Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 23/PUU-V/2007

ATAS JUDICIAL REVIEW UNDANG-UNDANG NOMOR NOMOR 5


TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

USULAN PENELITIAN
Diajukan guna memperoleh persetujuan melakukan penelitian
dalam rangka skripsi

Oleh :
MUHAMAD HARIS PURWONO
No. Mhs : 04410097
Progam Studi : Ilmu Hukum

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA


FAKULTAS HUKUM
YOGYAKARTA
2010
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Guna memperoleh kesimpulan apakah norma itu valid, dibutuhkan lembaga

diluar organ eksekutif dan legislatif yang dapat menentukan kadar validitas

undang-undang dimaksud. Menurut pandangan Asshiddiqie, penafsiran terhadap

suatu naskah hukum merupakan suatu keniscayaan, karena gagasan dan semangat

yang terkandung pada suatu naskah hukum selalu terikat dengan ruang dan waktu

dalam waktu yang sangat erat kaitanya dengan situasi dimana dan ketika naskah

hokum itu dirumuskan dan ditetapkan. Berkaitan dengan persoalan ini, maka

interpretasi oleh Peradilan Konstitusi adalah suatu medium yang dapat digunakan

sebagai jembatan guna mencapai kaidah kaidah UUD 1945 yang memiliki

kekuatan implementatif.1

Hak uji Undang-undang terhadap Undang Undang Dasar diberikan kepada

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif yang sejajar kedudukanya

dengan pembuat Undang-undang. Perlunya judicial review menurut Moh Mahfud

M.D karena Undang-undang adalah produk politik. Sebagai produk politik sangat

mungkin isi dari Undang-undang bertentangan dengan Undang Undang Dasar.2

1
Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi : Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional
Sebagai Penyelesaian Sengketa Normatif, PT. Pradnya Paramitha, Jakarta, 2006, hlm.38
2
Moh. Mahfud M.D, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, LP3ES,
Jakarta, 2007, hlm. 96
2

Pada tanggal 14 Desember 2007 Mahkamah Konstitusi memberikan putusan

atas judicial review atas Undang-undang Nomor Nomor 5 Tahun 2004 tentang

perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah

Agung. Judicial review tersebut diajukan oleh Hendriansyah yang berkedudukan

sebagai Direktur CV. Sungai Bendera Jaya yang memberikan kuasa untuk

mengajukan judicial review kepada umbur Ompu Sunggu, S.H., M.Hum.;

Kasmawati, S.H.; dan Dicky Juniawan, S.H

Pengajuan judicial review tersebut bermula akibat adanya pencabutan Ijin

Pengelolaan dan Pengusahaan Sarang Burung Walet Nomor 500/266/EK IX/2005

tanggal 9 September 2005 yang diterbitkan oleh Bupati Kutai Timur sebagai

Pengelola dan Pengusahaan Sarang Burung Walet di daerah/lokasi Goa Sesap,

Batu Aji, Sedepan, Kerta, Desa Tepian Langsat, Kecamatan Bengalon, Kabupaten

Kutai Timur yang masa berlakunya selama tiga tahun. Baru berjalan satu tahun,

izin pengelolaan tersebut dicaput dengan berdasarkan Keputusan Bupati Kutai

Timur Nomor 422/02.188.45/HK/XII/2006 tanggal 5 Desember 2006 tentang

Pencabutan Keputusan Bupati Kutai Timur Nomor 500/266/EK.IX/ 2005, dan

kemudian Bupati Kutai Timur pada tanggal, bulan dan tahun yang sama yaitu tanggal

5 Desember 2006 menerbitkan Ijin Pengelolaan dan Pengusahaan Sarang Burung

Walet kepada Junaidi.HM, Ketua Koperasi Pelita Warga di Desa Tepian Langsat,

Kecamatan Bengalon, Kabupaten Kutai Timur dengan Surat Ijin Pengelolaan dan

Pengusahaan Sarang Burung Walet No.500/501/EK-XI/2006 tanggal 5 Desember

2006.
3

Akibat pencabutan izin pengelolaan tersebut, kemudian timbullah gugatan

sengketa tata usaha negara di Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda dengan

Nomor Register 45/G.TUN/ 2006/PTUN.Smda terhadap Surat Keputusan

Pencabutan Ijin Pemohon Nomor 422/02.188.45/HK/XIU2006 tanggal 5

Desember 2006 tersebut, dan gugatan sengketa tata usaha negara Nomor

46/G.TUN/2006/PTUN.Smda terhadap Keputusan Bupati Kutai Timur mengenai

Penerbitan Ijin Pengelolaan dan Pengusahaan Sarang Burung Walet kepada

Junaidi HM, Ketua Koperasi Pelita Warga Nomor 500/501/EK-XI/2006 tanggal 5

Desember 2006 tersebut, dimana kedua gugatan Pemohon tersebut dikabulkan

(dimenangkan) oleh Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda dengan

putusan tanggal 22 Pebruari 2007 Nomor 45/G.TUN/2006/PTUN.Smda, akan

tetapi dalam pemeriksaan tingkat banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha

Negara Jakarta, kedua Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda yang

mengabulkan gugatan Pemohon tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Tata

Usaha Negara Jakarta dengan menolak kedua gugatan Pemohon dengan Putusan

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta tanggal 28 Juni 2007 Nomor

60/B/2007/PT.TUN.JKT .

Atas putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, Pemohon hendak

diajukan kasasi ke Mahkamah Agung RI melalui Pengadilan Tata Usaha Negara

Samarinda, ternyata oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda tidak dapat

menerima atau menolak, dengan alasan muatan Pasal 45A ayat (2) huruf c UU

MA yang berbunyi, ”Perkara yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada


4

ayat (1) terdiri atas: c. perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa

keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah

daerah yang bersangkutan

Atas penolakan atau tidak diterimanya kasasi, maka pemohon menganggap

telah terjadi pelanggaran terhadap hak konstitusional Pemohon atas pengakuan,

jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang

sama di hadapan hokum. Bahwa dengan penolakan permohonan kasasi Pemohon

tersebut , berdasarkan Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA, secara nyata telah

melanggar hak konstitusional Pemohon berdasarkan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal

27 ayat (1) UUD 1945; Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi "Setiap

orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang

adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum"; Pasal 27 ayat (1) UUD

1945 yang berbunyi "Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam

hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu

dengan tidak ada kecualinya".

Atas permohonan judicial review tersebut, Mahkamah Konstitusi menolak

permohonan judicial review pasal 45 ayat (2) huruf c karena tidak bertentangan

dengan UUD 1945.

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan diatas, maka penulis

hendak menyusun sebuah skripsi dengan judul “Analisis Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 23/PUU-V/2007 Atas Judicial Review Undang-Undang


5

Nomor Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung”

B. Rumusan Masalah

1. Apakah yang menjadi dasar pemohon dalam mengajukan judial review Undang-

undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor

14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

2. Bagaimanakah pertimbangan hakim konstitusi dalam memberikan putusan atas

judicial review Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dasar pemohon dalam mengajukan judial review Undang-

undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor

14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim konstitusi dalam memberikan putusan

atas judicial review Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang perubahan

atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

D. Tinjauan Pustaka
6

Ada semacam keyakinan umum bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka

merupakan prasyarat bagi tegaknya keadilan dan kebenaran. Tidak diragukan,

tanpa kekuasaan kehakiman yang merdeka, pasti tidak ada jaminan terwujudnya

kebenaran dan keadilan. Tetapi sama sekali tidak berarti kekuasaan kehakiman

yang merdeka akan selalu identik dengan kebenaran dan keadilan, demikian

pendapat Bagir Manan3.

Kekuasaan kehakiman dijalankan oleh lembaga yudikatif yang sering dikenal

dengan suatu lembaga yang mempunyai kebebasan secara penuh dalam

menjalankan tugasnya, yaitu bebas dari pengaruh lembaga-lembaga negara lainya

dalam pemerintahan negara. Dibebarapa negara mengenai kebebasan dari

lembaga yudikatif ini bervariasi, seperti di Amerika Serikat dimana lembaga

Legislatif diberi kekuasaan membuat Undang-undang, lembaga eksekutif

diserahkan kekuasaan melaksanakan Undang-undang (kekuasaan pemerintahan),

dan lembaga yudikatif (supreme court) diserahkan kekuasaan pengawasan atau

pengadilan. Namun dalam pelaksanaanya antara ketiga negara tersebut dapat

saling mengawasi satu dengan lainya, sehingga ada keseimbangan diantara

ketiganya. 4

Dalam doktrin trias politica, baik yang diartikan sebagai pemisahan

kekuasaan, maupun dalam arti pembagian kekuasaan, maka khusus untuk cabang

kekuasaan yudikatif prinsip yang tetap dipegang ialah bahwa dalam tiap negara

3
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm97.
4
Rahimullah, Hukum Tata Negara : Hubungan Antar Lembaga Negara Versi Amandemen
UUD 1945, Fakultas Hukum Satyagama Jakarta, Jakarta, 2007, hlm.21
7

hukum badan yudikatif harus bebas dari campur tangan badan eksekutif. Ini

dimaksudkan agar supaya badan yudikatif itu dapat berfungsi secara sewajarnya

demi penegakan hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia.

Sebab hanya dengan asas kebebasan badan yudikatif itulah dapat diharapkan

bahwa keputusan yang diambil oleh badan yudikatif dalam suatu perkara tidak

akan memihak dan berat sebelah dan semata-mara berpedoman pada norma-

norma hukum dan keadilan serta hati nurani hakim itu sendiri dengan tidak usah

takut bahwa kedudukannya akan terancam5.

Menurut Hence van Maarseven sebagaimana dikutip oleh Joko J Prihatmoko,

konstitusi dalam suatu negara mempunyai empat fungsi pokok yaitu :6

1. a national document, dimana konstitusi berfungsi untuk menunjukan kepada

dunia dan menegaskan identitas negara;

2. a politico-legal document, konstitusi berfungsi sebagai dokumen politik dan

hokum suatu negara;

3. a birth of certificate, konstitusi berfungsi sebagai piagam suatu bangsa

Penerapan nilai-nilai konstitusi terhadap pembentukan Undang-undang dapat

dijamin secara efektif apabila ada suatu organ selain legislatif dan eksekutif yang

diberi mandat untuk mengujia apakah suatu Undang-undang (hukum) telah

berkesuaian atau tidak dengan konstitusi. Dan dapat membatalkanya jika

5
Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2001,
hlm.227.
6
Joko J Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung : Filosofi dan Problema
Penerapan di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm. 20.
8

berdasarkan penilaian organ ini “tidak konstitusional”. Akibatnya Kelsen

menghendaki organ khusus yang yang diadakan untuk tujuan serupa ini, misalnya

suatu pengadilan khusus yang disebut dengan Pengadilan Konstitusi. 7

Di Indonesia, wewenang untuk menguji apakah suatu Undang-undang

bertentangan atau tidak dengan UUUD 1945 diberikan kepada Mahkamah

Konstitusi. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menetapkan bahwa kekuasaan

kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang

berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan

agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan

oleh sebuah mahkamah konstitusi

Mahkamah Konstitusi bukan bagian dari Mahkamah Agung dalam makna

perkaitan struktur unity of jurisdiction, seperti halnya dalam system hokum Anglo

Saxon, melainkan berdiri sendiri serta terpisah dari Mahkamah Agung secara

duality of jurisdiction. Mahkamah Konstitusi berkedudukan setara dengan

Mahkamah Agung. Keduanya adalah penyelenggara tertinggi dari kekuasaan

kehakiman.8

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia memiliki 4 (empat) kewenangan

dan 1 (satu) kewajiban, sebagaimana termaktub dalam Pasal 24 C ayat (1) dan

ayat (2) UUD 1945. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat

pertama dan terakhir yang putusanya bersifat final untuk :

7
Ahmad Syahrizal, Op.Cit, hlm. 76
8
Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasisnya dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm.xviii
9

1. Menguji Undang-undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenanganya

diberikan oleh Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

3. Memutus pembubaran partai politik; dan

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa

Presiden dan/atau Wakil Presiden di duga :

1. Telah melakukan pelanggaran huum berupa :

a. Pengkhianatan terhadap Negara;

b. Korupsi;

c. Penyuapan;

d. Tindak pidana berat lainya.

2. Perbuatan tercela; dan/atau

3. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden

sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

Berkaitan dengan wewenang Mahkamah Konstitusi dalam melakukan proses

Judicial review, secara historis wewenang judicial review Undang-Undang

terhadap Undang Undang Dasar ini baru muncul setelah amandemen UUD 1945,
10

sebelumnya mekanisme judicial review tidak pernah diatur dalam konstitusi

indonesia.

Menurut Jimly Asshiddiqie, judicial review merupakan upaya pengujian oleh

lembaga yudisial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan

legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Pemberian wewenang tersebut kepada

hakim merupakan penerapan mekanisme checks and balances berdasarkan sistem

pemisahan kekuasaan negara (yang lebih dipercaya dapat lebih menjamin

perwujudan demokrasi dan cita negara hukum/rechtstaat maupun rule of law).

Sesuai dengan prinsip checks and balances yang telah menjadi satu pokok pikiran

dalam Undang Undang Dasar pasca perubahan, pengujian konstitusionalli-tas

materi Undang-Undang telah ditegaskan menjadi kewenangan Mahkamah


9
Konstitusi.

Dalam implementasinya, peraturan perundang-undangan dapat diajukan

proses Judicial review atas dasar pertimbangan10 :

1. Peraturan tersebut bertentangan dengan UUD dan / atau peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi dari peraturan yang diuji;

2. Peraturan tersebut dikeluarkan atau ditetapkan oleh institusi atau pejabat yang

tidak berwenang untuk menetapkan peraturan yang bersangkutan;

9
Fatkhurohman,dkk, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm,25.
10
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD
1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm.231.
11

3. Peraturan tersebut ditetapkan dengan cara yang menyimpang dari tata cara

pembuatan peraturan yang lazim berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku;

4. Peraturan tersebut terbukti dibuat atau dikeluarkan untuk maksud-maksud

yang bertentangan dengan hukum dan kepatutan, misalnya, sengaja dibuat

untuk tujuan penyalahgunaan wewenang atau tujuan korupsi dan korupsi

untuk keuntungan pribadi pejabat yang bersangkutan.

Secara teoritis maupun dalam praktek dikenal adanya dua macam hak uji,

yaitu :11

1. Hak Uji Formal (Formele Toetsingsrecht)

Hak uji formal adalah wewenang untuk menilai apakah proses terjadinya suatu

produk legislatif (Undang-Undang) sesuai atau tidak dengan cara atau prosedur

yang ditetapkan. Dengan demikian dalam hak uji formil, yang dinilai adalah dari

segi tata cara atau prosedur pembuatan suatu peraturan perundang-undangan oleh

penguasa, apakah sudah sesuai ataukah tidak dengan apa yang telah ditentukan

dalam peraturan perundang-undangan. Pada dasarnya semua bentuk peraturan

perundang-undangan telah diatur tata cara pembuatannya. Apabila tata cara

pembuatan tidak dipenuhi, dianggap tidak sah dan tidak mengikat kepada rakyat.

2. Hak Uji Materiil (Materiele Toetsingsrecht)

11
Bambang Sutiyoso dan Srihastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan
Kehakiman Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 111
12

Hak uji materiil yaitu wewenang untuk menilai apakah sebuah produk

legislatif dari segi isinya (substansinya) bertentangan atau tidak dengan peraturan

hukum yang lebih tinggi. Jadi hak uji materiil ini berkaitan dengan isi atau

substansi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih

tinggi derajatnya. Apabila suatu undang-undang dilihat dari isinya bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar 1945, maka undang-undang tersebut harus

dinyatakan tidak mempunyai daya pengikat.

E. Metode Penelitian

1. Objek Penelitian

Analisis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-V/2007 atas judicial

review Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

2. Sumber data

a. Data Sekunder

Data yang digunakan untuk membahas skripsi ini, yang meliputi :

1) Bahan hukum primer, antara lain terdiri dari :

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah

Konstitusi.

c) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung


13

d) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-V/2007

2) Bahan hukum sekunder

a) Buku yang terkait dan/atau relevan dengan tema skripsi.

b) Pendapat para ahli.

c) Karya tulis.

d) Literatur-literatur lainya.

3. Teknik pengumpulan data

Data yang dikumpulkan dengan cara :

Studi pustaka, yaitu studi yang dimaksudkan untuk mengumpulkan atau

memahami data-data sekunder dengan berpijak pada berbagai literatur,

dokumen yang berkaitan dengan objek penelitian

4. Metode pendekatan

Dalam penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif yaitu metode

pendekatan dimana proses penyelidikanya meninjau dan membahas obyek

dengan menitik beratkan pada aspek-aspek yuridis, kemudian disesuaikan

dengan tema skripsi.

5. Analisis Data

Data yang diperoleh diolah dengan metode diskriptif kualitatif , yaitu

dinyatakan oleh sumber, baik secara lisan maupun tulisan yang dipelajari

sebagai sesuatu yang utuh, yaitu dengan menggabungkan antara permasalahan

dan data yang diperoleh untuk tercapainya kesimpulan tertentu sehingga

diperoleh hasil yang signifikan dan ilmiah.

Anda mungkin juga menyukai