Anda di halaman 1dari 12

2.2.

PENYELIDIKAN, LANGKAH AWAL, PENEGAKAN HUKUM

Dalam rangka penegakan hukum oleh subsistem kepolisian, KUHAP mengatur fungsinya
dalam 2 (dua) tahap, yakni tahap penyelidikan dan tahap penyidikan. Berkaitan dengan
judul di atas pengertian normatif tentang penyelidikan diatur dalam pasal 1 butir 5
KUHAP yang bunyinya sebagai berikut :

"Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan


suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau
tidaknya dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini."

Rumusan di atas menggambarkan bahwa penyelidikan dilakukan atas nama hukum,


sehingga untuk meneliti lebih lanjut apakah suatu peristiwa---tentu saja peristiwa yang
terjadi diperoleh melalui sumber-sumber informasi---merupakan peristiwa yang dapat
dikualifikasi sebagai suatu peristiwa yang melanggar hukum pidana atau tidak, dan jika
ya akan diteruskan pada tingkat penyidikan, dan jika tidak maka penyelidikan terhadap
peristiwa itu ditutup atau dihentikan.

Istilah penyelidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata selidik,
artinya memata-matai, mengintai, memeriksa dengan teliti, mengusut dengan cermat,
pelacakan dan seterusnya, berarti tindakan atau langkah-langkah yang ditempuh
dilakukan secara diam-diam, dilakukan secara sembunyi-sembunyi, atau secar tertutup,
tidak perlu diketahui orang lain, akan tetapi mesti disadari betul bahwa langkah-langkah
yang ditempuh atau dilakukan itu haruslah atas nama hukum, harus normatif, ada
norma yang mengatur, ada prosedur yang harus dituruti, ada ketentuan yang harus
dipatuhi, yakni apa yang telah diatur dalam KUHAP.

Dalam doktrin Hukum Acara Pidana fungsi penyelidikan diartikan sebagai pemeriksaan
permulaan (vooronderzoek), pada dasarnya sistem pemeriksaan yang dipakai dalam
konteks ini adalah inquisitoir system (pemeriksaan dengan sistem tertutup), akan tetapi
KUHAP telah mengatur lebih terbuka dengan sebutan sistem pemeriksaan inkuisitoir
yang diperlunak, ada juga para sarjana yang menyebut dengan sistem accusatoir
terbatas (sistem terbuka yang terbatas), kedua-duanya bermakna sama.

Melakukan penyelidikan---menurut hukum---berarti ada yang perlu diselidiki, ada yang


harus ditemukan, yakni segala sesuatu yang dapat memberikan informasi secara pasti
kepada penyelidik bahwa suatu peristiwa yang terjadi adalah peristiwa pidana. Oleh
karena itu tujuan penyelidikan adalah mengumpulkan segala bahan yang diperlukan,
antara lain berupa keterangan-keterangan, alat-alat bukti dan barang bukti yang
diperoleh secara tidak bertentangan dengan hukum, termasuk---jika peristiwa itu
pelanggaran hukum---menemukan pelakunya.
Bagi seorang penyelidik dalam melakukan penyelidikan timbul pertanyaan apakah sudah
cukup hanya memahami dengan baik aturan hukum---KUHAP dan KUHP--- termasuk
perundang-undangan hukum pidana lainnya? Dengan tegas Satjipto Rahardjo melalui
hukum progresifnya mengatakan tidak cukup, penyelidik harus mampu menggali dan
mewujudkan nilai-nilai hukum yang bermuara kepada sebuah keadilan substantif,
keadilan yang sungguh-sungguh, bukan sekedar yang terurai dalam rentetan pasal-pasal
hukum pidana, melainkan keadilan yang ada dalam hati sanubari setiap manusia yang
beradab.

Dengan apa yang ditegaskan oleh ahli hukum di atas, maka agar penyelidikan berjalan
baik dan memberikan hasil sebagaimana diharapkan, penyelidik harus mampu
memahami dengan sebaik-baiknya betapa pentingnya peranan sumber informasi untuk
memulai penyelidikan, melalui sumber-sumber informasi---terutama laporan atau
pengaduan---penyelidik dapat mengidentifikasi peristiwa yang terjadi. Itulah sebabnya
penyelidik dituntut dan sangat perlu berbekal apa yang disebut dengan hulp
wetenschappen agar mampu menelaah segala sesuatu yang ditemukan---sekecil apapun
itu---di lapangan guna kepentingan identifikasi peristiwa dimaksud, melalui penyelidikan
dapat terungkap segala sesuatu yang ada di sekitar peristiwa itu, dalam teknik investigasi
disebut dengan istilah "SiaDi DeMen mengejar BaBi", yakni berupa singkatan dari : Siapa
yang melakukan, di mana dilakukan, dengan apa dilakukan, mengapa dilakukan,
bagaimana dilakukan serta bilamana dilakukan.

Secara khusus sangat urgent untuk ditelaah permasalahan hukum yang dialami pihak
yang dirugikan, tentang apakah peristiwa yang terjadi itu masuk wilayah perdata atau
sudah berada dalam ranah pidana. Ketelitian yang seksama, penilaian yang objektif,
analisis yang tepat, langkah-langkah prosedural yang dimulai pada tahap penyelidikan
merupakan langkah awal suksesnya pelaksanaan fungsi penegakan hukum oleh
kepolisian, karena pada subsistem kepolisian-lah terletak beban utama untuk
mewujudkan penegakan hukum yang baik, adil, benar dan berwibawa.

Selanjutnya, sebutan penyelidik dan penyelidikan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal


1 butir 4 dan 5 KUHAP telah dihapuskan dari ketentuan Pasal 1 RUU KUHAP, dengan
perkataan lain RUU KUHAP tidak lagi mengenal sebutan penyelidik dan penyelidikan.
Apa saja yang menjadi alasan dihapuskannya sebutan penyelidik dan penyelidikan dapat
dilihat dari Penjelasan Umum RUU KUHAP yang menyebutkan bahwa :
"Ketentuan mengenai penyelidikan, disesuaikan dengan perkembangan hukum,
terutama berkaitan dengan penyelesaian perkara atas pelanggaran hak asasi manusia.
Kewenangan penyelidikan tidak hanya dilakukan oleh pejabat kepolisian, melainkan
juga pegawai negeri atau orang tertentu, misalnya pejabat Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia."

Berdasarkan penjelasan di atas maka pengertian penyelidik dan penyelidikan diperluas


tidak hanya sebagai domain kepolisian lagi, melainkan juga mencakup pegawai negeri
atau orang tertentu. Oleh karena penyelidikan tidak lagi bagian dari KUHAP
menimbulkan konsekuensi yuridis bahwa penyelidikan tidak lagi termasuk dalam
tindakan penegakan hukum normatif, melainkan menjadi bagian dari taktik dan strategi
kepolisian di bidang intelijen apakah demikian, kita menunggu reformasi struktural
subsistem kepolisian.

2.3. PENYIDIKAN, TAHAP II FUNGSI SUBSISTEM KEPOLISIAN

Pasal 1 Butir 2 KUHAP merumuskan pengertian penyidikan yang berbunyi sebagai


berikut :
"Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya."

Pada prinsipnya penyidikan tidak dapat dipisahkan dengan penyelidikan dengan


perkataan lain bahwa penyidikan dilaksanakan setelah hasil penyelidikan---tentu saja
melalui bukti permulaan yang cukup (minimum bukti)---menyimpulkan bahwa peristiwa
yang terjadi adalah peristiwa pidana, artinya proses penegakan hukum penyidikan
dimulai dan dilaksanakan berdasarkan ketentuan hukum yang mengaturnya.

Tujuan utama penyidikan adalah mencari dan mendapatkan kebenaran materiil melalui
upaya-upaya pengumpulan bukti-bukti sebagaimana diperlukan untuk dilimpahkan
kepada penuntut umum, segala upaya yang dilakukan bermuara kepada pemberkasan
perkara secara utuh, diikuti oleh penyerahan barang bukti dan tersangkanya. Suatu hal
yang sangat krusial untuk menjadi perhatian adalah ketentuan dalam Pasal 109 ayat (1)
KUHAP yang menyebutkan bahwa : semenjak dilakukan Penyidikan, maka penyidik
wajib membuat SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) kepada penuntut
umum.

Lebih khusus lagi ada kewajiban normatif bagi penegak hukum kepolisian agar
membuat Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) kepada Pelapor
atau pengadu, sebagaimana diuraikan oleh Nur Muhammad Wahyu Kuncoro dalam
bukunya "Jangan Panik Terjerat Kasus Hukum" menyebutkan bahwa waktu pemberian
SP2HP pada tahap penyelidikan adalah :
a. Untuk kasus ringan dan mudah dengan waktu penyelidikan 14 (empat belas) hari,
pengiriman SP2HP paling lambat pada hari terakhir pelaksanaan penyelidikan;
b. Untuk kasus sulit dengan waktu penyelidikan 30 (tiga puluh) hari, pengiriman SP2HP
dilaksanakan pada hari ke-15 dan ke-30. Sedangkan waktu pemberian SP2HP pada
tahap penyidikan adalah :
• Kasus ringan, diberikan pada hari ke-10, hari ke-20 dan hari ke-30;
• Kasus sedang, pada hari ke-15, hari ke-30, hari ke-45 dan hari ke-60;
• Kasus sulit, pada hari ke-15, hari ke-30, hari ke-45, hari ke-60, hari ke-75 dan hari ke-
90;
• Kasus sangat sulit, hari ke-20, hari ke-40, hari ke-60, hari ke-80, hari ke-100 dan hari
ke-120;
• Tahap penyelesaian dihitung pada saat penyerahan berkas perkara yang pertama.

Setiap penyelidik atau penyidik mengeluarkan SP2HP wajib menandatanganinya


sebelum diberikan kepada pelapor atau pengadu, selanjutnya salinan atau tembusan
yang sama harus disampaikan kepada atasannya.

Prosedural administrasi yuridis demikian inilah yang harus diketahui setiap pelapor atau
pengadu untuk kemudian menjadi dasar pelapor atau pengadu memantau
perkembangan pemeriksaan penyelidikan atau penyidikan, prosedural ini sekaligus dapat
dianggap sebagai fungsi kontrol dari masyarakat umum, khususnya pihak yang
dirugikan. Memang harus dilihat secara objektif betapa beratnya tugas penyidik dalam
menyusun berkas perkara, segala sesuatu dituntut sempurna sementara untuk
menemukan fakta-fakta yang dicari tidaklah mudah.

Suatu fakta yang masih sering terjadi adalah keengganan penyidik untuk menutup atau
menghentikan suatu penyidikan, artinya masih sangat jarang penyidik dengan gamblang
untuk menerbitkan SP3. Memang KUHAP tidak mengatur jangka waktu kapan
penyidikan dihentikan atau ditutup, sekarang ini justru ada pemahaman bahwa
penyidikan terhadap suatu tindak pidana tetap berlangsung terus sampai ditemukan
bukti permulaan yang cukup atau sampai terselesaikan berkas perkara atas kasus
tersebut. Entah kapan.

Ke depan harus dikaji lagi apakah lebih menguntungkan bagi penegakan hukum untuk
menetapkan adanya batas waktu kapan suatu penyidikan dihentikan, sebab penyidikan
yang berlarut-larut di samping akan sangat membosankan bagi penyidik---karena masih
banyak kasus lain yang menunggu disidik---juga tidak memberikan kepastian hukum
bagi tersangka, korban atau pihak ketiga yang dirugikan, kasus yang berlarut-larut
penyelesaiannya pun sangat tidak menguntungkan bagi masyarakat yang selalu
menunggu, bahkan selalu menuntut keberhasilan penyidik dalam setiap lini penegakan
hukum, memang tugas penyidik sungguh berat, butuh segala sesuatu yang dapat
mendukung keberhasilannya.

Dalam Pasal 1 butir 1 RUU KUHAP pengertian penyidik dirumuskan berbeda, dari Pasal 1
butir 1 KUHAP, dalam RUU dikatakan bahwa :
"Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari kebenaran materiel
dengan cara mengumpulkan bukti-bukti yang dengan bukti tersebut menjadikan terang
tindak pidana yang terjadi dan menentukan tersangkanya."

Dari kedua rumusan terlihat jelas ada perbedaan penggunaan istilah yakni kalimat
"rangkaian tindakan penyidik adalah untuk mencari kebenaran materiil", artinya
kebenaran yang sesungguhnya, kebenaran yang tidak lain dari yang sebenarnya, artinya
tujuan penyidikan itu yang lebih diutamakan, sangat berbeda dengan rumusan Pasal 1
butir 2 KUHAP yang lebih menitikberatkan rumusan pada aspek prosedural---dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini---yang notabene tidak akan
mampu mengikuti perkembangan hukum.

Kedua, Pasal 1 butir 1 RUU KUHAP menggantikan kata "menemukan" tersangkanya


menjadi "menentukan" tersangkanya. Dua penggunaan istilah atau sebutan yang sangat
berbeda arti dan maknanya. Penggunaan perkataan menemukan tersangkanya,
menggambarkan bahwa tersangka belum tertangkap atau belum ditemukan, berarti
fungsi penyidikan belum sempurna, kondisi riil peristiwa dimaksud masih berada dalam
ranah penyelidikan, sangat berbeda dengan penggunaan istilah menentukan
tersangkanya, berarti yang dicurigai sebagai tersangka sudah ada dalam catatan atau
konklusi penyidik, tinggal menentukan Siapa yang menjadi tersangka---berdasarkan
data-data yang telah diperoleh kepolisian (baca: penyidik)---dari tindak pidana tersebut.
Penggunaan istilah menentukan tersangka lebih nyata mewujudkan kepastian hukum
dibandingkan dengan kata menemukan tersangka yang notabene masih tergolong
gelap atau kabur, bahkan karena tidak ditemukan pelaku, peristiwa itu bisa masuk
dalam sebutan dark number. Perubahan penggunaan istilah tersebut merupakan suatu
langkah baik sebagai usaha menyempurnakan KUHAP.

2.4. HULP WETENSCHAPPEN

Dalam kriminologi dikenal suatu adagium yang mengatakan apabila ilmu pengetahuan
dan teknologi maju selangkah, maka selangkah pula kejahatan pasti mengikutinya.
Perkataan ini menggambarkan dengan pasti bahwa yang namanya kejahatan selalu
berkembang, baik jumlahnya (kuantitas) maupun derajatnya (kualitas), bahkan bentuk-
bentuk kejahatan pun semakin beragam. Di kala belum ada mesiu tidak ada kejahatan
yang menggunakan senjata api, di kala pesawat terbang belum ada tentu belum ada
kejahatan pembajakan udara, dan seterusnya. Inilah fakta bahwa kejahatan memang
selalu hadir dalam kehidupan manusia dan terus hadir mengikuti perkembangan zaman.

Seiring dengan kenyataan dimaksud, para penegak hukum pun dituntut harus mampu
mengikuti, memahami, menyikapi bahkan mengantisipasi perkembangan itu agar tugas
menanggulangi kejahatan dapat terlaksana semaksimal mungkin. Mengapa dikatakan
semaksimal mungkin karena kejahatan tidak mungkin dapat dilenyapkan dari kehidupan
manusia. Kejahatan mengiringi perjalanan hidup manusia, kejahatan setiap saat selalu
mengikuti dinamika kehidupan ini, artinya segala upaya yang dilakukan dalam
menanggulangi kejahatan semata-mata hanya untuk mengeliminir serendah mungkin
terjadinya kejahatan.

Statistik kejahatan selalu bergerak di antara kuantitas dan kualitas, pada suatu ketika
bisa terjadi seiring sejalan, namun bisa juga berbanding terbalik, bahkan bentuk-bentuk
kejahatan dengan segala modus operandi yang beragam pula akan semakin menambah
beban penegak hukum. Upaya penanggulangan kejahatan pun sudah pasti semakin
berat, proses penyelesaiannya pun kian rumit dan multi-kompleks, sudah pasti menuntut
kemampuan ekstra agar penegak hukum dikatakan berhasil melaksanakan tugasnya,
sebab bagaimana pun beratnya tantangan yang harus dihadapi, betapa pun rumitnya
modus operandi kejahatan yang terjadi, betapa pun sulitnya menemukan bukti-bukti
kejahatan harus dihadapi dan ditanggulangi semaksimal mungkin, termasuk
menanggung segala resiko, termasuk segala bentuk resiko yang akan timbul
kemudiannya.

Mengapa tantangan dalam menanggulangi kejahatan semakin kompleks, bisa terjadi


karena faktor eksternal, antara lain bisa berupa seberapa jauh tingkat kerumitan kasus
yang terjadi, seberapa jauh kesulitan yang dihadapi dalam mendapatkan fakta,
menemukan alat bukti dari suatu peristiwa yang terjadi, seberapa lengkapnya
ketersediaan sarana dan prasarana pendukung yang dibutuhkan dalam upaya mencari
dan menemukan kebenaran materiil, termasuk pelaku kejahatan yang sudah semakin
pandai merancang suatu operasi kejahatan agar tidak terlacak oleh penegak hukum,
misalnya pelaku pembunuhan sudah makin banyak yang memutilasi korbannya dengan
maksud agar sulit dilacak oleh penegak hukum sendiri, sedangkan faktor internalnya
yakni faktor yang ada di dalam diri penegak hukum itu sendiri, salah satunya berupa
faktor skill (keterampilan) personil penegak hukum yang bersangkutan, artinya seberapa
jauh ia memiliki kemampuan lidik dan sidik dalam menghadapi tindak pidana yang
terjadi, di sini ia diperhadapkan pada berbagai macam tipe penjahat serta bentuk
kejahatan yang dilakukan.

Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi secara pasti


mempengaruhi kehidupan manusia ke arah yang semakin modern---tentu saja demi
pemenuhan kebutuhannya masing-masing---membuat batas-batas kejahatan tidak lagi
jelas, dalam kriminologi dikatakan bahwa kejahatan sekarang ini bukan lgai bersifat
linear, sehingga upaya penanggulangan pun tidak lagi linear, untuk menemukan bukti-
bukti permulaan saja---terlebih-lebih ke depan nanti---sudah pasti semakin sulit dan
rumit, penyelidik dan penyidik dalam mencari dan mendapatkan bukti-bukti permulaan
yang cukup saja sudah bagaikan mencari sebutir pasir di lumbung padi. Oleh karena itu
upaya mencari dan mendapatkan kebenaran materiil mutlak dibutuhkan berbagai
kemampuan, antara lain memiliki dan menguasai berbagai ilmu pengetahuan pembantu
dalam Hukum Acara Pidana yang disebut sebagai hulp wetenschappen, yaitu penegak
hukum---khusus penyelidik dan penyidik---yang dituntut memahami, menguasai serta
mampu menerapkan ilmu-ilmu pembantu tersebut dalam menanggulangi kejahatan.
Disebut ilmu-ilmu pembantu karena Hukum Acara Pidana merupakan hukum proses
yang berisi aturan-aturan tentang "bagaimana cara" melaksanakan hukum pidana
materiil itu agar dapat berjalan baik, artinya Hukum Acara Pidana membutuhkan Hukum
Acara Materiil agar suatu perbuatan pidana dapat diproses. Hukum Acara Pidana juga
membutuhkan logika agar proses pemeriksaan berjalan sesuai akal berpikir yang benar,
Hukum Acara Pidana membutuhkan kriminologi untuk mengetahui sebab-sebab
terjadinya kejahatan serta bagaimana upaya penanggulangannya, juga membutuhkan
Kriminalistik agar dapat memahami lebih mendalam peran bukti-bukti mati, Hukum
Acara Pidana juga membutuhkan psikologi untuk mengetahui bagaimana kejiwaan
seseorang pelaku tindak pidana, dan seterusnya, dengan perkataan lain dapat
disimpulkan bahwa pada prinsipnya hampir semua cabang ilmu dibutuhkan oleh Hukum
Acara Pidana agar tujuan akhir penegakan hukum, yakni ditemukannya kebenaran
materiil terwujud sebagaimana diharapkan.

Apa yang telah diuraikan di atas merupakan kenyataan yang mewarnai kehidupan
manusia, kesulitan serta tantangan akan semakin bertambah jika penegak hukum
diperhadapkan kepada tembok-tembok yang tidak menghendaki tegaknya hukum dan
kebenaran, mereka ini disebut kaum status quo atau dari kelompok penjahat yang tidak
menghendaki terciptanya tertib hukum dan tertib masyarakat. Dalam dinamika
kehidupan manusia semenjak dahulu sampai sekarang dan di masa mendatang pun
yang namanya hukum abadi dari kehidupan ini akan selalu hadir, yakni sikap pro dan
kontra umat manusia terhadap sesuatu, apapun itu, termasuk terhadap upaya-upaya
penanggulangan kejahatan, antara lain reaksi-reaksi yang timbul bisa berupa counter
attack dari para pelaku kejahatan profesional atau organisasi kejahatan (professional
crime) atau berupa perlawanan tersembunyi (diam-diam) dari para penjahat berdasi
atau para kriminogen struktural atau pihak-pihak yang memiliki hidden agenda, oleh
karena itu memahami dan menguasai berbagai ilmu-ilmu lainnya yang relevan
merupakan suatu kebutuhan primer yang harus dimiliki setiap penegak hukum,
terutama para penyelidik maupun penyidik, agar jangan sampai terucap dan terjadi lagi
anekdot yang mengatakan bahwa kriminogen lebih berkualitas dibanding penegak
hukum, terutama kriminogen-kriminogen berdasi atau kriminogen struktural atau
mereka yang disebut white collar criminal, para penyidik pun siap menjawab dengan
filosofi kerja harus tuntas yang bersandar pada optimistik dan percaya diri, artinya
bahwa pada akhirnya kejahatan dapat dikalahkan dan para penjahat pasti
mempertanggungjawabkan perbuatannya, sebuah adagium hukum mengatakan " ubi te
invenid, ibi de punid" yang diadaptasi sebagai semboyan penegak hukum yang tidak
kenal menyerah dalam menghadapi penjahat, katanya sampai ke ujung dunia sekalipun
engkau akan kukejar memang demikianlah seharusnya penegak hukum yang
berkomitmen terhadap fungsi, tugas dan sumpahnya.

Di bawah ini disebutkan beberapa ilmu-ilmu pembantu bagi Hukum Acara Pidana
sebagaimana terlihat dalam bagan berikut ini :

2.5. BETAPA PENTINGNYA SUMBER-SUMBER INFORMASI


Institusi kepolisian yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan fungsi
penyelidikan/penyidikan tidak secara otomatis langsung dapat bekerja tanpa didahului
adanya pengetahuan tentang telah terjadi atau akan terjadi suatu tindak pidana, bahkan
sekalipun pengetahuan tentang telah atau akan terjadi suatu tindak pidana sudah
dimiliki, masih harus didahului pengambilan langkah-langkah atau tindakan
pendahuluan (penyelidikan) dengan maksud untuk menentukan apakah peristiwa yang
terjadi itu dapat dilanjutkan ke tingkat penyidikan atau tidak, dengan perkataan lain
bahwa langkah-langkah penyidikan baru dapat dilakukan jika ada bukti permulaan yang
cukup.

Pengetahuan tentang telah atau akan terjadinya suatu tindak pidana diperoleh dari apa
yang disebut sumber-sumber informasi, baik berupa laporan, pengaduan, atau
tertangkap tangan. Namun, secara teoritis sumber-sumber informasi tidak terbatas
hanya pada tiga faktor tersebut di atas, justru sebenarnya sumber-sumber informasi
sangat luas dan tiada batas, intinya tinggal bagaimana penegak hukum Kepolisian
mampu memperolehnya untuk kemudian diolah dan dikaji secara tepat, benar,
substantif dan prosedural.

Sumber-sumber informasi dimaksud antara lain mulai dari hal-hal yang sepele seperti
keterangan saksi de auditu sampai dengan informasi-informasi yang sifatnya rumit dan
tersembunyi. Misalnya informasi yang diperoleh dari kata-kata sandi, kata-kata kias, atau
informasi yang ditemukan dari jaringan-jaringan kejahatan sampai kepada hal-hal lain
yang tersembunyi atau dengan sengaja disembunyikan oleh pihak-pihak tertentu karena
sudah bersifat tindak pidana, semuanya itu dapat dijadikan sebagai sumber informasi
bagi kepolisian selaku aparat penegak hukum terdepan.

Kemampuan penegak hukum untuk memaksimalkan sumber-sumber informasi


merupakan langkah awal yang sangat penting dan strategis, sangat bernilai untuk dapat
dipergunakan mengantisipasi sesuatu peristiwa, sesuatu keadaan, situasi, atau gejala-
gejala apapun yang memiliki potensi terjadinya tindak pidana.

Pada subsistem kepolisian sering terdengar adanya seseorang yang berstatus informan,
yakni orang atau beberapa orang yang sengaja dibina, dilatih untuk ditugasi
memberikan informasi tentang suatu hal yang berkaitan dengan tindak pidana. Orang
seperti ini dapat direkrut dari mana saja (tentu harus selektif), yang bersedia untuk
menjadi sumber informasi dengan status informan. Orang seperti ini bisa permanen dan
bisa temporer.

Dalam teori hukum pidana dikenal sebutan agent provocateur, yang diartikan sebagai
seseorang yang sengaja disusupkan ke dalam kelompok tertentu, ke dalam organisasi
tertentu yang dicurigai sebagai kelompok pelanggar hukum, atau kelompok penjahat
(organized crime). Apapun bentuknya, bagaimanapun proses terjadinya dapatlah
dikatakan bahwa sumber-sumber informasi itu sangat tidak terhingga, demikian juga
cakupan dan info yang diperoleh juga tidak terbatas, tinggal saja bagaimana penegak
hukum mampu mengolah, menganalisa segala informasi yang diperoleh untuk dapat
digunakan secara maksimal dalam menanggulangi kejahatan (baik dalam fungsi
preventif maupun dalam fungsi represif).

Di negara-negara maju menyusupkan seseorang atau beberapa orang ke dalam suatu


organisasi kejahatan bukanlah suatu hal yang baru, terlebih-lebih karena bentuk dan
kejahatan sekarang ini sudah semakin intelek dan beragam. Bagaimana di Indonesia
apakah model seperti ini dapat dilakukan? Secara normatif tidak diperbolehkan
seseorang anggota menjadi agen provocateur, status demikian tidak dikenal dalam
hukum pidana kita, namun secara operasional tidak tertutup adanya kemungkinan itu,
dan jika betul ada tentu bukan lagi wilayah Hukum Acara Pidana, melainkan sudah
masuk bagian dari konsep taktis, teknik dan strategi investigasi yang kurang jelas apakah
itu salah menurut hukum? Ataukah dibenarkan menurut keperluan dan kebutuhan
penegakan hukum, termasuk di sini perlindungan hukum? Memang benar kata orang-
orang bijak bahwa tidak semua fenomena kehidupan bisa diatur secara normatif, ada
hal-hal yang memang harus dibuat gelap atau memang sudah gelap supaya tetap
dibiarkan gelap. Namun apapun itu, yang namanya wilayah taktik dan strategi
cenderung goal-nya yang lebih diutamakan dibandingkan proses dan prosedur, harapan
akhirnya adalah penegakan hukum akan bermuara kepada tujuan hukum itu sendiri.

Sebagai sumber informasi, maka setiap info yang diperoleh tidak mutlak benar, bisa saja
info itu hampir benar, atau mungkin benar atau mungkin justru suatu suatu info yang
diragukan kebenarannya atau suatu kebohongan besar. Oleh karena itu segala info yang
diperoleh masih harus diperiksa, diteliti ulang (check and recheck) agar info itu berdaya
guna dan berhasil guna. Dalam dunia kejahatan pun ada yang disebut kontra-informasi,
yakni suatu aksi atau reaksi dari pihak tertentu untuk membuat suatu info tandingan
terhadap suatu info agar menjadi kabur, biasanya kontra info akan saling berseliweran
dengan info, saling menimpa, bersebelahan, disebut juga sebagai informasi palsu,
karenanya dibutuhkan kehati-hatian dari penerima informasi, dalam hal ini pihak
penyelidik atau penyidik.

Perlu disadari bahwa tidak semua info yang diperoleh penyelidik atau penyidik sudah
matang, lengkap, final dan siap proses semata-mata, justru sangat banyak info yang
masuk kepada mereka yang masih mentah, sumir, prematur, maka kembali di sini sangat
diperlukan ilmu-ilmu pembantu dalam Hukum Acara Pidana.

Dalam dunia kejahatan---terutama kelompok kejahatan yang sudah terorganisir---selalu


ada konsep atau rencana kerja dalam aksi kejahatannya, termasuk upaya-upaya
penyelamatan diri atau kelompoknya, disebut dengan anekdot "taktik dan strategi kaum
penjahat", itulah sebabnya dalam dunia kejahatan yang sudah terorganisir sulit bagi
anggota-anggotanya untuk bertobat, pertobatan bagi mereka adalah suatu
pengkhianatan terhadap organisasi, sungguh ironis memang namun demikian adanya.
Dari berbagai kemungkinan di atas, maka sesungguhnya sumber-sumber informasi
sangat dibutuhkan dalam dunia penegakan hukum, namun sangat diperlukan
kecermatan, kehati-hatian, ketelitian. Demikian juga untuk mengangkat seseorang
menjadi informan harus memenuhi kriteria khusus, antara lain sejauh mana kemampuan
informan itu mengemban fungsi dan perannya sesuai dengan harapan yang
membutuhkan---penyelidik dan penyidik---dan syarat utama dan mutlak harus dipenuhi
seorang informan adalah loyalitasnya (tidak berfungsi ganda), cerdas, serta harus
mampu untuk tidak populer.

2.6. LAPORAN DAN PENGADUAN

Dalam kehidupan sehari-hari masih banyak anggota masyarakat kurang memahami


manfaat daripada melapor dan/atau mengadu, bahkan kurang memahami perbedaan
antara laporan dan pengaduan, yang terpenting bagi seseorang adalah bahwa ia sudah
memberitahukan suatu peristiwa kepada penegak hukum (kepolisian), dan tidak
tertutup kemungkinan pula bahwa oknum penegak hukum kepolisian pun kurang bisa
membedakan kedua istilah itu, sebagai pembanding, di kepolisian hanya ada blanko
laporan polisi, padahal bjsa terjadi bahwa si pelapor sebenarnya adalah pengadu.
Penyebutan seperti di atas secara administratif tidak terlalu salah, karena penggunaan
kedua istilah itu bermuara kepada terjadinya peristiwa pidana, namun sekalipun
masalahnya bukan tentang logika-logika yuridis, tidaklah baik untuk dibiarkan
berlangsung terus, sebab dalam rangka pelayanan kepolisian terhadap masyarakat perlu
ditumbuh-kembangkan pembelajaran hukum agar setiap orang---sebagai warga
negara---semakin tahu hak dan kewajibannya.

Pasal 1 butir 24 KUHAP telah merumuskan pengertian normatif tentang laporan yakni :

"Pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak dan kewajiban berdasarkan
undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau
diduga akan terjadinya peristiwa pidana."

Dari rumusan di atas terlihat jelas bahwa laporan diartikan sebagai hak sekaligus
kewajiban, artinya melapor dapat dikatakan sebagai hak, dan dapat juga disebut
sebagai kewajiban. Rumusan ini menimbulkan problema dalam praktik, jika diartikan
sebagai hak, maka bisa saja seseorang melepaskan haknya, sehingga pada suatu ketika
orang tersebut tidak melapor, dan karena itu sebagai hak, maka sah-sah saja jika tidak
mempergunakannya, berbeda jika laporan diartikan sebagai kewajiban, maka melapor
menjadi suatu keharusan bagi seseorang, artinya jika seorang tidak mengemban
kewajiban untuk melapor maka terhadapnya dapat dikenakan sanksi.

Masih dapat dipahami jika pembentuk undang-undang merumuskan laporan sebagai


hak sekaligus kewajiban, dapat dimaknai agar laporan memiliki elastisitas yang bisa
berfungsi menurut kebutuhan, namun kurang mempertimbangkan bagaimana
kepastian hukum laporan sebagai hak sekaligus kewajiban pada tahap aplikasi.

Sedangkan pengaduan diatur dalam Pasal 1 butir 25 KUHAP yang rumusannya sebagai
berikut :

"Pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat


yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan
tindak pidana aduan yang merugikannya."

Di sini pengaduan diartikan sebagai permintaan, memberi makna secara ekstrim


permintaan bisa saja ditolak, dan seandainya ditolak, apakah memang diperbolehkan
hukum? Alangkah indahnya jika pengaduan dapat dipahami sebagai hak, agar aspek
perlindungan hukum terhadap pengadu lebih nyata, soal apakah isi pengaduan itu
beralasan atau benar, diketahui dari proses pemeriksaan selanjutnya. Pemahaman
bahwa pengaduan lebih bersifat individu sehingga domain pribadi untuk menentukan
sikap lebih diprioritaskan. Hal ini memberi pemahaman bahwa perlindungan hukum
kepada pengadu sangat lemah. Baik pengaduan maupun laporan merupakan suatu
reaksi dari seseorang yang bermuara pada pemberitahuan telah atau akan terjadi suatu
tindak pidana, dan itulah substansi yang harus disikapi hukum dan penegak hukum.
Laporan memiliki aspek penegakan hukum sedangkan pengaduan mengandung aspek
perlindungan hukum yang harus disadari bahwa kedua-duanya adalah dua sisi mata
uang yang harus dilindungi oleh hukum dan sekaligus diemban penegak hukum.

Berbicara tentang laporan, maka setiap orang dapat melakukannya, sebab itu jika
seseorang melihat, mendengar atau mengetahui suatu peristiwa---terlebih-lebih jika
peristiwa itu berupa tindak pidana, bahkan sebelum terjadi pun---ia wajib
memberitahukan hal itu kepada penegak hukum kepolisian. Sikap anggota masyarakat
yang mau melaporkan sesuatu peristiwa kepada polisi adalah sisi positif dari seseorang
sebagai warga negara yang baik, sikap demikian ini seyogianya dimiliki oleh seluruh
masyarakat, termasuk penegak hukum kepolisian sebagai penerima laporan.

Dalam kenyataan hidup masih cukup banyak orang yang melihat, mendengar, dan
mengetahui telah atau akan terjadinya suatu tindak pidana, namun orang itu cenderung
bersikap pasif dan cenderung memilih untuk tidak melapor kepada yang berwajib.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Ada kalanya ditemukan alasan yang bersifat dilemmatis,
yakni dengan melapor seseorang akan menjadi repot atau direpotkan, makna perkataan
"takut repot" bisa terjadi karena kurangnya kesadaran bernegara, berbangsa, dan
bermasyarakat, atau kurangnya kesadaran berhukum, bahkan bisa terjadi karena sifat
egoisme yang berlebihan, namun tidak tertutup juga sikap demikian berasal dari
pengalaman-pengalaman sebelumnya mempengaruhi seseorang untuk bersikap tidak
mau mengemban kewajiban melaporkan sesuatu apa yang dilihat, didengar dan dialami
dari suatu peristiwa yang terjadi.
Secara normatif, seseorang yang tidak mau melaporkan suatu kejadian adalah
pelanggaran hukum, namun dalam praktik kehidupan sehari-hari sungguh sangat
problematis, bagaimana jika kewajiban itu dilakukan dan bagaimana pula jika kewajiban
itu tidak dilakukan, tidak ada konsekuensi hukum yang tegas tentang itu, sebab bisa saja
seseorang melihat tapi mengatakan tidak melihat, atau seseorang ada mendengar tetapi
mengatakan tidak mendengar, atau seseorang mengetahui suatu peristiwa "pidana"
tetapi mengatakan tidak mengetahuinya, bahkan lebih ekstrim lagi yaitu boleh jadi
seseorang mengalami sendiri suatu peristiwa pidana---ia sendiri sebagai korban---akan
tetapi tidak mau melapor, memang sungguh sulit membuktikan apakah seseorang tahu
atau tidak tahu bahwa ada terjadi suatu peristiwa pidana.

Demikian juga tentang pengaduan, di sini si pengadu merupakan korban atau pihak
yang menderita kerugian akibat perbuatan orang yang diadukan itu. Di satu pihak---
banyak terjadi---sekalipun seseorang itu dirugikan oleh perbuatan orang lain (pihak yang
diadukan) toh juga yang bersangkutan tidak mau mengadu, mengapa demikian? Ini
juga merupakan suatu dilemma bagi penyidik.

Laporan (aangifte) maupun pengaduan (aanklacht) merupakan 2 (dua) sumber


informasi utama, alangkah idealnya jika masyarakat semakin menyadari betapa
pentingnya memberikan informasi kepada polisi agar dengan secepat mungkin pula
dapat mengambil langkah-langkah dan tindakan yang diperlukan, baik berupa tindakan
preventif maupun tindakan represif, ke depan diharapkan masyarakat semakin proaktif
memberikan informasi.

Mengapa masih banyak anggota masyarakat enggan melapor atau mengadu? Sangat
mungkin terdorong oleh perhitungan untung rugi, artinya apa untung-ruginya jika
melapor dan pula resiko jika tidak melapor, atau mungkin ada faktor-faktor lain yang
mempengaruhi sikap keengganan anggota masyarakat untuk melapor atau mengadu.
Guna mengetahui hal ini perlu kajian lebih mendalam agar ditemukan jawaban yang
paling tepat mengapa demikian, sekaligus mencari jalan keluar demi meningkatkan
partisipasi aktif masyarakat dalam upaya penanggulangan kejahatan.

Anda mungkin juga menyukai