PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah merupakan anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa, yang
merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan manusia.
Biasanya tanah dugunakan sebagai tempat tinggal dan untuk mata
pencaharian, entah itu untuk berkebun maupun untuk pertanian. Tidak ada
kegiatan orang yang tidak membetuhkan tanah.1 Sehubungan dengan itu,
penyediaan, peruntukkan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaannya
perlu diatur agar terjamin kepastian hukum dalam penguasaan dan
pemanfaatannya serta sekaligus terselenggaranya perlindungan hukum bagi
masyarakat, terutama golongan petani dengan tetap mempertahankan
kelestariannya.
Indonesia merupakan salah satu negara agraris yang penduduknya
sebagian besar memiliki mata pencaharian dibidang pertanian baik sebagai
petani, pemilik tanah, petani penggarap tanah maupun sebagai buruh tani.
Tanah juga merupakan salah satu faktor produksi yang sangat vital bagi
kehidupan manusia dan pembangunan suatu bangsa. Karena pentingnya
tanah, maka perlu diatur keberadaannya agar tidak dikuasai secara besar-
besaran oleh sebagian pihak saja.
Sejak Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17
Agustus 1945, kemudian disusul dengan lahirnya UUD 1945 pada tanggal
18 Agustus 1945, memberikan landasan bagi pemerintah untuk membentuk
hukum agraria nasional, yang dituangkan dalam Pasal 33 ayat (3) yang
menentukan:
“Bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat.”
1 Tampil Anshari Siregar, Mempertahankan Hak Atas Tanah, (Medan: Multi Grafik Medan, 2005),
hlm.2
Pada awalnya untuk pertanahan, Indonesia memberlakukan dualisme
hukum pertanahan, yaitu hukum kolonial Belanda dan Hukum Adat bagi
penduduk asli. Sampai pada tanggal 24 September 1960, Indonesia sendiri
akhirnya telah memiliki peraturan khusus yang mengatur tentang pertanahan
yaitu Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (UUPA).2 Meskipun undang-undang merupakan peraturan
yang dibuat pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), tetapi mengingat sifatnya sebagai peraturan dasar, dalam untdang-
undang tersebut hanya mengenai dasar-dasar dan garis besarnya saja.3
Namun meskipun begitu, dengan diundangkannya UUPA tersebut menjadi
fundamental pada hukum agraria Indonesia, yang dengan menghilangkan
dualisme hukum pertanahan tersebut. Sejak saat itu pula terjadi unifikasi di
bidang hukum tanah, anatara Hukum Tanah adat dengan Hukum Tanah
Barat dengan menghapuskan atau menyatakan tidak belaku lagi peraturan-
peraturan hukum tanah lama dan menyatakan berlakunya hukum tanah
nasional.
Dalam usianya yang mencapai 59 tahun, ada beberapa permasalahan
di bidang pertanahan, diantaranya adalah fungsi sosial tanah (Pasal 6), batas
minimum kepemilikan tanah (Pasal 7), pemilikan tanah Absentee atau
guntai (Pasal 10), monopoli pemilikan tanah (Pasal 13), dan penetapan ganti
rugi tanah untuk kepentingan umum (Pasal 18). Hal-hal ini memicu
berbagai bentuk konflik pertanahan secara langsung maupun tidak, yang
tidak mudah diselesaikan.4
Salah satu aspek hukum penting diundangkannya UUPA adalah
dicanangkannya Program Landreform di Indonesia yang bertujuan untuk
merombak mengenai kepemilikan tanah dan penguasaan tanah serta
hubungan-hubungan yang berkaitan dengan penguasaan tanah.
Jika dilihat dari undang-undang tersebut, terlihat bahwa rakyat
mempunyai kekuatan hukum untuk memperjuangkan haknya atas,
5
M. Arba, Hukum Agraria Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), 188
itu akan diambil oleh pemerintah dan selanjutnya dibagikan kepada para
petani yang belum memiliki tanah pertanian.
Dalam kehidupan sehari-hari, meskipun dilarang, pemilikan hak atas
tanah absentee yang diperoleh dari peristiwa hukum banyak dijumpai di
masyarakat. Kepemilikan tanah pertanian secara absentee dapat saja terjadi
apabila perolehannya dari peristiwa pewarisan, dimana ahli waris bertempat
tinggal diluar letak wilayah kecamatan tempat tanah waris tersebut. Apabila
seseorang memiliki hak atas tanah pertanian diluar kecamatan dimana ia
bertempat tinggal yang diperolehnya dari warisan, maka dalam jangka
waktu satu tahun sejak pewaris meninggal dunia, jika ahli waris tidak
mengelola tanah tersebut maka harus dialihkan kepada orang lain sesuai
dengan yang telah diamanatkan undang-undang.
Sehubungan dengan permasalahan tersebut maka kami tertarik untuk
membahas tentang “LARANGAN KEPEMILIKAN TANAH SECARA
ABSENTEE/GUNTAI”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan pokok
masalah untuk dijadikan fokus utama dalam pembahasan ini, diantaranya:
1. Apa pengertian, maksud dan tujuan dari larangan memiliki tanah
absentee?
2. Apa dasar hukum larangan pemilikan tanah secara absentee serta apa
pengecualiannya?
3. Bagaimana perlindungan hukum kepemilikan tanah absentee yang
diperoleh akibat warisan?
D. Kerangka Teori
1. Teori Kepastian Hukum
Timbulnya larangan kepemilikan tanah secara absentee, secara
filosofis merupakan suatu perlindungan hukum terhadap kepentingan
masyarakat yang relatif lemah jika berhadapan dengan pemodal besar di
bidang tanah. Perlindungan inilah yang diimplentasikan dalam UUPA.
Sebagai patokan untuk melakukan perombakan pemilikan tanah telah
dikeluarkan Undang-undang Landreform yang menetapkan luas
maksimum tanah pertanian yang bisa dimiliki seseorang. Patokan ini juga
menjadi parameter untuk menentukan luas tanah yang bisa dimiliki
secara absentee. Untuk mengendalikan restrukturisasi kepemilikan tanah
pertanian kepada orang yang memiliki kelebihan tanah pertanian dilarang
mengalihkan secara langsung kepada pihak lain dengan ancaman pidana.6
Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah telah mengeluarkan
peraturan diantaranya :
a. Undang-undang nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas
Tanah Pertanian
b. Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan
Pembagian Tanah Pemberian Ganti Kerugian yang juga dikenal
dengan Peraturan Redistribusi
c. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan
Tambahan PP Nomor 224 Tahun 1961 Pelaksanaan Pembagian
Tanah Pemberian Ganti Kerugian
d. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan
Tanah Pertanian secara Absentee (guntai) bagi Pensiunan Pegawai
Negeri.
e. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan
Nasional
f. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1974 tentang
Pedoman Tindak Lanjut Pelaksanaan Landreform.
Walaupun Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 membahas
tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian
namun salah satu yang diatur adalah larangan kepemilikan tanah secara
absentee/guntai. Mengenai tanah absentee dikatakan bahwa “pemilik
tanah pertanian yang bertempat tinggal diluar kecamatan tempat
letaknya tanah wajib mengalihkan tanahnya kepada pihak lain, atau
pemilik tanah pidah ke tempat tanah tersebut berada”
6
Undang-undang Nomor 56 Prp 1960 tetang Penetapan Luas Tanah Pertanian Pasal 10 jo
Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 Pasal 19
2. Teori Fungsionalisme yang Struktural
Dalam teori ini diterangkan bahwa dimana masyarakat dilihat
sebagai sesuatu yang harmonis, tanpa terdapatnya masalah. Hal ini
disebabkan karena kebanyakan masyarakat seolah-olah tidak bergeming
dan menghiraukan dengan kepemilikan tanah absentee/guntai serta
keberadaan peraturan pelarangan tanah secara guntai. Masyarakat seakan
menganggap tidak terjadi apa-apa atas semua masalah yang berkaitan
dengan tanah absentee. Oleh karena itu, dalam suasana seperti ini hukum
dapat berperan mengendalikan ketertiban dalam masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
7
I nyoman Budi Jaya, Op.Cit, hal: 11
2) Mengadakan pembagian yang adil atas sumber-sumber
penghidupan rakyat tani berupa tanah dengan maksud agar
ada pembagian hasil yang adil
c. Tujuan Mental Psikologis
1) Meningkatkan kegairahan kerja bagi para petani penggarap
dengan jalan memberikan hak mengenai pemilikan tanah
2) Memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dengan
penggarapnya.
A. Kesimpulan
1. Pasal 10 UUPA merupakan dasar dari larangan pemilikan tanah secara
absentee/guntai di Indonesia dan diatur lewat aturan pelaksanaannya
PP No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan
Pemberian Ganti Kerugian (telah diubah dan ditambah dengan PP No.
41 Tahun 1964). Dalam peraturan tersebut menunjukkan adanya
pelarangan atas pemilikan tanah secara absentee/guntai. Namun tetap
ada pengecualian menyangkut pemilikan tanah secara absentee/guntai
yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
2. Peristiwa hukum pewarisan menyebabkan ahli waris memiliki harta
warisan yang berupah tanah secara absentee. Perlindungan hukum
bagi ahli waris pemilik hak atas tanah yang bertempat tinggal di luar
daerah diberikan oleh peraturan perundangan-undangan dengan syarat
ahli waris benar-benar ahli waris dari pemilik tanah absentee, serta
ahli waris tersebut akan menggarap tanah pertaniannya. Apabila ahli
waris tidak mengusahakan atau menggarap tanah absentee
sebagaimana mestinya maka tidak ada perlindungan hukum bagi ahli
waris tersebut.
B. Saran
1. Ketentuan-ketentuan larangan pemilikan tanah absentee/guntai yang
ada pada saat ini masih perlu ditinjau ulang agar dapat disesuaikan
dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat saat ini. Perlu untuk
dipertimbangkan mengenai jarak antara domisili pemilik tanah dan
letak tanah mengingat kemajuan teknologi transpotasi, jarak anar
kecamatan sudah bukan suatu hambatan terhadap efektifitas dan
produktivitas secara optimal tanah pertanian dapat diolah
2. Pemerintah sudah lama memiliki peraturan mengenai pemilkan tanah
secara absentee. Tetapi tetap saja masih banyak ditemukan
pelanggaran terhadap aturan perundang-undangan. Untuk itu
diperlukan kerjasama dari semua pihak baik masyarakat dan lembaga
yang berwenang sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan bagi
seluruh rakyat Indonesia.
3. Hendaknya ketentuan sanksi terhadap pelanggaran larangan pemilikan
tanah absente/guntai diperaharui dan disesuaikan dengan
perkembangan kemajuan pembangunan sekarang ini, dan
pelaksanaannya agar lebih dipertegas. Karena dari segi materiil,
keeluruhan peraturan yang mengatur tentang larangan pemilikan tanah
absentee ini adalah produk pada tahun 1960-an, sehingga pemikiran-
pemikiran saat itu pada kenyataannya sudah tidak sesuai lagi dengan
kondisi dan kebutuhan masyarakat saat ini.