Anda di halaman 1dari 16

TUJUAN DAN KEKUATAN HUKUM PENINJAUAN KEMBALI KEDUA

DALAM PERKARA PERDATA


Tujuan Dan Kekuatan Hukum Dalam Proses Peninjauan Kembali Kedua Pada Perkara
Perdata Dalam Klasifikasi Perbuatan Melawan Hukum Ditinjau Dari Putusan
MK No. 3/PUU-XI/2013 dan SEMA Nomor 4 TAHUN 2016

Nama: Ardyansyah Anggar Saputra


Email: ardyanggar@gmail.com
Instansi: Fakultas Syari'ah & Hukum UIN Sunan Kalijaga

Nama: Muchammad Rijki Ramandan


Email: rizky18121999@gmail.com
Instansi: Fakultas Syari'ah & Hukum UIN Sunan Kalijaga

Nama: Alfi Adhan Prayoga


Email: alfiadhano@gmail.com
Instansi: Fakultas Syari'ah & Hukum UIN Sunan Kalijaga

Abstrak

Peninjauan Kembali yang selanjutnya disingkat (PK) adalah sarana hukum yang digunakan oleh
terpidana untuk segera memperoleh putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap
dalam sistem peradilan Indonesia. Permohonan Peninjauan Kembali (PK) dapat dilakukan baik dalam
perkara perdata maupun pidana. Dalam perkara perdata, hal ini tertuang dalam Pasal 67 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 200 tentang Mahkamah Agung. Namun, pada kenyataannya, peninjauan
kembali kedua sangat jarang, tetapi bukan berarti tidak mungkin untuk mempraktikkan upayah hukum
luas biasa ini. Dalam kajian Peninjauan Kembali (PK) Metodologi Penelitian menggunakan metode
hukum normatif dengan fokus kajian pustaka. Analisis difokuskan pada norma hukum, baik hukum
dalam peraturan perundang-undangan maupun hukum dalam putusan pengadilan. Disimpulkan bahwa
pengajuan peninjauan kembali kedua semata-mata untuk kepentingan terpidana, untuk memperoleh
kepastian hukum yang adil dan kesempatan yang sama untuk mengajukan PK yang final dan
mengikat kepada para pihak, hal ini memenuhi asas bahwa setiap perkara harus mempunyai akhir
(litis finiri oportet). Dengan demikian dapat kita tarik sebagai rumusan masalah adalah apa yang
menjadi tujuan hukum upaya permohonan peninjauan kembali kedua dalam perkara perdata perbuatan
melawan hukum? Lalu sudah cukup kuatkah landasan hukum yang ada dalam penggunaan peninjauan
kembali kedua? Bagaimana proses yang tepat dalam peninjauan kembali kedua? Serta bagaimana
konsep upaya permohonan peninjauan kembali perkara perdata yang berlandaskan keadilan,
penegakan dan kepastian hukum dalam rangka hukum acara perdata nasional?

Kata Kunci: Peninjauan Kembali, Hukum Acara Perdata, Upaya Hukum


Abstract

Judicial Review is a legal tool used by convicts to immediately obtain court decisions that have
permanent legal force in the Indonesian judicial system. Requests for Judicial Review (PK) can be
made in both civil and criminal cases. In civil cases, this is stated in Article 67 of Law Number 5 year
2000 concerning the Supreme Court. However, in reality, second autopsies are extremely rare, but
that does not mean it is impossible to practice this particular method. In the Brief Description of the
Study (PK) the Research Methodology uses the normative legal method with a focus on literature
review. The analysis focuses on legal norms, both the law in legislation and the law in court
decisions. It was concluded that the submission of a second review was solely for the benefit of the
convict, to obtain fair legal certainty and equal opportunity to submit a final and binding PK to the
parties, this fulfills the principle that every case must have an end (litis finiri oportet). As for the
problems to be resolved, it can be concluded as follows, what is the legal purpose of the second
petition for judicial review in civil cases of unlawful acts? Then is the legal basis strong enough for
the use of the second review? What is the proper process for the second review? And what is the
concept of the application for judicial review of civil cases based on justice, enforcement and legal
certainty in the framework of national civil procedural law?

Keywords: Judicial Review, Civil Law Code Procedure, Legal Effort


Latar Belakang

Eksistensi Indonesia sebagai negara hukum tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD
1945. Dengan demikian idealnya hukum menjadi panglima tertinggi negara. Menurut
peraturan-peraturan tersebut salah satu prinsip penting negara hukum adalah untuk
memastikan bahwa peradilan itu independen tidak terpengaruh oleh lembaga lain yang kuat
untuk menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Peradilan adalah
badan independen yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945.

Peninjauan kembali (PK) pada perkara perdata disebut rekes civiel atau request civiel.
Tujuan PK adalah untuk memberikan rasa keadilan kepada mereka yang mencari keadilan
karena kemungkinan dibukanya kembali kasus-kasus yang telah diputuskan oleh pengadilan
dan putusan-putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Lembaga PK berasal dari
sistem hukum Perancis yang dikenal dengan terminologi revision and requete civile.
Lembaga ini telah disahkan menjadi hukum acara di Belanda sebagai herziening dan request
civiel. Di Indonesia pengaturan acara herziening diatur pada Reglement op de Strafvordering
(RSV), Titel 18, Pasal 356 sampai dengan Pasal 360, yang sesuai dengan Wetboek van
Strafvordering (WvS) Titel 18 pada Pasal 457 sampai dengan Pasal 481, sedangkan request
civiel diatur dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtvordering (Rv) Buku I, Titel XI, Pasal
385 sampai dengan Pasal 401 yang sesuai dengan Wetboek van Rechtsvordering pada Buku I
Titel XI Pasal 382 sampai dengan Pasal 396.2 Ketentuan herziening dan request civiel tidak
diatur dalam Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) maupun Reglement op de
Buitengewesten (RBg) karena kedua reglement ini hanya mengatur tata cara peradilan
landraad (Pengadilan Negeri saat ini) dan pengadilan Bumi Putera lain yang lebih rendah
(inlandse rechtbanken).

Upaya hukum PK dari segi kepastian hukum harus dilihat dari aturan atau standar PK
yang sesuai dengan amanat, fungsi dan wewenang Mahkamah Agung (MA) serta adanya
pembatasan dalam perkara tersebut. Berdasarkan ketentuan hukum positif, Mahkamah Agung
merupakan MA bersifat judex juris, bukan bersifat judex facti, sehingga Mahkamah Agung
tidak mempertimbangkan alat bukti dan fakta. Oleh karena itu, jika Mahkamah Agung dalam
putusannya mempertimbangkan alat bukti dan fakta, yang prakteknya berbeda dengan asas
hukum bahwa Mahkamah Agung adalah judex yuris. Konsekuensi logis dari hal ini adalah
bahwa PK hanya dapat diajukan terhadap putusan judex facti, tetapi tidak terhadap judex
yuris. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) secara
tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat). Ide negara hukum
sendiri dikaitkan dengan konsep 'rechtsstaat' dan 'the rule of law', juga dikaitkan dengan
konsep 'demokrasi' yang berasal dari kata 'nomos' dan 'cratos'. Kata nomokrasi dapat
dibandingkan dengan 'demo' dan 'cratos' atau 'kratien' dalam demokrasi. “Nomos” berarti
standar, sedangkan “cratos” berarti kekuasaan. Jadi yang dibayangkan sebagai faktor
penentu dalam pelaksanaan kekuasaan adalah norma atau hukum.

Pada kenyataannya implementasi dari ketiga faktor kepastian hukum transparansi dan
keadilan tersebut masih menimbulkan permasalahan sehingga sulit untuk dilaksanakan secara
berimbang. Sebagai contoh belakangan ini muncul isu terkait tindakan hukum yang tidak
lazim khususnya uji materiil (PK) kontroversi antara kepastian hukum dan keadilan kembali
muncul setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan no. 3/PUU-XI/2013
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP diandingkan
dengan UUD 1945 Putusan No. 34/PUU-XI/2013 tentang pengujian Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap UUD 1945.

Amar Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pasal 268 ayat (3) KUHAP
menyatakan bahwa “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat
dilakukan satu kali saja.” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan
hukum yang mengikat. Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 menimbulkan perdebatan
dikalangan masyarakat, disatu sisi ada pendapat yang menyatakan bahwa PK lebih dari satu
kali merupakan upaya untuk melindungi hak masyarakat dalam memperoleh keadilan dan
tidak mempunyai kekuatan hukum, namun ada juga yang berpendapat bahwa PK leih dari
satu kali adalah bentuk pelanggaran asas kepastian hukum. Bahkan Mahkamah Agung (MA)
tidak mengikuti putusan MK No. 3/PUU-XI/2013 dengan menerbitkan Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) no. 7 tahun 2014. Dengan kekacauan tersebut, pada 2016
Mahkamah Agung kembali menerbitkan SEMA yang pada intinya menyatakan
kesetujuannya pada putusan MK yang selanjutnya akan dibahas pada jurnal ini.

Terbitnya SEMA No. 7 Tahun 2014 menimbulkan masalah baru. SEMA No. 7 Tahun
2014 dipercaya sebagai bentuk ketidakpatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi,
bahkan Mahkamah Konstitusi sendiri menganggap bawah kejadian ini merupakan suatu
bentuk perlawanan atas konstitusi. Mahkamah Agung sendiri tetap pada keyakinannya bahwa
SEMA No. 7 Tahun 2014 diterbitkan untuk memberikan kepastian hukum, disamping
ketentuan mengenai pembatasan pengajuan permohonan kembali yang hanya dapat dilakukan
satu kali masih berlaku berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009.

Dengan demikian dapat kita tarik sebagai rumusan masalah adalah apa yang menjadi
tujuan hukum upaya permohonan peninjauan kembali kedua dalam perkara perdata dalam
klasifikasi perbuatan melawan hukum? Lalu sudah cukup kuatkah landasan hukum yang ada
dalam penggunaan peninjauan kembali kedua? Bagaimana proses yang tepat dalam
peninjauan kembali kedua? Serta bagaimana konsep upaya permohonan peninjauan kembali
perkara perdata yang berlandaskan keadilan, penegakan dan kepastian hukum dalam rangka
hukum acara perdata nasional?

Landasan Teori

Peninjauan Kembali (PK) dalam putusan Perdata disebut juga dengan istilah rekes
civiel atau request civiel. Tujuan PK adalah demi memenuhi rasa keadilan bagi pencari
keadilan karena terdapat kemungkinan dibuka kembali perkara yang sudah diputus oleh
pengadilan dan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.1 Verzet diputuskan
berdasarkan skema verzet yang diatur dalam pasal 129 ayat (1) HIR. Kedua keputusan saling
bergantung karena kedua keputusan didasarkan pada kasus yang sama. Namun, ada secara
terpisah dari dan independen. Secara teoritis, keputusan. Dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana terhadap UUD 1945 yang menjadi dasar diperbolehkannya
upaya hukum PK lebih dari satu kali, ternyata juga senada dengan kutipan pendapat Yusril
Ihza Mahendra terkait implementasi asas litis finiri oportet “memang dalam ilmu hukum
dikenal asas “litis finiri oportet", yakni setiap perkara harus ada akhirnya”.

Dalam teori dan praktek kita mengenal ada 2 (dua) macam upaya hukum yaitu, upaya
hukum biasa dan upaya hukum luar biasa atau istimewa. Perbedaan yang ada antara keduanya
adalah bahwa pada azasnya upaya hukum biasa menangguhkan eksekusi (kecuali bila
terhadap suatu putusan dikabulkan tuntutan serta mertanya), sedangkan upaya hukum luar

1
Subekti, 1977, Hukum Acara Perdata, Binacipta, Bandung, hlm. 163.
biasa tidak menangguhkan eksekusi. Fanani, Ahmad Zaenal. (2016). Teori Keadilan dalam
Perspektif Filsafat Hukum dan Islam. diakses di www.badilag.net. tanggal 18 Agustus.
Keadilan adalah hak asasi manusia yang harus dinikmati oleh setiap manusia yang mampu
mewujudkan potensi dirinya secara maksimal. Dalam hal ini tentunya akan memberikan nilai
dan makna keadilan yang berbeda kepada terdakwa dan korban lainnya ketika hakim
mengambil keputusan. Sehingga dalam hal ini keadilan dapat berdampak pada kebaikan
masyarakat luas. Tetapi ketika kemanfaatan masyarakat luas yang harus dipuaskan, maka
nilai keadilan bagi orang tertentu mau tidak mau ada yang dikorbankannya. Maka keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum menjadi sangat sulit untuk ditegakkan secara bersama

Teori kepastian hukum dalam sosiologi hukum tidak dapat membiarkan Hukum
bekerja dengan memerintahkan, melarang, mengancam hukuman, dan lain sebagainya tanpa
mematuhi semua pihak yang terlibat dalam pengoperasian hukum tersebut. Karena dalam
aspek penelitian sosiologi hukum, kepatuhan hukum pada dasarnya terkait dengan dua
variabel, yaitu hukum dan manusia yang menjadi objek pengaturan hukum tersebut. Dengan
demikian, kepatuhan terhadap hukum tidak hanya dilihat sebagai fungsi peraturan hukum,
melainkan juga fungsi manusia yang menjadi sasaran pengaturan

Literature Review

Perkara Peninjauan Kembali (PK) merupakan salah satu jenis perkara yang
menyumbang cukup besar jumlah perkara yang masuk setiap tahunnya ke MA, yakni sekitar
11% - 15% dari total perkara yang masuk. Dari jumlah tersebut jenis perkara yang
‘menyumbang’ cukup besar permohonan PK ini adalah perkara Perdata, yaitu sekitar 50%-
55% dari total permohonan PK yang masuk. 2 Melihat data ini bukannya tidak aneh kalau
Mahkamah Agung sangat kerepotan, terlebih pengajuan PK didominasi dengan alasan
kekhilafan hakim.

Oleh karena itu sudah seharusnya alasan pengajuan PK yang didasarkan adanya
kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dalam putusan sebaiknya dihapuskan. Hal ini
sejalan dengan pemikiran A. Kadir Mappong yang mengusulkan agar alasan PK dibatasi
hanya dua saja, yaitu adanya novum dan adanya putusan yang saling bertentangan.3

2
Lembaga Kajian & Advokasi untuk Independensi Peradilan, 2010, Pembatasan Perkara, Leid dan NLRP,
Jakarta, hlm. 48
3
Mimbar Hukum Volume 29, Nomor 2, 2017, Permohonan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Kedua Kali
Berbasis Keadilan Dan Kepastian Hukum, Herri Swantoro, Efa Laela Fakhriah dan Isis Ikhwansyah, hlm. 196
Pada tahun – tahun sebelumnya sudah banyak penulis yang membuat jurnal ataupun
buku yang membahas tentang peninjauan kembali kedua, pada perkara perdata pernah dibuat
oleh Herri Swantoro dengan judul “Permohonan Upaya Peninjauan Kembali Yang
Berkeadilan Dan Berkepastian Hukum Dalam Perkara Perdata” Dan dengan topik
pembahasan yang sama juga pernah dibahas oleh Syahrul Sitorus serta Putra Halomoan Hsb.
Banyaknya problem yang muncul pada peninjauan kembil kedua juga pernah dibahas oleh
Ghansham Anand dan Fiska Silvia Raden Roro. Dalam praktik peninjaun kembali kedua juga
pernah dibahas oleh Daniel Kolondam dalam “Peninjauan Kembali Terhadap Putusan
Mutlak Dalam Pratek Perkara Perdata.”

Pada jurnal yang kali ini kami angkat, kami akan membahas terkait peninjauan
kembali kedua pada perkara perdata yang dikerucutkan pada klasifikasi permasalahan
perbuatan melawan hukum, dimana pada data yang kami temukan sangat sedikit perkara
yang lolos pada klasifikasi tersebut.

Hasil penelitian (Result)

Peninjauan Kembali

Peninjauan kembali atau disingkat PK adalah suatu upaya hukum yang dapat
ditempuh oleh terpidana (orang yang dikenai hukuman) dalam suatu kasus hukum terhadap
suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam sistem peradilan di
Indonesia. Permohonan Peninjauan Kembali (PK) dapat dilakukan dalam kasus perkara
Perdata maupun Perkara Pidana.4

Dalam hukum positif kita telah diatur bahwa Peninjauan Kembali hanya untuk satu
kali diajukan baik dalam perkara pidana, perkara perdata, perkara tata usaha negara dan
perkara agama. Hal ini sejalan sebagaimana diatur dalam pasal 66 ayat (1) UNDANG -
UNDANG NOMOR 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI menyatakan:

“permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.”

Pada pasal yang lain, pasal 24 ayat (2) UNDANG - UNDANG NOMOR 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi:

“Terhadap putusan peninjauan kembali tdak dapat dilakukan peninjauan kembali.”

4
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/12955/Menanggapi-Adanya-Permohonan-Peninjauan-Kembali-
PK-Dari-Lawan.html
Selain itu dalam perkara pidana diatur dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang
menyatakan:

“Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali
saja.”.

Pasal 67 Undang - Undang NOMOR 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah Undang –
Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa :

“Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh


kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai
berikut:

a. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak
lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti
yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;

b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat


menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;

c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang
dituntut;

d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa


dipertimbangkan sebab-sebabnya;

e. apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar
yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan
yang bertentangan satu dengan yang lain;

f. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata.”

Tanggapan atas permintaan Memori Peninjauan Kembali dapat disebut sebagai


Kontra Mermori Peninjauan Kembali. Sejak 14 hari kerja setelah hakim ketua pengadilan
negeri menerima permohonan peninjauan kembali, panitera harus menyerahkan salinan
permohonan kasasi kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Pihak lawan mengajukan
tanggapan atau permintaan peninjauan kembali untuk diserahkan dalam waktu 30 hari.
Apabila batas waktu tersebut terlampaui, maka permohonan peninjauan kembali akan segera
diajukan ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Peninjauan Kembali Kedua

Dengan mengikuti perkembangan hukum yang berjalan di masyarakat, Mahkamah


Agung telah menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2009
tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali yang membatasi Peninjauan Kembali
hanya bisa dilakukan maksimal dua kali pada perkara perdata dan perkara pidana. Lebih rinci
menyatakan:

“Apabila suatu obyek perkara terdapat 2 (dua) atau lebih putusan PK yang
bertentangan satu dengan yang lain baik dalam perkara perdata maupun perkara
pidana dan diantaranya ada yang diajukan permohonan PK agar permohonan PK
tersebut diterima dan berkas perkaranya tetap dikirimkan ke Mahkamah Agung.“.

Sebagai penguat, Mahkamah Agung menerbitkan SEMA Nomor 07 Tahun 2012


sebagai rumusan Kamar Perdata menyatakan:

“Pada prinsipnya PK kedua kali tidak diperkenankan, kecuali ada dua putusan yang
saling bertentangan baik dalam putusan perdata, pidana, TUN maupun agama (usul
review SEMA 10 Tahun 2009)”.

SEMA di atas memperluas lingkup jenis perkaranya dengan menambah putusan


perkara TUN dan putusan perkara agama. Selanjutnya, SEMA Nomor 07 TAHUN 2014
tanggal 31 Desember 2014 menyatakan:

“Tidak ada Peninjauan Kembali kedua atau lebih, kecuali dengan alasan terdapat
berbagai putusan dalam satu obyek perkara”.  

Semakin berkembangnya hukum, sebagai hasil rumusan Kamar Perdata dengan


SEMA Nomor 4 TAHUN 2016 yang menyempurnakan SEMA NOMOR 10 Tahun 2009
menyatakan:

“Ketentuan terhadap angka 2 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun


2009 tanggal 12 Juni 2009 dilengkapi sebagai berikut : Demi keadilan, permohonan
peninjauan kembali kedua terhadap dua putusan yang berkekuatan hukum tetap,
yang saling bertentangan satu dengan yang lain dan salah satu diantaranya adalah
putusan peninjauan kembali, dapat diterima secara formil walaupun kedua putusan
tersebut pada tingkat peradilan yang berbeda, termasuk putusan pidana, agama dan
tata usaha negara”.

Dengan SEMA ini Peninjauan Kembali kedua kalinya tidak harus adanya 2 (dua)
putusan Peninjauan Kembali yang saling bertentangan, namun dapat pula salah satunya
bukan putusan  Peninjauan Kembali, misal putusan kasasi atau putusan pengadilan tingkat
pertama atau pengadilan tingkat banding yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.5

Studi Kasus

Putusan MAHKAMAH AGUNG Nomor 723 PK/Pdt/2016 Tanggal 25 Januari 2017

— HENDRI PRASTOWO VS SENDI BINGEI PURBA SIBORO, DKK

Pemohon Peninjauan Kembali II yang dahulu Pemohon Peninjauan Kembali ke I/Pemohon


Kasasi/Pelawan/Tergugat II/Terbanding telah mengajukan permohonan peninjauan kembali
terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 86 PK/PDT/2015 tanggal 16 April 2015 yang
telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali
ke II dahulu Termohon Peninjauan Kembali ke I/Termohon Kasasi/Terlawan/
Penggugat/Pembanding dan Para Turut Termohon Peninjauan Kembali ke II dahulu Para
Turut Termohon Peninjauan Kembali ke I/Para Turut Termohon Kasasi/Para Turut
Terlawan/Tergugat I, Tergugat III.

Adapun pertimbangan majelis hakim terhadap alasan - alasan peninjauan kembali pada
perkara ini adalah

- Bahwa alasan permohonan peninjauan kembali ke II adanya pertentangan antara


putusan Peninjauan Kembali Nomor 439 PK/Pdt/2010 tanggal 4 November 2010 yang
dimenangkan oleh Penggugat/Pemohon Peninjauan Kembali sekarang dengan putusan
Peninjauan Kembali Nomor 86 PK/Pdt/2015 tanggal 16 April 2015 yang
dimenangkan oleh Termohon Peninjauan Kembali sekarang dalam perkara Peninjauan
Kembali Nomor 723 PK/Pdt/2016, sehingga keadaan tersebut memenuhi ketentuan
yang dipersyaratkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009
tanggal 12 Juni 2009 dapat dibenarkan.

5
https://pt-bandung.go.id/pk-kedua.html
- Bahwa terdapat kekhilafan Hakim dalam putusan Mahkamah Agung yaitu Putusan
Peninjauan Kembali Nomor 86 Pk/Pdt/2015 yang menolak permohonan Peninjauan
Kembali Pemohon dalam perkara a quo karena status objek sengketa telah ditentukan
dalam Putusan Peninjauan Kembali Nomor 439 PK/Pdt/2010, dimana ditentukan
bahwa Pemohon Peninjauan Kembali ke II sekarang Penggugat adalah Pembeli yang
beriktikad baik atas objek sengketa
- Bahwa sebelum melakukan jual beli, Pemohon Peninjauan Kembali ke II telah
melakukan duty of care dengan mengecek ke Kantor Pertanahan setempat Bahwa
yang menjadi pokok permasalahan dalam perkara permohonan peninjuaan kembali ke
II adalah peralihan hak atas tanah Sertifikat Hak Milik Nomor 32/Cilangkap Bahwa
dengan diajukannya lagi gugatan atas subjek dan objek yang sama ke Pengadilan
Negeri Depok dengan Nomor 18/Pdt.G/2011.PN.Dpk seharusnya gugatan ini
dinyatakan tidak dapat diterima karena nebis in idem, akan tetapi faktanya dikabulkan
dengan verstek dengan putusan Nomor 18/Pdt.G/2011/PN.Dpk. tanggal 10 Mei 2011,
namun kemudian diputus kembali dengan benar menurut hukum dengan putusan
verstek.
- Bahwa dengan pertimbangan tersbut putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor
148/Pdt/2012/PT.Bdg. juncto Putusan Kasasi Nomor 850 K/Pdt/2013 juncto Putusan
Peninjauan Kembali Nomor 86 PK/Pdt/2015 merupakan putusan yang salah menurut
hukum, maka harus dibatalkan.
- Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, dengan tidak perlu
mempertimbangkan alasan-alasan peninjauan kembali lainnya, Mahkamah Agung
berpendapat bahwa terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan
peninjauan kembali ke II dari Pemohon Peninjuan Kembali ke II: HENDRI
PRASTOWO dan membatalkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 86 PK/Pdt 2015
tanggal 16 April 2015 juncto Putusan Mahkamah Agung Nomor 850 K/Pdt/2013
tanggal 20 November 2013.

Dengan pertimbangan tersebut Majelis Hakim Mengadili sebagai berikut:

1. Mengabulkan permohonan peninjauan kembali ke II dari Pemohon Peninjauan Kembali ke


II: HENDRI PRASTOWO tersebut;

2. Membatalkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 86 PK/PDT/2015 tanggal 16 April 2015


juncto Putusan Mahkamah Agung Nomor 850 K/Pdt/2013 tanggal 20 November 2013;
Pada kasus ini, majelis hakim mengabulkan permohonan peninjauan kembali kedua pada
perkara Nomor 723 PK/Pdt/2016 Tanggal 25 Januari 2017 — Hendri Prastowo Vs Sendi
Bingei Purba Siboro, Dkk.

Discussion

Pada praktik yang penulis dapatkan pada beberapa kasus, peninjauan kembali kedua
jarang terjadi, namun bukan berarti upaya hukum istimewa ini tidak bisa dilakukan.
Pengajuan PK untuk kedua kali hakikatnya untuk “melenturkan, “mengakomodir”, dan
sebagai pemenuhan “keadilan” terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-
XI/2013 tanggal 6 Maret 2014 dimana disebutkan bahwa pembatasan PK boleh dilakukan
satu kali telah menutup ruang bagi terpenuhinya rasa keadilan. Selain itu, dengan
diperbolehkan permohonan PK dapat diajukan dua kali, hanya dapat dilakukan oleh pihak
berbeda dalam perkara yang belum melakukan PK dan PK kedua bersifat final dan mengikat,
hal ini telah memenuhi asas setiap perkara harus ada akhirnya (litis finiri oportet). Selain itu,
hal ini juga bersifat positif yaitu demi adanya keseragaman (uniformitas) dan kesatuan
(unifikasi) kemudian adanya dimensi “kepastian hukum yang adil” dan “kesetaraan
pemberian kesempatan mengajukan PK kepada para pihak”. 6 Oleh karena alasan alasan yang
telah disebutkan, pendapat tentang Peninjauan Kembali Kedua sangat tifak relevan dan
munutup mata keadilan sangat lah bertentangan dengan prinsip keadilan.

Pada studi kasus yang kami paparkan, putusan Mahkamah Agung No. 723
PK/Pdt/2016. Pengajuan permohonan peninjauan kembali kedua dikabulkan oleh majelis
hakim. Menurut majelis hakim syarat dan setiap komponen yang perlu dimasukkan dalam
pengajuan peninjauan kembali kedua sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku, adapun
proses yang harus dilalui adalah:

1. Adanya 2 (dua) putusan atau lebih yang saling bertentangan dan statusnya telah
inkracht atau berkekuatan hukum tetap, baik putusan Peninjauan Kembali dengan
Peninjauan Kembali maupun dengan bukan putusan Peninjauan Kembali
2. Menyangkut putusan perdata, pidana, Tata Usaha Negara, dan agama
3. Obyek perkara yang serupa
4. Ketua pengadilan menilai beralasan hukum dan dapat diterima atau tidak permohonan
Peninjauan Kembali kedua tersebut. Apabila tidak dapat diterima maka berkas
6
Mimbar Hukum Volume 29, Nomor 2, 2017, Permohonan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Kedua Kali
Berbasis Keadilan Dan Kepastian Hukum, Herri Swantoro, Efa Laela Fakhriah dan Isis Ikhwansyah, hlm. 199
perkara tidak dikirim ke Mahkamah Agung RI

Kesimpulan

Upaya hukum PK perkara perdata berbasis keadilan, penegakkan dan kepastian


hukum dalam rangka pembaruan Hukum Acara Perdata Nasional (Ius Constituendum) adalah
melalui PK Kedua kepada pihak berbeda dalam perkara yang belum melakukan PK dimana
PK ini bersifat final dan mengikat sehingga telah memenuhi asas setiap perkara harus ada
akhirnya (litis finiri oportet) yaitu demi adanya keseragaman (uniformitas), kesatuan
(unifikasi) dimensi kepastian hukum yang adil dan kesetaraan pemberian kesempatan
mengajukan PK kepada para pihak, PK hanya diperbolehkan terhadap putusan judex factie
dan pembatasan perkara melalui penerapan model kombinasi antara model prosedural dan
diskresional. Model ini diharapkan dapat meminimalisir penyalahgunaan diskresi mengingat
pihak yang melakukan seleksi perkara tidak memiliki kepentingan langsung terhadap perkara.

Penulis menyimpulkan bahwa permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan lebih


dari satu kali berdasarkan Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013. Konstitusi secara gamblang
menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum bukan negara yang berdasar atas
kekuasaan belaka. Putusan MK bersifat final and binding sehingga harus ditaati dan
dihormati oleh semua pihak. Lagi pula adanya SEMA No 7 Tahu 2014 tidak menyebabkan
Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 menjadi tida berlaku, dikarenakan SEMA tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat seperti sua Undang-Undang yang bersifat mengatur.
Selain itu Mahkamah Agung sudah mengikuti konstitusi dengan menerbitkan SEMA Nomor
4 TAHUN 2016 sebagai bentuk menerima adanya peninjauan kembali kedua.

Pada studi kasus yang kami paparkan sebelumnya, yaitu pada putusan Mahkamah
Agung No. 723 PK/Pdt/2016. Pengajuan permohonan peninjauan kembali kedua dikabulkan
oleh majelis hakim. Menurut majelsi hakim syarat dan setiap komponen yang perlu
dimasukkan dalam pengajuan peninjauan kembali kedua sudah sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Dengan demikian proses yang dilalui oleh pihak yang berpekara sudah sesuai,
adapun yang perlu diperhatikan ketika ingin mengajukan permohonan peninjauan kembali
kedua adalah sebagai berikut:

1. Adanya 2 (dua) putusan atau lebih yang saling bertentangan dan statusnya telah
inkracht atau berkekuatan hukum tetap, baik putusan Peninjauan Kembali dengan
Peninjauan Kembali maupun dengan bukan putusan Peninjauan Kembali
2. Menyangkut putusan perdata, pidana, Tata Usaha Negara, dan agama
3. Obyek perkara yang serupa
4. Ketua pengadilan menilai beralasan hukum dan dapat diterima atau tidak permohonan
Peninjauan Kembali kedua tersebut. Apabila tidak dapat diterima maka berkas
perkara tidak dikirim ke Mahkamah Agung RI

Ratio legis pembatasan upaya hukum PK perkara perdata hanya dapat dilakukan satu
kali demi mewujudkan kepastian hukum (rechtszekerheids) sebagai upaya pembentuk
Undang - Undang (kebijakan formulatif) dan peradilan sebagai penegak hukum (kebijakan
aplikatif) untuk menjaga, menegakan dan menjalankan ketentuan norma dalam Undang-
Undang. Aspek ini merupakan bagian penting dalam penegakan hukum yang bersifat formal
legalistik dan mengurangi beban Mahkamah Agung menghadapi penumpukan perkara
Peninjauan Kembali. Dimensi ini positif karena bagaimanapun setiap perkara harus ada
akhirnya (litis finiri oportet) demi adanya keseragaman (uniformitas) dan kesatuan
(unifikasi). Akan tetapi, di sisi lainnya secara substansial dan gradual akan menimbulkan
implikasi keadilan berupa kepastian hukum yang adil dan kesetaraan pemberian kesempatan
mengajukan Peninjauan Kembali kepada para pihak.

PK lebih dari satu kali telah sesuai dengan tujuan masyarakat untuk memperoleh
keadilan dalam penegakan hukum, karena dalam rangka mewujudkan keadilan dan
menemukan kebenaran materiil tidak dapat dibatasi oleh waktu, karena mungkin saja setelah
diajukannya PK dan diputus, ditemukan peristiwa yang menghasilkan keadaan baru (novum)
lagi, pada akhirnya saat novum terbukti dan hasil Peninjauan Kembali telah diputuskan maka
akan timbul suatu kepastian hukum. Oleh karena itu, meskipun Putusan MK No. 34/PUU-
XI/201 menimbulkan ketidakseimbangan, namun harus tetap dijalankan, karena Putusan MK
bersifat final dan mengikat (final and binding), final merupakan putusan pertama dan
terakhir, yang dapat dimaknai tidak ada lagi upaya hukum yang bisa ditempu sementara
mengikat artinya putusan MK itu langsung mengikat dan bersifat memaksa sehingga semua
penyelenggara kekuasaan Negara termasuk Mahkamah Agung terikat dan wajib
melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi dalam rangka memajukan hukum acara perdata
nasional.

Daftar Pustaka
Buku

Subekti, 1977, Hukum Acara Perdata, Binacipta, Bandung.

Jurnal

“Lembaga Kajian & Advokasi untuk Independensi Peradilan”, 2010, Pembatasan Perkara,
Leid dan NLRP, Jakarta.

Swantoro,Herri,. “Permohonan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Kedua Kali Berbasis


Keadilan Dan Kepastian Hukum“, Jurnal Mimbar Hukum, Vol 29, No. 2, 2017.

Swantoro,Heri, ”Permohonan Upaya Peninjauan Kembali Yang Berkeadilan Dan


Berkepastian Hukum Dalam Perkara Perdata “, Jurnal Litigasi : Vol. 18 (2), 2017.

Sitorus, Syahrul, Upaya Hukum Dalam Perkara Perdata, Medan.

Kolondam,Daniel, “Peninjauan Kembali Terhadap Putusan Mutlak Dalam Pratek Perkara


Perdata”, Vol. VI/No. 2/April/2018

Ghansham Anand Dan Fiska Silvia Raden Roro, “Problematika Upaya Peninjauan Kembali
Perkara Perdata Dalam Tata Hukum”, Vol.1 Januari –Juni 2015

Halomoan Hsb,Putra, “Tinjauan Yuridis Tentang Upaya-Upaya Hukum”, Jurnal IAIN


Padang

Peraturan

Undang - Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung

Undang - Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang - Undang Nomor
14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung

Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang - Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung

Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Pengajuan
Permohonan Peninjauan Kembali

Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Rumusan Hukum
Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksana Tugas Bagi
Pengadilan

Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Pengajuan
Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan
Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman
Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan

Artikel

“Peninjauan Kembali Kedua” https://pt-bandung.go.id/pk-kedua.html

“Menanggapi Adanya Permohonan Peninjauan Kembali (PK) Dari Lawan”


https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/12955/Menanggapi-Adanya-
Permohonan-Peninjauan-Kembali-PK-Dari-Lawan.html

Anda mungkin juga menyukai