Anda di halaman 1dari 4

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah penyelewengan atau

penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk


keuntungan pribadi atau orang lain. Dalam perundang-undangan sendiri, korupsi dikategorikan
sebagai tindak pidana yang diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam kasusnya, tindak pidana korupsi kerap kali dilakukan oleh “orang-orang elit”. Hal
demikian yang menjadi wajar jika korupsi disebut sebagai “keserakahan elit”. Banyak factor
yang menjadi sebab terjadinya tindak pidana korupsi, walaupun pada dasarnya semua factor
tersebut berakar dari “intoleransi antikorupsi” itu sendiri.

Beberapa fakto yang menjadi penyebab dari tindak pidana korupsi terangkum dalam dua
factor utama. Yaitu, factor internal dan factor eksternal.

A. Faktor Internal
Faktor internal merupakan factor yang berasal dari individua tau orang itu sendiri. Faktor
ini berakara dari perasaan dan sifat dari pelaku tindak pidana korupsi. Diantaranya:
1. Sifat Tamak/rakus
Timbulnya tindak pidana korupsi sejatinya bukan dating karena kebutuhan materi dari
orang tersebut, melainkan sifat tamak. Tamak sendiri berarti rakus atau tidak puas
atau tidak mensyukuri karuna nikmat yang diberikan kepadanya. Hal ini tumbuh dari
rasa individu yang ingin memiliki segalanya namun tidak puas dengan apa yang dia
punya.
2. Gaya Hidup Konsumtif
Gaya hidup adalah suatu tindakan memuaskan gairah diri sendiri dalam menikmati
dunia. Dalam perkembangan sosial di perkotaan seringkali mendorong sikap
konsumtif pada diri mereka sendiri. Jika hal ini tidak diimbangi dengan penghasilan
produktif dari individu, maka hal itu akan membuka peluang seseorang untuk
mengumpat demi hajat individual mereka sendiri.
3. Moral
Seorang yang memiliki moral yang lemah cenderung lebih mudah untuk melakukan
tindak pidana korupsi. Setiap individu yang memiliki moral lemah biasanya dating
atas ketidak percayaan mereka sendiri dalam membangun kebiasaan mereka. Factor
ini juga dipupuk dari orang lain yang berperan besar untuk menghasut orang tersebut.

B. Faktor External
Faktor eksternal merupakan pemicu yang dating dari luar individu. Hal ini bisa datang
dari beberapa aspek. Diantaranya:
1. Aspek Sosial
Dalam sebuah organisasi atau kelompok masyarakat seingkali menutupi kesalahan
anggota atau pemimpin mereka untuk memberikan citra yang baik dari organisasi
tersebut. Hal ini juga dipicu oleh budaya dan pola pikir masyarakat tentang
bagaimana menyikapi seseorang dalam lingkungan mereka. Misalnya, Keseganan
masyarakat atas citra seseorang karena orang tersebut memiliki kekayaan di
lingkungan mereka.
Dalam hal ini, kurangpemahamannya masyarakat dalam meyikapi kasus korupsi juga
menjadi aspek sosial yang terjadi. Masyarakat masih menganggap bahwa kerugian
yang ditimulkan dari tindak pidana korupsi itu hanya dialami oleh negara. Padahal
pada faktanya, kerugian pengembangan sosial dari pendanaan yang dikorupsi itu
berdampak paling besar kepada masyarakat.
2. Aspek Politik
Sudah bukan rahasia lagi jika tindak pidana korupsi seringkali terjadi pada sebuah
organisasi kenegaraan. Hubungan korupsi dengan politik sudah melekat dan tidak
terpisahkan. Namun, ketidakwajaran tersebut juga berkaitan dengasn penanganan
yang dilakukan oleh Lembaga pemerintahan itu sendiri. Perancangan peundang-
undangan, pembentukan komisi, dan segala upaya yang dibentuk oleh pemerintahan
tidak bisa diimbangi dengan realita kepastian hukum yang menjerat pelaku korupsi.
Hak rakyat mengevaluasi pemerintahnya, merupakan pengejawantahan kesadaran
tentang pentingnya akses bagi sebanyak mungkin rakyat untuk ikut terlibat dalam
segala hal yang menyangkut kepentingannya sebagai pemilik negeri ini, hak rakyat
untuk memprotes ketidakberesan penyelenggara negara yang karena satu dan lain hal
dianggap merugikan, adalah sesuatu yang sah. Rakyat berhak menggunakan berbagai
saluran, baik lembaga perwakilan formal DPR/MPR maupun saluran informal
seperti ,ICW dengan demikian, aksi ICW membongkar dugaan suap dan korupsi yang
dilakukan oleh oknum-oknum pemerintah merupakan wujud kesadaran yang
demikian itu. Sehingga aksi atau lebih tepat, kontrol publik yang dilakukan ICW
mestinya diabadikan sebagai tonggak pembersihan korupsi, bukan harus ditanggapi
sebagai penyerangan terhadap wibawa pemerintah. Sekalian ironi tersebut terjadi,
karena selama ini pola hubungan politik antara pemerintah dan rakyat bersiIat semu
belaka. Dengan kata lain, demokrasi di mata kaum elit, sering hanya bermakna
sebatas upaya memperoleh kekuasaan yang bberasal dari rakyat, dan bukan perkara
bagaimana mengelRla kekuasaan untuk rakyat. Keadaan kian diperparah dengan
menguatnya keyakinan bahwa politik adalah arena taruhan untuk memperoleh
keuntungan yang lebih besar.
3. Aspek Hukum
Pelaku tindak pidana korupsi sebenarnya sadar akan tindakan yang dilakukannya
merupakan perbuatan melanggar hukum, karena korupsi adalah tindak pidana yang
dilakukan dengan sengaja. Pelaku korupsi bukan orang sembarangan karena mereka
mempunyai akses untuk melakukan korupsi tersebut, dengan menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan -kesempatan atau sarana yang ada padanya. Namun,
ketidak jelasan hukum menjadi salah satu aspek terjadinya tindak pidana korupsi.
Beberapa elemen yang seharusnya bertanggungng jawab dalam hal ini: (1) hukum itu
sendiri, (2) penegak hukum, (3) sarana dan fasilitas hukum, (4) budaya, dan (5)
masyarakat. Elemen-elemen tersebut sejatinya ditak bisa memberi efek jera kepada
pelaku itu sendiri.
4. Aspek Organisasi
Konteks organisasi dalam hal ini adalah sekolompok orang yang mengikat individu
untuk melakukan tindak pidana korupsi demi tujuan organisasi itu sendiri. Tujuan ini
menjadi pedoman dan arahan bagi setiap orang untuk menjalankan tugas dan
fungsinya. Dalam hal tersebutlah, penyalahgunaan kepentingan dari setiap organisasi
membuka peluang terjadinya tindak pidana korupsi sevara berkelanjutan.
Fitriani N, Minanurohman A, Firmansah GL. Kepribadian Serakah (Greed) sebagai Tantangan
Etika dan Kepemimpinan dalam Profesi Akuntan Manajemen. J Bisnis dan Akunt.
2022;24(2). doi:10.34208/jba.v24i2.1590

Nanang. Pendidikan Antikorupsi Untuk PT. Vol 20.; 2018.

PER-01/PJ/2017 N. ANALISIS ASPEK HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM


RANGKA PENDIDIKAN ANTI KORUPSI. Occup Med (Chic Ill). 2017;53(4).

Putri D. Korupsi Dan Prilaku Koruptif. J Pendidikan, Agama dan Sains. 2021;V:49–54.5.

Syaifulloh A. Peran Kejaksaan Dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Pada Perkara
Tindak Pidana Korupsi. Indones J Crim Law. 2019;1(1). doi:10.31960/ijocl.v1i1.147

Anda mungkin juga menyukai