ABSTRAK
Dengan adanya Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013, untuk upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan
kembali dapat dilakukan lebih dari satu kali. Putusan MK yang memperbolehkan upaya hukum luar biasa
peninjauan kembali lebih dari satu kali tersebut, berkaitan dengan kepastian hukum dan keadilan. Apabila
peninjauan kembali diperbolehkan lebih dari satu kali tetapi tidak ada pembatasan sampai berapa kali maka
perkara tersebut tidak akan ada akhirnya, bahwa adanya asas litis finiri oportet (setiap perkara harus ada
akhirnya) tidak akan terpenuhi. Beberapa permasalahan yang perlu dibahas adalah apakah dengan adanya
Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 dapat memenuhi nilai keadilan dan kepastian hukum. Selanjutnya
bagaimana pengaturan mengenai peninjauan kembali sebagai implementasi Putusan MK No. 34/PUU-
XI/2013 agar asas kepastian hukum dan asas litis finiri oportet akan terpenuhi. Putusan MK No. 34/PUU-
XI/2013, yang menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan mengikat, dapat memenuhi kepastian hukum tanpa mengabaikan nilai keadilan. Hal ini
dapat dilihat dari pihak kepentingan terpidana yang mana dengan diperbolehkannya peninjauan kembali
dalam perkara pidana lebih dari satu kali, memberikan kesempatan untuk memperoleh kebenaran materiil dan
keadilan sehingga dapat diperoleh kepastian hukum yang berkeadilan bagi terpidana mengenai perkara yang
dihadapi. Untuk memenuhi asas litis finiri oportet, perlu dilakukan pengaturan bahwa untuk upaya hukum
peninjauan kembali dalam perkara pidana dapat dilakukan dua kali, hal ini dilakukan untuk mencapai
kepastian hukum yang berkeadilan. Di satu pihak peninjauan kembali dapat dilakukan lebih dari satu kali
untuk mencari kebenaran materiil dan memenuhi nilai keadilan. Di lain pihak adanya pembatasan
permohonan peninjauan kembali yang boleh dilakukan dua kali adalah untuk menjamin kepastian hukum,
sehingga nilai kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum dapat terpenuhi.
ABSTRACT
With the Constitutional Court No. 34 / PUU-XI / 2013, for an extraordinary legal remedy which
reconsideration can be done more than once. Constitutional Court ruling that allows an extraordinary legal
remedy reconsideration more than once that, with regard to legal certainty and justice. If allowed to review
more than one time but there are no restrictions on how many times it is the case there will be no end, that
the principle of litis finiri oportet (every case there should be eventually) will not be met. Some issues that
need to be addressed is whether the Constitutional Court No. 34 / PUU-XI / 2013 can satisfy the value of
justice and legal certainty. Furthermore, how the arrangements regarding the review of the implementation
of the Constitutional Court as No. 34 / PUU-X / 2013 that the principle of legal certainty and the principle of
litis finiri oportet will be met. Constitutional Court decision No. 34 / PUU-XI / 2013, which states that
Article 268 paragraph (3) of Law No. 8 of 1981 on Criminal Procedure is contrary to the Constitution of the
Republic of Indonesia in 1945 and has no binding force, can meet the legal certainty without ignoring the
value of justice. It can be seen from the interests of the convict which the permissibility of judicial review in
criminal cases more than once, providing an opportunity to acquire the material truth and justice so as to
obtain legal certainty to convict justice regarding the case at hand. To meet the principle of litis finiri
oportet, it is necessary that the arrangements for legal remedy reconsideration in criminal cases can be done
twice, this is done to achieve a just rule of law. On the one hand, the review can be performed more than
once to search for the material truth and fulfill justice values. On the other hand the restrictions on the
198 Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
reconsideration request should be done twice is to ensure legal certainty, so that the value of expediency,
justice and the rule of law can be fulfilled.
200 Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
B.1. Upaya Hukum Biasa membatalkan putusan pengadilan negeri dan
B.1.1. Banding membuat keputusan sendiri, hal ini sebagaimana
diatur dalam Pasal 241 KUHAP yang
Upaya hukum banding diatur dalam Bab menyebutkan:
XVII Bagian Kesatu Pasal 233 sampai dengan (1) Setelah semua hal sebagaimana dimaksud
Pasal 243 KUHAP. Dalam Pasal 67 KUHAP dalam ketentuan tersebut di atas
disebutkan bahwa terdakwa atau penuntut umum dipertimbangkan dan dilaksanakan,
berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tinggi memutuskan, menguatkan
pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap atau mengubah atau dalam hal membatalkan
putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum putusan pengadilan negeri, pengadilan tinggi
yang menyangkut masalah kurang tepatnya mengadakan putusan sendiri.
penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam (2) Dalam hal pembatalan tersebut terjadi atas
acara cepat. Dari segi yuridis formal berdasarkan putusan pengadilan negeri karena ia tidak
Pasal 67 KUHAP tersebut, upaya banding adalah berwenang memeriksa perkara itu, maka
hak yang dapat diminta oleh pihak yang berlaku ketentuan tersebut pada Pasal 148.
berkepentingan (terdakwa atau penuntut umum)
agar perkaranya diperiksa lagi dalam peradilan B.1.2. Kasasi
tingkat banding. Banding yaitu upaya hukum yang
dapat diajukan baik oleh terdakwa maupun Upaya hukum kasasi diatur dalam Pasal 244
penuntut umum apabila merasa tidak puas terhadap sampai dengan Pasal 258 KUHAP. Kasasi
putusan pengadilan tingkat I.1 Dapat dikatakan merupakan upaya hukum yang diajukan terdakwa
bahwa alasan untuk mengajukan banding adalah atau penuntut umum apabila tidak puas terhadap
ketidakpuasan atau keberatan terhadap putusan putusan pengadian tingkat II, melalui pengadilan
pengadilan tingkat pertama. tingkat pertama (PN) yang mengadili perkara
Banding sebagaimana dalam Pasal 67 tersebut.3 Dalam Pasal 244 KUHAP disebutkan
KUHAP, merupakan hak dari terdakwa atau bahwa terhadap putusan perkara pidana yang
penuntut umum, sehingga dapat dijelaskan sebagai diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan
berikut: lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa
1) Terserah kepada terdakwa atau penuntut atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan
umum untuk mempergunakan dan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung
memanfaatkan hak tersebut. kecuali terhadap putusan bebas. Dengan demikian
2) Apabila mereka mempergunakan hak banding dapat dikatakan bahwa kasasi merupakan upaya
“wajib diterima”. Seandainya terdakwa atau hukum yang diajukan oleh terdakwa atau penuntut
penuntut umum mempergunakan hak banding, umum terhadap putusan pengadilan tingkat
permintaan banding tersebut “wajib” diterima terakhir selain Mahkamah Agung.
pengadilan, jika permintaan itu memenuhi Terhadap Pasal 244 KUHAP, telah diajukan
syarat yang ditentukan undang-undang.2 uji materi ke MK dengan putusan Nomor 114/
PUU-X/2012, yang pada intinya menyebutkan:
Permohonan banding dilakukan dalam 1.1 Menyatakan frasa, “kecuali terhadap putusan
tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah putusan bebas” dalam Pasal 244Undang-Undang
dijatuhkan atau setelah putusan diberitahuakan Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaimana Pidana (Lembaran Negara Republik
yang dimaksud Pasal 196 ayat (2) KUHAP yang Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
menyatakan bahwa dalam hal terdapat lebih dari Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
seorang terdakwa dalam satu perkara, putusan 3209) bertentangan dengan Undang-Undang
dapat diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
ada. 1945;
Putusan pengadilan tingkat banding dapat 1.2 Menyatakan frasa, “kecuali terhadap putusan
berupa menguatkan atau mengubah atau bebas” dalam Pasal 244 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
1
Zulkarnain, Praktik Peradilan Pidana (Lembaran Negara Republik
Pidana,(Malang: Setara Press, 2013), halaman Indonesia Tahun 1981 Nomor 76,Tambahan
110. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
2
M. Yahya Harahap, Pembahasan 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum
Permasalahan dan Penerapan KUHAP : mengikat;4
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, 3
dan Peninjauan Kembali (Jakarta: Sinar Zulkarnain, op.cit., halaman 111.
4
Grafika,2009), halaman 451. Putusan MK Nomor 114/PUU-X/2012.
202 Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
c. apabila putusan itu dengan jelas memper- Agung membatalkan putusan yang dimintakan
lihatkan suatu kekhiIafan hakim atau suatu peninjauan kembali itu dan menjatuhkan putusan
kekeliruan yang nyata. yang dapat berupa putusan bebas, putusan lepas
Adanya novum atau keadaan baru, yang dapat dari segala tuntutan hukum, putusan tidak dapat
menimbulkan dugaan kuat: menerima tuntutan penuntut umum, atau putusan
1) Jika seandainya keadaan baru itu diketahui dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih
atau ditemukan dan dikemukakan pada waktu ringan. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam
sidang berlangsung, dapat menjadi faktor dan Pasal 266 ayat (2) KUHAP. Telah dijelaskan
alasan untuk menjatuhkan putusan bebas atau sebelumnya bahwa peninjauan kembali adalah
putusan lepas dari segala tuntutan hukum, untuk melindungi kepentingan terpidana, sehingga
atau; pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan
2) Keadaan baru itu jika ditemukan dan diketahui kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah
pada waktu sidang berlangsung, dapat menjadi dijatuhkan dalam putusan sebelumnya atau
alasan dan faktor untuk putusan yang putusan semula.
menyatakan tuntutan penuntut umum tidak Selanjutnya upaya hukum peninjauan kembali,
dapat diterima, atau; hanya dapat dilakukan satu kali sebagaimana
3) Dapat dijadikan alasan dan faktor untuk ditentukan Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Terhadap
menjatuhkan putusan dengan menerapkan ketentuan Pasal 268 ayat (3) tersebut telah
ketentuan pidana yang lebih ringan.5 diajukan uji materi dan telah diputus MK dengan
Putusan No. 34/PUU-XI/2013. Undang-Undang
Dalam hal pelbagai putusan terdapat saling No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
pertentangan, hal ini dapat terjadi apabila sesuatu juga mengatur mengenai upaya hukum peninjauan
telah terbukti dan dijadikan alasan untuk kembali sebagaimana diatur dalam Pasal 24 yang
menjatuhkan putusan tetapi dalam perkara lain menyebutkan :
keadaan yang dinyatakan terbukti tersebut saling (1) Terhadap putusan pengadilan yang telah
bertentangan antara putusan yang satu dengan memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-
putusan lainnya. Kekhilafan hakim atau kekeliruan pihak yang bersangkutan dapat mengajukan
hakim dapat terjadi, karena tidak dipungkiri bahwa peninjauan kembali kepada Mahkamah
hakim adalah manusia yang juga tidak lepas dari Agung, apabila terdapat hal atau keadaan
kekhilafan ataupun kekeliruan. tertentu yang ditentukan dalam undang-
Upaya hukum peninjauan kembali diajukan undang.
oleh terpidana atau ahli warisnya sebagaimana (2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak
dicantumkan dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP. dapat dilakukan peninjauan kembali.
Dengan demikian jaksa penuntut umum tidak
diperbolehkan mengajukan peninjauan kembali. Selain dalam Undang-Undang Kekuasaan
Sebabnya undang-undang tidak memberi hak Kehakiman, peninjauan kembali juga diatur dalam
kepada penuntut umum karena upaya hukum ini Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang
bertujuan untuk melindungi kepentingan Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah
terpidana.6 dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang
Putusan dalam peninjauan kembali, Pasal 266 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa apabila 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana
permintaan peninjauan kembali tidak sesuai diubah dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2009
dengan alasan-alasan yang ditentukan, maka tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Mahkamah Agung menyatakan bahwa permintaan No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
peninjauan kembali tidak dapat diterima dengan Pasal 66 menyebutkan:
disertai dasar alasannya. Apabila Mahkamah (1) Permohonan peninjauan kembali dapat
Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan diajukan hanya 1 (satu) kali.
kembali dapat diterima untuk diperiksa, maka (2) Permohonan peninjauan kembali tidak
apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan menangguhkan atau menghentikan pelaksa-
alasan pemohon, Mahkamah Agung menolak naan putusan Pengadilan.
permintaan peninjauan kembali dengan menetap- (3) Permohonan peninjauan kembali dapat
kan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan dicabut selama belum diputus, dan dalam hal
kembali itu tetap berlaku disertai dasar sudah dicabut permohonan peninjauan
pertimbangannya. Selanjutnya apabila Mahkarnah kembali itu tidak dapat diajukan lagi.
Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah
5
Harahap, op. cit., halaman 619.
6
Ibid, halaman 616.
J. DINAMIKA SOSBUD Volume 17 Nomor 2, Desember 2015 : 198 - 209 203
METODE PENELITIAN (1) Data sekunder pada umumnya ada dalam
keadaan siap terbuat (ready-made).
(2) Bentuk maupun isi data sekunder telah
A. Metode Pendekatan
dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti
Metode pendekatan yang digunakan dalam
pendahulu.
penelitian mengenai upaya hukum peninjauan
(3) Data sekunder dapat diperoleh tanpa terikat
kembali dalam perkara pidana pasca putusan
atau dibatasi oleh waktu dan tempat.8
Mahkamah Konstitusi ini adalah pendekatan
yuridis normatif. Penelitian hukum normatif
Bahan hukum primer dalam penelitian ini
adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum
meliputi peraturan-peraturan yang mengatur
sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem
mengenai upaya hukum peninjauan kembali dalam
norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas,
perkara pidana dan Mahkamah Konstitusi, di
norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan,
antaranya Undang-Undang No.8 Tahun 1981,
putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, Undang-
(ajaran).7 Dalam penelitian ini, pendekatan yuridis
Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah
normatif dilakukan dengan bertumpu pada asas-
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
asas hukum dan kaidah-kaidah atau norma-norma
2011 dan lain-lain. Untuk bahan hukum sekunder
hukum positif yang berkaitan dengan upaya
meliputi tulisan-tulisan ilmiah dari para ahli
hukum peninjauan kembali dalam perkara pidana
mengenai upaya hukum peninjauan kembali dalam
dan putusan Mahkamah Konstitusi yang memutus
perkara pidana pasca Mahkamah Konstitusi dan
mengenai peninjauan kembali.
bahan hukum tersier yang berupa bahan-bahan
yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan
B. Spesifikasi Penelitian
sekunder seperti kamus hukum, kamus bahasa,
Penelitian ini dilakukan secara deskriptif
artikel-artikel pada surat kabar, majalah serta
analitis yang merupakan cara pemecahan masalah
internet mengenai upaya hukum peninjauan
penelitian yang dilakukan dengan cara meng-
kembali dalam perkara pidana pasca Mahkamah
gambarkan atau mendeskripsikan obyek yang
Konstitusi.
diteliti yaitu peraturan-peraturan yang berkaitan
dengan upaya hukum peninjauan kembali yang
D. Analisis Data
dikhususkan pada perkara pidana pasca putusan
Metode analisis data yang akan dilakukan
Mahkamah Konstitusi, kemudian dilakukan
adalah secara kualitatif normatif yakni dengan
analisis terhadap obyek dan data telah yang
memberikan gambaran secara khusus berdasarkan
diperoleh tersebut. Hal itu dimaksudkan untuk
data yang dikumpulkan. Analisis dilakukan atas
memberikan gambaran dan analisis mengenai
data yang telah ada. Berdasarkan data yang telah
upaya hukum peninjauan kembali dalam perkara
masuk dan diolah sedemikian rupa dengan meneliti
pidana pasca putusan Mahkamah Konstitusi.
kembali, sehingga analisis dapat diuji kebenaran-
nya. Analisis data ini dilakukan peneliti secara
C. Teknik Pengumpulan Data
cermat dengan berpedoman pada tipe dan tujuan
Sumber data utama yang digunakan dalam
dari penelitian yang dilakukan.9 Kualitatif berarti
penelitian ini adalah data sekunder dengan meng-
menekankan pada penyelesaian terhadap data yang
gunakan teknik pengumpulan data melalui studi
telah diperoleh atau bersumber pada kebenaran
kepustakaan yaitu memilih dan mengelompokkan
dari hasil observasi penelitian. Analisis secara
aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan hukum
kualitatif normatif yaitu dengan cara melakukan
mengenai upaya hukum peninjauan kembali dalam
langkah-langkah kategorisasi, penafsiran, korelasi
pekara pidana pasca putusan Mahkamah
dan perbandingan terhadap bahan-bahan hukum
Konstitusi. Data yang akan dikumpulkan ber-
dan peraturan hukum mengenai mengenai upaya
bentuk dokumen atau tulisan berdasarkan pene-
hukum peninjauan kembali dalam perkara pidana
lusuran peraturan hukum, dokumen-dokumen
pasca Mahkamah Konstitusi. Analisis kualitatif
maupun literatur-literatur ilmiah, dengan tujuan
tersebut dilakukan dengan penalaran berdasarkan
untuk memperoleh data sekunder sebagai data
logika sehingga dapat menarik kesimpulan yang
utama.
Data sekunder memiliki ciri-ciri umum
8
sebagai berikut : Soeryono Soekanto dan Sri Mamudji,
Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: PT Radja Grafindo Persada,
2007), halaman24.
7 9
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achma, Ronny Hanitijo Soemitro. Metodologi
Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris Penelitian Hukum dan Jurimetri.(Jakarta: Ghalia
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2013), halaman 34. Indonesia, 1998), halaman 35.
204 Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
logis, yang selanjutnya disusun dalam bentuk yang substansial baru ditemukan saat PK
sebuah laporan penelitian. sebelumnya belum ditemukan.12
206 Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
kali terhadap perkara yang sama, sebelumnya Diperbolehkannya peninjauan kembali lebih
sudah diatur oleh MA melalui Surat Edaran MA dari satu kali berdasarkan Putusan Mahkamah
No.10 Tahun 2009 tentang Pengajuan Permohonan Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 , bisa ditafsirkan
Peninjauan Kembali. dapat dilakukan kedua, ketiga dan seterusnya.
Adanya Surat Edaran MA No.07 Tahun 2014 Tetapi hal ini menjadikan asas litis finiri oportet
pada tanggal 31 Desember 2014 tentang Pengajuan yang menegaskan bahwa setiap perkara harus ada
Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara akhirnya, menjadi tidak terpenuhi. Dengan
Pidana, telah menimbulkan perdebatan baik dari demikian untuk memenuhi asas litis finiri oportet,
kalangan akademisi, praktisi maupun masyarakat perlu dilakukan pembatasan dalam hal kuantitas
pada umumnya. Berdasarkan Surat Edaran No.07 pengajuan permohonan peninjauan kembali. Untuk
Tahun 2014 tersebut, bahwa untuk permohonan upaya hukum peninjauan kembali dalam perkara
peninjauan kembali dalam perkara pidana hanya pidana dari segi kuantitas sebaiknya dapat
diperbolehkan satu kali. Dengan dinyatakannya dilakukan dua kali, hal ini dilakukan untuk
Pasal 268 ayat (3) KUHAP tidak mempunyai mencapai keseimbangan antara nilai kepastian
kekuatan hukum mengikat oleh putusan hukum dan nilai keadilan sehingga diperoleh
Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013, tidak kepastian hukum yang berkeadilan. Di satu pihak
serta merta menghapus norma hukum yang peninjauan kembali dapat dilakukan lebih dari satu
mengatur permohonan peninjauan kembali yang kali untuk mencari kebenaran materiil dan
diatur oleh Undang-Undang No.48 Tahun 2009 memenuhi nilai keadilan. Di lain pihak adanya
tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 ayat (2) pembatasan permohonan peninjauan kembali yang
dan Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang diajukan dua kali adalah untuk menjamin kepastian
Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah hukum, sehingga nilai kemanfaatan, keadilan dan
dengan Undang-Undang No.5 Tahun 2004 dan kepastian hukum dapat terpenuhi.
perubahan kedua dengan Undang-Undang No.3 Ditentukannya peninjauan kembali dapat
Tahun 2009 Pasal 66 ayat (1). Dengan demikian dilakukan dua kali, dengan alasan bahwa apabila
untuk permohonan peninjauan kembali dalam peninjauan kembali dilakukan tiga kali atau lebih
perkara pidana hanya diperbolehkan satu kali, oleh tentunya berkaitan dengan jangka waktu yaitu akan
MA hal ini didasarkan pada ketentuan yang ada memerlukan waktu yang tidak menentu karena
pada Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan belum ada pembatasan waktu untuk dilakukannya
Undang-Undang MA. peninjauan kembali. Apabila dilakukan pembatas-
Sebelum adanya Surat Edaran MA No.07 an waktu untuk peninjauan kembali, tentunya ini
Tahun 2014 tersebut, sudah ada kesepakatan berkaitan dengan nilai keadilan dan hak asasi
upaya hukum peninjauan kembali hanya boleh dua manusia terutama dalam hal ini hak asasi
kali yang telah diputuskan dalam rapat pleno terpidana. Selain itu juga berkaitan dengan
kamar pidana. Mahkamah Agung menyepakati pelaksanaan putusan pengadilan, meskipun dalam
pengajuan upaya hukum peninjauan kembali untuk Pasal 268 ayat (1) KUHAP menentukan bahwa
perkara pidana hanya bisa dilakukan dua kali. permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan
Meski demikian, MA belum memutuskan tidak menangguhkan maupun menghentikan
instrumen apa yang akan digunakan untuk pelaksanaan dari putusan pengadilan yang telah
mengatur ketentuan tersebut.18 berkekuatan hukum tetap.
Pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013, sudah seharus-
nya dilakukan harmonisasi terhadap ketentuan SIMPULAN
permohonan peninjauan kembali dalam perkara
pidana agar tidak menimbulkan kekosongan Simpulan :
hukum. Sebaiknya MA dalam mengeluarkan surat 1. Upaya hukum luar biasa bertujuan
edaran, tidak bertentangan dengan apa yang telah menemukan keadilan dan kebenaran materiel
diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi sehingga tanpa dibatasi oleh limitasi waktu. Dengan
tidak terjadi ketidaksinkronan. demikian adanya pembatasan peninjauan
kembali hanya satu kali telah secara nyata
membatasi pencarian keadilan (oleh terpidana)
18 sehingga bertentangan dengan asas keadilan
“MA Putuskan PK Hanya Dibolehkan Dua
yang dijunjung tinggi oleh pelaku kekuasaan
Kali, Eksekusi Mati Dapat Segera Dilakukan”
kehakiman berdasarkan Pasal 24 UUD 1945.
(http://nasional.kompas.com/read/2014/12/29/1502
Dalam hal ini kepastian hukum yang dicari
3451/MA.Putuskan.PK.Hanya.Dibolehkan.Dua.Ka
adalah kepastian hukum yang berkeadilan
li.Eksekusi.Mati.Dapat.Segera.Dilakukan, diakses
yaitu kepastian hukum yang tidak
3 Pebruari 2015).
mengabaikan nilai keadilan. Putusan MK No.
208 Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan
Mahkamah Agung; Kembali dalam Perkara Pidana.
Undang-Undang No.48 tahun 2009 tentang Anggi Kusumadewi, Syahrul Ansyari, “MA: MK
Kekuasaan Kehakiman; Buat Putusan Bijaksana Soal Peninjauan
Kembali”,
Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang (http://nasional.news.viva.co.id/news/read/4
Pembentukan Peraturan Perundang- 86796-ma--mk-buat-putusan-bijaksana-soal
Undangan; peninjauan-kembali, diakses 3 Februari
2015).
Surat Edaran Mahkamah Agung RepubIik
Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang “MA Putuskan PK Hanya Dibolehkan Dua Kali,
Pengajuan Permohonan Peninjauan Eksekusi Mati Dapat Segera Dilakukan”
Kembali; (http://nasional.kompas.com/read/2014/12/
29/15023451/MA.Putuskan.PK.Hanya.Dib
Surat Edaran Mahkamah Agung No.07 Tahun olehkan.Dua.Kali.Eksekusi.Mati.Dapat.Seg
2014 pada tanggal 31 Desember 2014 era.Dilakukan, diakses 3 Pebruari 2015).