Anda di halaman 1dari 2

TUGAS HUKUM ACARA PIDANA

SOAL DAN PEMBAHASAN SEPUTAR HUKUM ACARA PIDANA

DISUSUN OLEH :
SAFRIDA MARZARIKA
NIM : 1874201269

1. Apakah yang dimaksud dengan jawaban tidak bebas terdakwa atau saksi atau
terdakwa atau saksi harus menjawab dengan bebas sebagaimana dalam Pasal
153 ayat (2) KUHAP?

Jawab :
yang dimaksud dengan saksi atau terdakwa harus menjawab dengan bebas adalah
terhadap mereka tidak dilakukan hal atau diajukan pernyataan yang mengakibatkan
terdakwa atau saksi memberikan jawab secara tidak bebas. Baik kepada terdakwa
maupun kepada saksi, tidak boleh dilakukan penekanan atau ancaman yang bisa
menimbulkan hilangnya kebebasan mereka memberikan keterangan. Bahkan
pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik terhadap terdakwa
maupun terhadap saksi.

2. Pihak yang berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi


adalah Penyidik Kejaksaan, Penyidik Kepolisian, dan Penyidik KPK. Apabila di
dala satu perkara yang sama dengan tersangka yang sama dalam waktu yang
bersamaan, masing-masing penyidik dimaksud melakukan penyidikan sendiri-
sendiri. Bagaimana keabsahan dari hasil penyidikan itu, siapakah penyidik yang
paling tepat melakukan penyidikan menurut perundang-undangan dan
ketentuan mana yang mengatur hal tersebut diatas. Jelaskan!

Jawab :
UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pejabat polisi negara RI
adalah bertindak sebagai penyelidik dan penyidik perkara pidana termasuk Tipikor.
Berdasarkan Pasal 30 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, kejaksaan berwenang
untuk melakukan penyidikan terhadap perkara tertentu. Kewenangan ini contohnya
adalah kewenangan yang diberikan oleh UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberatasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.
UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
mana kewenangan KPK adalah melakukan penyeidikan, penyidikan dan penuntutan
pada tindak pidana korupsi.
Dalam hal terjadi penyidikan yang bersamaan seperti sola diatas maka lembaga yang
paling berhak untuk melakukan penyidikan adalah Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam Pasal 50 ayat (4)disebutkan “dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan
oleh Kepolisian dan/atau Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan
yang dilakukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan tersebut segera dihentikan.” Dalam hal
ini berlaku asas “lex specialis derogat lex generalis”
3. Sistem pembuktian yang dianut dalam peradilan Indonesia adalah pembuktian
konvensional, yaitu Penuntut Umum harus membuktikan dakwaannya. Namun
secara undang-undang di Indonesia mengatur tentang pembuktian yang
sebaliknya (omkering van het bewijlast), seperti dalam perkara TIPIKOR dan
TPPU, yang mana dalam kedua perkara tersebut bukan Penuntut Umum yang
membuktikan, tetapi terdakwalah yang membuktikannya. Apakah omkering van
het bewijlast hanya diterapkan pada tahap penuntutan dan persidangan saja
atau berlaku sejak tahap penyidikan? Jelaskan!

Jawab :
Dalan tindak pidana korupsi beban pembuktian terbalik tidak hanya berlaku pada
proses penuntutan dan persidangan (vide pasal 38A), namun juga dalam proses
penyidikan. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 28 UU Tipikor, yang merumuskan untuk
kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberikan keterangan tentang seluruh
harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang
atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunya hubungan dengan
tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka.
Sedangkan dalam UU No. 8 Tahun 2010 tetang Tindak Pidana Pencucian Uang, beban
pembuktian terbalik hanya dapat dilakukan ketika proses pemeriksaan dimuka sidang
pengadilan, sesuai dengan ketentuan pasal 77 UU TPPU.

4. Dalam Pasal 263 KUHAP diatur tentang upaya hukum Peninjauan Kembali.
Dalam pasal tersebut tidak dikatakan bahwa JPU mempunyai hak untuk upaya
hukum ini. Namun dalam praktik peradilan sehari-hari JPU sering melakukan
Peninjauan Kembali dan diterima oleh Mahkamah Agung. Apa yang melandasi
Mahkamah Agung menerima upaya hukum ini? Jelaskan!

Jawab :
Dalam Pasal 23 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004, yang diubah oleh Pasal 24 UU No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menetukan “Terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pihak-pihak yang
bersangkutan dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-
undang”. Mahkamah Agung memberikan penafsiran bahwa yang dimaksud “pihak-
pihak yang berkepentingan dalam perkara pidana” selain terpidana atau ahli warisnya
dalah Jaksa. Inilah yang menjadi dasar Mahkamah Agung dalam praktik menerima
peninjauan kembali yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum walaupun dalam padal
263 KUHAP tidak diatur.

Anda mungkin juga menyukai