Faradiba Firdaus1, Farisa Restu F2, Muhammad Irvandy A3, Arikatul Firdausi3
Universitas Trunojoyo Madura
200231100010@student.trunojoyo.ac.id
ABSTRAK
Pemberantasan korupsi merupakan salah satu agenda penting
pemerintah dalam rangka membersihkan diri dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Korupsi merupakan kejahatan luar biasa dan sistematis sehingga diperlukan
upaya yang luar biasa pula dalam memberantasnya. Dalam memberantas
korupsi, salah satu upaya yang dilakukan yaitu dengan menghukum pidana pada
pelaku korupsi. Namun, tidak semua pelaku korupsi merasa jera terhadap
hukuman yang telah dijatuhkan kepada mereka. Selain itu, jika ditinjau dari
berbagai aspek bidak keilmuan, definisi, penyebab serta dampak yang
ditimbulkan dari tindak pidana korupsi pun beragam. Oleh karenanya, peneliti
ingin mengkaji lebih dalam terkait Tindakan pidana korupsi dalam berbagai aspek
bidang keilmuan seperti, perspektif hukum, ekonomi, sosiologi dan psikologi.
Serta, dalam upaya pemberantasan korupsi pentingnya peran suatu
kelembagaan yang dapat menangani kasus ini. Maka dari itu, peneliti juga ingin
mengkaji terkait bagaimana peran ekonomi kelembagaan dalam upaya
pemberantasan korupsi.
PENDAHULUAN
Korupsi dapat didefinisikan dengan berbagai cara. Namun demikian, bila
dikaji secara mendalam, akan segera diketahui bahwa hampir semua definisi
korupsi mengandung dua unsur berikut di dalamnya. Pertama, penyalahgunaan
kekuasaan yang melampaui batas kewajaran hukum oleh para pejabat atau
aparatur negara; dan Kedua, pengutamaan kepentingan pribadi atau klien di atas
kepentingan publik oleh para pejabat atau aparatur negara yang bersangkutan
(Braz dalam Lubis dan Scott, 1985). Dengan kedua unsur tersebut, tidak aneh
jika Alatas (1999), cenderung menyebut korupsi sebagai suatu Tindakan
pengkhianatan (pengingkaran Amanah). Tetapi justru karena sifat korupsi yang
seperti itu, upaya untuk mendefinisikan korupsi cenderung memiliki masalah
pada dirinya sendirinya. Disadari atau tidak, upaya untuk mendefinisikan korupsi
hampir selalu terjebak ke dalam dua jenis standar penilaian yang belum tentu
akur satu sama lain, yaitu norma hukum yang berlaku secara formal, dan norma
umum yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Akibatnya, suatu perbuatan
yang dikategorikan sebagai korupsi secara hukum, belum tentu dikategorikan
sebagai perbuatan tercela bila ditinjau dari segi norma umum yang berlaku di
tengah-tengah masyarakat. Sebaliknya, suatu perbuatan yang dikategorikan
sebagai korupsi dalam pandangan norma umum, belum tentu mendapat sanksi
yang setimpal secara hukum (Waterbury dalam Lubis dan Scott, 1990). Bertolak
dari masalah pendefinisian korupsi yang cukup rumit tersebut, tanpa sengaja kita
sesungguhnya dipaksa untuk memahami korupsi sebagai suatu fenomena
dinamis yang sangat erat kaitannya dengan pola relasi antara kekuasaan dan
masyarakat yang menjadi konteks berlangsungnya fenomena tersebut. Artinya,
fenomena korupsi hanya dapat dipahami secara utuh jika ia dilihat dalam konteks
kelembagaan kejadiannya. Pernyataan ini sama sekali bukan untuk menafikkan
keberadaan korupsi sebagai sebuah fenomena kultural, melainkan sekadar
sebuah penegasan bahwa fenomena korupsi juga dapat dilihat dari berbagai
dimensi bidang keilmuan yang penting untuk diselidiki guna memahami
fenomena korupsi secara utuh.
Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan peneliti adalah pertama,
bagaimana persepsi korupsi dalam aspek ilmu hukum, ekonomi, sosiologi dan
psikologi. Kedua, bagaimana peran kelembagaan dalam mengatasi korupsi dari
keempat aspek bidang keilmuan tersebut.
TINJAUAN PUSTAKA
Korupsi
Korupsi adalah semua yang memiliki keterkaitan terhadap tindakan yang
diancam dengan sanksi sebagaimana diatur didalam Undang-undang No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang
No. 20 Tahun 2001 tentang pengubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dan Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 tahun 2020. Rasuah atau mencuri (bahasa Latin: corruptio dari kata
kerja corrumpere yang bermakna busuk, haram, menggoyahkan, memutarbalik,
menyogok, mencuri, maling) ialah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun
pegawai negeri sipil, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara
tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik dan
masyarakat yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan
sepihak.
Teori Hak Kepemilikan
Hak kepemilikan dapat dimengerti sebagai hak untuk menggunakan,
mengubah bentuk dan isi hak kepemilikan, dan memindahkan seluruh hak-hak
atas aset atau beberapa hak yang diinginkan. Hak kepemilikan tidak hanya
merupakan bagian dari kerangka kerja kegiatan ekonomi, tetapi juga sebagai
bagian dari sistem aturan-aturan yang merupakan hasil dari proses ekonomi,
yaitu perilaku memaksimalkan keuntungan. Kepemilikan ini bisa berupa
kepemilikan fisik (obyek konsumen, tanah, peralatan modal) dan kepemilikan
yang tak terlihat yaitu ide, puisi, rumus kimia. Caporaso dan Levine (1992:88-89)
menjelaskan dua teori berbeda mengenai hak kepemilikan. Pertama, aliran
positivistis berargumentasi bahwa hak-hak diciptakan melalui sistem politik.
Dalam posisi ini, hak-hak secara historis maupun empiris selalu ditentukan.
Kedua, aliran hak alamiah yang berargumentasi bahwa seseorang sejak lahir
memiliki hak yang terkadang merujuk pada hak-hak yang tidak dapat
disingkirkan.
Teori Tindakan Kolektif
Teori tindakan kolektif pertama kai dikemukakan oleh Mancur Olson
(1971). Menurutnya, determinan penting bagi keberhasilan suatu tindakan
bersama adalah ukuran, homogenitas, dan tujuan kelompok. Tindakan kolektif
dapat terjadi dimana saja, seperti organisasi petani, kartel, partai politik, dan lain
sebagainya. Namun, disamping itu, terdapat beberapa situasi dalam ekonomi
yang membutuhkan tindakan kolektif agar dapat menyelesaikan masalah,
contohnya seperti sistem untuk mengelola sumber daya bersama (perikanan,
pengairan dikelola melalui sistem irigasi, padang rumput), sistem mengontrol
perilaku (norma yang mengatur tentang eksploitasi sumber daya), dan
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan ialah penelitian deskriptif kualitatif. Lokasi
penelitian adalah tempat dimana dilakukannya penelitian. Penelitian ini dilakukan
di area kampus Universitas Trunojoyo Madura. Metode pada penelitian ini ialah
menggunakan dua data yaitu data primer dan data sekunder. Sumber data dari
penelitian ini yaitu, data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari
hasil wawancara langsung dengan Dosen Hukum, Dosen Ekonomi, Dosen
Psikologi dan Dosen Sosiologi. Sedangkan data sekunder diperoleh dari
dokumen studi kepustakaan atau arsip terkait.
dari itu, masuk ke otak dan di olah lalu masuk ke hati, lalu turun ke tindakan. Jadi
secara sosiologis orang korupsi itu sebenarnya bukan perbuatan yang dilakukan
oleh satu orang tetapi, suatu tindakan yang meniru pada orang lain. Dengan
demikian perilaku korupsi dapat menular kepada orang lain, karena berinteraksi
dan menangkap berbagai persoalan. Oleh karenanya, perilaku korupsi terjadi
karena adanya interaksi social. Dalam aspek ilmu sosiologi, penyebab korupsi
dibagi menjadi dua, pertama karena persoalan internal. Yang dimana factor
internal meliputi nafsu, hasrat kemauan, ekspektasi melebihi kemampuan yang
dimiliki sehingga menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Kedua yaitu,
faktor eksternal. Yang berasal dari lingkungan sekitar yang mempengaruhi
pemikiran dan Tindakan seseorang sehingga orang tersebut melakukan korupsi.
Selain itu adanya ekternal juga dapat berasal dari keluarga yang bisa jadi pihak
keluarga menuntuk koruptor ini untuk melakukan korupsi.
Beliau juga menyampaikan bahwa, kedudukan koruptor dalam
masyarakat menurut sosiologi, yaitu ketika masyarakat masih patuh pada setiap
norma aturan maka, akan mendapat cemoohan atau kurang dihargai oleh
masyarakat karena tidak dapat menjadi figur yang baik dalam masyarakat, tetapi
jika masyarakat individualis, dan menganggap bahwa korupsi merupakan suatu
hal yang biasa maka, masyarakat ini akan berfikir biasa saja terhadap pelaku
koruptor.
Ibu Sri juga menyampaikan bahwa Adapun peran sosiologi dalam
mengurangi tingkat korupsi yaitu sebagai contoh, seorang pengajar sosiologi
dapat melakukan sosialisasi terkait korupsi terhadap anak didiknya. Menurut ilmu
sosiologi, pembentukan karakter yang bersih dimulai dari keluarga, kedua
diciptakan lingkungan yang bersih dan ketiga, lingkungan lembaga baik itu di
sekolah harus di ajarkan terkait Pendidikan anti korupsi. Secara sosiologis,
bahwa semua lembaga mempunyai tanggung jawab memberikan pendidikan anti
korupsi. Jadi, dimulai dari membentuk generasi ini menjadi generasi yang
bermental bukan menjadi korupsi tetapi, menjadi insan yang memiliki integritas,
tanggung jawab, jiwa kejujuran dan di percaya orang lain.
Korupsi Dalam Aspek Ilmu Psikologi
dengan tujuan untuk memperkaya diri dan orang- orang terdekat, mendorong
orang lain untuk melakukan korupsi dalam menyalahgunakan kedudukannya.
Jika dalam sudut pandang psikologi, mengarah ke dalam dinamika psikologis
yang dimana akan mempelajari terkait bagaimana sebab koruptor melakukan
tindak korupsi, bagaimana korupsi dikatakan sebagai akibat dari perilaku yang
akan berkaitan dengan psikis atau psikologi dari seseorang. Psikologi itu terkait
bagaimana Tindakan atau pola perilaku serta mentalnya ketika dia melakukan
suatu tindakan. Termasuk juga dalam tindakan korupsi ini. Dalam sudut pandang
psikologi mendalami terkait kenapa korupsi merupakan sesuatu yang masif
dalam arti banyak terjadi secara terus-menerus dalam skala yang besar.
Walaupun sudah mencoba untuk diberantas tetapi tetap masih ada pelaku
korupsi. Dari sini akan diteliti oleh ilmu psikologi apakah tindak korupsi
merupakan sesuatu yang sudah menjadi budaya dalam lingkungan sosial kita
atau seperti apa. Psikologi memandang dari dua hal, pertama bagaimana
perilaku itu terbentuk dan kedua, bagaimana sosial menerima dari perilaku
korupsi serta apakah hal tersebut akan mempempengaruhi kita sebagai individu
secara psikis dan mental.
Beliau juga menyampaikan bahwa dalam psikologi, terdapat dua hal yang
dapat mendorong seseorang untuk melakukan korupsi, yaitu sudut internal dan
eksternal. Berdasarkan penelitian yang telah dikaji ditemukan ada beberapa
perspektif yang mendorong seseorang untuk melakukan korupsi. Pertama yaitu
perspektif dari individu. Dalam hal ini ada yang namanya konsep psikopat. Dalam
psikologi, seorang psikopat tidak akan memiliki rasa bersalah sama sekali atas
perbuatan yang telah dilakukan. Walaupun perbuatannya dianggap sesuatu yang
melanggar norma. Perpektif ini dapat didekatkan dengan tindak korupsi. Yang
kedua, perspektif psikoanalisis. Apapun kejadian yang terjadi saat ini ialah
dampak dari kejadian masa kecil yang belum selesai masalahnya. Bisa jadi
seorang koruptor melakukan korupsi karena mereka memiliki masalah dengan
kejadian masa kecilnya sehingga ketika dia dewasa, dia lari ke perilaku-perilaku
yang kurang baik. Salah satunya adalah perilaku korupsi. Kemudian dari
institutional atau organisasi. Perpektif ini yaitu adanya tuntutan untuk sukses.
Jadi ketika kita sudah memiliki jabatan, secara tidak langsung kita akan dituntut
oleh lingkungan bahwa orang yang memiliki jabatan harusnya kaya, hidupnya
mewah dan sebagainya. Sedangkan mungkin apa yang didapatkan dari
pekerjaan tersebut tidak semewah itu untuk mencukupi kemewahan yang
dipikirkan lingkungan sekitar. Dari sinilah ketika gaji atau upah yang diterima
tidak dapat memenuhi kemewahan yang diinginkan, maka akan menimbulkan
sebuah pikiran bahwa untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa dia
mampu hidup mewah, maka dia akan melakukan segala cara untuk memenuhi
kebutuhan mewahnya tersebut. Salah satunya dengan melakukan korupsi. Yang
terakhir yaitu perspektif Intraksional. Dalam sudut pandang ini, mungkin individu
tersebut memiliki nilai-nilai yang baik dalam dirinya, tetapi lingkungan sosialnya
yang mendorong dia untuk melakukan hal yang tidak baik. Lalu adanaya perilaku
hedonis yang dimana perilku seseorang untuk selalu mencari kesenangan. Maka
dia akan melakukan segala cara untuk menuruti kesenangan tersebut sehingga
tidak memikirkan kembali apakah tindakan yang diambil baik atau buruk.
Beliau juga menyampaikan bahwa ada orang-orang yang memiliki
kecenderungan untuk melakukan kembali setelah dia melakukan korupsi. Orang-
orang yang cenderung psikopat selalu tidak memiliki rasa bersalah atau rasa
tidak menyesal ketika melakukan korupsi jika dari sudut pandang gangguan
mental. Tetapi jika secara mental orang tersebut baik tetapi, melakukan korupsi
berulang-ulang, maka bisa dikatakan seseorang tersebut memang secara moral
sudah lemah. Nilai-nilai yang ada pada dirinya sudah buruk. Hal ini
menyebabkan koruptor tersebut tidak merasa terganggu akan sanksi sosial atau
hukumyang berlaku karena tidak adanya rasa bersalah, bahkan dia akan
cenderung menyalahkan orang lain atas tindakannya tersebut.
Oleh karenanya, Adapun peran psikologi dalam membantu mengatasi
korupsi yaitu dengan melakukan pencegahan korupsi. Jadi perannya akan lebih
ke preventif. Pertama, akan melakukan pencegahan dari lingkungan keluarga
dengan cara mengedukasi kepada para orang tua untuk melakukan parenting
kepada anak-anak, karena peran keluarga merupakan faktor utama dalam
membentuk karakter anak. Yang kedua, pencegahan dari lingkungan Pendidikan
dengan cara melakukan sosialisasi terkait pendidikan anti korupsi yang
edukasinya dikhususkan untuk anak muda. Yang ketiga, pencegahan dari
lingkungan organisasi atau masyarakat, seperti mengadakan workshop atau
seminar terkait edukasi anti korupsi.
Korupsi Dalam Aspek Ilmu Ekonomi
PENUTUP
Kesimpulan
Pembahasan mengenai korupsi di Indonesia saat ini lebih menitikberatkan
pada aspek penindakan. Hal ini dapat dipahami banyak masyarakat menduga
pejabat publik di Indonesia yang korup dan aspek penindakan dinilai sebagai
suatu upaya yang efektif untuk menimbulkan efek jera. Namun demikian, perlu
diingat bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya terdiri dari aspek penindakan
saja, melainkan juga aspek pencegahan. Perspektif pemberantasan korupsi yang
fokus pada penindakan yang kurang memperhatikan aspek pencegahan, jelas
tidak efektif dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini terbukti
dengan kasus-kasus korupsi yang cenderung berulang di instansi yang sama.
Jadi jika kelembagaan pemerintah mampu memanfaatkan ekonomi secara
optimal dengan pencegahan korupsi dan perilaku pejabat yang anti korupsi,
maka hal ini akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai stakeholder,
sehingga intervensi melalui pembangunan hukum dan tata kelola yang kuat
dapat mencegah praktik korupsi pada top level pemerintahan.
Saran
Perlu adanyaa kesadaran dari semua pihak baik pemerintah maupun diri
sendiri. Namun perlu ditekankan bahwa Pendidikan anti korupsi memang harus
ditanamkan dari dini untuk menekan Tindakan korupsi. Kemudian hukuum
pidaana akan Tindakan korupsi juga harus lebih dikuatkan lagi agar pelanggaran
tindak korupsi ini bisa hilang.
DAFTAR PUSTAKA
Erlando, A. (2019). Studi Ekonomi Korupsi di Beberapa Kota Indonesia. EcceS
(Economics, Social, and Development Studies), 6(2), 130-151.
Manara, M. U. (2016). Normalisasi korupsi: Tinjauan psikologi. In Proceeding
Seminar Nasional dan Call For Paper (pp. 229-236).
Atmadja, A. T. (2019). Sosiologi Korupsi: Kajian Multiperspektif, Integralistik,
dan Pencegahannya. Kencana.
Rosalina, F. (2022). Daluwarsa Tindak Pidana Korupsi Melalui Sudut Pandang
Teori Hukum: Optimalisasi Pengembalian Kerugian Keuangan Negara.
YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum, 8(2), 29-36.