Anda di halaman 1dari 21

ANALISIS KASUS POSISI

PERTENTANGAN NORMA UU NO. 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN


UMUM TERHADAP UUD 1945 DALAM PUTUSAN MK NO. 68/PUU-XX/2022

A. PARA PIHAK
1. Pemohon
Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi, maka Pemohon dapat diartikan sebagai pihak yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang.
Dengan demikian, maka dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
68/PUU-XX/2022 ini, identitas Pemohon dapat diuraikan sebagai berikut:
Nama : Partai Garda Perubahan Indonesia (Partai Garuda)
Alamat : Jalan Penjernihan 1 Nomor 28, Bendungan Hilir, Tanah
Abang, Jakarta Pusat
yang dalam hal ini diwakili oleh Ahmad Ridha Sabana, sebagai Ketua Umum Dewan
Pimpinan Pusat Partai Garuda, dan Yohanna Murtika, sebagai Sekretaris Jenderal
Dewan Pimpinan Pusat Partai Garuda. Di mana, berdasarkan Surat Kuasa Khusus
bertanggal 17 Juni 2022, mereka diwakili pula oleh M. Maulana Bungaran, S.H.,
M.H., Munathsir Mustaman, S.H., M.H. dan Desmihardi, S.H., M.H., Advokat dari
Kantor Hukum Bungaran & Co yang berkedudukan di Jalan Utan Kayu Raya Nomor
89, Utan Kayu Utara, Kecamatan Matraman Kota Jakarta Timur, baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama.
2. Termohon
Adapun yang dimaksud dengan Termohon dalam hal ini, merupakan pihak
yang menerima permohonan tertulis dari Pemohon, yakni Mahkamah Konstitusi.
3. Pemberi Keterangan
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 5 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun
2001 tentang Tata Cara Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, maka yang
dimaksud dengan Pemberi Keterangan sebagai pihak selanjutnya dalam perkara
Pengujian Undang-Undang ini adalah MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden.
B. KOMPETENSI ABSOLUT DAN KOMPETENSI RELATIF
1. Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut merupakan kewenangan Pengadilan untuk mengadili
suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa. Dengan demikian, maka
kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mengadili permohonan Pemohon dalam
Putusan tersebut secara absolut, dapat didasarkan pada ketentuan-ketentuan di bawah
ini:
a. Pasal 24C ayat 91) UUD 945
Berdasarkan pada ketentuan ini, dinyatakan bahwa Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum.
b. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi beserta perubahannya
Melalui ketentuan ini, dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang (UU) terhadap UUD NRI
Tahun 1945.
c. Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman
Melalui ketentuan ini, dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
d. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan beserta perubahannya
Melalui ketentuan ini, dinyatakan bahwa dalam hal suatu Undang-
Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi.
e. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata
Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang
Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XX/2022 ini,
dinyatakan bahwa permohonan terkait pengujian undang-undang di
dalamnya telah mengacu dan mempedomani ketentuan tersebut, sehingga
perkara ini merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi.
f. Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan kewenangannya
menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945
Dalam melaksanakan kewenangannya tersebut, melekat lima fungsi di
dalam Mahkamah Konstitusi, yakni Mahkamah Konstitusi sebagai
Pengawal Konstitusi (The Guardian of Constitution), Mahkamah
Konstitusi sebagai Penafsir Akhir Konstitusi (The Final Interpreter of
Constitution), Mahkamah Konstitusi sebagai Pengawal Demokrasi (The
Guardian of Democracy), Mahkamah Konstitusi sebagai Pelindung hak
konstitusional warga negara (The Protector of Citizen’s Constitutional
Rights), dan Mahkamah Konstitusi sebagai Pelindung Hak Asasi Manusia
(The Protector of Human Rights). Di mana berkaitan dalam pengujian
permohonan Pemohon dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
68/PUU-XX/2022 tersebut, Mahkamah Konstitusi sedang menjalankan
fungsi sebagai pengawal konstitusi (The guardian of constitution) dan
pelindung hak konstitusional warga negara (The protector of citizen’s
constitutional rights) karena hak konstitusional Pemohon potensi
dirugikan dengan berlakunya norma dalam undang-undang yang
dimohonkan.
2. Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif merupakan kewenangan Pengadilan untuk mengadili suatu
perkara sesuai dengan wilayah hukumnya. Dalam hal ini, oleh karena Mahkamah
Konstitusi merupakan lembaga tinggi Negara Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan kehakiman, maka kompetensi relatif Mahkamah Konstitusi adalah
memiliki kewenangan untuk mengadili seluruh perkara yang ditentukan dalam Pasal
24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
sebagaimana diuraikan di atas, yang terjadi di wilayah Negara Republik Indonesia,
dan diajukan oleh Pemohon yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.

C. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI


Berdasarkan pada ketentuan Pasal 10 huruf a butir 1 Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 2 Tahun 2001 tentang Tata Cara Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-
Undang, yang dimaksud dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi merupakan bagian
dari permohonan Pemohon yang memuat penjelasan mengenai hak dan/atau kewenangan
konstitusional Pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang atau
Perppu yang dimohonkan pengujiannya. Dengan demikian, maka kewenangan
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 68/PUU-XX/2022 tersebut adalah:
1. Pasal 24C ayat 91) UUD 945
Berdasarkan pada ketentuan ini, dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
2. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi beserta perubahannya
Melalui ketentuan ini, dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang (UU) terhadap UUD NRI Tahun 1945.
3. Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman
Melalui ketentuan ini, dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
4. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan beserta perubahannya
Melalui ketentuan ini, dinyatakan bahwa dalam hal suatu Undang-Undang
diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
5. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara
dalam Perkara Pengujian Undang-Undang
Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XX/2022 ini, dinyatakan
bahwa permohonan terkait pengujian undang-undang di dalamnya telah mengacu
dan mempedomani ketentuan tersebut, sehingga perkara ini merupakan
kewenangan Mahkamah Konstitusi.
6. Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan kewenangannya menguji
Undang-Undang terhadap UUD 1945
Dalam melaksanakan kewenangannya tersebut, melekat lima fungsi di dalam
Mahkamah Konstitusi, yakni Mahkamah Konstitusi sebagai Pengawal Konstitusi
(The Guardian of Constitution), Mahkamah Konstitusi sebagai Penafsir Akhir
Konstitusi (The Final Interpreter of Constitution), Mahkamah Konstitusi sebagai
Pengawal Demokrasi (The Guardian of Democracy), Mahkamah Konstitusi
sebagai Pelindung hak konstitusional warga negara (The Protector of Citizen’s
Constitutional Rights), dan Mahkamah Konstitusi sebagai Pelindung Hak Asasi
Manusia (The Protector of Human Rights). Di mana berkaitan dalam pengujian
permohonan Pemohon dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-
XX/2022 tersebut, Mahkamah Konstitusi sedang menjalankan fungsi sebagai
pengawal konstitusi (The guardian of constitution) dan pelindung hak
konstitusional warga negara (The protector of citizen’s constitutional rights)
karena hak konstitusional Pemohon potensi dirugikan dengan berlakunya norma
dalam undang-undang yang dimohonkan.

D. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON


Berdasarkan pada ketentuan Pasal 10 huruf a butir 2 Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 2 Tahun 2001 tentang Tata Cara Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-
Undang, yang dimaksud dengan kedudukan hukum adalah bagian dari permohonan
Pemohon yang memuat penjelasan mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional
Pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang atau Perppu yang
dimohonkan pengujiannya. Dengan demikian, maka kedudukan hukum Pemohon dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XX/2022 tersebut didasarkan pada:
1. Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi beserta penjelasannya
Ketentuan ini mengatur bahwa yang dimaksud dengan Pemohon merupakan
pihak yang menganggap hak dan/atau hak konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya undang-undang, yang meliputi:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
Selanjutnya, di dalam penjelasan pasal ini dijelaskan bahwa yang dimaksud
dengan “hak konstitusional” merupakan hak-hak yang diatur dalam UUD 1945.
Di mana berkaitan dengan kedudukan hukum dalam kaitannya dengan kerugian
konstitusional tersebut, Mahkamah Konstitusi telah membuat batasan dalam
Putusan Mahkamah Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007,
yang pada dasarnya mensyaratkan 5 (lima) hal, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan Konstitusional Pemohon yang diberikan
oleh UUD 1945;
b. bahwa hak dan/atau kewenangan Konstitusional Pemohon tersebut
dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang
diuji;
c. bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan Konstitusional Pemohon yang
dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat
potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan
terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian dan/atau kewenangan Konstitusional yang didalilkan tidak akan
atau tidak lagi terjadi.
Selanjutnya, terkait dengan kedudukan hukum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tersebut, Pemohon adalah Partai
Politik yang didirikan menurut hukum negara Republik Indonesia pada tanggal 30
November 2007 sebagaimana Akta Pendirian Nomor 76 tertanggal 30 November
2007, dibuat di hadapan Ilmiawan Dekrit Supatmo Notaris di Jakarta dengan Surat
Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor: M.HH-25.AH.11.01 Tahun 2008
tentang Pengesahan Partai Kerakyatan Nasional sebagai Badan Hukum tertanggal
03 April 2008. Selanjutnya, Pemohon berubah nama menjadi Partai Gerakan
Perubahan Indonesia (Partai Garuda) sebagaimana Akta Perubahan AD dan ART
Partai Kerakyatan Nasional Nomor 15 tertanggal 6 April 2015 dan diubah dalam
Akta Perubahan AD dan ART dan Restrukturisasi Kepengurusan DPP Partai
Garuda Nomor 37 tertanggal 30 Mei 2018, keduanya dibuat di hadapan Ilmiawan
Dekrit Supatmo Notaris di Jakarta dengan Surat Keputusan Menteri Hukum dan
HAM masing-masing Nomor: M.HH-07.AH.11.01 Tahun 2015 tentang
Pengesahan Perubahan Susunan Kepengurusan DPP Partai Garuda tertanggal 13
Mei 2015 dan Nomor: M.HH-12.AH.11.01 Tahun 2018 tentang Pengesahan
Restrukturisasi Kepengurusan DPP Partai Garuda tertanggal 17 Desember 2018
dan perubahan terakhir sebagaimana dimaksud dalam Akta Perubahan Struktur
Dewan Pembina dan Dewan Pimpinan Pusat Partai Garda Perubahan Indonesia
(Partai Garuda) Nomor 30 tertanggal 28 Maret 2022, dibuat di hadapan Ilmiawan
Dekrit Supatmo, S.H, Notaris di Jakarta, dan telah memperoleh pengesahan dari
Menteri Hukum dan HAM Nomor: M.HH-07.AH.11.02 Tahun 2022 tertanggal 10
Juni 2022 tentang Pengesahan Perubahan Struktur Dewan Pembina dan Dewan
Pimpinan Pusat Partai 6 Garda Perubahan Indonesia (Partai Garuda) Periode 2020
– 2025.
Di mana berdasarkan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Anggaran Rumah Tangga
dan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM M.HH-07.AH.11.02 Tahun 2022
tertanggal 10 Juni 2022 tentang Pengesahan Perubahan Struktur Dewan Pembina
dan Dewan Pimpinan Pusat Partai Garda Perubahan Indonesia (Partai Garuda)
Periode 2020-2025, Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal selaku pimpinan dan
perwakilan pengurus DPP Partai Garuda berhak bertindak untuk dan atas nama
DPP Partai Garuda untuk melakukan perbuatan hukum terkait DPP Partai Garuda.
Dengan demikian, Pemohon berwenang untuk mewakili DPP Partai Garuda
sebagai badan hukum Partai Politik dalam mengajukan permohonan a quo.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 35/PUU-XII/2014
Pemohon sebagai sebagai Partai Politik “non-parlemen” sebelumnya tidak ikut
membahas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum,
sehingga sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 35/PUU-XII/2014
Pemohon memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan tersebut.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 35/PUU-XII/2014 sendiri menyatakan
bahwa Partai Politik yang telah ambil bagian dan turut serta dalam pembahasan
dan pengambilan keputusan secara institusional melalui perwakilannya di DPR
atas pengesahan suatu Undang-Undang, tidak dapat mengajukan permohonan
pengujian Undang-Undang ke Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang
tersebut. Oleh karena itu, Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk
mengajukan permohonan uji Undang-Undang a quo.
3. Putusan Mahkamah Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007
Kriteria kedua untuk menentukan legal standing Pemohon dalam hal ini
adalah berkaitan dengan keyakinan Pemohon bahwa hak dan wewenang
konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang,
sebagaimana telah dibatasi dalam Putusan Mahkamah Nomor 006/PUU-III/2005
dan Nomor 011/PUU-V/2007, yang pada dasarnya mensyaratkan 5 (lima) hal,
yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan Konstitusional Pemohon yang diberikan
oleh UUD 1945;
b. bahwa hak dan/atau kewenangan Konstitusional Pemohon tersebut
dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang
diuji;
c. bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan Konstitusional Pemohon yang
dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat
potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan
terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian dan/atau kewenangan Konstitusional yang didalilkan tidak akan
atau tidak lagi terjadi.
Terkait dengan legal standing dalan kaitannya dengan kerugian konstitusional
sebagaimana dimaksud di atas, maka hak konstitusional Pemohon sebagaimana
diatur dalam Pasal 6A ayat (2) jo Pasal 6 jo Pasal 28I UUD 1945 potensi
dirugikan dalam penalaran yang wajar dapat terjadi atas keberlakuan norma Pasal
170 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 beserta Penjelasan.
Pasal 6A jo. Pasal 6 UUD 1945 memuat ketentuan yang menyatakan bahwa
Pemohon sebagai Partai Politik maupun gabungan Partai Politik peserta pemilihan
umum berhak untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
sebelum pelaksanaan pemilihan umum, termasuk mengajukan Menteri definitif
yang pada saat itu menjabat dalam Kabinet Indonesia Maju di bawah Pimpinan
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Namun dalam ketentuan
Pasal 170 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 beserta Penjelasan,
Menteri merupakan pejabat negara yang tidak dikecualikan untuk mengundurkan
diri dari jabatannya apabila dicalonkan sebagai calon Presiden atau calon Wakil
Presiden oleh Pemohon yang merupakan Partai Politik. Sehingga apabila Menteri
definitif yang pada saat itu tengah menjabat dicalonkan oleh Pemohon tidak
melakukan pengunduran diri, maka hak konstitusional Pemohon potensial
dirugikan menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan.
Adanya perlakuan yang berbeda terhadap Menteri sebagai pejabat negara lain
seperti Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan Wakil
Walikota yang tidak diharuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya apabila
dicalonkan sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden oleh Partai Politik
atau gabungan Partai Politik, sebagaimana diatur dalam Pasal 171 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Dan Presiden maupun Wakil Presiden
yang juga dikecualikan dalam pengunduran diri dari jabatannya apabila ingin
mencalonkan diri/dicalonkan sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden,
sementara Menteri yang juga menjalankan kekuasaan eksekutif yang sama seperti
Presiden dan Wakil Presiden diwajibkan untuk mengundurkan diri dari jabatannya
apabila dicalonkan sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden telah
menimbulkan pembatasan-pembatasan dalam pemenuhan hak konstitusional
Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 6A jo Pasal 6 UUD 1945, dan bersifat
diskriminatif bagi Pemohon sebagai Partai Politik ketika mencalonkan Menteri
definitif sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden, sehingga menciderai hak
konstitusi Pemohon dari ketentuan yang bersifat diskriminatif sebagaimana
dijamin dan dilindungi menurut Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Dengan demikian, berdasarkan pada uraian di atas maka kriteria untuk
menentukan legal standing atau kedudukan hukum Pemohon telah terpenuhi
sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi dan Putusan Mahkamah Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor
011/PUU-V/2007, sehingga Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing) sebagai Pemohon untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-
Undang terhadap UUD 1945, dalam hal ini pengujian Pasal 170 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 beserta Penjelasan.

E. OBJEK PERMOHONAN DAN BATU UJI


1. Objek Permohonan
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 2 Tahun 2001 tentang Tata Cara Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-
Undang, maka yang menjadi objek permohonan dalam Pengujian Undang-Undang
adalah Undang-Undang dan Perppu.
Adapun di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XX/2022
tersebut, yang menjadi objek permohonannya adalah undang-undang, yakni Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, tepatnya pada Pasal 170
ayat (1) beserta Penjelasannya. Pada Pasal 107 ayat (1) undang-undang tersebut
dinyatakan bahwa Pejabat Negara yang dicalonkan oleh Partai Politik Peserta Pemilu
atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus
mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali Presiden, Wakil Presiden, Pimpinan dan
anggota MPR, Pimpinan dan anggota DPR, Pimpinan dan anggota DPD, Gubernur,
Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati Walikota dan Wakil Walikota. Di mana
selanjutnya di dalam penjelasan Pasal 170 tersebut dinyatakan bahwa yang dimaksud
dengan “Pejabat Negara” adalah meliputi:
a. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Agung pada Mahkamah
Agung;
b. Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua badan peradilan kecuali
Hakim ad hoc;
c. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Mahkamah Konstitusi;
d. Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
e. Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Komisi Yudisial;
f. Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;
g. Menteri dan pejabat setingkat Menteri;
h. Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan
sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa penuh; dan
i. Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang.
2. Batu Uji
Berdasarkan uraian di atas maka diketahui bahwa permohonan pengujian yang
dimohonkan adalah berupa pengujian materiil sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat
(4) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2001 tentang Tata Cara Beracara
dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, yang menyatakan bahwa pengujian
materiil merupakan pengujian yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat,
pasal, dan/atau bagian dari undang-undang atau Perppu yang dianggap bertentangan
dengan UUD 1945. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa dalam pengujian
materiil Undang-Undang, norma yang menjadi dasar pengujian atau batu uji atau
parameter uji oleh Mahkamah Konstitusi pada dasarnya telah dibatasi yaitu hanya
norma hukum dalam UUD 1945. Di mana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 68/PUU-XX/2022 ini, norma dalam UUD 1945 yang menjadi batu uji dalam
pengujian Pasal 170 ayat (1) beserta penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum adalah norma Pasal 6A ayat (2) jo Pasal 6 jo Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Pasal 6A ayat (2)
Ketentuan ini menyatakan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik peserta
pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
b. Pasal 6
Pada ayat (1) ketentuan ini dinyatakan bahwa calon Presiden dan calon
Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya
dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya
sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan
jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan
Wakil Presiden. Kemudian pada ayat (2) dinyatakan bahwa syarat-syarat
untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan
undang-undang.
c. Pasal 28I ayat (2)
Ketentuan ini menyatakan bahwa (2) Setiap orang berhak bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif
itu.
F. DUDUK PERKARA
Duduk perkara dalam hal ini dapat diartikan sebagai Posita atau fundamentum
petendi. Posita merupakan bagian dari permohonan oleh Pemohon, berisi dalil yang
menggambarkan adanya hubungan yang menjadi dasar atau uraian dari suatu
permohonan. Dalam dalil tersebut diuraikan secara jelas dan runtut mengenai objek
permohonan, hubungan hukum, alas hak yang dijadikan dasar permohonan, serta
kerugian yang ditimbulkan. Dengan demikian Posita yang diajukan oleh Pemohon dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XX/2022 ini secara singkat dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Bahwa Pemohon sebagai Partai Politik memiliki hak konstitusional yang diatur di
dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai
Politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum;
2. Bahwa adapun syarat calon Presiden dan Wakil Presiden telah ditentukan dalam
konstitusi yaitu Pasal 6 UUD 1945, yang menyatakan bahwa:
(1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara
Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah
mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk
melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil
Presiden.
(2) Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih
lanjut dengan undang-undang;
Syarat calon Presiden dan Wakil Presiden ini selanjutnya diturunkan dan
diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang yaitu melalui Pasal 169 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017, yang menyatakan bahwa persyaratan menjadi
calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah
menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri;
c. suami atau istri calon Presiden dan suami atau istri calon Wakil
Presiden adalah Warga Negara Indonesia;
d. tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak
pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya;
e. mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden serta bebas dari
penyalahgunaan narkotika;
f. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
g. telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang
memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara;
h. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau
secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan
keuangan negara;
i. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan;
j. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
k. tidak sedang dicalonkan sebagai anggota DPR, DPD, atau DPRD;
l. terdaftar sebagai Pemilih;
m. memiliki nomor pokok wajib pajak dan telah melaksanakan kewajiban
membayar pajak selama 5 (lima) tahun terakhir yang dibuktikan
dengan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan wajib pajak
orang pribadi;
n. belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2
(dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;
o. setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
Bhinneka Tunggal Ika;
p. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun;
r. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah
aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau
sekolah lain yang sederajat;
s. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia,
termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat
langsung dalam G.30.S/PKI; dan
t. memiliki visi, misi, dan program dalam melaksanakan pemerintahan
negara Republik Indonesia;
3. Bahwa dengan demikian, dalam konteks Pemohon sebagai Partai Politik dan
pemilihan umum, memiliki hak konstitusional (vide Pasal 6A ayat (2) jo Pasal 6
UUD 1945) untuk mengajukan calon Presiden atau Wakil Presiden termasuk
calon dari kalangan “Pejabat Negara” seperti Menteri definitif yang pada saat itu
tengah menjabat dalam Kabinet Indonesia Maju di bawah Pimpinan Presiden Joko
Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin;
4. Bahwa berdasarkan pada Pasal 170 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 beserta penjelasan, terdapat syarat tambahan bagi Pemohon sebagai Partai
Politik ataupun gabungan Partai Politik terkait pencalonan Presiden atau calon
Wakil Presiden dalam pemilihan umum. Pada Pasal 170 ayat (1) dimuat ketentuan
yang menyatakan bahwa Pejabat Negara yang dicalonkan oleh Partai Politik
Peserta Pemilu atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon
Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali Presiden, Wakil
Presiden, Pimpinan dan anggota MPR, Pimpinan dan anggota DPR, Pimpinan dan
anggota DPD, Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati Walikota dan
Wakil Walikota. Selanjutnya pada Penjelasan Pasal 170 ayat (1) tersebut
dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “pejabat negara” dalam ketentuan ini
adalah:
a. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Agung pada Mahkamah
Agung;
b. Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua badan peradilan kecuali
Hakim ad hoc;
c. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Mahkamah Konstitusi;
d. Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
e. Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Komisi Yudisial;
f. Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;
g. Menteri dan pejabat setingkat Menteri;
h. Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang
berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa penuh; dan
i. Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang;
5. Bahwa frasa “Pejabat Negara” dalam Pasal 170 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 beserta Penjelasan tersebut bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) jo
Pasal 6 jo Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 dalam kerangka Pemohon sebagai Partai
Politik ataupun gabungan Partai Politik yang memiliki hak konstitusional untuk
mencalonkan Menteri definitif sebagai calon Presiden atau Wakil Presiden dalam
pemilihan umum. Sehingga keberlakuan norma Pasal 170 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 beserta Penjelasan yang tidak mengecualikan
pejabat negara (in casu Menteri) dari keharusan mengundurkan diri dari
jabatannya ketika dicalonkan sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden
oleh Pemohon sebagai Partai Politik potensial menimbulkan kerugian bagi hak
konstitusional Pemohon yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
6. Bahwa syarat tambahan yang mengharuskan pejabat negara (in casu Menteri)
untuk mengundurkan diri dari jabatan ketika dicalonkan sebagai calon Presiden
atau calon Wakil Presiden, sementara itu pejabat negara lainnya seperti Gubernur,
Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, maupun
Presiden dan Wakil Presiden tidak diwajibkan untuk melakukan pengunduran diri
tersebut, juga merupakan perlakuan yang bersifat diskriminatif dan bertentangan
dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yaitu hak bebas atas perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apa pun.

G. PETITUM
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (2) huruf d Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 2 Tahun 2001 tentang Tata Cara Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-
Undang, yang dimaksud dengan petitum merupakan bagian permohonan Pemohon yang
memuat hal-hal yang diminta untuk diputus dalam permohonan pengujian. Di mana untuk
pengujian materiil berdasarkan Pasal ini, dapat dimohonkan petitum sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan pemohon;
2. Menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang
atau Perppu yang dimohonkan pengujian bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Memerintahkan pemuatan Putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia; atau
dalam hal Mahkamah berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex
aequo et bono).
Adapun di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XX/2022 ini, yang
menjadi petitum yang dimohonkan oleh Pemohon adalah:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
2. Menyatakan bahwa frasa “pejabat negara” dalam Pasal 170 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang tentang Pemilihan Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang- 36 Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Pejabat Negara yang
dicalonkan oleh Partai Politik Peserta Pemilu atau Gabungan Partai Politik sebagai
calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari
jabatannya, kecuali Presiden, Wakil Presiden, Pimpinan dan anggota MPR,
Pimpinan dan anggota DPR, Pimpinan dan anggota DPD, Menteri dan pejabat
setingkat Menteri, dan Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati Walikota
dan Wakil Walikota”.
3. Menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 170 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Yang dimaksud dengan “pejabat
negara” dalam ketentuan ini adalah:
a. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Agung pada Mahkamah
Agung;
b. Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua badan peradilan kecuali
Hakim ad hoc;
c. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Mahkamah Konstitusi;
d. Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
e. Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Komisi Yudisial;
f. Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;
g. Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan
sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa penuh; dan
h. Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang.”
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya; atau dalam Mahkamah berpendapat lain, mohon Putusan
yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
H. AMAR PUTUSAN DAN PERTIMBANGAN HUKUM
1. Amar Putusan
Amar putusan merupakan putusan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi
sesuai dengan ketentuan Pasal 73 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun
2001 tentang Tata Cara Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang tentang
amar putusan pengujian materiil. Adapun amar putusan dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 68/PUU-XX/2022 ini adalah Mengadili:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan frasa “Pejabat Negara” dalam Pasal 170 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik 70
Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Pejabat negara yang
dicalonkan oleh Partai Politik Peserta Pemilu atau Gabungan Partai Politik
sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri
dari jabatannya, kecuali Presiden, Wakil Presiden, Pimpinan dan anggota
MPR, Pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, Gubernur,
Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota,
termasuk Menteri dan pejabat setingkat Menteri, sepanjang Menteri dan
pejabat setingkat Menteri mendapatkan persetujuan dan izin cuti dari
Presiden”;
3. Menyatakan frasa “Menteri dan pejabat setingkat Menteri” dalam Penjelasan
Pasal 170 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat
sepanjang tidak dimaknai “Yang dimaksud dengan “pejabat negara” dalam
ketentuan ini adalah:
a. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung;
b. Ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan, kecuali hakim
ad hoc;
c. Ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi;
d. Ketua, wakil ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
e. Ketua, wakil ketua dan anggota Komisi Yudisial;
f. Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;
g. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan
sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh; dan
h. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang;
4. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya;
5. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.
2. Pertimbangan Hukum
Adapun pertimbangan-pertimbangan hukum yang digunakan Mahkamah
dalam memutus permohonan Pemohon secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kewenangan Mahkamah
a. Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945),
Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah berwenang, antara
lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;
b. Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah pengujian
konstitusionalitas undang-undang, in casu Pasal 170 ayat (1) dan Penjelasan
Pasal 170 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum terhadap UUD 1945 maka Mahkamah berwenang mengadili
permohonan Pemohon.
2. Kedudukan hukum Pemohon
a. Menimbang Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945
harus menjelaskan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi;
b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang
diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-
undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukannya sebagaimana
dimaksud pada huruf a;
b. Menimbang bahwa oleh karena menurut Mahkamah, Pemohon telah dapat
menguraikan secara spesifik dan menjelaskan adanya hubungan sebab akibat
(causal verband) perihal berlakunya ketentuan Pasal 170 ayat (1) dan
Penjelasan Pasal 170 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang
dianggap telah merugikan Pemohon. Setidak-tidaknya, dalam batas penalaran
yang wajar, Pemohon telah menguraikan potensi anggapan kerugian hak
konstitusional yang dialami dengan berlakunya norma Pasal 170 ayat (1) dan
Penjelasan Pasal 170 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang
dimohonkan pengujiannya. Maka, terlepas dari terbukti atau tidak terbuktinya
inkonstitusionalitas norma dan penjelasan yang dimohonkan pengujian,
menurut Mahkamah, Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan
permohonan a quo.
3. Pokok Permohonan
a. Menimbang bahwa Bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon mengenai norma
Pasal 170 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang pada pokoknya
menjelaskan Pemohon sebagai Partai Politik memiliki hak konstitusional
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6, Pasal 6A ayat (2), dan Pasal 28I ayat
(2) UUD 1945 untuk mengajukan calon Presiden atau Wakil Presiden,
termasuk calon dari kalangan “pejabat negara”. Selanjutnya menurut
Pemohon, Pasal 170 ayat (1) sebagai syarat tambahan bagi Pemohon yang
mengharuskan pejabat negara, in casu Menteri, untuk mengundurkan diri dari
jabatannya ketika dicalonkan sebagai calon Presiden atau calon Wakil
Presiden merupakan perlakuan yang bersifat diskriminatif dan bertentangan
dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
b. Menimbang bahwa berkaitan dengan hal tersebut, menurut Mahkamah, dalam
perspektif seseorang warga negara yang mengemban jabatan tertentu sejatinya
pada diri yang bersangkutan melekat hak konstitusional sebagai warga negara
untuk dipilih dan memilih sepanjang hak tersebut tidak dicabut oleh undang-
undang atau putusan pengadilan. Oleh karena itu, terlepas pejabat negara
menduduki jabatan dikarenakan sifat jabatannya, seharusnya hak
konstitusionalnya dalam mendapatkan kesempatan untuk dipilih maupun
memilih tidak boleh dikurangi. Selanjutnya menurut Mahkamah, tanpa harus
mengundurkan diri, kematangan profesionalitas pejabat yang dimaksud masih
dapat dipergunakan di dalam memberikan kontribusi dalam pembangunan
bangsa dan negara. Di samping itu, adanya perlakuan yang berbeda terhadap
Menteri atau pejabat setingkat Menteri sebagai pejabat negara yang
diharuskan mengundurkan diri apabila dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil
Presiden telah menimbulkan pembatasan dalam pemenuhan hak
konstitusional, dan merupakan bentuk diskriminasi terhadap Partai Politik
yang dapat mencederai hak konstitusionalnya sebagaimana dijamin dan
dilindungi oleh Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, bagi pejabat
negara, in casu Menteri dan pejabat setingkat Menteri, yang hendak
dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden, dapat dikecualikan untuk
tidak perlu mengundurkan diri, namun harus mendapat persetujuan dan izin
cuti dari Presiden.
c. Menimbang bahwa sebagai konsekuensi yuridis dari pertimbangan Mahkamah
sebagaimana di uraikan di atas, maka frasa “Menteri dan pejabat setingkat
Menteri” yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 170 ayat (1) huruf g Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 harus dinyatakan tidak ada relevansi untuk
dipertahankan lagi, sehingga harus dinyatakan inkonstitusional. Dengan
demikian, Penjelasan Pasal 170 ayat (1) tersebut selengkapnya sebagaimana
dinyatakan dalam amar putusan a quo.
d. Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas,
ketentuan norma Pasal 170 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
dan Penjelasan Pasal 170 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 telah ternyata menimbulkan diskriminasi sebagaimana yang dimaksud
dalam norma Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, dalil-dalil
permohonan Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.

Anda mungkin juga menyukai