Anda di halaman 1dari 4

DISSENTING OPINION (PERBEDAAN PENDAPAT HAKIM)

A. DASAR HUKUM
1. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
2. .

B. PEMBAHASAN
I.I Perbedaan Pendapat Hakim dalam Memutus dan Berpendapat
(Dissenting Opinion)
Menurut Black Law Dictionary 9th Edition pengertian dissenting opinion adalah: 
An opinion by one or more judges who disagree with the decision reached by the
majority. -- Often shortened to dissent. -- Also termed minority opinion.
Yang jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berarti pendapat dari satu atau
lebih hakim yang tidak setuju dengan keputusan yang dicapai oleh mayoritas.
 
Mengenai dissenting opinion ini, pengaturannya dapat kita lihat dalam Pasal 14
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU
Kekuasaan Kehakiman”) yaitu:
 
1. Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat
rahasia.
2. Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan
pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa
dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
3. Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat,
pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Mahkamah
Agung.
 
Kemudian mengenai dissenting opinion dalam pemeriksaan tingkat kasasi dapat
dilihat dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung kemudian diubah untuk kedua kalinya dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU MA”):
1. …
2. …
3. Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim agung wajib menyampaikan
pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa
dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
4. Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat,
pendapat hakim agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
 
Salain itu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (“UU 24/2003”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi kemudian diubah lagi dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi yang telah ditetapkan sebagai undang-undang
oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang juga mengatur mengenai
pendapat berbeda hakim konstitusi dalam mengambil keputusan. Jika musyawarah
sidang pleno setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai
mufakat bulat maka putusan diambil dengan suara terbanyak. Dalam hal putusan
tidak tercapai mufakat bulat, pendapat anggota Majelis Hakim yang berbeda
dimuat dalam putusan.[1]
 
Hal yang senada juga disampaikan oleh Mantan Hakim Agung Djoko Sarwoko
dalam artikel yang berjudul Dissenting Opinion di Mata Mantan Hakim Agung,
secara konsep, dissenting opinion adalah pendapat berbeda dari mayoritas. Semula
dissenting opinion dan concurring opinion dikenal dalam sistem hukum negara
common law. Sejak 2004, Indonesia mengadopsinya dalam UU Kekuasaan
Kehakiman dan UU MA. Dissenting opinion itu semenjak awal pertimbangannya
sudah berbeda. Mulai dari fakta hukum, pertimbangan hukum, sampai amar
putusannya berbeda. Kalau concurring opinion, fakta hukumnya sama,
pertimbangannya sama, tapi amar putusannya yang berbeda.
Lebih lanjut, Djoko Sarwoko menjelaskan, apabila dalam suatu perkara pidana yang
dipegang lima majelis, dua hakim menyatakan terbukti dakwaan subsidair, satu primair,
dan dua lainnya bebas, pendapat hakim yang menyatakan terbukti dakwaan primair
termasuk dissenting opinion. Sebab, satu hakim menggunakan dakwaan berbeda. Sama
halnya dalam perkara yang menggunakan dakwaan kesatu primair dan/atau kedua
primair. Apabila dua hakim menyatakan terbukti dakwaan kesatu primair, satu hakim
terbukti dakwaan kedua primair, dan dua hakim lainnya menyatakan bebas, maka satu
hakim itu masuk kategori dissenting opinion.
 
Djoko menambahkan base statement dari sistem peradilan pidana kita adalah dakwaan.
Kalau mengenai dakwaan sudah berbeda, artinya semenjak awal berbeda. Walau intinya
sama-sama bersalah, ketika dalam menanggapi dakwaan sudah berbeda, itu masuk
dissenting opinion karena berbeda dakwaannya. Sekalipun ada tiga dissenting opinion,
majelis tetap dapat mengambil keputusan. Jangan sampai dissenting opinion menghalangi
pengambilan keputusan. Dalam mekanisme yang berlaku di Mahkamah Agung misalnya,
hakim agung dapat ditambah apabila perkara tidak dapat diputus karena ada dissenting
opinion.
 
Jadi menjawab pertanyaan Anda, dissenting opinion itu adalah pendapat berbeda dari
mayoritas atau pendapat hakim yang berbeda dalam suatu putusan. Mulai dari fakta
hukum, pertimbangan hukum, sampai amar putusannya berbeda. Pendapat berbeda hakim
tersebut wajib dimuat dalam putusan.
Contoh Putusan Dissenting Opinion
Sebagai contoh dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Bulukumba
Nomor 150/ Pid.B/2013/PN.BLK, yang menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “penipuan sebagai
perbuatan berlanjut”. Kemudian majelis hakim menjatuhkan pidana kepada
terdakwa dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan. Dalam
pertimbangannya hakim berpendapat bahwa tindakan yang dilakukan terdakwa
merupakan kejahatan yang masih mempunyai hubungan dengan perbuatan
kejahatan sebelumnya yang telah dinyatakan terbukti dalam putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga harus dipandang sebagai suatu
perbuatan yang berlanjut bukan merupakan pengulangan atau pelanggaran asas ne
bis in idem. Terkait dengan hal tersebut dalam musyawarah majelis hakim terdapat
dissenting opinion mengenai penafsiran asas hukum ne bis in idem dan hak
keperdataan saksi korban oleh Hakim Anggota II Bambang Supriyono, S.H.
 
Contoh lain dapat kita lihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-
XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana mengenai tafsir bukti permulaan yang cukup dan penetapan tersangka
sebagai objek praperadilan. Majelis hakim menyatakan frasa “bukti permulaan”,
“bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14,
Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai minimal dua alat bukti sesuai
Pasal 184 KUHAP. Kemudian mengenai penetapan tersangka, majelis hakim
menyatakan Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk
penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
 
Putusan ini tidak diambil secara bulat karena ada dissenting opinion (pendapat
berbeda) dan concurring opinion (alasan berbeda). Dari 9 (sembilan) hakim
konstitusi, 3 (tiga) hakim konstitusi mengajukan dissenting opinion yakni I Gede
Dewa Palguna, Muhammad Alim, dan Aswanto. Sementara 1 hakim kontitusi
mengajukan concurring opinion yaitu Patrialis Akbar.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung kemudian diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi kemudian diubah lagi dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
yang telah ditetapkan sebagai undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi
Undang-Undang;
4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
 
Putusan:
1. Putusan Pengadilan Negeri Bulukumba Nomor 150/ Pid.B/2013/PN.BLK ;
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
 
Referensi:
Blacks’s Law Dictionary 9th Edition.

Anda mungkin juga menyukai