Anda di halaman 1dari 5

Nama : Ruth Angelina Hutapea

NIM : 2150
Kelas : Hukum Acara Pidana

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI MENGENAI PRAPERADILAN


DAN PENINJAUAN KEMBALI

1. Implikasi Hukum dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-IX/2011


mengenai Praperadilan

Dalam sistem peradilan pidana, dikenal asas praduga tidak bersalah (presumption of
innocence) yang mana setiap orang tidak dapat dinyatakan bersalah sampai dengan putusan
hakim. Salah satu penerapan dari asas praduga tidak bersalah adalah praperadilan guna
menghargai hak asasi setiap orang dan memberikan marwah kepada pengadilan negeri dalam
hal yang berhubungan dengan upaya paksa. Secara terminologi, Praperadilan terdiri dari dua
suku kata, yakni pra dan peradilan.1 Praperadilan sendiri merupakan hal yang baru dalam
sistem peradilan di Indonesia. Proses dalam praperadilan hanya memeriksa tata cara
penyidikan dan penuntutan serta hanya memiliki kewenangan untuk memeriksa perkara
pidana. Kemudian, berdasarkan Pasal 1 angka 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(“KUHP”), ruang lingkup pemeriksaan praperadilan antara lain:
1) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atas permintaan tersangka
atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
2) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; atau
3) permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau pihak lain atas
kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Adapun ruang lingkup praperadilan tersebut di atas, diperluas lagi ruang lingkupnya melalui
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, yakni ruang lingkupnya diperluas
menjadi dengan sah atau tidaknya penetapan tersangka, penyitaan, dan penggeledahan.
Perluasan ruang lingkup ini sebagaimana ratio decidendi dari Mahkamah Konstitusi didasari
karena praperadilan merupakan mekanisme kontrol yang diberikan oleh Kitab Undang–
1 Putusan Mahkamah Konstititusi Nomor: 65/PUU-IX/2011
Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) guna melindungi tersangka sebagai wujud dari
sistem akusatur serta mekanisme kontrol terhadap kemungkinan adanya tindakan sewenang-
wenang dari aparat penegak hukum, yang dalam hal ini adalah penyidik dan penuntut umum.
Salah satu kewenangan dari praperadilan adalah melakukan pemeriksaan berupa
menguji sah atau tidaknya upaya paksa. Merujuk pada KUHAP, upaya paksa terdiri dari
beberapa jenis, yakni penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan
surat. Merujuk pada Pasal 79 jo. Pasal 80 KUHAP, pihak yang dapat mengajukan praperadila
nadalah tersangka atau keluarganya, atau kuasanya. Di sisi lain, penyidik atau penuntut
umum atau pihak yang bekepentingan juga dapat mengajukan praperadilan mengenai dengan
sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Kemudian, Putusan
Praperadilan tidak dapat diajukan upaya hukum banding, tetapi dapat dikecualikan oleh Pasal
83 Ayat (2) KUHAP yang menyebutkan bahwa Putusan Praperadilan yang menetapkan tidak
sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dapat dimintakan Putusan akhir ke
Pengadilan Tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan. Dalam hal ini, hanya penyidik
atau penuntut umum yang dapat mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi,
tetapi pemohon gugatan Praperadilan tidak dapat mengajukan upaya hukum ke Pengadilan
Tinggi apabila Putusan Praperadilan tersebut menyatakan sah atas penghentian penyidikan
atau penuntutan. hal ini berimplikasi pada adanya perlakuan diskriminasi kepada pemohon
yang tidak dapat mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi dan sebaliknya terdapat
perlakuan khusus terhadap penyidik atau penuntut umum atas Putusan Praperadilan yang
menyatakan tidak sahnya suatu penghentian penyidikan dan penuntutan. permohonan
judicial review yang diajukan oleh Tjeje Iskandar terhadap Pasal 83 KUHAP menurutnya
membatasi hak-hak konstitusional Warga Negara Indonesia, yang mana pada Pasal 83
KUHAP yang terdiri dari dua Ayat dengan masing-masing Ayatnya berbunyi:

1. “Terhadap Putusan Praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79,
Pasal 80 dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding”;
2. “Dikecualikan dari ketentuan Ayat (1) adalah Putusan pra peradilan yang
menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu
dapat dimintakan Putusan akhir ke Pengadilan Tinggi dalam daerah hukum yang
bersangkutan”

Berlakunya Pasal tersebut dinilai telah menimbulkan permasalahan dalam adanya


diskriminasi pada hak warga negara, pemohon menilai bahwa hak-hak konstitusionalnya
dilanggar dengan melibatkan Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (2)
UUD NRI 1945 sebagai batu uji dalam pengujian Undang-Undang pada Mahkamah
Konstitusi.2 Dalam hal ini, alasan-alasan yang diterangkan oleh pemohon kemudian diterima
oleh Mahkamah Konstitusi dengan pertimbangan bahwa pertama Pasal 83 Ayat (2) KUHAP
membatasi hak pemohon untuk mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi; kedua menurut
Mahkamah Konstitusi acara Praperadilan merupakan acara cepat sehingga seharusnya tidak
dapat dimohonkan banding; dan ketiga adalah terdapat perbedaan hak-hak konstitusional
warga negara dan hak asasi manusia yang dikaitkan dengan Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D
Ayat 1 UUD NRI 1945.3 Pada pertimbangannya, Majelis Hakim kemudian memberikan opsi
agar adanya kemungkinan untuk memberikan persamaan di mata hukum, yakni memberikan
upaya hukum kepada kepada tersangka atau menghapus upaya hukum untuk penyidik dan
penuntut umum. dan untuk selanjutnya majelis hakim mengambil opsi kedua, yakni
menghapus upaya banding bagi penyidik dan penuntut umum pada Praperadilan. Maka dari
itu, Majelis Hakim memutuskan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
65/PUU-IX/2011 bahwa:

“1. Pasal 83 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945.
2. Pasal Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”

Implikasi dari adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-IX/2011 tersebut


kemudian memberikan kepastian hukum kepada warga negara khususnya tersangka atau
terdakwa dan meniadakan diskriminasi yang diakibatkan oleh Pasal 83 KUHAP. Selain itu,
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat menjadi pandangan hakim Praperadilan serta
seluruh penegak hukum dalam menetapkan Putusan yang berkaitan dengan Praperadilan.4

2. Konsekuensi Hukum dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor


34/PUU-XI/2013 mengenai Peninjauan Kembali

2 Vani Dwi Ananta “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-IX/2011 Terhadap Upaya
Hukum Atas Putusan Praperadilan Tentang Penghentian Penyidikan dan Penuntutan”, Studocu.com, 2021, hlm.
53
3 Achmad Zuhdi, “Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-IX/2011 Tentang
Praperadilan di Indonesia”, Dinamika, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, Vol. 26, No. 7, (Februari 2020): 825, diakses
8 Desember 2022
4 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 34/PUU-XI/2013.
Peninjauan Kembali merupakan salah satu upaya hukum yang dapat ditempuh oleh
terpidana dalam suatu kasus hukum terhadap suatu putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde) dalam sistem peradilan di Indonesia. pada
Pasal 268 Ayat (3) KUHAP yang menjelaskan bahwa pengajuan permohonan peninjauan
kembali hanya boleh satu kali dinilai merugikan terpidana. dalam kasus Antasari Azhar yang
sebelumnya dijatuhi pidana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan Putusan Nomor
1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel yang telah berkekuatan hukum tetap, bahwa Antasari Azhar
yang juga sebagai pemohon pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013
menilai Pasal 268 Ayat (3) merugikan dirinya dikarenakan upaya hukum PK yang telah
diajukan sebelumnya sudah ditolak dan dalam hal ini berdasarkan Pasal 268 Ayat (3)
KUHAP Antasari Azhar tidak dapat mengajukan PK kembali.5 Adapun yang menjadi
pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam mengabulkan Permohonan Antasari Azhar adalah
bahwa Pasal 268 Ayat (3) KUHAP bertentangan dengan beberapa Pasal seperti Pasal 28C
Ayat (2), 28D Ayat (1), 28H Ayat (2) UUD NRI 1945. 6 Oleh karena itu, kemudian Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi kemudian menjatuhkan Putusan:
1. Menerima Permohonan Pemohon seluruhnya
2. Menyatakan Pasal 268 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana berbunyi “Permintaan Peninjauan Kembali atas suatu Putusan
hanya dapat dilakukan satu kali saja” bertentangan dengan UUD 1945 jika dimaknai
tidak dikecualikan terhadap alasan ditemukannya bukti baru (novum) berdasarkan
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi;
3. Menyatakan Pasal 268 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana berbunyi “Permintaan Peninjauan Kembali atas suatu Putusan
hanya dapat dilakukan satu kali saja” tidak mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat jika dimaknai tidak dikecualikan terhadap alasan ditemukannya bukti baru
(novum) berdasarkan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi;
4. Menyatakan Pasal 263 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana selengkapnya berbunyi “Permintaan Peninjauan Kembali atas
suatu Putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja, kecuali terhadap alasan

5 I Dewa Ayu Inten Sri Damayanti, Suatra Putrawan, “Implikasi Putusan Nomor 34/PUU-XI/2013 Mengenai
Judicial Review Pasal 268 Ayat (3) Terhadap Upaya Hukum Luar Biasa Pada Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana”, Kertha Negara Vol. 02, No. 05, (Oktober 2014): 3, diakses 8 Desember 2022, doi
https://ojs.unud.ac.id/index.php/Kerthanegara
6 S. Tanusubroto, Peranan Praperadilan dalam Hukum Acara Pidana, (Bandung: Penerbit Alumni, 1983), hlm.
73
ditemukannya bukti baru (novum) berdasarkan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan
teknologi dapat diajukan lebih dari sekali”
5. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya

Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi ini membuat Pasal 263 Ayat (3) KUHAP
tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, sehingga terpidana di kemudian hari dapat
mengajukan PK lebih dari satu kali sepanjang syarat untuk mengajukan PK itu sendiri
terpenuhi. Disamping itu, Putusan ini dapat memberikan peringatan kepada hakim untuk
selanjutnya bersikap hati-hati dalam memutus suatu perkara. Akan tetapi, di sisi lain, hal ini
bertentangan dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan serta menimbulkan
ketidakpastian hukum atas suatu perkara. Ketidakpastian hukum tersebut direspons oleh
Mahkamah Agung dengan mengeluarkan Surat Edaran mahkamah Agung No. 7 Tahun 2014
tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana, yang pada
pokoknya isi dari SEMA tersebut tidak sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang
mana berdasarkan SEMA tersebut ditetapkan bahwa Peninjauan Kembali hanya dapat
diajukan atau dilakukan sebanyak 1 (satu) kali. 7 Hal tersebut mengakibatkan ketidakselarasan
dan adanya polemik antara Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi yang kemudian
Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM, melakukan pertemuan dengan pimpinan
lembaga negara yang kemudian menghasilkan 3 (tiga) poin yang ditindaklanjuti dengan
mengeluarkan Peraturan Pemerintah. Pertama, terhadap terpidana mati yang permohonan
grasinya ditolak Presiden, eksekusi tetap dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013
masih dibutuhkan peraturan lanjutan mengenai pngertian novum, bataswaktu pengajuan
Peninjauan Kembali, dan mekanisme tata cara pengajuan Peninjauan Kembali. Ketiga,
terpidana belum dapat mengajukan Peninjauan Kembali berikutnya sebagaimana diatur
dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang telah dibatalkan dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013.8

7 M. Lutfi Chakim, “Mewujudkan Keadilan Melalui Upaya Hukum Peninjauan Kembali pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Vol. 12, No. 2, Juni 2015, hlm. 331
8 Ibid., hlm. 347-348

Anda mungkin juga menyukai