Anda di halaman 1dari 3

Apakah pra peradilan dapat diajukan banding?

- Berdasarkan putusan MK Nomor 65/PUU-IX/2011 menyatakan bahwa pasal 83 ayat (2) KUHAP
bertentangan dengan UUD 45 dan tidak mempunyai keuatan hukum mengikat. Dalam hal ini
mengandung arti bahwa putusan praperadilan apapun tidak dapat dimintakan banding.
Sehingga, appabila ada putusan praperadilan tentang tidak sahnya penghentian penyidikan atau
tidak sahya penghentian penuntutan, maka tidak dapat dimintakan banding ke Pengadilan
Tinggi

Kapan putusan praperadilan dianggap incracht?

- Berdasarkan putusan MK pada jawaban sebeelumnya, maka putusan peradilan dianggap


incracht sejak ditetapkan oleh hakim praperadilan.

Apakah praperadilan dapat dilakukan PK?

- Perma 4/2016 pasal 3 ayat (1) praperadilan tidak bisa PK, tidak dapat diterima dengan
penetapan kepala PN

Isu :

Dalam praperadilan ada yang bisa ajukan banding, cari siapa yang banding dan dalam hal seperti apa?

Ada pihak2 dalam fase tertentu bisa mengajukan praperadilan

Menimbang bahwa menurut Mahkamah, untuk memperlakukan sama antara tersangka/terdakwa dan
penyidik serta penuntut umum dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP tersebut terdapat dua alternatif yaitu: (1)
memberikan hak kepada tersangka/terdakwa untuk mengajukan permohonan banding; atau (2)
menghapuskan hak penyidik dan penuntut umum untuk mengajukan permohonan banding. Menurut
Mahkamah, oleh karena filosofi diadakannya lembaga praperadilan sebagai peradilan yang cepat, untuk
memberikan perlakuan yang sama terhadap tersangka/terdakwa dan penyidik serta penuntut umum
maka yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 adalah pemberian hak banding kepada penyidik
dan penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP. Dengan meniadakan hak
banding kepada kedua pihak dimaksud maka pengujian konstitusionalitas Pasal 83 ayat (2) KUHAP
beralasan menurut hukum, sedangkan permohonan Pemohon mengenai pengujian konstitusionalitas
Pasal 83 ayat (1) KUHAP tidak beralasan menurut hukum;

Akan tetapi pada Pasal 83 ayat (2) KUHAP ada "pengecualiannya" yang diberikan, yang menjadi hak
istimewa penyidik. Pengecualian inilah yang jelas-jelas diskriminitif. Artinya ada "pengecualian" yaitu:
Apabila ada putusan hakim dalam perkara pra peradilan yang menetapkan "tidak sahnya penghentian
penyidikan atau penuntutan", untuk itu dapat dimintakan (oleh penyidik/JPU) putusan akhir ke
Pengadilan Tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan. Sedangkan apabila menurut penilaian hakim
pra peradilan, sah penghentian (yang dilakukan oleh penyidik tersebut) menurut pertimbangan dan
putusan hakim pra peradilan, maka pihak Pemohon tertutup kemungkinan untuk banding sesuai bunyi
Pasal 83 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP tersebut
setiap perkara yang dihentikan Penyidik/Penuntut Umum (selaku Termohon Pra peradilan) apabila
putusan Pengadilan Negeri menyatakan "Tidak Sah Penghentian'', maka pihak Penyidik/Penuntut Umum
dapat mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi sesuai Pasal 83 ayat (2) KUHAP, padahal pada Pada 83
ayat (1) setiap pihak Pemohon Pra peradilan sama sekali tidak bisa mengajukan Banding. Akan tetapi
Pasal 83 ayat (2) KUHAP tersebut "mengecualikan" Termohon Penyidik/Penuntut Umum) diberi hak
untuk banding ke Pengadilan Tinggi. Tentu saja hal ini "Diskriminatif” atas dasar adanya Pasal a quo
tersebut (Pasal 83 ayat (1) bila dikaitkan dengan Pasal 83 ayat (2) KUHAP)

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c12528d2415c/ma-pernah-kabulkan-pk-terhadap-
praperadilan?page=all

Praperadilan merupakan hal baru dalam dunia Peradilan Indonesia yang diperkenalkan oleh Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam kehidupan penegakkan hukum. Posisi
praperadilan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terdapat dalam Bab X bagian kesatu
serta yang memiliki yurisdiksi ialah Pengadilan Negeri. Praperadilan merupakan kewenangan yang
diberikan oleh undang-undang kepada hakim pengadilan negeri untuk melaksanakan fungsi-fungsi
penilaian terhadap beberapa hal, antara lain: 1) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau
penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; 2) sah
atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya
hukum dan keadilan; 3) permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya
atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan pada pengadilan.16 Namun, pada April
2015 Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan sebagian pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
21/PUU-XII/2014, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan objek praperadilan baru yaitu mengenai sah
atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Mahkamah Konstitusi menjadikan
penetapan tersangka sebagai salah satu objek praperadilan yang sebelumnya tidak diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 77 huruf (a) KitabUndang-Undang Hukum Acara
Pidana dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka,
penggeledahan dan penyitaan. Selain itu, Mahkamah konstitusi juga menyatakan bahwa Pasal 77 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai mencakup sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.
Dengan kata lain, penetapan tersangka setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai
sah atau tidaknya penetapan tersangka menjadi objek praperadilan, penggeledahan, penyitaan dan
pemeriksaan surat, setelah putusan Mahkamah Konstitusi masuk dalam ruang lingkup praperadilan.17
Perkembangan selanjutnya terjadi lagi perubahan dalam pelaksanaan praperadilan. Praperadilan yang
telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), didalamnya telah diberi
ketentuan mengenai kapan praperadilan itu dinyatakan gugur. Praperadilan gugur ketika perkara sudah
mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri, disaat pemeriksaan praperadilan belum selesai. Ketentuan
mengenai kapan gugurnya praperadilan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) ini diterapkan oleh para hakim tunggal di berbagai pemeriksaan praperadilan dengan
penafsiran masing-masing hakim tunggal tersebut.Terkait ketidakjelasan mengenai waktu gugurnya
praperadilan, pada tanggal 30 Juli 2015, Mantan Bupati Morotai, Rusli Sibua mengajukan permohonan
pengujian atas beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) termasuk
pasal mengenai gugurnya pemeriksaan praperadilan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945. Setelah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan nomor 102/PUU-XIII/2015,
maka perubahan baru dalam pelaksanaan praperadilan, yaitu praperadilan gugur ketika pokok perkara
telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama Pemohon.
Setelah keluarnya ketentuan mengenai waktu gugurnya praperadilan oleh Mahkamah Konstitusi, telah
tercipta suatu penegasan atas ketentuan dalam Pasal 82 ayat (1) huruf (d) Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP).

Anda mungkin juga menyukai