Anda di halaman 1dari 3

mengutip pendapat seorang sarjana bernama Volker F.

Krey yang pernah menggambarkan pendapatnya


tentang hal ini bahwa two areas of responsibility, menurut Volker dari penyidik atau kepolisian akan too
powerfull. Dia bilang, "too power and too dangerous," yaitu dimana polisi atau penyidik sebagai
berikut, "The police with its two areas of responsibility which are averting dangerous." Jadi, stop
criminals, ya, "Crime and prosecuting crimes would be powerfull and too dangerous to the
constitutional rights of citizen. If not for the prosecutors function as the guardian of the law," dan
kemudian, "The public prosecutor authority to issue directive to the police can help detective in cases of
political resistant against
certain criminal investigation within the police department." Itu kata-kata yang ahli kutip dari bukunya
Volker dan ada referensinya. Volker F. Krey menggambarkan hubungan penyidik dan penuntut umum di
Jerman, yakni penuntut umum memberikan petunjuk atau instruction pada penyidik dalam pemeriksaan
perkara pidana sebab penuntut umum sebagaimana di Perancis, tadi disampaikan juga oleh ahli tadi
dalam teleconference, Stephen Thaman tadi ahli mendengarkan sebentar, the guardian of the law, polisi
akan terlalu berkuasa bila polisi yang di satu sisi melakukan pengamanan dan di sisi lain sekaligus juga
yang prosecuting suatu kasus pada saat yang sama.

pentingnya terlapor dan korban mendapatkan SPDP. Menurut Mahkamah, terlapor yang telah
mendapatkan SPDP dapat mempersiapkan bahan-bahan pembelaan dan juga dapat menunjuk penasihat
hukum yang akan mendampinginya. Sedangkan bagi korban/pelapor, SPDP dapat dijadikan momentum
untuk mempersiapkan keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembangan penyidikan atas
laporannya.

“Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, dalil permohonan para pemohon bahwa
SPDP tersebut bersifat wajib adalah beralasan menurut hukum. Sifat wajib tersebut bukan hanya dalam
kaitannya dengan jaksa penuntut umum akan tetapi juga dalam kaitannya dengan terlapor dan
korban/pelapor. Adapun tentang batasan waktunya, paling lambat tujuh hari dipandang cukup bagi
penyidik untuk mempersiapkan/menyelesaikan hal tersebut,” jelasnya.

Bahwa ketika penyidikan tidak disertai dengan adanya SPDP, secara otomatis penyidikan akan berialan
tapa adanya Check and Balances dari penuntut umum dan tentunya bertentangan dengan pula dengan
prinsip transparansi penyidikan. Ketiadaan Check and Balance antara penyidik dan penuntut umum
dalam tahap penyidikan akan berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan penyidik dalam
melaksanakan kewenangannya. Penggunaan kewenangan penyidik yang tidak terkontrol adalah
bertentangan dengan nilai due process of law sebagai dasar criminal policy di KUHAP, karena salah
satu nilai yang terkandung dalam due process of law ialah adanya konsep pembatasan wewenang secara
formal, yang dimaksudkan agar dalam setiap proses peradilan harus dikendalikan agar dapat dicegah
penggunaannya sampai pada titik optimum, karena kekuasaan cenderung disalahgunakan atau memiliki
potensi untuk menempatkan individu pada kekuasaan yang koersif dari negara.

bahwa SPDP tersebut bersifat wajib beralasan menurut hukum. Sifat wajib tersebut bukan hanya dalam
kaitannya dengan jaksa penuntut umum, akan tetapi juga dalam kaitannya dengan terlapor dan
korban/pelapor. Pemberlakuan Putusan MK tersebut bersifat mengikat bagi penyidik Kepolisian.
Putusan MK ini memberikan kewajiban kepada pihak penyidik ataupun pihak Kepolisian untuk
menghormati keputusan MK dengan berupaya meningkatkan koordinasi dengan Kejaksaan Agung,
terutama untuk kasus-kasus yang menyita perhatian publik dan membutuhkan penanganan khusus.
Pihak Kepolisian tidak mempermasalahkan putusan MK tersebut, dengan adanya putusan mengenai
batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan atau SPDP dalam 7 hari, maka
pihak Kepolisian telah terbuka dan transparan dalam penyidikan, terutama berkoordinasi dengan jaksa
melalui SPDP. Meskipun telah terdapat putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari
2017, dimana didalamnya memuat mengenai kewajiban bagi penyidik untuk menyampaikan SPDP
kepada penuntut umum, pelapor dan terlapor dalam jangka waktu paling lambat 7 hari setelah terbitnya
surat perintah penyidikan, akan tetapi masih ditemukan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan
oleh penyidik terhadap putusan MK tersebut. Bahwa terhadap tidak dikirimnya SPDP dan BAP/Berita
Acara Pemeriksaan Tersangka kepada terlapor/tersangka pada prinsipnya tidaklah dapat menggugurkan
penetapan status tersangka, mengingat sampai saat ini belum ada konsekuensi hukum atas tidak
diberikannya SPDP dan BAP Tersangka kepada terlapor yang bermuara pada dapat menggugurkan
penetapan tersangka, maka permohonan pemohon haruslah ditolak.

Dalam pasal 184 KUHAP ditambah dengan bukti elektronik sebagai petunjuk mengacu pada Pasal 26 A
yang berbunyi “Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188
ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak
pidana korupsi juga dapat diperoleh dari : a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan,
dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b.
dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang
dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik
apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.”

Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 3 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

3. Dalam salah satu teknik Pemeriksaan terhadap Saksi atau Tersangka dalam penyidikan Tindak Pidana
Korupsi adalah penyidik wajib menguasai materi yang kongkrit dan sistematis sesuai urutan
peristiwanya terutama mengenai peristiwa hukum tindak pidana korupsi yang telah terjadi, guna
memperoleh peristiwa hukum tindak pidana korupsi (strafbaar feit).
Pertanyaaan : apa saja langkah dan satrategi yang akan dilakukan penyidik dalam rangka menguasai
materi peristiwa hukum tindak pidana korupsi dalam pemeriksaan Saksi dan Tersangka?
Penyidik harus menguasai permasalahan atau materi peristiwa hukum tindak pidana korupsi,yaitu
a. Karena dengan ada hal ini secara psikologis penyidik akan menguasai saksi bukan
sebaliknya
b. Usahakan penyidik menguasai bahasa teknis di bidang yang disidik misalnya di Tindak
Pidana Korupsi wajib menguasai ilmu yang berkaitan dengan Korupsi atau di perbankan
mengusai terminologi ilmu perbankan, maka upayakan banyak memahami ilmu
pengetahuan
Dalam hal penyidik memperoleh materi dari hasil keterangan saksi lain maka pertanyaan disesuaikan
untuk pembuktian, bila saksi yang diperiksa memiliki keahlian dalam bidang tertentu maka usahakan
penyidik sudah mendapat informasi mengenai keahliannya misalnya jurnal korupsi dan lain-lain.

Dalam penyidikan terdapat upaya paksa yang dilakukan Penyidik sesuai dengan hukum acara
pidana, salah satu upaya paksa Penyidk adalah melakukan penahanan terhadap Tersangka. Pertanyaan:
apa syarat-syarat yang diatur dalam hukum acara pidana mengenai hal diatas (sebutkan secara
lengkap dengan dasar hukumnya?), apa saja kewajiban Penyidik setelah melakukan penahanan
kepada Tersangka, apakah penahanan Tersangka mempunyai hubungan hukum dengan pembuktian
perbuatan Tersangka ?
Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut
umum atau hakim dengan penetapannya dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP
(Pasal 1 butir 21 KUHAP). Berdasarkan Pasal 1 butir 21 KUHAP dapat diketahui bahwa yang berhak
untuk melakukan penahanan adalah penyidik, penuntut umum dan hakim (pada pengadilan negeri,
pengadilan tinggi, mahkamah agung). Kedua, KUHAP No. 8 Tahun 1981 telah menentukan berbagai
persyaratan pelaksanaan penahanan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dan penahanan
maupun kesalahan dalam melaksanakan penahanan, baik kesalahan dalam prosedur terlebih-lebih
kesalahan yang sifatnya “human error” yang akan menimbulkan kerugian moril dan materil baik bagi
diri pribadi maupun keluarga tersangka apalagi bila akhirnya tidak terbukti bersalah atau kesalahannya
tidak sepadan dengan penderitaan yang telah dialaminya.
Syarat subyektif (pasal 21 ayat (1) KUHAP)
Syarat Objektif (Pasal 21 ayat (4) KUHAP)
5. ada dimodul

Anda mungkin juga menyukai