1. Penangkapan Yang berwenang melakukan penangkapan adalah Penyidik ( Pasal 6 KUHAP ) Penyidik Pembantu (polisi minimal Serda, PNS minimal Pengatur Muda/Gol IIa) Penyelidik atas perintah penyidik Melakukan penangkapan merupakan salah satu wewenang dari penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 7 KUHAP. Penangkapan (Pasal 1 butir 20) adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang Undang ini. Jadi penangkapan tidak begitu saja dapat melakukan tanpa adnya dasar alasan / syarat- syarat tertentu. Hal ini di rasakan penting karena menyangkut hak – hak asasi manusia, yang apabla dilakukan secara tidak tepat, tidak beralasan dan tidak sah akan menimbulkan akibat hukum berupa praperadilan tentang sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan yang dapat diajukan oleh tersangka atau keluarganya. Pasal 17 KUHAP dikatakan bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Berdasarkan ketentuan tersebut maka syarat / alasan dilakukannya penangkapan adalah : 1. Tersangka diduga keras melakukan tindak pidana 2. Dugaan yang kuat didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Pengertian bukti permulaan yang cukup menurut teori dan praktek hukum masih merupakan pengertian yang kabur. Nampaknya pembuat undang undang menyerahkan aepenuhnya kepada penilaian penyidik, yang sedikit banyak akan membawa kekurangpastian dalam praktek hukum. Penjelasan Pasal 17 dikatakan, bukti permulaan berarti bukti awal sebagai dasar untuk menduga adanya tindak pidana. 3. Harus didasarkan untuk kepentingan pemeriksaan. Dengan adanya syarat – syarat tersebut maka perintah penangkapan tidak dapat dilakukan secara sewenang – wenang, agar tidak melanggar hak asasi manusia. Apalagi bila dilakukan terhadap orang yang tidak bersalah. 2. Penahanan. Berdasarkan Pasal 1 butir 21 KUHAP yang berwenang melakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa adalah : 1. Penyidik (juga penyidik pembantu atas perintah penyidik) 2. Penuntut umum 3. Hakim Jadi melakukan tindakan penahanan merupakan salah satu wewenang dari penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 7 (1) sub D. Penahanan (Pasal 1 butir 21 KUHAP) adalah peneMpatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum yang diatur dalam undang – undang ini adalah: 1. Dasar dan Alasan Penahanan. a. Landasan Yuridis. Ini merupakan dasar hukum karena undang undang sendiri telah menentukan pasal-pasal kejahatan mana dapat diperlakukan penahanan. Tidak semua tindak pidana dapat dilakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa. Dasar hukum yakni Pasal 21 ayat (4) bahwa penahanan hanya dapat dikenakan terhadap sangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberi bantuan dalam hal : 1. Tidak pidana yang diancam dengan penjara lima tahun atau lebih. Jadi bila kejahatan itu diancam pidana dibawah lima tahun secara obyektif tersangka atau terdakwa tidak diperbolehkan untuk dikenakan tahanan. Pada umumnya kejahatan yang diancam dengan ancaman lima tahun keatas ialah kejahatan pembunuhan yang diatur mulai Pasal 338 dan seterusnya. 2. Pengecualian dari ketentuan umum diatas yakni penahanan juga dapat dikenakan terhadap pelaku tindak pidana khusus sekalipun ancaman hukumannya kurang dari 5 tahun. Kemungkinan – kemungknan alasannya didasarkan pada pertimbangan bahwa pasal-pasal tindak pidana ini dianggap sangat mempengaruhi kepentingan ketertiban masyarakat pada umumnya, serta ancaman terhadap keselamatan benda orang pada khususnya. b. Landasan Untuk Keperluan Unsur ini menitik beratkan pada keperluan penahanan itu sendiri yang penilaiannya ditinjau dari subyektivitas si tersangka. Hal ini ditentukan dalam Pasal 21 (1) yakni penilaian dalam hal : 1. Tersangka / terdakwa dikhawatirkan akan melarikan diri. 2. Tersangka / terdakwa dikhawatirkan akan merusak / menghilangkan barang bukti. 3. Tersangka / terdakwa dikhawatirkan akan mengulangi tindak pidana. c. Dipenuhinya Syarat Pasal 21 (1) yakni : Tersangka / terdakwa diduga keras sebagai pelaku tindak pidana yang bersangkutan. Dugaan itu didasarkan pada bukti yang cukup kalau melihat redaksi pasal yang terdapat dalam hal penangkapan harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Sedang pada penahanan didasarkan pada bukti yang cukup. Dengan demikian syarat bukti pada penahanan lebih tinggi kualitasnya. Bukti yang cukup dalam hal ini tetap berpatokan pada batas minimum pembuktian yang dapat diajukan nanti di muka siding pengadilan, sesuai dengan alat – alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP. 3. Penggeledahan. Untuk kpentingan penyidkan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam Undang Undang ini(Pasal 32 KUHAP). Dari pengertian diatas, antara penahanan dan penggeledahan terdapat perbedaan. Kalau dalam tindakan penahanan, masing-masing instansi penegak hukum dalam semua tingkat pemeriksaan berwenang melakukan penahanan,maka pada penggeledahan lain halnya, tidak semua instansi penegak hukum mempunyai wewenang melakukan penggeledahan. Wewenang penggeledahan semata-mata hanya diberikan kepada instansi “penyidik”. Jadi hanya ada pada tangan penyidik, baik dia penyidik polri maupun penyidik pegawai negeri sipil. Dalam tindak pidana umum, penuntut umum tidak mempunyai wewenang untuk menggeledah.Dmikian juga hakim pada semua tingkat peradilan tidak mempunyai wewenang ini. Pengecualiannya adalah dalam tindak pidana khusus, misalnya korupsi,subversi,tindak pidana ekonomi,maka wewenang penggeledahan ini diberikan kepada penuntut umum.Dalam melakukan penggeledahan, penyidik harus mendapat surat izin Ketua pengadilan negeri setempat. Pada pelaksanaannya, penggeledahan harus disaksikan oleh dua orang saksi (dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya), sedangkan dalam hal tersangka atau penghuni menolak diadakannya penggeledahan maka dua orang saksi tersebut ditambah dengan kesaksian kepala desa atau ketua lingkunan. Pada penjelasan Pasal 33 ayat (2), jika yang melakukan penggeledahan rumah itu bukan penyidik sendiri, maka petugas kepolisian lainnya harus dapat menunjukkan selain surat izin ketua pengadilan negeri juga surat perintah tertulis dari penyidik.Ketentuan surat izin ini sedikit banyak akan merupakan hambatan bagi tugas-tugas penyelidikan, mengingat sulitnya dan jauhnya hubungan satu wilayah dengan tempat kedudukan pengadilan negeri, khususnya bagi sektor kepolisian yang jauh di pedalaman. Hal ini mungkin terjadi dengan hilangnya jejak dan bukti-bukti, sebelum izin penggelesahan ada ditangan penyidik. Misalnya, penyidik pembantu pada suatu daerah terpencil telah mengetahui dengan pasti bahwa tersangka sedang berada dalam rumah kediamannya. Sementara ia harus meminta izin dulu yang harus ditempuh dengan jalan kaki selama dua atau tiga hari. Jalan keluar yang dapat dilakukan adalah permintaan secara lisan melalui telepon, radiogram,SSB,dan lain-lain. Jika hal itu tidak dapat, maka dapat digunakan Pasal 34 KUHAP bahwa penggeledahan dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak. Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5), penyidik dapat melakukan penggeledahan: (a) pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada diatasnya; (b) pada setiap tempat tempatlain tersangka bertempat tinggal atau belum ada; (c) di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya; (d) ditempat penginapan dan tempat umum lainnya (Pasal 14 ayat 1 KUHAP). Penjelasan pasal 34 ayat (1) berbunyi :”keadaan yang sangat perlu dan mendesak” ialah bilamana ditempat yang akan digeledah diduga keras terdapat tersangka atau terdakwa yang patut dikhawatirkan segera melarikan diri atau mengulangi tindak pidana atau benda yang dapat disita dikhawatirkan segera dimusnahkan atau dipindah tangankan sedangkan surat izin dari ketua pengadilan negeri tidak mungkin diperoleh dengan cara yang layak dan dalam waktu yang singkat. Namun demikian, harus diperhatikan bahwa ukuran keadaan yang sangat perlu dan mendesak ini bisa jadi berbeda antara penyidik dengan ketua pengadilan negeri. Oleh karena itu, ada kemungkinan ketua pengadilan negeri tidak menyetujui penggeledahan tersebut. Hal ini dimungkinkan agar ketua pengadilan negeri tidak hanya sekedar stempel dan kemudian menyetujui, melainkan juga mengawasi apakah penggeledahan tersebut sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kecuali dalam hal tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan memasuki: (a) ruang dimana sedang berlangsung siding Majelis Perwakilan Rakyat Daerah; (b) tempat dimana sedang berlangsung ibadah dan atau upacara keagamaan; (c) ruang dimana sedang berlangsung siding pengadilan (Pasal 35 KUHAP). 4. Penyitaan Berbeda dengan tujuan penggeledahan, tujuan penyitaan dimaksudkan untuk kepentingan penyelidikan atau utuk pemeriksaan penyidikan. Lain halnyaa dengan penyitaan, di mana tujuannya ialah untuk kepentingan “pembuktian”, terutama ditujukan sebagai barang bukti, perkaranya tidak dapat diajukan kemuka sidang pengadilan. Oleh karena itu, agar perkara tadi lengkap dengan barang bukti, penyidik melakukan tindakan penyitaan guna dipergunakan sebagai bukti dalam penyelidikan, dalam tingkat penuntutan, dan tingkat pemeriksaan persidangan pengadilan. Kadang-kadang barang yang disita tersebut bukan milik tersangka. Adakalnya barang orang lain yang dikuasainya secara melawan hukum, seperti dalam perkara pidana pencurian. Atau memang barang tersangka, tapi yang diperolehnya tanpa izin yang sah menurut perundang-undangan, seperti dalam tindak pidana ekonomi atau tindak pidana korupsi dan penyelundupan. Adapun ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai benda yang dapat disita. Hal tersebut diatur dalam Pasal 39 KUHAP. Setelah semua proses yang diperlukan ditingkat penyidikan selesai, penyidik melimpahkan berkas perkara, tersangka, dan barang bukti ke pihak kejaksaan (penuntut umum). Hal ini tertuang dalam Pasal 8 KUHAP ayat (1) penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 75 dengan tidak mengurangi ketentuan lain dalam undang-undang ini. Ayat (2), penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Ayat (3), penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan: 1. Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara; 2. Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum. RESUME