Anda di halaman 1dari 4

Nama : Sardo Sondes P.

Lumban Gaol

NIM : 19.01.1817

Tingkat/ Prodi : IV-C/ Teologi

Mata Kuliah : Bimbingan Proposal Skripsi

Dosen Pengampu : Meri Ulina Ginting M.Si, Teol

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkembangan peraturan perundang-undangan pidana dalam pemberantasan korupsi di


Indonesia tidak lepas dari dinamika perkembangan masyarakat serta perkembangan modus
operandi tindak pidana korupsi yang semakin canggih dan semakin sistematis. 1 Secara
historis, korupsi merupakan masalah etika yang dihadapi oleh seluruh umat manusia sejak
ribuan tahun yang lalu hingga saat ini. Handayani (2019, hlm. 4) mengkategorikan Hofni dan
Phinehas sebagai selingkuh dengan mengambil kurban yang merupakan hak Allah. Sifat
curang dapat memenuhi kriteria korupsi. Begitu juga jika dilihat dari konteks saat ini, kasus
korupsi masih marak akhir-akhir ini.2
Bagi beberapa kelompok cendekiawan, lanskap korupsi global telah berubah secara lebih
radikal. Hal ini dicontohkan oleh pengamatan bahwa, pada tahun 1980-an, sebagian besar
perbandingan transnasional sebagian besar impresionistis, tahun 1990-an melihat penyebaran
metodologi yang tampaknya memungkinkan kuantifikasi obyektif dari kejadian dan persepsi
korupsi di berbagai pengaturan nasional. Tapi terobosan ini dicapai dalam menghadapi
rintangan konseptual yang penting, seperti definisi istilah dasar. Selain itu, mereka
mencerminkan berbagai kepentingan dan pandangan yang, sementara membawa energi baru
untuk studi korupsi, juga cenderung "meratakan" variasi di antara kasus-kasus, daripada
menyelidiki masalah sejarah, budaya, dan bahasa yang lebih halus.3
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Kejaksaan Agung dan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) yang digelar pada 27 Januari lalu, terdapat dialektika yang cukup unik. Dalam RDP

1
Lalu Kukuh Kharisma, Karlina Apriani, Kekhususan Tindak Pidana korupsi, (Mataram: Mataram
University Press, 2019), 1.
2
Journal Of Christian Education, Vol 2, No.1, (STT Simpson Ungaran, 2021).
3
Arnold J. Heidenheimer, Michael Jhonston, Political Corruption: Concepts & Contexts, (New Jersey:
Transaction Publisher, 1949), 12.
tersebut Jaksa Agung ST Burhanuddin memberikan statement yang cukup memantik
diskursus klasik di kalangan pengamat dan akademisi mengenai penanganan korupsi di
bawah Rp 50 juta. Lebih lanjut, menurutnya bagi pelaku korupsi yang merugikan keuangan
negara di bawah Rp 50 Juta cukup hanya mengembalikan kerugian negara tanpa harus
menjalani proses hukum (ajudikasi). Hal ini dinilai sebagai langkah yang lebih efektif dan
efisien, sebab lebih mendekati pada penanganan yang cepat sederhana dan berbiaya ringan.
Di satu sisi pernyataan demikian memang tidak sepenuhnya salah, sebab pada faktanya
penanganan kerugian negara yang terjadi dalam tubuh birokrat selalu diarahkan
menggunakan mekanisme pemidanaan, dengan kata lain seluruh bentuk kerugian negara
selalu identik dengan pidana (korupsi) tanpa mengkaitkan dengan hukum administrasi. Hal
demikian yang melahirkan asumsi kriminalisasi pada tubuh birokrasi. Namun demikian,
pernyataan Jaksa Agung yang menyebutkan pelaku korupsi yang merugikan keuangan negara
di bawah Rp 50 juta harus ditangani dengan menggunakan mekanisme non-litigasi justru
seakan dipengaruhi oleh asumsi awal, yang menganggap bahwa kerugian negara selalu
identik dengan korupsi sehingga menciptakan kerancuan yang lebih fundamental.
Kerugian negara secara garis besar merupakan hal yang lumrah terjadi dalam lapangan
penyelenggaraan pemerintahan. Layaknya suatu badan hukum/perusahaan, yang dalam
manajemen organisasinya dapat saja mengalami kerugian, baik secara perdata maupun
pengelolaan secara internal oleh anggota/pegawai. Oleh Karena itu, kerugian negara lazimnya
diposisikan sebagai akibat dan bukan suatu delik (tindak pidana). Sebab pada dasarnya
kerugian negara dapat terjadi dalam lapangan hukum privat (perdata), administrasi bahkan
pidana (publik).
Kerugian keuangan negara lazimnya merupakan akibat yang dapat terjadi dalam lapangan
pemerintahan, baik yang dilakukan secara sengaja maupun kelalaian (administratif). Dari sisi
kelalaian pejabat administrasi, dapat terlihat dari kesalahan dalam pengelolaan maupun
penggunaan anggaran, namun kesalahan tersebut tidak secara otomatis menguntungkan
pejabat terkait. Seperti salah dalam mempertimbangkan suatu kebijakan, maupun
menandatangani dokumen kedinasan, hingga kesalahan prosedur yang mengakibatkan
terjadinya kerugian negara.
Dalam kondisi demikian instrumen hukum administrasi pemerintahanlah yang bermain
dan bukan hukum pidana, oleh sebab itu penting untuk setiap lembaga aparat pengawas intern
pemerintahan (APIP), baik inspektorat maupun BPKP untuk selalu melakukan pengawasan
secara dini sebagai konsekuensi dari early warning system. Sedangkan dari sisi unsur
kesengajaan yang dapat mengakibatkan kerugian negara harus dilihat dari dua perspektif.
Pertama, kesengajaan yang mengandung unsur dualing yang tergolong sebagai perbuatan
melawan hukum dalam lapangan administrasi dan kesengajaan yang mengandung unsur
dualbadrog yang merupakan perbuatan melawan hukum dalam lapangan pidana.
Dalam lapangan hukum administrasi dualing biasa diistilahkan sebagai salah kira, baik
kesalahan dalam memperkirakan suatu wewenang maupun substansi pelaksanaan
wewenangnya. Artinya seorang pejabat memang menghendaki sesuatu tindakannya secara
sengaja yang ternyata dalam implementasi tindakannya mengakibatkan kerugian negara,
namun demikian pejabat administrasi tersebut tidak memperolah keuntungan dari suatu
tindakannya tersebut.
Alhasil untuk menangani pelanggaran tersebut, pejabat administrasi dibebankan untuk
mengembalikan kerugian negara. Berbeda dengan dual badrog, yang secara umum diartikan
sebagai tindakan pejabat administrasi yang mengandung unsur tipuan/muslihat, kecurangan,
dan suap yang memang dilakukan secara sengaja. Dengan demikian pejabat terkait
memperoleh sesuatu atau benefit dari tindakan yang dilakukan.
Sebagai ilustrasi, seorang pejabat melakukan mark up terhadap suatu anggaran yang pada
akhirnya menguntungkan pribadinya atau memenangkan tender kepada golongan tertentu
yang pada akhirnya memberikan insentif kepada pejabat terkait. Dengan demikian perbuatan
melawan hukum demikian tidak dapat dipersamakan dengan dualing, hal ini setidaknya dapat
terlihat dari Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menyebutkan,
pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan
dipidananya pelaku tindak pidana.
Lebih lanjut, perbedaan kedua bidang hukum tersebut saat ini telah dimuat dalam dua
instrumen hukum. Pertama, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan yang saat ini menyediakan penanganan penyalahgunaan wewenang yang
mengakibatkan kerugian negara harus ditangani oleh APIP dan tidak menggunakan
mekanisme ajudikasi (pidana). Kedua, jika kerugian negara tersebut ternyata mengandung
unsur dualbadrog (pidana) maka mekanisme pidana harus tetap dipertahankan sebagaimana
yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999, tanpa melihat jumlah kerugian
negara yang timbulkan.4
Berdasarkan data-data di atas, maka dari itu kami penyeminar akan membahas dalam
paper ini mengengenai Studi Teologia Religionum Tentang Pandangan Agama-agama

4
https://news.detik.com/kolom/d-5932915/kerugian-negara-di-bawah-50-juta-dan-reformasi-
penanganan-korupsi, di akses Selasa, 08 Februari 2022, pukul 21:40 WIB.
Mengenai Korupsi dan Hukumannya (Agama dan Fenomena Ekonomi) dengan judul,
“Hukuman Bagi Koruptor”.

1.2 Identifikasi Masalah


1. Adapun yang menjadi identifikasi masalah dalam penulisan ini adalah:
2. Adanya pemahaman seolah-olah korupsi tidak akan dipermasalahkan jika masih di
bawah jumlah yang ditetapkan (Rp 50.000.000,00).
3. Adanya pemahaman bahwa tindakan korupsi diperbolehkan.
4. Kurangnya pemahaman masyarakat tentang korupsi dan tindak pidananya.
5. Adanya pemahaman bahwa korupsi hanya menjadi persoalan di kalangan pejabat
negara, yang tak perlu dicampuri oleh masyarakat dan agama.

Anda mungkin juga menyukai