila disalahgunakan

atau digunakan tidak menurut indikasi medis atau standar pengobatan terlebih lagi bila

disertai peredaran dijalur ilegal, akan berakibat sangat merugikan bagi individu maupun

masyarakat luas khususnya generasi muda.

Pasal : -Pasal 5, 6, 7, 8 UU No. 35 Tahun 2009

-Pasal 78 Ayat (1) UU RI No. 22 Tahun 1997

Mekanisme Penyelesaian : Dalam hal upaya non penal dalam tindak pidana narkotika

yang berkaitan dengan tanaman tradisional, BNN melakukan sosialisasi pada masyarakat

mengenai apa sajakah tanaman tradisional yang mengandung kandungan narkotika, salah

satunya adalah tanaman khat ini. Sosialisasi disini dimaksukan bahwa BNN menyampaikan

pesan, informasi, keterangan yang belum diketahui oleh masyarakat khususnya pada tanaman

tradisional yang mengandung efek narkotika seperti tanaman khat. Selain peranan aktif dari

instasi pemerintah dalam menyampaikan informasi mengenai tanaman yang mengandung


efek narkotika. Diperlukan pula upaya lain yang berasal dari masyarakat itu sendiri untuk

lebih meningkatkan keberhasilan upaya non penal penanggulangan tindak pidana narkotika

yang berkaitan dengan tanaman tradisional ini antara lain, penggarapan masalah kesehatan

jiwa masyarakat (social hygiene) baik secara individual sebagai anggota masyarakat maupun

kesehatan/kesejahteraan keluarga (termasuk masalah kesejahteraan anak dan remaja), yang

berorientasi pada pendekatan religious dan juga pendekatan identitas budaya nasional, dan

peningkatan keasadaran hukum pada masyarakat untuk lebih menegenal hukum di negaranya.

Karena dengan meningkatnya kesadaran atas hukum maka makin berkurang pula potensi dan

kesempatan masyarakat untuk melanggar hukum.

Analisis : Masalah pengaturan produksi, penyediaan, peredaran,

penyaluran, dan penggunaan psikotropika, diperlukan aturan hukum yang berfungsi sebagai

regulation, serta pencegahan peredaran gelap narkotika dan psikotropika memerlukan

perhatian sebagai bentuk general prevention. Upaya pencegahan ini amat diperlukan sehingga

dapat diketahui berapa jauh maksimal kebutuhan maksimal kebuthan tahunan akan narkotika

dan psikotropika, memang diperlukan. Sebab kalau tidak dikontrol pengadaannya akan

memberikan dampak terhadap penyalahgunaan terhadap produksi narkotika dan psikotropika

yang melebihi kebuthan. Oleh sebab itu program demand reduction and supply reduction

diperlukan analisis secara cermat dan diperlukan kebijakan secara nasional dan

komprehensif. Program demand reduction and supply reduction, kemungkinan tidak dapat

secara tuntas menyelesaikan segala permasalahan yang menyangkut peredaran gelap

narkotika dan psikotropika. Untuk mengantisipasi terhadap peredaran gelap narkotika dan

psikotropika tersebut, maka diperlukan suatu kebijakan dalam rangka pemberantasan

peredaran gelap narkotika dan psikotropika, melalui pengambilan kebijakan kriminal

(criminal policy). Kebijakan kriminal ini dapat dilakukan dengan dua cara, yakni: melalui

sarana penal atau penegakan hukum pidana, dan dengan sarana non penal, antara lain melalui
kegiatan penyuluhan hukum kepada masyarakat. Program criminal policy ini menjadi

tanggung jawab aparat oenegak hukum dengan menegakkan hukum sebagai upaya

punishment, namun juga kadang-kadang diperlukan sarana reward untuk membangkitkan

motivasi masyarakat guna menunjang penegakan hukum. Penanggulangan dan pencegahan

terhadap penyalahgunaan narkotika merupakan tanggung jawab Bangsa Indonesia secara

keseluruhan, bukan hanya berada pada pundak kepolisian, BNN atau pun pemerintah saja.

Namun, seluruh komponen masyarakat diharapkan ikut perperan dalam upaya

penanggulangan tersebut. Setidaknya, itulah yang telah diamanatkan dalam pelbagai

perundang-undangan negara, termasuk UU No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika.

Anda mungkin juga menyukai