faktor yang dijadikan anak sebagai motivasinya dalam melakukan perbuatan melanggar
hukum tersebut. Motivasi sendiri dapat diartikan sebagai usaha-usaha yang menyebabkan
seorang atau kelompok tertentu tergerak untuk melakukan suatu perbuatan karena ingin
Motivasi sendiri dapat dibedakan ke dalam dua kategori, yakni motivasi intrinsik yang
merupakan dorongan atau keinginan pada diri seseorang, dan juga motivasi ekstrinsik yang
merupakan dorongan yang datang dari luar diri seseorang. Motivasi intrinsik pada remaja
yang melakukan perbuatan melanggar hukum meliputi faktor intelegentia atau kecerdasan
anak, faktor usia, faktor kelamin, dan faktor kedudukan anak dalam keluarga. Sedangkan
motivasi ekstrinsik sendiri terdiri dari faktor rumah tangga, faktor pendidikan dan sekolah,
Anak yang melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum, dalam hal ini
melakukan suatu tindak pidana memiliki hak-hak yang harus diperhatikan, hak-hak tersebut
meliputi:
1
Wagiati Sutedjo, Hukum Pidana Anak (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), hlm. 16-17.
2
Romli Atmasasmita dalam Wagiati Sutedjo, Hukum Pidana Anak (Bandung: PT Refika Aditama,
2006), hlm. 17.
Pada putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 8/Pid.Sus-Anak/2017/PN DPS) yang akan
menjadi landasan dalam pembahasan terkait dengan konflik norma yang terjadi antara UU
SPPA dan UU HAM, diketahui bahwa Terdakwa Anak yang masih berusia 17 tahun pada
saat ia melakukan tindak pidana narkotika dengan memiliki tanpa ijin Narkotika Golongan I
dengan berat bersih 0,11 gram, terhadapnya Pengadilan Negeri Denpasar telah manjatuhkan
putusan bahwa Terdakwa Anak teelah terbukti secara sah dan meyakinka bersalah telah
sebagaimana dakwaan alternatif kedua yakni Pasal 127 Ayat (1) huruf a Undang-Undang No.
35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut sebagai UU Narkotika), dan Terdakwa
Namun yang perlu disoroti pada Putusan tersebut adalah salah satu keterangan
Terdakwa Anak yang menyatakaan bahwa anak sudah pernah berkeluarga dan sudah punya
anak, dan juga bahwa anak tidak ingin ditempatkan di Panti Rehabilitasi (LPKA
Karangasem) melainkan ingin ditempatkan LAPAS Kerobokan dengan alasan bahwa anak
sudah nyaman di tempat tersebut, dan permintaan tersebut kemudian disetujui oleh hakim.
amanat pasal 85 ayat (1) UU SPPA yang telah jelas mengatur bahwa apabila anak yang
dijatuhi pidana penjara ditempatkan di LPKA. Namun apabila dilihat dari ketentuan
mengenai defenisi anak pada UU HAM dan juga fakta bahwa Terdakwa Anak pada Putusan
tersebut sudah pernah menikah sehingga menurut UU HAM anak tersebut tidak lagi