Anda di halaman 1dari 95

A.

DALAM EKSEPSI

1. EKSEPSI TENTANG PENETAPAN TERSANGKA BUKAN OBYEK PRAPERADILAN

Dalil-dalil Pemohon yang menguraikan dasar hukum Permohonan Praperadilan (halaman 2-10),
yaitu:

 Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D UUD 1945;


 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-IX/2011;
 Pasal 1 angka 2 KUHAP;
 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014;
 Putusan Praperadilan Nomor 36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.

yang dijadikan acuan atau referensi pokoknya dalam mengajukan Permohonan Praperadilan
terkait penetapan status tersangka diluar ketentuan yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
21/PUU-XII/2014 dan Putusan Praperadilan 36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel, yang dimaksudkan
oleh Pemohon semata-mata untuk menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia termasuk Hak Asasi
Pemohon.

Terhadap dalil-dalil Pemohon tersebut Termohon memberikan tanggapan sebagai berikut:

a. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 21/PUU- XII/2014 YANG


DIDALILKAN OLEH PEMOHON TIDAK DAPAT DIJADIKAN DASAR
PERMOHONAN AQUO

Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi diatas telah memperluas obyek Praperadilan di luar
ketentuan Pasal 1 Angka 10 jo Pasal 77 KUHAP yang dengan jelas dan tegas serta
terbatas (limitatif) telah memberikan batasan kewenangan pemeriksaan Praperadilan
sebagaimana telah disebutkan : “Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri
untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini,
tentang:

a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau
pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan”.

padahal Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2014 dalam Pasal 57
ayat (2a) menyatakan “Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat: (c) rumusan norma
sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Bahwa bentuk Putusan Mahkamah Konstitusi yang memperluas obyek Praperadilan tidak serta-
merta berlaku sebagai hukum (self implementing) tanpa melalui proses legislasi. Menurut
Philipus M. Hadjon, Pemikiran Negara hukum menyebabkan bahwa apabila penguasa ingin
meletakkan kewajiban-kewajiban diatas para warga (masyarakat) maka kewenangan itu harus
ditemukan dalam suatu undang-undang. Hal tersebut dapat

dipahami oleh karena di dalamnya terdapat suatu legitimasi yang demokratis dari rakyat melalui
wakil-wakilnya di DPR dan secara normatif harus disetujui bersama dengan Presiden. Dengan
demikian menurut teori kewenangan, putusan Mahkamah Konsitusi tersebut tidak didasari oleh
kewenangan yang benar menurut undang-undang (dalam Philipus M. Hadjon, 2011, Pengantar
Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm 130).

Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan (UU No. 12 Tahun 2011), Putusan Mahkamah Konstitusi tidak termasuk
dalam jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan (produk hukum) sebagaimana dalam
Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi:

“Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.”
Lebih lanjut dalam Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 membuka peluang diakuinya
peraturan lain sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi
atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Dengan demikian Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut tidak dapat dijadikan oleh Hakim Praperadilan sebagai dasar pengambilan keputusan
sebelum adanya proses legislasi sebagaimana diatur Pasal 10 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011
yang menegaskan tindak lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh DPR atau
Presiden.

Dengan demikian, dalam hal Putusan Mahkamah Konstitusi yang menambah atau memperluas
obyek Praperadilan yang telah ditentukan dalam Pasal 77 KUHAP, maka putusan tersebut tidak
langsung diberlakukan, harus terlebih dahulu ada mekanisme dari pembuat norma (Pemerintah
dan DPR) dengan melakukan perubahan KUHAP. Selama KUHAP belum diubah maka obyek
Praperadilan masih tetap seperti tercantum dalam Pasal 77 KUHAP.

Hal ini juga sejalan dengan pendapat Hakim Konstitusi Aswanto dalam Perkara Pengujian
Obyek Praperadilan tersebut, yang memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion) dengan
menyatakan “menjadikan penetapan tersangka sebagai salah satu obyek praperadilan yang
sebelumnya tidak terdapat dalam KUHAP adalah membuat norma baru yang bukan
kewenangan Mahkamah Konstitusi melainkan kewenangan pembentuk undang-undang.” (vide
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, hal 125).

Selain masalah norma, terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang
diucapkan tanggal 28 April 2015 tersebut terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari 3
(tiga) Hakim Konstitusi yang berlatar belakang hukum pidana, yang pada pokoknya
menyatakan:

 Praperadilan berkenaan dengan upaya paksa dan akibat hukum yang bersangkut paut
dengannya. Tindakan yang termasuk upaya paksa adalah penangkapan, penahanan,
penyitaan dan penggeledahan;
 Memasukkan penetapan tersangka dalam ruang lingkup Praperadilan tidak
bersesuaian dengan asas Noscitur a Sociis sebab menurut asas ini suatu kata atau
istilah itu harus dimaknai dalam kaitan associated-nya. Karena penetapan tersangka
tidak termasuk dalam (associated with) rangkaian pengertian upaya paksa maka dia
bukanlah obyek Praperadilan;
 Praperadilan adalah istilah khusus yang berlaku dalam penerapan KUHAP sehingga
lingkupnya hanya mencakup tindakan-tindakan yang termasuk dalam upaya paksa.
Bahwa pendapat berbeda (dissenting opinion) diatas menunjukkan Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut tidak diputuskan secara bulat. Bahkan dalam praktiknya Putusan
Mahkamah Konstitusi juga tidak selalu diikuti oleh Mahkamah Agung, hal ini dapat ditemukan
dalam beberapa putusan antara lain:

a. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014 yang telah
memutuskan membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP dimana sebelumnya Peninjauan
Kembali hanya dapat dilakukan satu kali menjadi Peninjauan Kembali dapat dilakukan lebih
dari satu kali.
Atas Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut Mahkamah Agung mengeluarkan
SEMA No. 7 tahun 2014 tanggal 31 Desember 2014 tentang Pengajuan
Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana yang pada pokoknya
menyatakan: “… Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 tanggal
6 Maret 2014, tidak serta merta menghapus norma hukum yang mengatur
permohonan peninjauan kembali …”

Berdasarkan hal tersebut, Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan


peninjauan kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya 1 (satu) kali.

b. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 03/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 meniadakan


nuansa perbuatan melawan hukum materiil dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31
Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001.

Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Mahkamah Agung telah


menerbitkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 996 K/Pid/2006 tanggal 16
Agustus 2006 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1974K/Pid/2006 tanggal 13
Oktober 2006 yang tetap mempertahankan dan menerapkan perbuatan melawan
hukum materiil dalam tindak pidana korupsi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 03/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006, khususnya terhadap eksistensi
ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun
2001 dengan cara melakukan suatu penemuan hukum terhadap perbuatan
melawan hukum materiil.

Bahwa dalil Pemohon angka 5 halaman 4 dan 5 Permohonannya mengutip bagian


menimbang huruf a dan c KUHAP serta Penjelasan Umum angka 2 paragraf ke-6
KUHAP sebagai dasar upaya pengawasan terhadap penggunaan wewenang oleh
penyidik agar tidak melanggar hak asasi manusia. Dalil Pemohon tersebut tidaklah
beralasan karena berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 yang dalam konsiderans
memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan
alasan pembentukan Peraturan Perundang–undangan yang ditempatkan secara
berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis. Sedangkan penjelasan merupakan tafsir
resmi suatu undang-undang.

Dengan demikian, hal yang tercantum dalam konsiderans KUHAP serta penjelasannya
menjunjung prinsip-prinsip hak asasi manusia termasuk hak Pemohon. Dalam rangka
perlindungan Hak Asasi Manusia haruslah diatur dalam ketentuan hukum yang jelas.
Apabila ketentuan hukumnya tidak diatur maka akan menimbulkan perbedaan
penafsiran dan ketidakpastian hukum sehingga merupakan pelanggaran terhadap Hak
Asasi Manusia.

Ruang lingkup Praperadilan untuk memeriksa dan memutus tindakan prosedural yang
dilakukan penyidik haruslah jelas ketentuan dan prosedur mana yang dilanggar. Dalam
hal alasan Praperadilan mengenai sah atau tidaknya penangkapan dan sah atau
tidaknya penahanan, Hakim Praperadilan berpedoman pada ketentuan hukum yang
jelas sebagaimana yang diatur dalam ketentuan BAB V KUHAP (Penangkapan,
Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah, Penyitaan dan Pemeriksaan
Surat), Bagian Kesatu (Penangkapan, Pasal 16-19), Bagian Kedua (Penahanan, Pasal
20-31). Namun, terhadap alasan praperadilan mengenai sah atau tidaknya penetapan
tersangka tidak ada diatur dalam KUHAP, oleh karena itu permohonan mengenai
penetapan tersangka tidak ada landasan hukumnya.

Dengan demikian, agar penetapan tersangka menjadi bagian dari obyek Praperadilan
sebagaimana dimaksud Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka perlu dituangkan
terlebih dahulu dalam suatu peraturan perundang-undangan. Bahwa peraturan
perundang-undangan tersebut harus pula memuat prosedur pemeriksaan dan
penyelenggaraan hukum acaranya. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi prinsip tertib
acara yang baik dan kepastian hukum yang berlaku secara universal.

Hal itu sejalan dengan pendapat Prof. Komariah Emong Sapardjaja dalam artikel
berjudul Kajian dan Catatan Hukum Atas Putusan Pra-peradilan Nomor
04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel Tertanggal 16 Februari 2015 Pada Kasus Budi Gunawan:
Sebuah Analisis Kritis pada Jurnal Ilmu Hukum Volume 2 Nomor 1 Tahun 2015,
halaman 17.
Mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, maka dalam persidangan aquo, Termohon
memohon kepada Hakim Praperadilan yang secara arif dan bijaksana berkenan untuk
mengembalikan marwah lembaga Praperadilan sesuai ketentuan yang diatur
dalam KUHAP sehingga tidak akan terjadi lagi “chaos” hukum.

Berdasarkan alasan tersebut di atas, dalil Pemohon yang mendasarkan pengajuan


Permohonan Praperadilan ini pada Putusan Mahkamah Konstitusi harus
dikesampingkan.

a. PUTUSAN PRAPERADILAN DALAM PERKARA NOMOR


36/PID.PRAP/2015/PN.JKT.SEL YANG DIDALILKAN OLEH PEMOHON
TIDAK DAPAT DIJADIKAN DASAR PERMOHONAN AQUO.

Bahwa berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009


tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 48 Tahun 2009) yang berbunyi :

“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadilli dan memutus suatu


perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”

Bahwa ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 berlaku pada
peradilan umum dimana semua perkara harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan.
Namun apabila dihubungkan dengan Pasal 3 KUHAP yang berbunyi: “Peradilan
dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini” yang bersifat limitatif
apabila ada hukum yang jelas dan belum diatur terkait perkara pidana, pengadilan
wajib menolak.

Jadi terkait penetapan tersangka sebagai obyek Praperadilan diluar ketentuan Pasal
77 KUHAP seharusnya pengadilan menolak karena belum ada hukum acaranya.

Bahwa yang dimaksud dengan Praperadilan adalah yurisdiksi atau


kewenangan/kompetensi mengadili yang diberikan oleh undang-undang (dalam hal
ini KUHAP) kepada Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus tentang hal
yang berhubungan dengan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, permintaan ganti rugi apabila
perkara tidak diajukan ke Pengadilan dan permintaan rehabilitasi apabila perkara
tidak diajukan ke Pengadilan. Yurisdiksi/kewenangan mengadili hal-hal tersebut
diatur dan disebutkan dalam Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 jo. Pasal 79 jo. Pasal 80
jo. Pasal 81 jo. Pasal 95 KUHAP.
Dengan demikian yurisdiksi Pengadilan untuk memeriksa dan memutus melalui
acara pemeriksaan Praperadilan bersifat limitatif sebatas pada masalah hukum
yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77, Pasal 79 sampai dengan
Pasal 95 KUHAP.

Bahwa terkait dengan Putusan Praperadilan Nomor 36/Pid.Prap/2015/ PN.Jkt.Sel.


atas nama Hadi Purnomo menurut Termohon, bukan merupakan penemuan hukum
yang mengikat hakim-hakim lain untuk mengikuti putusan tersebut. Penemuan
hukum yang dapat dijadikan sumber hukum adalah penemuan hukum yang
tercantum dalam putusan- putusan yang telah ditetapkan sebagai Yurisprudensi.
Terkait Putusan Praperadilan Nomor 36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. tersebut, pihak
Termohon mengajukan permohonan peninjauan Kembali yang pemeriksaannya
telah selesai dilaksanakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan menunggu
putusan Mahkamah Agung.

Bahwa suatu putusan dapat dikatakan sebagai Yurisprudensi apabila diputuskan


oleh tingkat Pengadilan yang lebih tinggi, diikuti oleh putusan- putusan lain, dan
ditetapkan oleh Mahkamah Agung sebagai Yurisprudensi.

Bahwa Sudikno Mertokusumo memberikan penafsiran Yurisprudensi sebagai


peradilan pada umumnya (judicature rechtspraak), yaitu pelaksanaan hukum dalam
hal konkrit terjadi tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri
dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan
cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa.

Pendapat ini juga dikuatkan oleh Subekti yang memberikan pengertian


Yurisprudensi sebagai:

“Putusan-putusan Hakim atau Pengadilan yang tetap dan dibenarkan oleh


Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Kasasi atau putusan Mahkamah Agung
sendiri sebagai Pengadilan Kasasi atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang
sudah tetap (konstant).

Putusan Praperadilan Nomor 36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. atas nama Hadi


Purnomo tidak dapat dijadikan dasar permohonan, mengingat Putusan tersebut
bukanlah Yurisprudensi karena tidak diikuti oleh Pengadilan Negeri lain, antara lain :

1. Putusan Praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor


16/Pid/Prap/2015/PN Jkt Sel tanggal 13 April 2015 atas nama Pemohon Sutan
Bhatoegana.
2. Putusan Nomor 18/Pid/Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 14 April 2015 atas nama
Pemohon Suroso Atmomartoyo.
3. Putusan Nomor 19/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel., tanggal 8 April 2015 atas nama
Pemohon Suryadarma Ali.
4. Putusan Nomor 55/Pid.Prap/PN.Jkt Sel tanggal 9 Juli 2015 atas nama Ilham
Arif Sirajudin.
5. Putusan Nomor 69/Pid.Prap/2015/PN.Jkt Sel tanggal 11 Agustus 2015 atas
nama Pemohon Rusli Sibua.
6. Putusan Nomor 72/Pid.Prap/2015/PN.Jkt Sel tanggal 24 Agustus 2015 atas
nama Pemohon O.C Kaligis.
7. Putusan Nomor 105/Pid.Prap/2015/PN.Jkt Sel tanggal 8 Desember 2015 atas
nama Pemohon Bambang Wahyuhadi.

Dengan demikian Putusan Praperadilan Nomor 36/Pid.Prap/2015/ PN.Jkt.Sel tidak


tepat dikualifikasikan sebagai Yurisprudensi sebagaimana dalil Pemohon dalam
permohonannya, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai dasar pengajuan permohonan
a quo.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-
XII/2014 dan Putusan Praperadilan Nomor 36/Pid.Prap/2015/ PN.Jkt.Sel tidak dapat
dijadikan dasar hukum Permohonan Praperadilan mengenai penetapan tersangka karena
Permohonan Praperadilan mengenai penetapan tersangka tidak diatur dalam KUHAP
artinya tidak mempunyai dasar hukum, sehingga harus ditolak atau setidak-tidaknya
dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).

B. EKSEPSI TENTANG PERMOHONAN PRAPERADILAN TERMASUK POKOK


PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

Bahwa dalil-dalil Pemohon pada halaman 10 s/d 55 yang menjadi alasan pengajuan
permohonan Praperadilan pada pokoknya yaitu :

1. Tidak Ada Perbuatan Melawan Hukum atau Penyalahgunaan Kewenangan


Dalam Pengadaan 3 (tiga) Unit Quay Container Crane (QCC);
2. Pemohon Ditetapkan Sebagai Tersangka Korupsi Tanpa Ada Kerugian
Keuangan Negara atau Perekonomian Negara;
3. Keberadaan 3 (tiga) Unit Quay Container Crane (QCC) Telah
Menguntungkan Keuangan Negara;
4. Termohon Telah Melakukan Penyelidikan Secara Tidak Sah;
5. Pemohon Ditetapkan Sebagai Tersangka Sebelum Diperiksa Sebagai Calon
Tersangka;
6. Termohon Melakukan Penyidikan Secara Tidak Sah;
7. Kewajiban Hukum Untuk Mendahulukan Praperadilan;
8. Termohon Melakukan Penyidikan Untuk Kepentingan Lain;

apabila dicermati alasan-alasan permohonan tersebut, telah memasuki materi pokok


perkara dugaan tindak pidana korupsi yang disangkakan oleh Termohon kepada diri
Pemohon, yang seharusnya disampaikan pada pemeriksaan di persidangan perkara
pokok pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai hak Pemohon untuk
melakukan pembelaan (pledoi).

Bahwa pemaknaan hukum yang keluar dari ruang lingkup Praperadilan dengan
memasukkan pengujian alat bukti yang dihimpun oleh penyidik untuk diuji, sejatinya
telah mengambil alih tugas Penuntut Umum sebagaimana diatur dalam Pasal 138
KUHAP, yang antara lain bertugas meneliti hasil penyidikan.

Mengingat Penuntut Umum berwenang untuk melakukan penelitian hasil penyidikan


ini, maka dalam hal Penuntut Umum berpendapat sudah cukup syarat formil
maupun materiel, maka Penuntut Umum akan membuat surat dakwaan dan segera
melimpahkan ke pengadilan. Namun demikian ketika Penuntut Umum berpendapat
bahwa hasil penyidikan belum lengkap maka Penuntut Umum pun akan memberi
petunjuk kepada Penyidik untuk melengkapi berkas perkara. Bahkan dalam hal
penyidik sudah menyatakan maksimal, sementara Penuntut Umum berpendapat
bahwa berkas perkara belum lengkap, maka Penuntut Umum dapat melakukan
Pemeriksaan Tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang
Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.

Dengan demikian jelas kiranya bahwa ruang lingkup praperadilan tidak boleh
memasuki ruang lingkup pokok perkara, karena untuk meneliti tentang kecukupan
alat bukti yang merupakan ruang lingkup pokok perkara adalah tugas dari Penuntut
Umum. Best Practice ini juga dilakukan oleh Penuntut Umum KPK, dimana Penuntut
Umum KPK akan meneliti hasil penyidikan penyidik guna menentukan apakah suatu
perkara sudah dapat dilimpahkan ke pengadilan atau belum. Kalau kemudian
Praperadilan sudah menguji tentang alat bukti, maka dengan sendirinya telah
mengambil alih kewenangan Penuntut Umum dalam bekerjanya Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia.

Demikian juga ketika Praperadilan telah memasuki ruang lingkup pengujian


kompetensi absolut, maka hal ini berarti akan membawa Praperadilan untuk
memasuki ruang lingkup pokok perkara, mengapa demikian? Karena dengan
sendirinya Praperadilan akan masuk pada pengujian tentang hasil penyidikan, untuk
selanjutnya menguji kesesuaian unsur delik dengan alat bukti yang dihimpun
penyidik, termasuk di dalamnya kompetensi absolut. Padahal kesemuanya itu bukan
ruang lingkup Praperadilan, tetapi sudah memasuki ruang lingkup eksepsi
sebagaimana diatur secara jelas dalam Pasal 156 KUHAP.

Di sisi lain, kalau kemudian Praperadilan sudah memasuki ruang lingkup pokok
perkara yang akan menguji kecukupan alat bukti, yang berarti juga menguji tentang
materi hasil penyidikan, maka dengan demikian penyidikan itu telah kehilangan
makna dan juga kehilangan relevansinya. Bahkan dapat diartikan penyidikan yang
dimaksudkan untuk menghimpun alat bukti itu sudah tidak perlu dilanjutkan lagi,
karena dengan demikian untuk menyatakan seseorang bersalah dan dijatuhi pidana
tidak perlu dibuktikan di sidang tentang pokok perkara tetapi cukup di lembaga
Praperadilan ini saja. Apakah demikian yang dimaksud dengan Praperadilan itu?
Kalau demikian halnya, maka Praperadilan berarti telah mengambil alih tugas
Majelis Hakim yang menyidangkan pokok perkara.

Bahwa pembuktian unsur-unsur tindak pidana yang dipersangkakan kepada


Pemohon haruslah diadili pada persidangan pokok perkaranya dimana persidangan
dengan jumlah Majelis Hakim yang lengkap karena memeriksa dan memutus pokok
perkara sebagaimana ketentuan Pasal 26 Undang- Undang Nomor 46 Tahun 2009
tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU Pengadilan TIPIKOR).

Bahwa lembaga Praperadilan tidak pula menentukan apakah perkara cukup alasan
ataukah tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan sidang pengadilan. Penentuan
diteruskan ataukah tidak suatu perkara tergantung kepada Penuntut Umum. Oleh
karena itu, tidak ada kewenangan hakim Praperadilan untuk menilai materi
pokok perkara, mengingat lembaga Praperadilan merupakan sarana
pengawasan horizontal yang terbatas melakukan pemeriksaan formil.
Pembuktian adanya bukti permulaan dan unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan
oleh Pemohon sudah jelas bukan merupakan lingkup kewenangan Praperadilan
yang dipimpin oleh Hakim Tunggal dengan acara pemeriksaan yang cepat dan
sederhana, diperiksa dan diputuskan dalam jangka waktu yang sangat singkat yaitu
7 (tujuh) hari, karena sudah termasuk materi dari perbuatan atau tindak
pidana yang dilakukan oleh Pemohon, bukan terhadap tindakan formil yang
dilakukan oleh Termohon, maka dapat diartikan bahwa Permohonan Pemohon
adalah TANPA ALASAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG.

Dengan demikian, sudah jelas bahwa permohonan Pemohon Praperadilan adalah TANPA
ALASAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG karena dalil-dalil yang diajukan oleh Pemohon
Praperadilan merupakan materi pokok perkara yang seharusnya diperiksa, diadili, dan diputus
dalam persidangan oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan bukan
kewenangan Hakim Tunggal pada persidangan Praperadilan, sehingga permohonan Pemohon
Praperadilan sudah sepatutnya ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima
(niet ontvankelijke verklaard)

A. DALAM POKOK PERKARA

Hakim Praperadilan Yang Terhormat,

Setelah menyampaikan Eksepsi terhadap dalil-dalil permohonan Praperadilan, maka


selanjutnya Termohon menyampaikan jawaban/tanggapan terkait pokok perkara yang
pada pokoknya menyatakan:

 Termohon menolak seluruh dalil-dalil yang disampaikan oleh Pemohon dalam


permohonannya kecuali terhadap hal-hal yang secara tegas-tegas diakui oleh
Termohon dalam jawaban/tanggapan ini.
 Seluruh dalil-dalil dalam Eksepsi yang telah Termohon sampaikan di atas harus
dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari jawaban/ tanggapan
Termohon.
1. PENETAPAN TERSANGKA ATAS NAMA PEMOHON TELAH
SESUAI DENGAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN
a. KRONOLOGIS PENETAPAN TERSANGKA
1). Berdasarkan adanya pengaduan dari masyarakat tentang
terjadinya dugaan tindak pidana korupsi, Termohon
mengeluarkan Surat Perintah Penyelidikan Nomor Sprin.Lidik-
12/01/03/2014 tanggal 5 Maret 2014 untuk melakukan
penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan 3
(tiga) unit Quay Container Crane (QCC) di PT Pelabuhan
Indonesia II (Persero) tahun 2010.
2). Atas dasar Surat Perintah Penyelidikan tersebut, Termohon
melakukan serangkaian tindakan penyelidikan diantaranya
melakukan permintaan keterangan kepada 18 (delapan belas)
orang antara lain:
a. DIAN M. NOER (Berita Acara Permintaan Keterangan
tanggal 10 Maret 2014);
b. FERIALDY NOERLAN (Berita Acara Permintaan
Keterangan tanggal 08 April 2014 dan Berita Acara
Permintaan Keterangan Lanjutan tanggal 15 April
2014);
c. WAHYU HARDIYANTO (Berita Acara Permintaan
Keterangan tanggal 13 Maret 2014, Berita Acara
Permintaan Keterangan Lanjutan tanggal 28 Maret
2014, dan dan Berita Acara Permintaan Keterangan
Lanjutan tanggal 5 April 2014);
d. DEDI ISKANDAR (Berita Acara Permintaan
Keterangan tanggal 18 Maret 2014 dan Berita Acara
Permintaan Keterangan Lanjutan tanggal 24 Maret
2014);
e. MUH. SOLEH (Berita Acara Permintaan Keterangan
tanggal 7 April 2014).
f. HARYADI BUDI KUNCORO (Berita Acara Permintaan
Keterangan tanggal 18 Maret 2014 dan Berita Acara
Permintaan Keterangan Lanjutan tanggal 27 Maret
2014);
3). Dari ke-18 (delapan belas) orang yang telah dimintai
keterangan, termasuk permintaan keterangan terhadap diri
Pemohon (RICHARD JOOST LINO) pada tanggal 15 April 2014
(Berita Acara Permintaan Keterangan tanggal 15 April 2014).
4). Pada tahap penyelidikan telah dimintakan pendapat Ahli
sebagai berikut:
a) Ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
b) Ahli dari Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP);
5). Bahwa dalam tahap penyelidikan tersebut juga telah diperoleh
159 (seratus lima puluh sembilan) dokumen, antara lain:
a) Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara
Nomor PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum
Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha
Milik Negara tanggal 3 September 2008;
b) Surat Keputusan Direksi PT Pelabuhan Indonesia II
(Persero) Nomor HK.56/5/10/PI.II-09 tanggal 9
September 2009 tentang Ketentuan Pokok dan Tatacara
Pengadaan Barang/Jasa di Lingkungan PT Pelabuhan
Indonesia II (Persero);
c) Surat Keputusan Direksi PT Pelabuhan Indonesia II
(Persero) Nomor HK.56/6/18/PI.II-09 tanggal 31
Desember 2009 tentang Penyempurnaan Surat
Keputusan Direksi Nomor HK.56/5/10/PI.II-09 tanggal 9
September 2009 tentang Ketentuan Pokok dan Tatacara
Pengadaan Barang/Jasa di Lingkungan PT Pelabuhan
Indonesia II (Persero);
d) Surat Keputusan Direksi PT Pelabuhan Indonesia II
(Persero) Nomor HK.56/1/16/PI.II-10 tanggal 17 Maret
2010 tentang Penyempurnaan Kedua Surat Keputusan
Direksi Nomor HK.56/5/10/PI.II-09 tanggal 9 September
2009 tentang Ketentuan Pokok dan Tatacara Pengadaan
Barang/Jasa di Lingkungan PT Pelabuhan Indonesia II
(Persero);
e) Rencana dan Syarat (RKS) Pengadaan 3 (tiga) Unit QCC
Single Lift kapasitas 40 ton untuk Cabang Pelabuhan
Panjang, Palembang, dan Pontianak;
f) Nota Dinas Kepala Biro Pengadaan kepada Direktur
Operasional dan Teknik Nomor PR.100/1/4/BP-10 tanggal
18 Januari 2010 perihal Laporan Proses Penunjukan
Langsung Pekerjaan Pengadaan 3 (tiga) Unit Quay
Container Crane (QCC) Kapasitas 40 Ton untuk Cabang
Pelabuhan Panjang, Palembang dan Pontianak berikut
Maintenance Kontrak selama 6 (enam) Tahun;
g) Memo Direktur Utama kepada Direktur Operasional dan
Teknik serta Kepala Biro Pengadaan tanggal 18 Januari
2010;
h) Memo Direktur Operasional dan Teknik kepada Senior
Manager Peralatan dan Kepala Biro Pengadaan tanggal
19 Januari 2010;
i) Surat dari Wuxi Hua Dong Heavy Machinery Co., Ltd.
(HDHM) kepada PT Pelabuhan Indonesia II (Persero)
tanggal 3 Februari 2010 perihal Bid Price;
j) Surat dari Shanghai Zhenhua Heavy Industry Co., Ltd.
(ZPMC) kepada PT Pelabuhan Indonesia (II) Persero
tanggal 9 Februari 2010 perihal Bid Price;
k) Nota Dinas Kepala Biro Pengadaan kepada Direktur
Operasi & Teknik Nomor PR.100/1/12/BP-10 perihal
Laporan Pekerjaan Pengadaan 3 (tiga) Unit Quay
Container Crane (QCC) tanggal 3 Maret 2010;
l) Memo Direktur Operasi dan Teknik kepada Senior
Manager Peralatan dan Kepala Biro Pengadaan tanggal 5
Maret 2010;
m) Nota Dinas Direktur Operasi & Teknik kepada Direktur
Utama Nomor PR.100/1/16/BP-10 perihal Laporan
Pekerjaan Pengadaan 3 (tiga) Unit Quay Container Crane
(QCC) tanggal 12 Maret 2010;
n) Memo Direktur Utama kepada Direktur Operasi dan
Teknik, Direktur Komersial & Usaha, dan Kepala Biro
Pengadaan tanggal 12 Maret 2010;
o) Memo Senior Manager Peralatan kepada Direktur
Operasi dan Teknik perihal Perubahan RKS dan OE QCC
twin lift dan Maintenance Contract tanggal 13 Maret 2010;
p) Memo dari Senior Manager Operasi kepada Direktur
Komersial dan Pengembangan Usaha perihal Kajian
Operasional untuk Twin Lift Speader CC tanggal 18 Maret
2010;
q) Nota Dinas Direktur Operasi dan Teknik (FERIALDY
NOERLAN) kepada Direktur Utama Nomor :
PR.09/I/6/Dit-Optek-10 tanggal 25 Maret 2010
r) Nota Dinas Kepala Biro Pengadaan kepada Direktur
Operasi & Teknik Nomor PR.100/2/16/BP-10 perihal
Usulan Penetapan Penunjukan Langsung Pekerjaan
Pengadaan 3 (tiga) unit QCC Twin Lift untuk Pelabuhan
Panjang, Palembang dan Pontianak berikut Maintenance
Kontrak selama 5 (lima) Tahun tanggal 27 April 2010;
s) Surat Keputusan Direksi PT Pelabuhan Indonesia II
(Persero) Nomor PR.100/1/33/PI.II-10 tentang Penetapan
Penunjukan Langsung Pekerjaan Pengadaan 3 (tiga) Unit
Quay Container Crane Untuk Cabang Pelabuhan
Panjang, Palembang, dan Pontianak Tahun 2010;
t) Perjanjian Pengadaan 3 (tiga) Unit Kran Petikemas Sisi
Dermaga (Agreement for The Procurement of 3 Units of
Quayside Container Crane) antara PT Pelabuhan
Indonesia II (Persero) dengan Wuxi Hua Dong Heavy
Machinery Co. Ltd Nomor HK.566/3/19/PI.II-10 tanggal 30
April 2010;
u) Amendment Agreement antara PT Pelabuhan Indonesia II
(Persero) dengan Wuxi Hua Dong Heavy Machinery Co.
Ltd Nomor HK.566/16/5/ PI.II-11 tanggal 9 Mei 2011;
v) Quayside Container Crane Maintenance Agreement
antara PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) dengan Wuxi
Hua Dong Heavy Machinery Co. Ltd Nomor
HK.566/17/8/PI.II-11 tanggal 9 Juni 2011;
w) Nota Dinas Direktur Keuangan kepadaDirektur Utama
Nomor PL.62/2/1/ Ditkeu-10 perihal Pembayaran
Pengadaan 3 (tiga) Unit QCC Twin Lift kepada Wuxi Hua
Dong Heavy Machiner Co., Ltd (HDHM) tanggal 21 Juni
2010;
x) Laporan Kunjungan Cek Fisik dan Estimasi Harga
Fasilitas Crane PT Pelindo II Di Panjang, Pontianak dan
Palembang tanggal September 2014 dari Ahli Teknik ITB;
y) Laporan Audit Investigatif BPKP atas Dugaan
Penyimpangan Dalam Pengadaan 3 Unit QCC Di
Lingkungan PT Pelindo II (Persero) Tahun 2010 Nomor:
LHAI-244/D6.02/2011 Tanggal 18 Maret 2011;
z) Notulen Rapat Tanggal 16 Maret 2015 tentang
Pembahasan Kerugian Keuangan Negara atas Kasus
Dugaan TPK Dalam Pengadaan 3 Unit QCC Di
Lingkungan PT Pelindo II (Persero) Tahun 2010 antara
KPK dan BPKP.
6). Selanjutnya Penyelidik meminta bantuan Ahli dari Institut
Teknologi Bandung (ITB) untuk melakukan kunjungan cek fisik
dan estimasi harga fasilitas crane PT Pelindo II di Panjang,
Pontianak, dan Palembang. Hasil laporan tersebut telah
dilaporkan sebagaimana Laporan Kunjungan Cek Fisik Fasilitas
Crane Pada Pelabuhan PT Pelindo II di Pajang, Pontianak dan
Palembang, yang pada pokoknya hasil kunjungan tersebut
menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan mengenai
analisa estimasi biaya dengan memperhitungkan peningkatan
kapasitas QCC dari 40 ton menjadi 61 ton, serta eskalasi biaya
akibat perbedaan waktu kontrak dari produsen yang sama
menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan dengan total
perbedaan sekurang-kurangnya USD 3.625.922,00.
7). Bahwa berdasarkan 18 (delapan belas) orang yang telah
dimintai keterangan termasuk Pemohon dan 159 dokumen
maka dapat disimpulkan dugaan terjadinya tindak pidana
korupsi yang dilakukan, antara lain:
a. Pemohon memerintahkan mengubah spesifikasi QCC yang dibutuhkan
dari single lift ke twin lift. Pemohon selaku Direktur Utama yang sejak
awal mengundang HDHM dengan memerintahkan dan mengkondisikan
penunjukan langsung HDHM melalui instruksi/disposisi Pemohon yang
dituliskan secara langsung dengan kata-kata “GO FOR TWINLIFT”
pada Nota Dinas Direktur Operasi dan Teknik (FERIALDY NOERLAN)
Nomor : PR.100/1/16/BP-10 tanggal 12 Maret 2010
b. Pemohon memerintahkan dan melakukan intervensi kepada Panitia
Pengadaan Barang dan Jasa untuk menunjuk langsung HDHM padahal
HDHM tidak memenuhi persyaratan administrasi dan teknis dengan
cara memerintahkan Ferialdy Noerlan untuk menunjuk HDHM
sebagaimana disposisi Pemohon dalam Nota Dinas Direktur Operasi
dan Teknik (FERIALDY NOERLAN) Nomor : PR.100/1/16/BP-10
tanggal 12 Maret 2010. Direktur Operasi dan Teknik melaporkan
kepada Direktur Utama melalui Nota Dinas perihal Tindak Lanjut
Pengadaan QCC tanggal 25 Maret 2010 dan Pemohon memberikan
disposisi “selesaikan proses penunjukan HDHM”.
c. Pemohon memerintahkan mengubah peraturan pengadaan barang dan
jasa PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) dengan tujuan agar dapat
menunjuk langsung HDHM, dengan cara Pemohon pada Bulan Januari
- Maret 2010 memerintahkan Kepala Biro Pengadaan untuk mengubah
peraturan pengadaan agar dapat mengakomodir pabrikan luar negeri
sebagai peserta lelang yaitu terhadap SK Direksi Nomor.
HK.56/5/10/PL.II-09 tanggal 9 September 2009 melalui SK Direksi
Nomor HK.56/6/18/PI.II-09 tanggal 31 Desember 2009 jo. SK Direksi
Nomor HK.56/1/16/ PI.II-10 tanggal 17 Maret 2010.
d. Adanya potensi kerugian keuangan negara sekurang- kurangnya USD
3.625.922,00 berdasarkan analisa perhitungan ahli teknik dari Institut
Teknologi Bandung (ITB) yang menyatakan bahwa analisa estimasi
biaya dengan memperhitungkan peningkatan kapasitas QCC dari 40
ton menjadi 61 ton, serta eskalasi biaya akibat dari perbedaan waktu
kontrak dari produsen yang sama menunjukkan perbedaan yang cukup
signifikan.

Dengan demikian, Penyelidik telah menemukan bukti permulaan yang


cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam Pengadaan 3 (tiga) Unit
Quay Container Crane (QCC) di PT Pelabuhan Indonesia II (Persero)
Tahun 2010.
3). Dalam proses penyelidikan, Penyelidik telah melakukan beberapa
kali gelar perkara (ekspose) mengenai perkembangan
penyelidikan di hadapan Pimpinan KPK dan Pejabat Struktural di
Kedeputian Penindakan dan terakhir dilakukan ekspose yang
berpendapat bahwa telah ditemukannya bukti permulaan yang
cukup terjadinya dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan
3 (tiga) QCC di PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) Tahun 2010
dan penyelidikan dinaikkan ke tahap penyidikan. Selanjutnya
Penyelidik membuat laporan hasil penyelidikannya kepada
Pimpinan Termohon sebagaimana Laporan Hasil Penyelidikan
Nomor LHP-70/22/12/2015 tanggal 7 Desember 2015.
4). Berdasarkan Laporan Hasil Penyelidikan di atas selanjutnya
dibuatkan Laporan Kejadian Tindak Pidana Korupsi No. LKTPK-
30/ KPK/12/2015 tanggal 8 Desember 2015.

Dengan demikian, maka prosedur Penetapan Tersangka yang dilakukan oleh


Termohon sudah memenuhi 2 (dua) bukti permulaan yang cukup sehingga Penetapan
Tersangka terhadap diri Pemohon sudah sah dan berdasarkan hukum.

5). Selanjutnya diterbitkan Surat Perintah Penyidikan Nomor Sprin.Dik


No 55/01/12/2015 tanggal 15 Desember 2015 dan sampai saat ini
masih dalam proses penyidikan.

b. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA TELAH SESUAI


DENGAN KUHAP, UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002
(UU KPK), DAN STANDARD OPERATING PROCEDUR (SOP) YANG
BERLAKU PADA TERMOHON

Bahwa dalam dalil permohonannya halaman 41-47 pada pokoknya mendalilkan:

 Termohon dalam melakukan penyidikan telah melakukan penyidikan yang


tidak sesuai dengan ketentuan UU dan Peraturan Pemerintah (angka 1
pada halaman 42)
 Jarak waktu adanya Laporan Kejadian Tindak Pidana Korupsi Nomor:
LKTPK-30/KPK/12/2015, tanggal 8 Desember 2015 sampai Pemohon
ditetapkan sebagai Tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan
Nomor: Sprin.Dik-55/01/12/2015, tanggal 15 Desember 2015 hanya
berjarak 7 (tujuh hari). Senyatanya sesuai dengan fakta, belum dilakukan
penyidikan “..untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti
itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya” antara tanggal 8 Desember 2015 sampai
dengan tanggal 15 Desember 2015 sebagaimana dinyatakan dalam
KUHAP (angka 8 pada halaman 43 s/d 44 dan angka 11 pada halaman 44
s/d 45)
 Berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP, penetapan tersangka baru dapat
dilakukan setelah ada proses penyidikan, dengan sekurang- kurangnya dua
alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan
pemeriksaan calon tersangkanya sebagaimana dinyatakan oleh putusan
Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 21/ PUU-XII/2014 tanggal 28 April
2015 (angka 10 pada halaman 44)
 Penyidikan yang dilakukan oleh Termohon terhadap perkara Pemohon
tidak sesuai dengan SOP yang ditentukan oleh Termohon yakni SOP KPK
No.01/23/2008 tentang Prosedur Operasi Baku (POB) Kegiatan Penyidikan
tanggal 1 Desember 2008, dimana panggilan pemeriksaan terhadap saksi
dilakukan setelah Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka dan tidak
pernah ada pemeriksaan terhadap Pemohon sebagai calon tersangka
(angka 12 s/d angka 17 pada halaman 45 s/d halaman 47)
 Bahwa sesuai Pasal 46 UU KPK, penetapan tersangka pada Termohon
dilakukan sesudah adanya penyidikan bukan pada proses penyelidikan dan
tidak pula pada saat proses penyelidikan. (angka 17 pada halamam 47)

Dalil Pemohon adalah tidak benar, tidak berdasar, dan tidak beralasan. Atas dalil
tersebut Termohon memberikan jawaban/tanggapan sebagai berikut :

1). Bahwa Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) secara tegas
disebutkan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi
dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku (KUHAP) dan
berdasarkan UU Tipikor, kecuali ditentukan lain dalam UU KPK. Ketentuan
pasal tersebut mempertegas bahwa UU KPK adalah UU khusus (lex
Specialis) yang mengesampingkan pemberlakuan KUHAP dan UU Tipikor
(lex generalis) manakala diatur ketentuan yang sama.
2). Bahwa dari dalil-dalil yang disampaikan oleh Pemohon tersebut di atas,
terlihat bahwa Pemohon tidak memahami kekhususan hukum acara pidana
yang diatur dalam UU KPK. Apabila Pemohon mendasarkan proses
pencarian serta pengumpulan bukti yang terjadi dan menemukan tersangka
harus pada tahap penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal Pasal 1
angka 2 KUHAP, maka Pemohon telah medelegitimasi ketentuan Pasal 44
UU KPK yang tidak lain sebagai dasar dari KPK untuk menemukan bukti
permulaan yang cukup sebagai dasar KPK meningkatkan suatu dugaan
perkara tindak pidana korupsi ke tahap Penyidikan.
3). Bahwa dengan demikian dalam UU KPK, proses menemukan bukti
permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi (sekurang-
kurangnya 2 (dua) alat bukti) bukanlah dilakukan pada tahap penyidikan
sebagaimana Pemohon dalilkan tersebut di atas, melainkan harus dalam
tahap penyelidikan. Itulah sebabnya dalam menetapkan seseorang sebagai
Tersangka, Termohon harus memperoleh terlebih dahulu bukti permulaan
yang cukup dalam tahap penyelidikan, tanpa ditemukan bukti permulaan
yang cukup Termohon tidak akan pernah menetapkan seseorang sebagai
tersangka dugaan tindak pidana korupsi. Hal tersebut adalah sebagai
konsekwensi logis dari tidak diberikannya kewenangan Termohon untuk
mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam
perkara tindak pidana korupsi.
4). Bahwa Termohon dalam melakukan penyelidikan adanya dugaan tindak
pidana korupsi adalah untuk menemukan bukti permulaan yang cukup
berdasarkan ketentuan Pasal 44 UU KPK.1
5). Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan
1
Yahya Harahap selaku ahli yang menyampaikan pendapat tertulis kepada Termohon dalam
persidangan
Praperadilan Nomor 19/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel., menerangkan dimana Sumber alat bukti petunjuk
yang disebut dalam Pasal 44 ayat (2) UU KPK tersebut sama dengan perluasan sumber alat bukti
petunjuk yang disebut dalam Pasal 26 A UU TIPIKOR. Kalau begitu. “Setiap” informasi atau data yang
diucapkan, dikirim, diterima atau disampaikan baik secara biasa, elektronik atau optik MERUPAKAN DAN
DIHITUNG SATU ALAT BUKTI PETUNJUK YANG BERDIRI SENDIRI. Oleh karena itu. Jika diperoleh 2
atau 3 alat bukti petunjuk yang ditarik atau bersumber yang disebut Pasal 44 ayat (2) UU KPK jo Pasal 26
A huruf a UU TIPIKOR, maka ke-2 atau ke-3 alat bukti petunjuk tersebut telah mencapai batas minimal
pembuktian yang disebut Pasal 44 ayat (2) UU KPK maupun Pasal 183 KUHAP. Misalkan, Penyidik
menemukan 2 atau 3 surat/dokumen yang berisi informasi yang dikirimkan atau disimpan. Maka ke-2
atau ke-3 alat bukti petunjuk ini telah memenuhi kategori yuridis “bukti permulaan yang cukup”
sebagaimana dimaksud Pasal 44 ayat (2) UU KPK dan Pasal 183 KUHAP.”
sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, sebagaimana diatur dalam Pasal 44
UU KPK yang menyebutkan:
1). Jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan
yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7
(tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup
tersebut, penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
2). Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan
sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada
informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara
biasa maupun elektronik atau optik.
Bahwa dari pelaksanaan kegiatan Penyelidikan yang dilakukan berdasarkan
Surat Perintah Penyelidikan Nomor: Sprin.Lidik-12/01/03/2014 tanggal 05 Maret
2014, Termohon berdasarkan Laporan Hasil Penyelidikan Nomor: LHP-
70/22/12/2015 tanggal 7 Desember 2015 telah memperoleh 2 (dua) alat bukti
sesuai dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP.

7) Bahwa dari bukti-bukti yang diperoleh dalam tahap penyelidikan tersebut telah
ditemukan lebih dari 2 (dua) alat bukti sebagai bukti permulaan untuk menetapkan tersangka
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) UU KPK. Dalam LHP-70/22/12/2015 tanggal 7
Desember 2015 yang merupakan hasil dari ekspose yang dihadiri oleh Pimpinan, Penyelidik,
Penyidik, dan Penuntut Umum yang sampai pada kesimpulan menaikan perkara tersebut ke
tahap Penyidikan dengan Pemohon sebagai tersangka (LKTPK-30/KPK/12/2015, tanggal 8
Desember 2015) yang ditindaklanjuti dengan diterbitkan Surat Perintah

Hal 99 dari 258 Putusan No.119/Pid.Prap/2015/PN.JKT-

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

Penyidikan Nomor Sprin.Dik No 55/01/12/2015 tanggal 15 Desember 2015.

8) Bahwa sebagaimana telah diuraikan di atas, tujuan penyelidikan dalam KUHAP berbeda
dengan tujuan penyelidikan yang diatur dalam UU KPK. Ketentuan Pasal 1 angka 4 KUHAP
mengatur bahwa penyelidikan bertujuan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang
diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.
Sedangkan pengumpulan bukti-bukti serta tersangka dilakukan pada saat penyidikan
sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP. Hal tersebut jauh berbeda dengan tujuan
dilakukannya penyelidikan oleh KPK, karena berdasarkan ketentuan Pasal 44 ayat (1) dan ayat
(2) UU KPK, penyelidikan tidak hanya bertujuan untuk menemukan peristiwa pidana tetapi lebih
dari itu, penyelidikan sudah bertujuan untuk menemukan bukti permulaan yang sekurang-
kurangnya 2 (dua) jenis alat bukti. Oleh karenanya sangat berdasar apabila dalam tahap akhir
penyelidikan, Termohon (KPK) sudah dapat menentukan calon tersangkanya, karena sudah
menemukan peristiwa pidana serta ditemukan 2 (dua) atau lebih jenis alat bukti. Hal tersebut
selaras dengan ketentuan Pasal 1 angka 14 KUHAP yang berbunyi:

“Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti
permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.”
SEL

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

9) Bahwa untuk itu berdasarkan Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) UU KPK tersebut, maka
Termohon meningkatkan proses penyelidikan ke penyidikan dan selanjutnya mengeluarkan
surat perintah penyidikan dengan menyebutkan nama tersangkanya.

10) Bahwa tujuan penyebutan tersangka dalam surat perintah penyidikan dimaksudkan
untuk menjamin kepastian hukum bagi seseorang (tersangka) dalam rangka pemenuhan hak-
hak tersangka dan bagi penyidik menjamin kepastian hukum dalam melakukan tindakan-
tindakan upaya paksa, tindakan pemeriksaan yang sudah terarah pada seseorang yang
ditetapkan sebagai tersangka.

11) Bahwa dalam Pasal 40 UU KPK, Termohon tidak mempunyai kewenangan untuk
melakukan penghentian penyidikan, sehingga dengan penyebutan nama tersangka pada surat
perintah penyidikan merupakan bentuk kepastian hukum yang dilakukan oleh Termohon.

12) Bahwa terkait dalil Pemohon berkenaan dengan penyidikan dalam perkara Pemohon
yang tidak sesuai dengan SOP yang mengutip putusan Praperadilan Nomor:
36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel adalah tidak benar dan tidak berdasar, karena kutipan tersebut
bukanlah bunyi SOP KPK, melainkan hanyalah kutipan yang diambil dari foto copy Laporan
Pemeriksaan Kinerja Atas Pengelolaan Fungsi Penindakan Tindak Pidana Korupsi Tahun 2009
s.d 2011 pada KPK Nomor: 115/HP/14/12/2013 tanggal 23 Desember 2013

Hal 101 dari 258 Putusan No.119/Pid.Prap/2015/PN.JKT-

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

tentang Hasil Audit Kinerja yang Dilakukan oleh BPK dan tidak menunjukkan proses kegiatan
penyidikan di KPK, mengingan laporan hasil pemeriksaan kinerja tersebut ternyata adalah
atribut untuk menguji kesesuaian pelaksanaan dengan SOP Penyidikan KPK.

13) Berdasarkan ketentuan SOP KPK No.01/23/2008 tentang Prosedur Operasi Baku (POB)
Kegiatan Penyidikan tanggal 1 Desember 2008 pada butir 200 Persiapan Penyidikan angka 1
sebelum penerimaan LKTPK huruf c diatur bahwa :

Dalam gelar perkara tersebut EXCO2 Penyidikan akan memberikan pertimbangan/persetujuan


untuk menetapkan hasil penyelidikan tersebut dapat atau tidak dapat atau belum dapat
ditingkatkan ke tahap

penyidikan serta menetapkan tersangka utama dan penyertaannya.

14) Bahwa mengacu kepada ketentuan SOP tersebut di atas, bahwa dalam tahap akhir
penyelidikan, melalui forum ekspose (gelar perkara) EXCO Penyidikan bersama satgas
Penyelidikan, satgas Penyidikan, dan satgas Penuntutan menyepakati peningkatan perkara dari
tahap penyelidikan ke tahap penyidikan dan selanjutnya menetapkan pula calon tersangka
suatu tindak pidana korupsi dan kemudian Termohon mengeluarkan surat perintah penyidikan
dengan menyebut nama tersangkanya. Hal ini sejalan dengan Pasal 46 UU KPK bahwa
penetapan tersangka pada tahap
2 Exco adalah suatu perangkat yang terdiri dari unsur Pimpinan KPK, Deputi Penindakan,
Direktur Penyelidikan,

Direktur Penyidikan, dan Direktur Penuntutan untuk merumuskan dan memutuskan kebijakan
yang bersifat strategis dibidang penyidikan.

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

penyidikan. Dengan demikian penetapan tersangka pada saat awal proses penyidikan tidak
bertentangan dengan SOP KPK.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dalil Pemohon yang menyatakan Termohon dalam
menetapkan Pemohon sebagai tersangka tidak sesuai KUHAP, UU KPK, dan SOP adalah dalil
yang tidak benar dan tidak berdasar sehingga harus dikesampingkan.

a. TERMOHON MELAKUKAN PENYIDIKAN DEMI KEPENTINGAN HUKUM

Bahwa dalil Pemohon angka 1 pada halaman 54 Pemohon mendalilkan : “Bahwa dalam
melakukan penyidikan terhadap PEMOHON, khususnya dalam penetapan PEMOHON sebagai
Tersangka ternyata telah dilakukan oleh TERMOHON dengan tujuan lain diluar tujuan
penegakan hukum untuk mendapatkan keadilan, tetapi dilakukan dengan cara-cara tidak lazim
demi pencitraan oknum di Komisi Pemberantasan Korupsi.”

Terkait dengan dalil Pemohon tersebut, Termohon menyampaikan tanggapan sebagai berikut:

1) Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 2002, KPK adalah lembaga


negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya yang bersifat independen dan
bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Dalam penjelasannya yang dimaksud dengan
“kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang KPK
atau anggota komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak
lainnya yang terkait dengan perkara Tindak Pidana Korupsi atau keadaan dan situasi
Hal 103 dari 258 Putusan No.119/Pid.Prap/2015/PN.JKT-

SEL

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

ataupun dengan alasan apapun. Salah satu ciri independensi tersebut adalah Termohon
bertanggungjawab kepada publik dalam melaksanakan tugasnya serta menyampaikan laporan
secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR dan BPK. Adapun salah satu cara
pertanggungjawaban kepada publik tersebut adalah dengan membuka akses informasi (vide
Pasal 20 UU Nomor 30 Tahun 2002), termasuk di dalamnya informasi mengenai penanganan
perkara dan mengumumkan penetapan seseorang menjadi Tersangka.

2) Bahwa pemberian informasi tentang penetapan Pemohon sebagai Tersangka mengenai


publikasi atau konferensi pers adalah dalam rangka melaksanakan asas keterbukaan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 huruf b UU Nomor 30 Tahun 2002, yang dalam
penjelasannya menyatakan, “keterbukaan” adalah asas yang membuka diri terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
kinerja KPK dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Selain itu upaya publikasi merupakan
pemenuhan hak masyarakat untuk memperoleh informasi publik yang dijamin dalam UU incasu
UU Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Pemberian informasi
tersebut tidak dilandasi dengan maksud untuk mempengaruhi opini publik karena segala
sesuatu yang disampaikan kepada publik adalah semata- mata demi menjaga martabat
Termohon sebagai lembaga negara yang menjunjung tinggi keterbukaan informasi kepada
publik, dan tidak ada tendensi atau pretensi apapun untuk sekedar beropini di depan publik.

3) Bahwa setiap proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang termasuk di


dalamnya penentuan tersangka dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang berlaku pada
Termohon. Proses pengambilan keputusan termasuk menetapkan seseorang
SEL

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

menjadi tersangka dilakukan melalui mekanisme gelar perkara/ekspose setelah menerima


laporan dari penyelidik. Dalam forum ekspose yang diikuti oleh Penyelidik, Penyidik, dan pihak-
pihak terkait lainnya di kelembagaan Termohon, dilakukan pemaparan mengenai peristiwa
pidana, pihak-pihak yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana beserta alat buktinya.
Kemudian berdasarkan paparan dan alat bukti tersebut diambil keputusan yang dilakukan
secara kolektif oleh Pimpinan. Sebagai penanggungjawab tertinggi pada kelembagaan
Termohon maka keputusan apapun yang diambil termasuk penetapan tersangka merupakan
keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan oleh Pimpinan Termohon. Bahwa dalil Pemohon
yang menyatakan bahwa penetapan Pemohon sebagai tersangka adalah dengan maksud
menyandera Komisioner agar melakukan penegakan hukum yang tidak benar dan tidak
bermartabat merupakan dalil yang tidak berdasar dan hanya merupakan opini yang tidak
memiliki dasar dan kekuatan alat bukti apapun.

Bahwa kesemua hal yang menjadi dalil atau argumentasi Pemohon tidak layak untuk
dipertimbangkan sebagai “fakta”, melainkan hanya sekedar pendapat atau opini yang tidak
berdasar yang dapat membuktikan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Termohon adalah tidak
sesuai dengan UU Nomor 30 Tahun 2002. Sebagaimana disampaikan, Termohon telah
melaksanakan proses penegakan hukum termasuk penetapan Pemohon sebagai tersangka
dengan menjunjung tinggi Due Process of Law. Tidak ada kepentingan lain selain untuk
memberikan kepastian hukum dalam proses penegakan hukum yang dilakukan oleh Termohon
dengan melakukan penyidikan dan menetapkan Pemohon sebagai tersangka.

Berdasarkan alasan tersebut, maka Termohon telah melakukan proses penyelidikan dan
penyidikan dalam perkara tindak pidana korupsi dalam

Hal 105 dari 258 Putusan No.119/Pid.Prap/2015/PN.JKT-


Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

pengadaan 3 Quay Container Crane (QCC) di PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) Tahun


2010.

a. PENETAPAN TERSANGKA ATAS NAMA PEMOHON TELAH DIDAHULUI


PEMERIKSAAN PEMOHON SEBAGAI CALON TERSANGKA

Bahwa dalil Pemohon pada huruf E angka 1 s/d 6 halaman 39 s/d 42, yang pada pokoknya
mendalilkan Penetapan Tersangka atas nama Pemohon tidak didahului pemeriksaaan
Pemohon sebagai calon tersangka sehingga telah bertentangan dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi maupun putusan Praperadilan sehingga haruslah batal demi hukum.

Dalil Pemohon adalah tidak benar dan tidak beralasan. Atas dalil

tersebut Termohon menyampaikan jawaban/tanggapan sebagai

berikut:

1) Dalil yang diajukan pemohon tersebut merupakan dalil yang keliru, karena Pemohon
telah keliru membaca dan memaknai putusan Mahkamah Konstitusi yang menjadi dasar dalil
pemohon tersebut, sehingga dalil dan kesimpulan pemohon tersebut patut untuk
dikesampingkan.

2) Bahwa Pemohon mengajukan dalil tersebut diatas hanya berdasarkan beberapa


ketentuan dalam KUHAP yaitu Pasal 1 angka 14 dan Pasal 1 angka 2. Hal itu sebenarnya
menunjukkan kegagalan Pemohon dalam memahami sistem hukum acara pidana yang berlaku
serta melupakan asas umum dalam hukum yaitu lex spesialis derogat lege generalle.
SEL

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

Dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh Termohon
tidak dapat semata-mata dilakukan hanya berdasarkan KUHAP, namun juga terdapat ketentuan
khusus yang mengatur penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang dilakukan termohon,
yakni sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 2002 dan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No.
20 tahun 2001. Pemberlakuan ketentuan-ketentuan khusus tersebut diatur dalam pasal 39 ayat
1 UU No. 30 tahun 2002 yang berbunyi “penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana
korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali
ditentukan lain dalam undang-undang ini. Oleh karena itu dalam hal UU yang khusus tersebut
telah mengatur yang berbeda dengan apa yang diatur dalam KUHAP, maka ketentuan umum
yang terdapat dalam KUHAP harus dikesampingkan.

3) Bahwa pemohon mengajukan dalil tersebut diatas mendasarkan pada putusan


Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, namun pemohon telah keliru
memaknai putusan tersebut. Untuk itu perlu kiranya Termohon memberikan penjelasan
mengenai hal itu, selain untuk memberikan pemaknaan yang benar terhadap putusan itu, juga
untuk menambah khasanah pengetahuan pemohon.

Hal 107 dari 258 Putusan No.119/Pid.Prap/2015/PN.JKT-

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

Bahwa dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran terhadap frasa


“bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” sebagaimana
ditentukan dalam pasal 1 angka 14, pasal 17, dan pasal 21 ayat 1 KUHAP, yakni sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam pasal 184 KUHAP dan disertai dengan
pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya
dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia).

Ketentuan pasal 1 angka 14 KUHAP yang diberikan penafsiran tersebut merupakan bagian dari
ketentuan umum yang memberikan penafsiran otentik mengenai pengertian Tersangka sebagai
berikut:

“Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti
permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”

Sedangkan pasal 17 KUHAP, yang juga diberikan penafsiran dalam putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut mengatur mengenai penangkapan terhadap seorang yang diduga keras
melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

Bahwa penangkapan sebagaimana yang diatur dalam pasal 17 KUHAP tersebut dapat
dilakukan oleh penyelidik pada tahap penyelidikan maupun oleh penyidik pada tahap penyidik,
dengan berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Hal ini terlihat dari ketentuan pasal 16
KUHAP, yang berbunyi:
SEL

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

(1) Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang


melakukan panangkapan.

(2) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu

berwenang melakukan penangkapan.


Berdasarkan ketentuan-ketentuan dan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diatas, maka
dapat disimpulkan bahwa meskipun penangkapan dilakukan pada tahap penyelidikan, namun
harus berdasarkan bukti permulaan yang cukup, yang oleh Mahkamah Konstitusi dimaknai
dengan adanya dua alat bukti sebegaimana diatur dalam pasal 184 KUHAP dan dilakukan pula
pemeriksaan terhadap calon tersangkanya. Dengan demikian adanya “calon tersangka” tidak
harus pada tahap penyidikan, akan tetapi dapat pula pada tahap penyelidikan, sehingga
pemeriksaannya juga tidak harus pada tahap penyidikan namun dapat dilakukan pada tahap
penyelidikan.

Adapun mengenai persoalan praktek hukum, apakah seseorang yang dijadikan Tersangka
diperiksa terlebih dahulu baik sebagai saksi maupun sebagai orang yang memberikan
keterangan, hal itu sangat tergantung pada interpretasi dalam penegakkan hukum yang
merupakan ranah praktis oleh penegak hukum. Dikarenakan dalam hukum acara pidana tidak
dikenal terminologi “calon tersangka”, maka tidak mungkin penyelidik atau penyidik dalam
meminta keterangan untuk membuat Berita Acara Pemrintaan Keterangan Calon Tersangka.
Oleh karena itu pemeriksaan terhadap calon tersangka pada tahap penyelidikan baik dalam
kapasitas sebagai saksi maupun

Hal 109 dari 258 Putusan No.119/Pid.Prap/2015/PN.JKT-

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

sebagai orang yang memberikan keterangan harus dimaknai sebagai pemeriksaan calon
Tersangka sebagaimana pendapat mahkamah konstitusi, sehingga keterangannya juga
merupakan alat bukti yang sah.

Dengan demikian putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015
pada dasarnya sejalan dengan pasal 44 UU No.

30 tahun 2002 yang pada pokoknya untuk menentukan seseorang (calon tersangka) menjadi
Tersangka harus berdasarkan bukti permulaan yang cukup yang dapat diperoleh pada tahap
penyelidikan. Adapun bunyi lengkap pasal 44 UU No. 30 tahun 2002 adalah sebagai berikut:

“(1) Jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup
adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung
sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut, penyelidik melaporkan kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi.

(2) Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-
kurangnya 2 (dua) alat bukti termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang
diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik.”

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pengertian alat bukti sebagaimana diatur dalam pasal
184 KUHAP telah mengalami perluasan sebagaimana diatur dalam pasal 44 ayat 2 UU No. 30
tahun
SEL

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

2002. Ketentuan ini sama sekali tidak bertentangan dengan pasal 184 KUHAP, justru
memperluas ruang lingkup alat bukti.

Bahwa dalam perkara aquo Termohon telah meminta keterangan Pemohon yang kemudian
dituangkan dalam Berita Acara Permintaan Keterangan tanggal 15 April 2014 serta
ditandatangani oleh Pemohon. Selain meminta keterangan Pemohon, Termohon juga
melakukan konfirmasi kepada Pemohon terhadap bukti-bukti yang telah diperoleh oleh
Termohon. Oleh karena pada tahap penyelidikan telah dimintai keterangan, dan telah
dikonfirmasi dengan alat-alat bukti lainnya, maka pada tahap penyidikan, Termohon dapat
langsung menetapkan Pemohon sebagai Tersangka. Sehingga penetapan Tersangka yang
dilakukan oleh Termohon telah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan
yurisprudensi.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, penetapan tersangka atas nama pemohon telah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dan sudah jelas bahwa permohonan pemohon
praperadilan mengenai penetapan tersangka yang tidak sah adalah tidak benar dan tidak
berdasar sehingga permohonan pemohon praperadilan sudah sepatutnya ditolak atau setidak-
tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).

1. PERBUATAN MELAWAN HUKUM DAN PERHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN


NEGARA

a. PERBUATAN MELAWAN HUKUM

Bahwa dalil Pemohon halaman 10 s/d 19 yang pada pokoknya menguraikan tentang tidak
adanya perbuatan melawan hukum atau

Hal 111 dari 258 Putusan No.119/Pid.Prap/2015/PN.JKT-

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

penyalahgunaan kewenangan dalam pengadaan 3 (tiga) unit QCC, menurut Termohon sudah
menyangkut materi pokok perkara yang akan dibuktikan di persidangan pokok perkara. Namun
demikian Termohon memandang perlu untuk menyampaikan perbuatan melawan hukum yang
diduga dilakukan oleh Pemohon (sebagaimana telah Termohon jelaskan pada Kronologi
Penetapan Tersangka diatas) diantaranya sebagai berikut:

1) Pemohon memerintahkan mengubah spesifikasi QCC yang dibutuhkan dari single lift ke
twin lift. Pemohon selaku Direktur Utama yang sejak awal mengundang HDHM dengan
memerintahkan dan mengkondisikan penunjukan langsung HDHM melalui instruksi/disposisi
Pemohon yang dituliskan secara langsung dengan kata-kata “GO FOR TWINLIFT” pada Nota
Dinas Direktur Operasi dan Teknik (FERIALDY NOERLAN) Nomor : PR.100/1/16/BP-10 tanggal
12 Maret 2010

2) Pemohon memerintahkan dan melakukan intervensi kepada

Panitia Pengadaan Barang dan Jasa untuk menunjuk langsung HDHM padahal HDHM tidak
memenuhi persyaratan administrasi dan teknis dengan cara memerintahkan Ferialdy Noerlan
untuk menunjuk HDHM sebagaimana disposisi Pemohon dalam Nota Dinas Direktur Operasi
dan Teknik (FERIALDY NOERLAN) Nomor : PR.100/1/16/BP-10 tanggal 12 Maret 2010.
Direktur Operasi dan Teknik melaporkan kepada Direktur Utama melalui Nota Dinas perihal
Tindak Lanjut Pengadaan QCC tanggal 25
SEL

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

Maret 2010 dan Pemohon memberikan disposisi “selesaikan proses penunjukan HDHM”.

3) Pemohon memerintahkan mengubah peraturan pengadaan barang dan jasa PT


Pelabuhan Indonesia II (Persero) dengan tujuan agar dapat menunjuk langsung HDHM, dengan
cara Pemohon pada Bulan Januari - Maret 2010 memerintahkan Kepala Biro Pengadaan untuk
mengubah peraturan pengadaan agar dapat mengakomodir pabrikan luar negeri sebagai
peserta lelang yaitu terhadap SK Direksi Nomor. HK.56/5/10/PI.II-09 tanggal 9 September 2009
melalui SK Direksi Nomor HK.56/6/18/PI.II-09 tanggal 31 Desember 2009 jo. SK Direksi Nomor
HK.56/1/16/ PI.II-10 tanggal 17 Maret 2010.

4) Adanya potensi kerugian keuangan negara sekurang- kurangnya USD 3.625.922,00


berdasarkan analisa perhitungan ahli teknik dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang
menyatakan bahwa analisa estimasi biaya dengan memperhitungkan peningkatan kapasitas
QCC dari 40 ton menjadi 61 ton, serta eskalasi biaya akibat dari perbedaan waktu kontrak dari
produsen yang sama menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan.

Perbuatan-perbuatan tersebut melanggar ketentuan antara lain:

a. Prinsip-prinsip dan ketentuan pengadaan barang dan jasa yang diatur dalam Peraturan
Menteri Negara Badan

Hal 113 dari 258 Putusan No.119/Pid.Prap/2015/PN.JKT-


Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

Usaha Milik Negara Nomor PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan


Pengadaan Barang dan Jasa BUMN.

b. Prinsip-prinsip dan ketentuan dalam Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik
(Good Corporate Governance).

c. Surat Keputusan Direksi No.

HK.56/5/10/PI.II-09 tanggal 9

September 2009.

d. Tata Laksana Kerja Direksi dan Dewan Komisaris (Board Manual) PT Pelabuhan
Indonesia II (Persero).

Dengan demikian, sudah jelas bahwa permohonan Pemohon Praperadilan mengenai tidak
adanya perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan dalam Pengadaan 3
(tiga) Unit Quay Container Crane (QCC) adalah tidak benar dan tidak berdasar sehingga
permohonan Pemohon Praperadilan sudah sepatutnya ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan
tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).

b. PERHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA


SEL

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id
Bahwa dalam surat permohonannya halaman 19 - 32 pada pokoknya mendalilkan penetapan
Pemohon sebagai Tersangka tidak sah karena ketika Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka
oleh Termohon, secara pasti belum ada penghitungan kerugian Negara yang nyata dan pasti
jumlahnya.

Terkait dengan dalil Pemohon ini, Termohon menyampaikan tanggapan sebagai berikut:

1) Bahwa ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor menyebutkan: “Setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara, dipidana
penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

2) Bahwa ketentuan Pasal 3 UU Tipikor menyebutkan,

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00

Hal 115 dari 258 Putusan No.119/Pid.Prap/2015/PN.JKT-

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

3) Bahwa dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor dikatakan:

“ ….dalam ketentuan ini kata “dapat” sebelum frasa“ merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu
adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah
dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat”.

4) Bahwa dari rumusan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal (3) UU Tipikor sebagaimana tersebut di
atas, maka UU Tipikor menganut konsep delik formil terkait dengan unsur kerugian keuangan
Negara. Dengan demikian, maka timbulnya akibat kerugian keuangan Negara tidak perlu nyata
terjadi namun cukup didukung oleh bukti- bukti yang mengarah pada adanya potensi kerugian
Negara yang dapat dihitung.

5) Sebagaimana pendapat Prof. Komariah Emong Sapardjaja, Guru Besar Hukum Pidana
Universitas Padjajaran yang mengatakan “Unsur ‘dapat merugikan keuangan negara'
seharusnya diartikan merugikan negara dalam arti langsung maupun tidak langsung. Artinya,
suatu tindakan otomatis dapat dianggap merugikan keuangan negara apabila tindakan tersebut
berpotensi

menimbulkan kerugian negara. Jadi, ada atau tidaknya kerugian negara secara riil
menjadi tidak penting”. (http://
SEL

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51fb46e7a8edc/cara- menentukan-adanya-kerugian-
keuangan-negara).

6) Bahwa pendapat yang senada juga diungkapkan ahli hukum pidana, Prof. Romli
Atmasasmita yang berpendapat, “Majelis hakim seharusnya mengartikan unsur ‘dapat
merugikan keuangan negara' dalam konteks delik formil. Oleh karena itu, kerugian negara
secara nyata tidak diperlukan selama didukung oleh bukti-bukti yang mengarah adanya potensi
kerugian Negara…dst… sedangkan UU 31/1999 menganut konsep kerugian negara dalam arti
delik formil”.

(http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51fb46e7a8edc/cara- menentukan-adanya-kerugian-
keuangan-negara).

7) Bahwa berdasarkan hal-hal dan pendapat ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa
timbulnya akibat tindak pidana korupsi berupa kerugian keuangan negara atau perekonomian
negara tidak harus nyata-nyata telah terjadi, akan tetapi cukup dibuktikan dengan adanya
potensi terjadinya kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, yang mana dalam
perkara a quo telah terpenuhi pada saat penyelidikan.

8) Bahwa dalil Pemohon yang mendasarkan pengertian kerugian Negara sebagaimana


dimaksud Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara yang menyatakan bahwa kerugian negara harus nyata dan pasti jumlahnya untuk
menerapkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor adalah hal yang bersifat
kontradiktif dengan

Hal 117 dari 258 Putusan No.119/Pid.Prap/2015/PN.JKT-

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

pengertian kerugian negara dalam konteks Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.

9) Bahwa terkait lembaga yang berwenang untuk melakukan penghitungan kerugian


negara, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012 tertanggal 23 Oktober 2012
menyebutkan:

“Oleh sebab itu menurut Mahkamah, KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan
BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga
berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan
BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal
atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instnasi
pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukkan
kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat
membuktikan perkara yang sedang ditanganinya;”

10) Selain itu Andi Hamzah dalam bukunya berjudul “Perundang- undangan Pidana
Tersendiri (Nonkodifikasi)” menyatakan bahwa “Dalam hal dapatnya terjadi kerugian keuangan
negara yang dipanggil menjadi ahli ialah akuntan, tidak perlu BPK. Dalam hal dapatnya terjadi
kerugian perekonomian negara yang dipanggil menjadi ahli ialah ekonom.”
SEL

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

11) Bahwa dalam perkara aquo, Termohon dalam proses penyelidikan menemukan potensi
kerugian keuangan negara berdasarkan perhitungan ahli teknik dari Institut Teknologi Bandung
(ITB) yang menyatakan bahwa analisa estimasi biaya dengan memperhitungkan peningkatan
kapasitas QCC dari 40 ton menjadi 61 ton, serta eskalasi biaya akibat dari perbedaan waktu
kontrak dari produsen yang sama menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan, dengan total
perbedaan sekurang-kurangnya US$ 3.625.922,00 (tiga juta enam ratus dua puluh lima ribu
sembilan ratus dua puluh dua dollar Amerika).

12) Bahwa dalam dalil permohonannya halaman 20-21 angka 4, Pemohon berpendapat
bahwa dari hasil Pemeriksaan BPK No. 10/ AUDITAMA VII/PDTT/02/2015 tanggal 5 Februari
2015, tidak ada keterangan yang menyatakan bahwa hasil pemeriksaan adanya kerugian
keuangan Negara atau perekonomian Negara terkait dengan Pengadaan 3 Unit QCC di
Lingkungan PT Pelabuhan Indonesia II Tahun 2010, namun BPK merekomendasikan:

a. memberikan sanksi sesuai ketentuan intern kepada Kepala Cabang Pelabuhan


Pontianak yang tidak melaksanakan pembangunan Powerhouse beriringan dengan pengadaan
QCC dan penyelesaiannya terlambat;

b. Memerintahkan Kepala Cabang Pontianak dan Kepala Cabang Palembang untuk


mengoptimalkan
Hal 119 dari 258 Putusan No.119/Pid.Prap/2015/PN.JKT-

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

penggunaan QCC dan segera menyelesaikan pembangunan Powerhouse.

Berdasarkan dalil Pemohon tersebut, Termohon menanggapi bahwa dalil tersebut justru
memperjelas bahwa terdapat penyimpangan dalam rangka pengadaan 3 unit QCC di
lingkungan PT Pelabuhan Indonesia II Tahun 2010 dan menunjukkan pengadaan tersebut tidak
dipersiapkan secara matang sesuai dengan kebutuhan di pelabuhan Panjang, Palembang dan
Pontianak. Pengadaan 3 unit QCC tersebut tidak disesuaikan dengan persiapan infrastruktur
yang memadai (pembangunan powerhouse), sehingga menimbulkan in-efisiensi atau dengan
kata lain pengadaan 3 unit QCC tersebut sangat dipaksakan dan suatu bentuk penyalahgunaan
wewenang dari Pemohon selaku Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II demi
menguntungkan dirinya atau orang lain.

13) Bahwa potensi kerugian keuangan negara yang ditemukan dalam proses penyelidikan
akan dilengkapi pada proses penyidikan agar didapat perhitungan kerugian keuangan negara
yang komprehensif didasarkan pada bukti-bukti yang didapat dalam proses penyidikan yang
pada gilirannya pembuktian unsur kerugian keuangan negara akan dibuktikan dalam
persidangan perkara pokoknya begitupun dengan unsur tindak pidana lainnya.
SEL

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id
Berdasarkan uraian tersebut di atas Termohon berkesimpulan bahwa dalil yang diajukan
Pemohon sangat tidak berdasar hukum dan beralasan sehingga harus dinyatakan ditolak.

1. TERMOHON BERWENANG MENGANGKAT PENYELIDIK DAN PENYIDIK

Bahwa dalil Pemohon pada halaman 34 s/d 36 angka 1 sampai dengan angka 16 yang pada
pokoknya menyatakan:

• Bahwa KUHAP dan UU KPK, hanya mengakui keberadaan penyelidik yang merupakan
pejabat polisi Negara Republik Indonesia;

• Bahwa tidak ada kewenangan diberikan oleh Pasal 39 ayat (3) UU No. 30 tahun 2002
tentang KPK kepada Pimpinan KPK untuk mengangkat penyelidik, penyidik, dan penuntut
umum selain dari instansi kepolisian dan kejaksaan, karena pasal ini secara limitatif membatasi
bahwa penyelidik, penyidik dan penuntut umum berhenti sementara dari instansi kepolisian dan
kejaksaan. Pasal ini tidak memberikan hak kepada seluruh warga negara untuk menjadi
penyelidik, penyidik dan penuntut umum;

• Bahwa berdasarkan bunyi Pasal 43 ayat (1) UU Republik Indonesia No.

30 tentang KPK menyetakan “Penyelidik adalah penyelidik pada KPK yang diangkat dan
diberhentikan oleh KPK”, namun penyelidik tetap harus berasal dari instansi Kepolisian
Republik Indonesia, tidak bisa berasal dari instansi BPKP misalnya dan tidak juga berasal dari
pegawai KPK, karena ketentuan undang-undang secara limitative membatasi bahwa penyelidik
yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK adalah penyelidik yang berasal

Hal 121 dari 258 Putusan No.119/Pid.Prap/2015/PN.JKT-

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

dari instansi kepolisian yang diberhentikan sementara dari instansi kepolisian sebagaimana
dinyatakan oleh Pasal 39 ayat (3) UU KPK;

• Bahwa Arry Widiatmoko, bukanlah pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan tidak
pula pernah menjadi anggota Polisi Republik Indonesia, oleh karenanya penyelidikan yang
dilakukan oleh Termohon dengan penyelidik yang tidak berasal dari pejabat polisi Negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud oleh Pasal 4 KUHAP dan Pasal 39 ayat

(3) UU Republik Indonesia No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, maka penyelidikan tersebut
bukanlah penyelidikan yang dilakukan menurut hukum dan tidak berdasarkan atas hukum,
sehingga penyelidikan tersebut batal demi hukum;

• Bahwa Pasal 44 ayat (1) UU KPK, penyelidik hanya berkewajiban melapor kepada KPK
bahwa telah ditemukan bukti permulaan yang cukup, namun tidak ada kewenangan untuk
melakukan penetapan tersangka dalam proses penyelidikan

Dalil Pemohon adalah tidak benar dan tidak beralasan. Terhadap dalil

tersebut Termohon memberikan jawaban/tanggapi sebagai berikut:

a. PENYELIDIK YANG DIANGKAT OLEH TERMOHON ADALAH SAH

1) Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk berdasarkan Undang- Undang Nomor 30


Tahun 2002 (yang selanjutnya disebut UU KPK) dengan kesadaran bahwa saat itu kondisi
korupsi yang
SEL

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

terjadi di Indonesia merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Di dalam penjelasan
umum UU KPK disebutkan bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenang penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan, Komisi Pemberantasan Korupsi disamping mengikuti hukum acara
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tidank Pidana Korupsi, juga dalam UU ini
dimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex spesialis)

2) Penjelasan umum dalam UU KPK sangat jelas menyebutkan bahwa UU KPK bersifat
khusus (lex spesialis) sehingga ketentuan yang telah diatur dalam KUHAP dapat disimpangi jika
di dalam UU KPK telah diatur tersendiri.

3) Bahwa salah satu ketentuan khusus (lex spesialis) dalam UU KPK adalah ketentuan
yang mengatur mengenai penyelidik sebagaimana diatur dalam Pasal 43 UU yang menyatakan:

Pasal 43:

1) “Penyelidik adalah penyelidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK”.

Hal 123 dari 258 Putusan No.119/Pid.Prap/2015/PN.JKT-

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

2) Penyelidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penyelidikan


tindak pidana korupsi”.

Ketentuan Pasal 43 UU KPK tersebut jelas mengenyampingkan Pasal

4 KUHAP yang menyatakan: “Penyelidik adalah setiap pejabat polisi Negara Republik
Indonesia”, karena UU KPK yang bersifat lex spesialis mengenyampingkan ketentuan dalam
Pasal 4 KUHAP maka jelaslah Penyelidik di KPK tidak harus pejabat dari POLRI.

4) Bahwa ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU KPK sudah clear outline, maka tidak perlu
ditafsirkan lagi. Dalam pasal tersebut tidak disebutkan bahwa penyelidik KPK harus berasal dari
Kepolisian, sehingga tidak bisa ditafsirkan penyelidik KPK harus berasal dari Kepolisian
sebagaimana dalil Pemohon angka 6 halaman 35.

5) Selain ketentuan mengenai penyelidik diluar Kepolisian yang diatur dalam UU KPK,
terdapat pula ketentuan lain tentang penyelidik yang bukan berasal dari Kepolisian Republik
Indonesia, antara lain:

a) UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan).

Bahwa dalam Bab III tentang Tugas dan Wewenang, Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan
menyatakan bahwa: Dibidang pidana Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang (d)
Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan UU.

Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa: “Kewenangan dalam ketentuan ini adalah
kewenangan sebagaimana diatur
SEL

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

misalnya adalah UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan UU
Nomor 31 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi”.

Berdasarkan UU Kejaksaan, Penyelidikan dilakukan oleh jaksa pada Kejaksaan bukan


dilakukan oleh penyelidik yang berasal dari Kepolisian Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam KUHAP.

b) UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Bahwa dalam Bab IV tentang Hukum Acara, Bagian Keempat tentang penyelidikan pada Pasal
18 dinyatakan:

1) Penyelidikan terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dilakukan oleh
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

2) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam melakukan penyelidikan sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia dan unsur masyarakat.

Berdasarkan UU Pengadilan Hak Asasi Manusia tersebut, Penyelidikan dilakukan oleh tim ad
hoc yang terdiri atas Komisi

Hal 125 dari 258 Putusan No.119/Pid.Prap/2015/PN.JKT-

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur masyarakat dan bukan berasal dari penyelidik
Kepolisian Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam KUHAP.

Dengan demikian berdasarkan uraian di atas, kewenangan untuk mengangkat dan


memberhentikan pejabat Penyelidik tidak terbatas hanya pada institusi Kepolisian Republik
Indonesia, namun institusi lainnya berwenang mengangkat pejabat Penyelidik sebagaimana
ketentuan undang-undang yang mengaturnya, oleh karenanya dalil Pemohon yang menyatakan
bahwa penyelidik KPK harus berasal dari Kepolisian dan KPK tidak berwenang mengangkat
dan memberhentikan pejabat Penyelidik non Kepolisian tidak berdasar dan menyesatkan.

6) Bahwa terkait dalil Pemohon angka 9,10 dan angka 11 halaman

36 s/d halaman 37 mengenai Sdr. Arry Widiatmoko bukan merupakan pejabat yang berasal dari
Kepolisian dan juga tidak pernah menjadi anggota Kepolisian RI sehingga penyelidikan yang
dilakukan oleh Termohon batal demi hukum, dalil ini adalah dalil yang tidak berdasar, tidak
benar dan mengada-ada karena:
• Sebagaimana Termohon uraian di atas, bahwa kewenangan melakukan penyelidikan
tidak hanya dilakukan oleh penyelidik yang berasal dari Kepolisian, tetapi juga dapat dilakukan
oleh penyelidik KPK, Kejaksaan, Komisi Nasional HAM ataupun pejabat penyelidik dari instansi
lain sepanjang diatur dalam ketentuan perundang-undangan.
SEL

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

• Bahwa karena KPK oleh UU diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan
mengangkat pejabat Penyelidik sendiri, maka Sdr. Arry Widiatmoko selaku pegawai KPK yang
mempunyai keahlian dan pengalaman melakukan penyelidikan/investigasi, diangkat secara sah
oleh Pimpinan KPK menjadi Penyelidik berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor:
08D/KPK/II/2006, tanggal 5 Februari 2006 dan juga sebagai Direktur Penyelidikan berdasarkan
Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor: 56A/01-54/12/2011 tanggal 14 Desember 2011 tentang
Pengangkatan Direktur Penyelidikan Pada Deputi Bidang Penindakan. Dengan demikian
tindakan penyelidikan yang dilakukan oleh Sdr. Arry Widiatmoko adalah sah dan berdasar
hukum.

a. PENYIDIK YANG

DIANGKAT OLEH TERMOHON ADALAH SAH

1) Bahwa terkait dalil Pemohon halaman 47-51 yang menyatakan Penyidik yang diangkat
oleh Termohon tidak sah adalah dalil yang keliru dan tidak berdasar sehingga haruslah ditolak;

2) Bahwa untuk memahami pasal dalam suatu undang-undang tidak cukup hanya
membaca sebagian pasal dalam suatu undang-undang dan mengabaikan pasal lainnya, sebab
pasal- pasal dalam suatu undang-undang merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat
dipisahkan antara satu pasal dengan pasal yang lainnya.
Hal 127 dari 258 Putusan No.119/Pid.Prap/2015/PN.JKT-

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

3) UU KPK merupakan lex spesialis dari KUHAP, sehingga ketentuan yang mengatur
tentang proses penyidikan dan penuntutan serta pemeriksaan di sidang pengadilan dalam
hukum acara pidana yang berlaku yaitu KUHAP dapat disimpangi berdasarkan ketentuan Pasal
39 ayat (1) UU KPK yang mengatur “Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan tindak pidana
korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perbuahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.”

4) Bahwa terkait dengan kekhususan ketentuan yang mengatur mengenai Penyidik diatur
dalam Pasal 45 UU KPK yang mengesampingkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 UU
Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang menyatakan:

”Penyidik adalah:

a. Pejabat Polisi Negara RI;

b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh UU”.

5) Maksud tersirat dari pembuat UU mencantumkan norma yang ada dalam Pasal 45 ayat
(1) UU KPK secara normatif
SEL

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

memberikan kewenangan kepada KPK untuk mengangkat dan memberhentikan penyidik pada
KPK baik dari Kepolisian maupun yang berasal dari luar Kepolisian sesuai persyaratan yang
ditentukan pada Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) UU KPK yaitu:

“(2) Pegawai KPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c adalah warga
Negara Indonesia yang karena keahliannya diangkat sebagai pegawai pada KPK.

(3) ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan pegawai KPK diatur
lebih lanjut dengan Keputusan KPK”.

6) Bahwa seseorang yang ditugaskan oleh instansi asal (misalnya Kepolisian) ke KPK
tidak dapat secara langsung menjalankan tugas sebagai Penyidik KPK. Untuk menjadi Penyidik
di KPK, seseorang harus diberhentikan sementara dari instansi asalnya, dan selanjutnya
diangkat dengan Surat Keputusan Pimpinan KPK dan disumpah oleh Pimpinan KPK. Hal ini
didasari oleh pengertian bahwa KPK sebagai Lembaga Negara yang dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun
(vide Pasal 3 UU KPK) yang mempunyai hukum acara tersendiri dan aturan kepegawaian
tersendiri (Self regulatory body) sehingga dapat menetapkan kebijakan dan tata kerja organisasi
mengenai pelaksanaan tugas dan wewenangnya (vide Pasal 25 UU KPK).

Hal 129 dari 258 Putusan No.119/Pid.Prap/2015/PN.JKT-

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

7) Selain itu dalam konstruksi hukum Pasal 21 ayat (4) UU KPK menyebutkan bahwa
“Pimpinan KPK juga merupakan penyidik dan penuntut umum”. Bunyi Pasal ini semakin
menegaskan bahwa kewenangan Penyidik bukan monopoli penyidik Kepolisian karena setiap
Pimpinan KPK diberi kewenangan sebagai Penyidik dan Penuntut Umum. Berdasarkan UU
KPK, Pimpinan KPK diberikan kewenangan atributif oleh UU sebagai penyidik dan penuntut
Umum meskipun Pimpinan KPK belum tentu pernah menjadi Penyidik (atau berasal penyidik
Kepolisian) ataupun Penuntut Umum.

8) Bahwa tidak ada satupun pasal dalam UU yang dapat dimaknai bahwa Penyidik pada
KPK harus berasal dari Instansi Kepolisian. Konstruksi rumusan yang berbeda antara Pasal 43
ayat (1), Pasal 45 ayat (1) dengan Pasal 51 ayat (3) menunjukkan bahwa Penyusun UU
memberi kewenangan kepada KPK untuk mengangkat dan memberhentikan Penyelidik dan
Penyidik pada KPK baik yang berasal dari Instansi Kepolisian maupun non-Kepolisian.

9) Apabila dikomparasikan dengan rumusan Pasal 51 ayat (3) UU KPK maka tergambar
jelas maksud penyusun UU yang menyatakan bahwa penuntut umum pada KPK adalah jaksa
penuntut umum.

Rumusan frasa “penuntut umum pada KPK adalah jaksa penuntut umum” dapat dimaknai
secara jelas terbatas, merujuk pada Pasal 1
SEL

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

butir 1 UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor

5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyatakan Jaksa adalah pejabat
fungsional yang diberi wewenang oleh UU untuk bertindak sebagai penuntut umum dan
pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta
wewenang lain berdasarkan undang-undang.
10) Bahwa apabila penyusun undang-undang hendak mengkonstruksikan rumusan
sebagaimana argumentasi Pemohon yang menyatakan bahwa penyelidik, penyidik KPK
haruslah berasal dari instansi Kepolisian RI, maka sudah seharusnya teknik perumusan Pasal
tentang Penyelidik dan Penyidik identik dengan rumusan Pasal 51 ayat (3) UU KPK dengan
menyebut secara jelas “Penyelidik dan Penyidik adalah pejabat Polri”.

11) Sejalan dengan pendapat yang disampaikan Termohon di atas, tafsir pembentuk
undang-undang yang disampaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif) yang termuat
dalam keterangan yang disampaikan dalam perkara permohonan uji materiil Pasal 45 Ayat (1)
UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dalam perkara No. 109/PUU-XIII/2015 juga memberikan
penegasan bahwa “KPK mempunyai kewenangan mengangkat penyidik baik dari Kepolisian
maupun non Kepolisian, pendapat tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 45 UU KPK yang
menyebutkan Penyidik pada KPK diangkat dan diberhentikan

Hal 131 dari 258 Putusan No.119/Pid.Prap/2015/PN.JKT-

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

oleh KPK jo Pasal 21 ayat (1) UU KPK yang mengatur tentang komposisi KPK terdiri dari
pimpinan, tim penasihat dan pegawai KPK jo Pasal 21 ayat (4) UU KPK yang menegaskan
bahwa pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum. Berdasarkan ketentuan ini,
penyidik dan penuntut umum di KPK adalah pimpinan, kemudian dalam pelaksanaannya
pimpinan mendistribusikan tugas dan wewenang tersebut kepada penyidik dan penuntut umum
yang diangkat oleh KPK sebagaimana dimaksud Pasal 45 UU KPK.

Bahwa Pasal 21 itu menentukan bahwa seluruh pimpinan KPK dari mana pun asal institusinya
dapat menjadi penyidik dan penuntut umum dalam perkara-perkara korupsi yang ditangani
KPK. Artinya penyidik KPK dapat berasal dari institusi/jabatan professional apapun karena sifat
kekhususan lembaganya”.

12) Bahkan pendapat DPR pada halaman 9 lebih tegas lagi menyatakan, bahwa
“berdasarkan alur (tafsir) futuristiknya (ke depannya) KPK harus bersifat independen, termasuk
dalam perekrutan penyelidik dan penyidik KPK, yang sebenarnya tidak boleh berasal dari unsur
Kepolisian (Polri), sebab institusi Kepolisian dari awal tidak dapat efektif menangani perkara
tindak pidana korupsi sebagaimana konsideran UU KPK”.

13) Sejalan dengan Pendapat DPR tersebut, Pemerintah sebagai pembentuk undang-
undang juga memberikan pendapat yang disampaikan dalam perkara permohonan uji materiil
Pasal 45
SEL

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

Ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dalam perkara No. 109/PUU-XIII/2015 yang
menyatakan:

“…berdasarkan pengertian ketentuan Pasal 6 ayat (1) KUHAP dan anggapan pemohon yang
mendalilkan Penyidik KPK tidak jelas dan tidak mengacu pada Pasal 6 ayat (1) KUHAP,
menurut Pemerintah adalah tidak benar karena justru dengan adanya Pasal 6 ayat (1) KUHAP
bagi penyidik selain penyidik kepolisian dapat disebut sebagai penyidik apabila diberi
wewenang khusus oleh undang-undang yaitu antara lain dengan adanya ketentuan a quo yang
telah menentukan penyidik adalah penyidik dalam hal tindak pidana korupsi…dst

… oleh karena itu, pengertian kata “Penyidik” dalam UU KPK

dimaksudkan adalah memberi penjelasan bagi seseorang yang melakukan penyidikan disebut
sebagai “penyidik” yang pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan oleh KPK. Penyidik
tindak pidana korupsi ini bersifat khusus karena fungsinya melaksanakan penyidikan tindak
pidana korupsi yang digolongkan sebagai kejahatan luar biasa, sehingga upaya
pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar
biasa…dst

…berdasarkan asas lex spesialis derogate legi generalis yang menyatakan bahwa hukum yang
bersifat khusus (lex spesialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis)
sehingga ketentuan yang bersifat umum dalam KUHAP dapat dikesampingkan dengan
ketentuan yang bersifat khusus, karena tindak

Hal 133 dari 258 Putusan No.119/Pid.Prap/2015/PN.JKT-

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

pidana korupsi digolongkan sebagai kajahatan luar biasa sehingga penanganannya dibutuhkan
cara-cara khusus...dst

…selanjutnya KUHAP merupakan ketentuan umum yang mengatur

mengenai hukum formil sedangkan UU KPK adalah lex spesialis. Bahwa Pasal 45 UU KPK
merupakan hukum materiil yang merupakan lex spesialis, sifat hukum acara itu menegakkan
dan mengenyampingkan hukum materiil. Hukum materiil pidana dibagi 2 yaitu KUHAP dan UU
di luar KUHAP, tidak bisa dipertentangkan satu sama lain. UU KPK merupakan hukum materiil
dan formil dan menyimpangi”.

14) Bahwa selain hal-hal tersebut di atas, terdapat pula beberapa ketentuan perundang-
undangan yang mengatur mengenai eksistensi dari penyidik selain yang dirumuskan di dalam
Pasal 6 ayat (1) KUHAP yaitu:

a) Ketentuan Penyidik yang tersebut dalam UU Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Pada
Pasal 14 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia menyatakan
“Aparatur penegak hukum di bidang penyidikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah
perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut yang ditunjuk oleh Panglima Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia”. Pada penjelasan pasal dimaksud dengan Perwira Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Laut yang dapat ditunjuk sebagai Penyidik adalah misalnya:
Komandan Kapal, Panglima
SEL

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

daerah Angkatan Laut, Komandan Pangkalan dan Komandan Stasiun Angkatan Laut.

b) Ketentuan Penyidik yang tersebut di dalam UU Kejaksaan. Di dalam Pasal 30 ayat (1)
huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dinyatakan secara tegas
bahwa “Di bidang pidana kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang ... melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang”. Dengan demikian, seorang
Jaksa juga dapat menjadi penyidik kendati bukan berasal dari instansi kepolisian.

c) Ketentuan Penyidik yang ada di dalam UU Pengadilan Hak Asasi Manusia. Sesuai
Pasal 21 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang
menyatakan dengan tegas bahwa “Penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang
berat dilakukan oleh Jaksa Agung”. Uraian ini secara tegas menjelaskan bahwa penyidik yang
menangani kasus pelanggaran berat hak asasi dilakukan oleh Jaksa Agung dan tentu saja
Jaksa Agung bisa saja memberikan kewenangan atributif pada seorang Jaksa atau bukan
Jaksa yang keseluruhan kewenangan tersebut diberikan dan diserahkan kepada Jaksa Agung.

Dengan demikian berdasarkan uraian di atas dalil Pemohon yang menyatakan bahwa penyidik
KPK harus berasal dari Kepolisian adalah tidak benar dan tidak berdasar serta menyesatkan.

15) Terkait dalil Pemohon yang menyatakan Penyidik KPK A. Damanik bukan sebagai
penyidik yang berasal dari pejabat

Hal 135 dari 258 Putusan No.119/Pid.Prap/2015/PN.JKT-

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

Kepolisian RI dan telah diberhentikan dari Dinas Polri maka A. Damanik bukanlah penyidik
sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) huruf a PP No. 27 Tahun 1983 jo Pasal 2 A PP 58
Tahun 2010 tentang Pelaksanaan KUHAP adalah tidak benar dan mengada-ada karena:

• Sebagaimana Termohon uraian di atas, bahwa kewenangan melakukan penyidikan


tidak hanya dilakukan oleh penyidik yang berasal dari Kepolisian, tetapi juga dapat dilakukan
oleh penyidik KPK, Kejaksaan, Komisi Nasional HAM ataupun pejabat penyidik dari instansi lain
sepanjang diatur dalam ketentuan perundang-undangan.

• Bahwa karena KPK adalah lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh manapun, maka oleh UU diberi
kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pegawainya termasuk untuk mengangkat
penasehat, pejabat struktural, pegawai termasuk mengangkat penyelidik, penyidik dan penuntut
umum sesuai dengan keahliannya. Karena Sdr. A. Damanik selaku pegawai KPK mempunyai
keahlian dan pengalaman melakukan penyidikan, maka diangkat secara sah oleh Pimpinan
KPK menjadi penyidik KPK berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor: KEP-
28B/KPK/IV/2005 tanggal 2 April 2005.

• Sebagai tindak lanjut dari UU KPK terkait dengan kewenangan KPK untuk mengangkat
dan memberhentikan pegawai, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 63
Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK, yang mana dalam Pasal
7 mengatur bahwa:

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

(1) Pegawai Negeri yang dipekerjakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dapat
beralih status kepegawaiannya menjadi Pegawai Tetap sesuai dengan persyaratan dan
tatacara yang ditetapkan dalam Peraturan Komisi.

• Sebagai tindak lanjut dari PP 63 Tahun 2005, Komisi Pemberantasan Korupsi


menetapkan Peraturan Komisi Nomor 05 Tahun 2012 tentang Tata Cara Alih Status
Kepegawaian, dalam Pasal 4 yang mengatur mengenai Tata Cara Alih Status Pegawai Negeri
yang dipekerjakan menjadi Pegawai Tetap.

• Berdasarkan ketentuan dimaksud Sdr. A. Damanik diangkat menjadi Pegawai Tetap


KPK berdasarkan Keputusan Pimpinan Nomor : KEP-572/01-54/10/2012 tentang Pengangkatan
Pegawai Negeri Uang Dipekerjakan menjadi Pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi dan
Keputusan Nomor : KEP-579/01-54/10/2012 tentang Pengangkatan Penyelidik dan Penyidik
pada Komisi Pemberantasan Korupsi.

16) Bahwa kewenangan KPK mengangkat Penyidik di luar Kepolisian telah dikuatkan pula
dengan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, sebagai berikut:

No Putusan Isi Pertimbangan

1 Nomor 18/ Menimbang bahwa karena jelas di dalam Pasal 45 UU

Pid.Prap/2015/ KPK dinyatakan: penyidik adalah penyidik pada KPK yang

PN.Jkt. Sel. An. diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Sehingga penyidik di

Suroso KPK tidak harus pejabat dari POLRI sehingga KPK

Atmomartoyo sebagai Lembaga Negara sebagaimana disebutkan dalam

tanggal 14 April pasal 3 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 diberi

2015 (halaman wewenang untuk mengangkat penyidik independen untuk

115-116) melaksanakan tugas dan wewenangnya yang bersifat

Hal 137 dari 258 Putusan No.119/Pid.Prap/2015/PN.JKT-

SEL

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun;

a. Menimbang, bahwa ketentuan dalam pasal 39 ayat (3) UU KPK yang berbunyi:
“Penyelidik, penyidik dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada KPK diberhentikan
sementara dari instansi Kepolisian dan Kejaksaan selama menjadi pegawai KPK”, merupakan
ketentuan yang mensyaratkan jika penyelidik, penyidik dan penuntut umum yang berasal dari
instansi Kepolisian dan kejaksaan akan menjadi penyelidik KPK maka penyidiik tersebut harus
diberhentikan sementara dari instansi Kepolisian dan Kejaksaan;
b. Menimbang bahwa ketentuan Pasal 38 ayat (2) UU KPK menyebutkan:

“ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam UU ini”
sehingga penyidik KPK dalam pelaksanaan tugasnya tidak perlu dibawah koordinasi

dan pengawasan penyidik Polri.

2. Nomor 55/ Pid.Prap/2015 / PN.Jkt. Sel. An. Dr. Ilham Arief Menimbang, bahwa
berkaitan dengan masalah ini Hakim Praperadilan mempertimbangkan menunjuk Pasal 21 ayat

(4) UU Republik Indonesia No. 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan: “Pimpinan Komisi
Pemberantasan

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

Sirajudin,MM. tanggal 9 Juli 2015

(halaman 78

sampai dengan 80) Korupsi” sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah “penyidik
dan penuntut umum” selanjutnya pada Pasal 24 ayat (2) UU Republik Indonesia No. 30 tahun
tentang KPK yang menyatakan:”Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana
dimaksud Pasal 21 ayat (1) huruf c adalah warga negara Indonesia yang karena keahliannya
diangkat sebagai pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi”;

a. Menimbang, bahwa dalam Pasal 38 ayat (2) UU Republik Indonesia No. 30 Tahun 2002
tentang KPK menyatakan: “ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku bagi penyidik tindak
pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini” Bahwa ketentuan Pasal 7
ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang dinyatakan
tidak berlaku yaitu: “penyidik ….dalam melaksanakan tugasnya berada di bawah koordinasi dan
pengawasan Penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a (Penyidikan adalah Pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia) maka selanjutnya diatur dalam Pasal 39 ayat (3) UU Republik
Indonesia No 30 tahun 2002 tentang KPK yang menyatakan: “Penyelidik, penyidik, dan
penuntut umum yang
Hal 139 dari 258 Putusan No.119/Pid.Prap/2015/PN.JKT-

SEL

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi, diberhentikan sementara


dari instansi kepolisian dan kejasaksaan selama menjadi pegawai padan Komisi
Pemberantasan Korupsi”

b. Hal ini dimaksudkan penyelidik atau penyidik dan penuntut umum hanya fokus untuk
melaksanakan tugas pada Komisi Pemberantasan Korupsi tidak lagi berada di bawah
koordinasi dan pengawasan Penyidik POLRI;

c. Menimbang, bahwa ketentuan pasal 26 Bab IV UU Tipikor selengkapnya berbunyi


“penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang Pengadilan terhadap tindak pidana korupsi,
dilakukan berdasarkan Hukum Acara Pidana yang berlaku kecuali ditentukan lain dalam UU ini
”. Hal ini menegaskan bahwa UU Tipikor merupakan lex spesialis dari KUHAP, sehingga
ketentuan yang mengatur tentang proses penyidikan dan penuntutan serta pemeriksaan di
sidang pengadilan dalam hukum acara pidana yang berlaku yaitu KUHAP dapat disimpangi

berdasarkan ketentuan Pasal 26 UU Tipikor tersebut.

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

d. Menimbang, bahwa dengan diaturnya ketentuan khusus tentang


penyelidik, penyidik dan penuntut umum dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, maka
kententuan penyelidik dalam Pasal 4 KUHAP, penyidik dalam Pasal 6 KUHAP, dan penuntut
umum dalam Pasal 13 KUHAP dikesampingkan berdasarkan penerapan asas “Lex Spesialis
Derogat Legi Generalis”;

e. Menimbang, bahwa berkenaan dengan ketentuan khusus dalam udanng-undang No.30


Tahun 2002 terkait dengan penyelidik, penyidik, dan penuntut umum diatur dalam ketentuan
Pasal 43 ayat (1) dan (2), Pasal 45 ayat (1) dan
(2) serta Pasal 51 ayat (1), (2), dan (3) Undang- Undang No. 30 Tahun 2002;

f. Menimbang, bahwa karena telah jelas di dalam Pasal 43 ayat (1) UU Republik Indonesia
No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. “Penyelidik adalah Penyelidik pada Komisi Pemberantasan
Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”, dan pasal 45
ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK: penyidik adalah penyidik pada KPK
yang

Hal 141 dari 258 Putusan No.119/Pid.Prap/2015/PN.JKT-

SEL

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

diangkat dan diberhentikan oleh KPK, sehingga penyidik di KPK tidak harus
pejabat dari POLRI sehingga KPK sebagai Lembaga Negara sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 3 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 diberi wewenang untuk mengangkat Penyelidi,
Penyidik dan Penuntut Umum untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya yang bersifat
independen dan bebas dari pengaruh

kekuasaan manapun.

3. Putusan Sela No. 17 PID.SUS/ TPK/2015/PN.DPS

an. H. Zaini Arony Tanggal 15 Juni

2015 (halaman

42-43) Menimbang, bahwa terhadap keberatan penyelidik penyidik dan penuntut umum pada
KPK diberhentikan sementara dari Kepolisian dan Kejaksaan, dan KPK tidak berwenang untuk
mengangkat penyelidik, penyidik dan penuntut umum, dalam hal ini Majelis Hakim sependapat
dengan JPU yang mendalilkan bahwa KPK sebagai lembaga independen dan sebagai state
regulatory agency secara atributif diberi wewenang oleh UU untuk mengangkat dan
memberhentikan Penyelidik dan Penyidik sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1)
dan Pasal 45 ayat (1) UU KPK yang menegaskan bahwa Penyelidik dan Penyidik adalah
Penyelidik dan Penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Sedangkan
bagian penjelasan Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (1) UU KPK pun hanya menyebutkan
“cukup jelas”;

a. Bahwa kewenangan KPK mengangkat

Penyelidik dan Penyidik sendiri, pendapatnya

tersebut didasarkan hanya dengan mengaitkan

Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (1) UU KPK

jika dikaitkan dengan Pasal 39 ayat (3) UU KPK

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

yang berbunyi bahwa “penyelidik, penyidik dan penuntut umum yang menjadi
pegawai pada KPK, diberhentikan sementara dari instansi Kepolisian dan Kejaksaan selama
menjadi pegawai pada KPK”, seharusnya ketentuan Pasal 39 ayat (3) aquo diletakkan dalam
konteks kelahiran dan tujuan dibentuknya KPK. Yakni antara lain untuk menjaga independensi
dan mencegah terjadinya konflik kepentingan (conflict on intersest) serta dikhawatirkan adanya
loyalitas ganda (double loyality), sehingga bagi penyelidik, penyidik dan penuntut umum yang
berasal dari Kepolisian dan Kejaksaan perlu diberhentikan sementara dari instansi asalnya,
yang selanjutnya untuk dapat menajdi penyelidik, penyidik dan penuntut umum di KPK maka
mereka harus diangkat oleh KPK, penafsiran bahwa penyelidik dan penyidik KPK harus dari
Kepolisian adalah pendapat yang sepenuhnya tidak tepat; mengingat pasal 43 ayat (1) dan
pasal 45 ayat (1) UU KPK yang sudah secara tegas memberikan kewenangan KPK untuk
mengangkat dan memberhentikan penyelidik dan penyidiknya sendiri;

Hal 143 dari 258 Putusan No.119/Pid.Prap/2015/PN.JKT-

SEL

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id
b. Bahwa terhadap dalil yang mempersoalkan otoritas KPK untuk mengangkat
penyelidik dan penyidik sendiri dengan alasan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1), pasal 4
dan Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP yang mengatur bahwa penyelidik dan penyidik adalah
polisi. Satu hal yang perlu diingat bahwa KUHAP bukanlah satu- satunya rujukan di dalam
penegakan hukum pidana formal, apa yang belum atau tidak diatur KUHAP tidak dapat
dimaknai sebagai suatu yang dilarang. Sebagai perbandingan, kewenangan jaksa sebagai
penyidik dalam perkara tindak pidana tertentu dapat dijumpai pada Pasal 30 huruf d UU No. 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan, namun kewenangan yang sama tidak ditemukan dalam
ketentuan KUHAP. Hal demikian tentu saja dapat diartikan Jaksa tidak berwenang melakukan
penyidikan karena tidak sesuai dengan KUHAP. Dengan demikian membaca UU seyogyanya
tidak saja terhadap teks gramatikal semata, namun juga perlu difahami orisinil (original intent)
dari pembuat UU tersebut.

4. Putusan perkara No.105/Pid. Menimbang, bahwa Pasal 45 ayat (1) UU RI No 30 Tahun


2002 tentang KPK menentukan Penyidik adalah penyidik

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

Prap/2015/PN. Jkt. Sel a.n Bambang Wahyuhadi (halaman 106) pada KPK yang
diangkat dan diberhentikan oleh KPK, sehingga hakim berpendapat bahwa KPK sebagai
lembaga negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 UU NO 30 Tahun 2002 diberi
wewenang untuk mengangkat penyidik untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya yang
bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

a. Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas pengangkatan Rio


Pambudi sebagai penyidik KPK oleh KPK adalah sah, oleh karena itu penyidikan terhadap
Pemohon yang dilakukan oleh Rio Pambudi adalah sah.

b. Menimbang, bahwa dengan demikian Petitum Pemohon tentang penyidikan tidak sah
karena tidak dilakukan oleh penyidik yang sah harus dinyatakan ditolak
III. PENUTUP

Berdasarkan uraian-uraian sebagaimana tersebut di atas, Termohon berkesimpulan bahwa


semua dalil-dalil yang dijadikan alasan Pemohon untuk mengajukan permohonan Praperadilan
ini adalah tidak benar dan keliru oleh karena itu selanjutnya Termohon memohon kepada Hakim
Praperadilan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara Praperadilan ini dengan amar
putusan sebagai berikut:

DALAM EKSEPSI:

Hal 145 dari 258 Putusan No.119/Pid.Prap/2015/PN.JKT-

SEL

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

1. Menerima dan mengabulkan eksepsi Termohon untuk seluruhnya;

2. Menyatakan permohonan Praperadilan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);

DALAM POKOK PERKARA :

1. Menyatakan menerima dan mengabulkan Jawaban Termohon untuk seluruhnya;

2. Menolak permohonan Pemohon Praperadilan sebagaimana terdaftar

dalam register perkara Nomor: 119/Pid/Prap/2015/PN.Jkt.Sel. atau setidaknya menyatakan


Permohonan Pemohon Praperadilan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);
3. Menyatakan penetapan Tersangka atas diri Pemohon berdasarkan Surat Perintah
Penyidikan No. Sprin.Dik- 55/01/12/2015 tanggal 15 Desember 2015 adalah sah dan berdasar
atas hukum;

4. Menyatakan Termohon berwenang mengangkat penyelidik dan penyidik

pada KPK;

5. Menyatakan penyidikan atas diri Pemohon berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No.
Sprin.Dik- 55/01/12/2015 tanggal 15 Desember 2015 adalah sah, berdasar atas hukum
dan mempunyai kekuatan mengikat;

6. Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara yang timbul akibat

permohonannya;

atau

Apabila Hakim Praperadilan berpendapat lain, Kami mohon Putusan yang seadil- adilnya (ex
aquo et bono).

Anda mungkin juga menyukai