Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tanah merupakan anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa, yang
merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan manusia.
Biasanya tanah dugunakan sebagai tempat tinggal dan untuk mata
pencaharian, entah itu untuk berkebun maupun untuk pertanian. Tidak ada
kegiatan orang yang tidak membetuhkan tanah.1 Sehubungan dengan itu,
penyediaan, peruntukkan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaannya
perlu diatur agar terjamin kepastian hukum dalam penguasaan dan
pemanfaatannya serta sekaligus terselenggaranya perlindungan hukum bagi
masyarakat, terutama golongan petani dengan tetap mempertahankan
kelestariannya.
Indonesia merupakan salah satu negara agraris yang penduduknya
sebagian besar memiliki mata pencaharian dibidang pertanian baik sebagai
petani, pemilik tanah, petani penggarap tanah maupun sebagai buruh tani.
Tanah juga merupakan salah satu faktor produksi yang sangat vital bagi
kehidupan manusia dan pembangunan suatu bangsa. Karena pentingnya
tanah, maka perlu diatur keberadaannya agar tidak dikuasai secara besar-
besaran oleh sebagian pihak saja.
Sejak Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17
Agustus 1945, kemudian disusul dengan lahirnya UUD 1945 pada tanggal
18 Agustus 1945, memberikan landasan bagi pemerintah untuk membentuk
hukum agraria nasional, yang dituangkan dalam Pasal 33 ayat (3) yang
menentukan:
“Bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat.”

1 Tampil Anshari Siregar, Mempertahankan Hak Atas Tanah, (Medan: Multi Grafik Medan, 2005),
hlm.2
Pada awalnya untuk pertanahan, Indonesia memberlakukan dualisme
hukum pertanahan, yaitu hukum kolonial Belanda dan Hukum Adat bagi
penduduk asli. Sampai pada tanggal 24 September 1960, Indonesia sendiri
akhirnya telah memiliki peraturan khusus yang mengatur tentang pertanahan
yaitu Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (UUPA).2 Meskipun undang-undang merupakan peraturan
yang dibuat pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), tetapi mengingat sifatnya sebagai peraturan dasar, dalam untdang-
undang tersebut hanya mengenai dasar-dasar dan garis besarnya saja.3
Namun meskipun begitu, dengan diundangkannya UUPA tersebut menjadi
fundamental pada hukum agraria Indonesia, yang dengan menghilangkan
dualisme hukum pertanahan tersebut. Sejak saat itu pula terjadi unifikasi di
bidang hukum tanah, anatara Hukum Tanah adat dengan Hukum Tanah
Barat dengan menghapuskan atau menyatakan tidak belaku lagi peraturan-
peraturan hukum tanah lama dan menyatakan berlakunya hukum tanah
nasional.
Dalam usianya yang mencapai 59 tahun, ada beberapa permasalahan
di bidang pertanahan, diantaranya adalah fungsi sosial tanah (Pasal 6), batas
minimum kepemilikan tanah (Pasal 7), pemilikan tanah Absentee atau
guntai (Pasal 10), monopoli pemilikan tanah (Pasal 13), dan penetapan ganti
rugi tanah untuk kepentingan umum (Pasal 18). Hal-hal ini memicu
berbagai bentuk konflik pertanahan secara langsung maupun tidak, yang
tidak mudah diselesaikan.4
Salah satu aspek hukum penting diundangkannya UUPA adalah
dicanangkannya Program Landreform di Indonesia yang bertujuan untuk
merombak mengenai kepemilikan tanah dan penguasaan tanah serta
hubungan-hubungan yang berkaitan dengan penguasaan tanah.
Jika dilihat dari undang-undang tersebut, terlihat bahwa rakyat
mempunyai kekuatan hukum untuk memperjuangkan haknya atas,

2 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2008), I


3 Ibid, hal. 61
4 Supriadi, Hukum Agraria (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 96
melakukan pembagian hasil yang adil dan mengelola tanahnya demi
kemakmuran. Akan tetapi pada kenyataannya, terjadi ketimpangan dalam
hal penguasaan dan pemilikan tanah di dalam masyarakat, dimana masih
ada sekelompok masyarakat yang memliki dan menguasai tanah secara
berlebihan dan melampaui batas, sedangkan ada juga masyarakat yang
justru memiliki tanah terbatas.
Dasar hukum yang mengatur larangan kepemilikan tanah secara
absentee ini adalah Pasal 10 ayat (1) UUPA, yaitu “Setiap orang yang
mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada dasarnya diwajibkan
mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif, dengan mencegah
cara-cara pemerasan.” Larangan ini juga berkaitan dengan ketentuan-
ketentuan pokok Landreform yang diatur dalam Pasal 7, 10 dan Pasal 17
UUPA. Maksud dari larangan pemilikan tanah secara absentee ini adalah
agar petani bisa aktif dan efektif dalam mengerjakan tanah pertanian
miliknya, sehingga produktifitasnya bisa tinggi dan menghapuskan
kepemilikan tanah secara besar-besaran oleh tuan tanah.
Sebagai pelaksanaan dari ketentuan tersebut, pemerintah menetapkan
Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan
Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian yang kemudian diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964. Pada prinsipnya PP
224 Tahun 1961 melarang pemilikan tanah secara absentee. Yang dimaksud
dengan tanah absente adalah tanah yang letaknya diluar tempat tanah
tersebut berada.5
Untuk melaksanakan amanat UUPA, maka Pasal 3 ayat (1) PP Nomor
244 Tahun 1961 menentukan sebagai berikut : “Pemilik tanah yang
bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka
waktu 6 bulan wajib menglaihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di
kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah
tersebut”. Apabila ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tanah pertanian

5
M. Arba, Hukum Agraria Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), 188
itu akan diambil oleh pemerintah dan selanjutnya dibagikan kepada para
petani yang belum memiliki tanah pertanian.
Dalam kehidupan sehari-hari, meskipun dilarang, pemilikan hak atas
tanah absentee yang diperoleh dari peristiwa hukum banyak dijumpai di
masyarakat. Kepemilikan tanah pertanian secara absentee dapat saja terjadi
apabila perolehannya dari peristiwa pewarisan, dimana ahli waris bertempat
tinggal diluar letak wilayah kecamatan tempat tanah waris tersebut. Apabila
seseorang memiliki hak atas tanah pertanian diluar kecamatan dimana ia
bertempat tinggal yang diperolehnya dari warisan, maka dalam jangka
waktu satu tahun sejak pewaris meninggal dunia, jika ahli waris tidak
mengelola tanah tersebut maka harus dialihkan kepada orang lain sesuai
dengan yang telah diamanatkan undang-undang.
Sehubungan dengan permasalahan tersebut maka kami tertarik untuk
membahas tentang “LARANGAN KEPEMILIKAN TANAH SECARA
ABSENTEE/GUNTAI”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan pokok
masalah untuk dijadikan fokus utama dalam pembahasan ini, diantaranya:
1. Apa pengertian, maksud dan tujuan dari larangan memiliki tanah
absentee?
2. Apa dasar hukum larangan pemilikan tanah secara absentee serta apa
pengecualiannya?
3. Bagaimana perlindungan hukum kepemilikan tanah absentee yang
diperoleh akibat warisan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Dalam penelitian ini, kami penulis memiliki beberapa tujuan sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian tanah absentee, serta maksud dan tujuan
larangan memiliki tanah absentee?
2. Untuk mengetahui dasar hukum larangan pemilikan tanah secara
absentee serta pengecualiannya.
3. Untuk mengetaui perlindungan hukum apa yang didapat dari kepemilikan
tanah absentee akibat warisan.

Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah :


1. Secara teoritis
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memberikan
sumbangsih terhadap pengembangan ilmu pengetahuan di lingkungan
akademis. Dan juga dapat dipergunakan sebagai sumber referensi bagi
kalangan akademisi secara umum dalam pembuatan makalah selanjutnya
yang sejenis di masa yang akan datang.
2. Secara Praktis
Diharapkan akan bermanfaat bagi kami penulis dan juga pembaca
yang belum mengetahui tentang larangan kepemilikan tanah secara
absentee dalam Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961.

D. Kerangka Teori
1. Teori Kepastian Hukum
Timbulnya larangan kepemilikan tanah secara absentee, secara
filosofis merupakan suatu perlindungan hukum terhadap kepentingan
masyarakat yang relatif lemah jika berhadapan dengan pemodal besar di
bidang tanah. Perlindungan inilah yang diimplentasikan dalam UUPA.
Sebagai patokan untuk melakukan perombakan pemilikan tanah telah
dikeluarkan Undang-undang Landreform yang menetapkan luas
maksimum tanah pertanian yang bisa dimiliki seseorang. Patokan ini juga
menjadi parameter untuk menentukan luas tanah yang bisa dimiliki
secara absentee. Untuk mengendalikan restrukturisasi kepemilikan tanah
pertanian kepada orang yang memiliki kelebihan tanah pertanian dilarang
mengalihkan secara langsung kepada pihak lain dengan ancaman pidana.6
Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah telah mengeluarkan
peraturan diantaranya :
a. Undang-undang nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas
Tanah Pertanian
b. Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan
Pembagian Tanah Pemberian Ganti Kerugian yang juga dikenal
dengan Peraturan Redistribusi
c. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan
Tambahan PP Nomor 224 Tahun 1961 Pelaksanaan Pembagian
Tanah Pemberian Ganti Kerugian
d. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan
Tanah Pertanian secara Absentee (guntai) bagi Pensiunan Pegawai
Negeri.
e. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan
Nasional
f. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1974 tentang
Pedoman Tindak Lanjut Pelaksanaan Landreform.
Walaupun Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 membahas
tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian
namun salah satu yang diatur adalah larangan kepemilikan tanah secara
absentee/guntai. Mengenai tanah absentee dikatakan bahwa “pemilik
tanah pertanian yang bertempat tinggal diluar kecamatan tempat
letaknya tanah wajib mengalihkan tanahnya kepada pihak lain, atau
pemilik tanah pidah ke tempat tanah tersebut berada”

6
Undang-undang Nomor 56 Prp 1960 tetang Penetapan Luas Tanah Pertanian Pasal 10 jo
Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 Pasal 19
2. Teori Fungsionalisme yang Struktural
Dalam teori ini diterangkan bahwa dimana masyarakat dilihat
sebagai sesuatu yang harmonis, tanpa terdapatnya masalah. Hal ini
disebabkan karena kebanyakan masyarakat seolah-olah tidak bergeming
dan menghiraukan dengan kepemilikan tanah absentee/guntai serta
keberadaan peraturan pelarangan tanah secara guntai. Masyarakat seakan
menganggap tidak terjadi apa-apa atas semua masalah yang berkaitan
dengan tanah absentee. Oleh karena itu, dalam suasana seperti ini hukum
dapat berperan mengendalikan ketertiban dalam masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tinjauan Umum Tentang Landreform di Indonesia


1. Pengertian Landreform
Tanah memiliki hubungan yang penting dengan manusia, sehingga
diperlakukan peraturan yang dapat memberikan perlindungan kepada
pemiliknya. Perombakan dan pembaharuan struktur keagrariaan terud
dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat terutama petani yang
pada awalnya tidak atau belum memiliki lahan olahan atau garapan untuk
memiliki tanah. Dengan kata lain, negara harus mengadakan landreform.
Landreform berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari kata
“Land” dan “Reform”. Land berarti tanah, sedangkan Reform artinya
perubahan dasar atau perombakan untuk membangun/menata/membentuk
kembali dalah hal ini adalah struktur pertanian. Landreform berati
perombakan struktur pertanian lama dan pembangunan struktur pertanian
lama menuju struktur pertanian baru.
Pelaksanaan landreform merupakan kebutuhan dan keharusan yang
tidak dapat dihindari guna menwujudkan keadilan sosial dan demi
pemanfaatan sebesar-besarnya dari tanah untuk kemakmuran bersama.
Dengan demikian pelaksanakan landreform dapat diartikan membantu
mewujudkan tujuan nasional bangsa yaitu masyarakat yang adil dan
makmur.

2. Dasar Hukum Landreform


Sebagai pelaksanaan dari Pasal 17 UUPA yang mengatur tentang
batas minimum dan maksimum penguasaan dan pemilikan atas tanah,
Pemrintah talah mengeluarkan Peraturan Pemrintah Pengganti Undang-
Undang (Perpu) No. 56 Tahun 1960 pada tanggal 29 Desember 1960 dan
mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1961, yang kemudian ditetapkan
menjadi Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas
Tanah Pertanian (LN 1960 no. 174), penjelasannya dimuat dalam TLN
No. 5117. Undang-undang ini merupakan Undang-undang landreform di
Indonesia yang mengatur tiga permasalahan, yaitu :
a. Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian
b. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan
untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan
pemecahan pemilikan tanah-tanah itu menjadi bagian-bagian yang
terlampau kecil
c. Soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang
digadaikan.

3. Tujuan dan Program Landreform


3.1 Tujuan Landreform
Secara umum landreform bertujuan : Untuk mempertinggi taraf
hidup dan penghasilan petani penggarap, sebagai landasan
pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila.
Secara khusus : berdasarkan tujuan secara umum tersebut, maka
landreform di Indonesia diarahkan agar dapat mencapai 3 (tiga)
aspek sekaligus, yaitu:7
a. Tujuan Sosial Ekonomis :
1) Memperbaiki keadaan ekonomi sosial rakyat dengan
memperkuat hak milik serta memberi isi dan fungsi sosial
pada hak milik.
2) Memperbaiki produksi nasional khususnya sektor pertanian
guna mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat.
b. Tujuan Sosial Politis :
1) Mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan
tanah yang luas

7
I nyoman Budi Jaya, Op.Cit, hal: 11
2) Mengadakan pembagian yang adil atas sumber-sumber
penghidupan rakyat tani berupa tanah dengan maksud agar
ada pembagian hasil yang adil
c. Tujuan Mental Psikologis
1) Meningkatkan kegairahan kerja bagi para petani penggarap
dengan jalan memberikan hak mengenai pemilikan tanah
2) Memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dengan
penggarapnya.

3.2 Objek Landreform


Menurut ketentuan Pasal 1 PP No. 224 Tahun 1961, tanah yang
menjadi objek landreform yang akan diredistribusikan pada petani
penggarap, meliputi :
a. Tanah-tanah selebihnya dari batas maksimum sebagaimana yang
dimaksud dalam Undang-undang No. 56 Prp Tahun 1960
b. Tanah-tanah yang diambil oleh pemerintah, karena pemiliknya
bertempat tinggal di luar daerah kecamatan letak tanahnya atau
karena pemilikan tanah absentee/guntai menyebabkan:
1) Penguasaan tanah yang tidak ekonomis
2) Menimbulkan sistem penghisapan
3) Ditelantarkan
c. Tanah-tanah swapraja dan bekas swapraja yang dengan
berlakukanya ketentuan UUPA menjadi hapus dan beralih
kepada Negara.
d. Tanah-tanah lain yang langsung dikuasai oleh Negara misalnya
tanah bekas partikelir, tanah-tanah dengan Hak Guna Usaha yang
telah berakhir waktunya, dihentikan atau dibatalkan.
e. Tanah-tanah lain, tidak termasuk didalamnya tanah-tanah wakaf
dan tanah untuk peribadatan.
3.3 Program Landreform
Meliputi :
a. Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah
b. Larangan pemilikan tanah secara absentee/guntai
c. Redistribusi tanahg selebihnya dari batas-tanah yang selebihnya
dari batas maksimum, tanah-tanah yang terkena larangan
absentee/guntai, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah
negara.
d. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah
pertanian yang digadaikan
e. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian
f. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai
larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang
mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian
menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.

B. Tinjauan Umum tentang Tanah Absentee/Guntai sebagai Objek


Landreform
1. Pengertian Tanah Pertanian Absentee/Guntai dan Pengaturannya
Kata absentee berasal dari bahasa latin “absentee” atau “absentis”,
yang berarti tidak hadir. Sementara dalam bahasa Inggris, absentee adalah
tidak ada atau tidak hadir di tempatnya, atau landlord yaitu pemilik tanah
bukan penduduk daerah itu, tuan tanah yang bertempat tinggal di tempat
lain. Sedangkan pemilikan tanah absentee atau dalam bahasa Sunda
disebut “Guntai” yaitu pemilikan tanah yang letaknya diluar tempat tanah
tersebut berada.
Sedangkan dalam Pasal 3 ayat (1) PP no. 224 Tahun 1961 tentang
Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian (telah
diubah dan ditambah denga PP No. 41 Tahun 1964) yang mengatur
sebagai berikut :
“Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar
kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka wakti 6 bulan wajib
mengalihkan hak awas tanahnya kepada orang lain ke kecamatan tempat
letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut”.
Hal ini menunjukkan bahwa pemilikan tanah pertanian secara
absentee/guntai menurut Peraturan Perundang-undangan tidak
diperbolehkan karena melanggar asas dalam Pasal 10 UUPA yang
mengatur bahwa setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu
hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau
mengusahakan atau mengerjakan sendiri secara aktif, dengan mencegah
cara-cara pemerasan.

2. Pemanfaat Tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria


Pemanfaatan tanah merupakan kewenangan tertentu yang diberikan
kepada seseorang untuk berbuat sesuatu terhadap tanahnya, dasar hukum
ketentuan-ketentuan hak-hak atas tanah diatur dalam Pasal 4 ayat (1)
UUPA, yaitu “Atas dasar hak menguasai dari negara atas tanah sebagai
yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain serta badang-badan hukum”
Hak atas tanah bersumber dari hak menguasai dari negara atas
tanah dapat diberikan kepada perseorangan baik warga negara Indonesia
maupun warga negara asing, sekelompok orang secara bersama-sama, dan
badan hukum baik hukum privat maupun hukum publik.
Menurut Soedikno Mertokusumo, wewenang yang dimiliki oleh
pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Wewenang Umum
Mempunyai wewenang untuk memanfaatkan tanahnya,
termasuk juga bumi, air dan ruang yang ada diatas sekadar diperlukan
untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan
tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-Undang Pokok Agraria
dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi (Pasal 4 ayat (2)
UUPA)
b. Wewenang Khusus
Maksud yang bersifat khusus adalah pemegang hak atas anah
mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan
macam hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada tanah hak milik
adalah dapat digunakan untuk kepentingan pertaniaan dan atau untuk
mendirikan bangunan, Hak Tanah Guna Bangunan adalah
menggunakankan tanahnya hanya untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan, wewenang pada Hak Guna Usaha adalah untuk
menggunakan tanah hanya untuk kepentingan perusahaan dibidang
pertanian, perikanan, peternakan, atau perkebunan.

Macam-macam hak atas tanah dimuat dalam pasal 16 jo Pasal 53


UUPA, dikelompokkan menjadi 3 bidang, yaitu :
a. Hak atas tanah yang bersifat tetap
Yaitu hak-hak atas tanah ini akan tetap ada selama UUPA masih
berlaku atau belum dicabut dengan undang-undang yang baru.
Contoh : Hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai, Hak Sewa Untuk
Bangunan, Hak Membuka Tanah, dan Hak Memungut Hasil Hutan.
b. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan Undang-undang
Yaitu hak atas tanah yang akan lahir kemudian, yang akan
ditetapkan dengan undang-undang.
c. Hak atas tanah yang bersifat sementara
Yaitu hak atas tanah yang sifatnya hanya sementara, dalam
waktu singkat ajan dihapuskan karena mengandung sifat-sifat
pemerasan, feodal dan bertentangan dengan UUPA
Contoh : Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil),
Hak Menumpang dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
3. Pengaturan Tanah Absentee dalam Undang-Undang Pokok Agraria
Munculnya UUPA setelah Indonesia merdeka merupakan salah
wujud seriusnya pemerintah mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Dasar-
dasar dan ketentuan-ketentuan pokok Undang-undang no. 5 tahun 1060
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria adalah sebagai berikut :
a. Bumi, air dan ruang angkasa adalah kekayaan nasional sesuai Pasal 1
ayat (2) UUPA
b. Bumi, air dan ruang angkasa dikuasai oleh negara sebagi organisasi
kekuasaan seluruh rakyat sesuai Pasal 2 ayat (1)
c. Pasal 5 yang mengatakan bahwa Hukum agraria Indonesia adalah
hukum adat.
d. Pasal 6 yang mengatakan semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial.
e. Pasal 7 yang berbunyi untuk tidak merugikan kepentingan umum
maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampui batas tidak
diperkenankan.
f. Pasal 9 yang menerangkan bahwa yang dapat mempunyai hubungan
yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa hanya warga
Negara Indonesia.
g. Pasal 10 menegaskan bahwa setiap orang atau badan hukum yang
mempunyai hak atas tanah pertanian diwajibkan mengerjakan atau
mengusahan sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara
pemerasan.

4. Dasar Hukum yang Mengatur Larangan Pemilikan Tanah Pertanian


secara Absentee/Guntai
Berkenaan dengan larangan pemilikan tanah pertanian secara
absentee dalam UUPA, tidak ditemukan secara khusus istilah absentee
tersebut, tetapi dalam Pasal 10 UUPA, dikatakan bahwa setiap orang atau
badan hukum yang mempunyai hak atas tanah pertanian diwajibkan
mengerjakan atau mengusahan sendiri secara aktif dengan mencegah
cara-cara pemerasan. Asas inilah yang dijadikan dasar pelarangan
pemilikan tanah secara absentee.
Secara yuridis, dasar hukum mengenai larangan pemilikan tanah
pertanian secara absentee/guntai telah dituangkan dalam Pasal 3 PP No.
224 Tahun 1961 dan PP No. 41 Tahun 1964 (tambahan pasal 3a s/d 3e).
Kedua Peraturan Pemerintah ini merupakan aturan pelaksaan dari
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 10 UUPA, yang bertujuan untuk
mencegah terjadinya penindasan terhadap golongan petani yang memiliki
ekonomi lemah. Mengingat bahwa tujuan ketentuan Pasal 10 UUPA ini
adalah menyangkut kepentingan umum, maka secara yuridis ketentuan
dalam pasal ini temasuk ketentuan-ketentuan hukum yang memaksa atau
“Dwingend Recht”.
Menurut ketentua Pasal 3 PP No. 224 Tahun 1961, disebutkan
bahwa :
Ayat (1) Pemilik tanah pertanian yang bertempat ringgal diluar
kecamatan letak tempat tanahnya, dalam jangka waktu 6
bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang
lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke
kecamatan letak tanah tersebut.
Ayat (2) Kewajiban dalam ayat (1) tidak berlaku bagi pemilik tanah
yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan
kecamatan letak tanah, jika jarak antara tempat tinggal dan
tanahnya masih memungkinkan mengerjakan tanah itu secara
efisien.
Ayat (3) dengan tidak mengurangi ketentuan pada ayat (2) pasal ini,
maka jika pemilik tanah berpindah tempat atau meninggalkan
tempat kediamannya ke luar kecamatan tepat letak tanah itu
selama 2 tahun berturut-turut, ia wajib memindahkan hak
milik atas tanahnya kepada orang lain yang bertempat tinggal
di kecamatan itu.
Ayat (4) Ketentuan ayat (1) dan (2) tidak berlaku bagi mereka yang
menjalankan tugas negara, menunaikan kewajiban agama
atau mempunyai alasan khusus lainnya yang dapat diterima
Menteri Agraria. Bagi PNS dan Pejabat Militer dan sedang
menjalankan tugas negara, pengecualian tersebut pada ayat
ini terbatas pada pemilikan tanah pertanian sampai seluas 2/5
dari luas maksimum yang ditentukan untuk daerah yang
bersangkutan menurut UU No. 56 Tahun 1960.
Ayat (5) Jika kewajiban pada ayat (1 ) dan (3) tidak terpenuhi maka
tanah tersebut diambil oleh Negara.

Pemberian batas jangka waktu dalam pasal tersebut dimaksudkan


agar pemindahan hak milik atas tanah pertanian tidak mengalami
penguluran waktu oleh pemilik tanah. Jika kewajiban tersebut tidak
dilaksanakan atau terjadi pelanggaran terhadap larangan tersebut maka
tanah yang bersangkutan akan diambil oleh pemerintah selaku
perpanjangan tangan negara agar dapat diredistribusikan dalam rangka
program landreform, sedangkan kepada bekas pemilik diberikan ganti
rugi menurut ketentuan yang berlaku, yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal
7 PP No. 224 Tahun 1961.
Seharusnya, siapapun yang berhubungan dengan pemilikan tanah
absentee/guntai harus tunduk kepada Peraturan Pemerintah tersebut.
Dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 ditetapkan
pula sanksi pidana kepada pemilik tanah yang menolak atau dengan
sengaja menghalang-halangi pengambilan tanah oleh pemerintah dan
pembagiannya. Namun dalam praktiknya, masih ada tanah pertanian yang
dimiliki oleh seseorang dalam kenyataan sudah tidak dikuasainya lagi
karena telah beralih secara diam-diam ke tangan orang lain yang
berdomisili diluar kecamatan letak tanah tersebut. Penguasaan tanah
secara absentee/guntai ini pada umumnya diketahui oleh masyarakat
sekitar.
5. Maksud dan Tujuan Larangan Pemilikan Tanah Pertanian Secara
Absentee
Pada umumnya tanah pertanian berada di daerah pedesaan,
sementara mereka yang memiliki tanah secara absentee/guntai bertempat
tinggal di daerah perkotaan. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan prinsip
tanah pertanian untuk petani. Tujuan melarang pemilikan tanah pertanian
secara absentee/guntai adalah agar hasil yang diperoleh dari pengusahaan
tanah pertanian sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat petani
yang tinggal di pedasaan, bukan dinikmati oleh orang yang tidak tinggal
di desa.
Pemilikan tanah pertanian secara absentee/guntai ini akan
menimbulkan penggarapan yang tidak efisien, misalnya
penyelenggaraannya, pengawasannya, pengangkutan hasilnya, dll. Hal ini
berarti para petani telah melakukan penggarapan tanah milik orang lain
sepenuh tenaga dan disertai tanggung jawab dan resikonya, tetapi mereka
hanya menerima sebagian dari hasil yang dikelolanya. Sementara disisi
lain, pemilik tanah yang berada jauh dari letak tanah dan tidak
mengerjakan tanahnya tanpa menanggung segala resikonya justru
mendapatkan hasil yang lebih besar.
Hal ini tentu tidak sesuai dengan tujuan landreform yang
diselenggarakan di Indonesia yang bertujuan untuk mempertinggi
penghasilan dan taraf hidup para petani penggarap tanah dan sebagai
landasan atau persyaratan pembangunan ekonomi menuju masyarakat
yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

6. Pengecualian Larangan Pemilikan Tanah Pertanian secara


Absentee/Guntai
Pengecualian dari larangan pemilikan tanah absentee/guntai
berdasarkan Pasal 3 ayat (1), (2), (3), (4) yaitu :
a. Mereka yang menjalankan tugas negara
b. Mereka yang sedang menunaikan kewajiban agama
c. Mereka yang mempunyai alasan khusus yang dapat diterima oleh
Menteri Agraria
Pengecualian pemilikan tanah pertanian secara guntai juga
diberikan kepada :
a. Pensiunan Pegawai Negeri
b. Janda pegawai negeri dan janda pensiunan pegawai negeri selama
tidak menikah lagi dengan seorang bukan pegawai negeri atau
pensiunan pegawai negeri.
Dengan adanya pengecualian tersebut seorang pegawai negeri dalam
waktu 2 tahun menjelang pensiun diperbolehkan membeli tanah pertanian
secara absentee sampai batas 2/5 luas maksimum untuk Daerah
Kabupaten/Kota letak tanah yang bersangkutan. Pengecualian ini juga
termasuk pemilikan oleh istri dan anak yang masih menjadi
tanggungannya. Tetapi jika pegawai negeri tersebut berhenti menjalankan
tugas negara misalnya karena pensiun, maka ia wajib memenuhi
ketentuan tersebut dalam waktu satu tahun terhitung sejak ia berhenti
menjalankan tugasnya, namun jangka waktu tersebut dapat diperpanjang
oleh Menteri Agraria jika ada alasan yang wajar.
Pengecualian bagi pensiunan pegawai negeri diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah secara
Absentee/Guntai Bagi Pensiunan Pegawai Negeri. Pemilikan tersebut
boleh diteruskan setelah pensiun, sekiranya kemudian ia berpindah tempat
tinggal ke kecamatan letak tanah yang bersangkutan, dengan sendirinya
pemilikan tersebut dapat ditambah hingga seluas batas maksimum.
C. Perlindungan Hukum Tanah Absentee yang Diperoleh Dari Pewarisan
Kepemilikan hak atas tanah absentee yang diperoleh dari peristiwa
hukum salah satu diperoleh melalui pewarisan, dimana ahli waris bertempat
tinggal diluar letak wilayah kecamatan harta warisan yang berupa tanah
pertanian berada. Sebagai contoh, seseorang yang tinggal dikota mendapatkan
warisan dari orang tuanya yang berada di desa, hal ini menyebabkan secara
otomatis menjadikan ahli waris menjadi pemilik tanah absentee.
Tanah pertanian yang diperoleh dari pewarisan merupakan hak milik
bagi ahli warisnya, akan tetapi pemilik tanah pertanian ini tidak dapat
menjadi pemilik tanah absentee apabila tanah tersebut berada di luar wilayah
kecamatan tempat tinggalnya, kepemilikan yang demikian dilarang menurut
undang-undang yang berlaku.
Penerima warisan tanah pertanian yang letaknya di kecamatan lain
dalam hal ini tanah absentee, kecuali jika ia seorang pegawai negeri, dalam
waktu satu tahun sejak meninggalnya pewaris, tanah yang bersangkutan wajib
dipindahkannya kepada orang yang bertempat tinggal di kecamatan tersebut.
Biarpun tidak ada penegasan, tetapi jika penerima waris bertempat tinggal di
kecamatan yang berbatasan, maka ia tidak dikenakan kewajiban tersebut.
Jangka waktu satu tahun tersebut dapat diperpanjang oleh Menteri, jika
misalnya pembagian warisannya belum selesai. Bahwa semua bentuk
pemindahan hak milik atas tanah pertanian, yaitu jual beli, hibah dan tukar
menukar yang mengakibatkan kepemilkan baru secara absentee adalah
dilarang.
Perlindungan hukum bagi ahli waris pemilik hak atas tanah absentee
yang bertempat tinggal di luar daerah dalam hal ini perlindungan hukum
diberikan oleh peraturan perundang-undangan kepada ahli waris, apabila
pewarisan telah sesuai menurut peraturan perundang-undangan dalam arti ahli
waris benar-benar merupakan ahli waris dari pemilik tanah absentee serta ahli
waris tersebut akan menggarap tanah pertaniannya, maka hukum akan
memberi perlindungan sebagaimana yang ditegaskan Pasal 10 UUPA yaitu
“setiap orang dan badan hukum yang mempunyai hak atas tanah pertanian
pada asasnya diwajibkan mengerjakan dan mengusahakan sendiri secara
aktif, denga mencegah cara-cara pemerasan.” Adapun cara-cara pemerasan
tersebut telah ditentukan dalam pasal 53 UUPA yaitu hak gadai, hak usaha
bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian, dengan demikian
apabila ahli waris dari pewaris yang memiliki tanah absentee bertindak
melakukan cara-cara pemerasan yang demikian maka ahli waris tersebut tidak
mendapat perlindungan hukum.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pasal 10 UUPA merupakan dasar dari larangan pemilikan tanah secara
absentee/guntai di Indonesia dan diatur lewat aturan pelaksanaannya
PP No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan
Pemberian Ganti Kerugian (telah diubah dan ditambah dengan PP No.
41 Tahun 1964). Dalam peraturan tersebut menunjukkan adanya
pelarangan atas pemilikan tanah secara absentee/guntai. Namun tetap
ada pengecualian menyangkut pemilikan tanah secara absentee/guntai
yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
2. Peristiwa hukum pewarisan menyebabkan ahli waris memiliki harta
warisan yang berupah tanah secara absentee. Perlindungan hukum
bagi ahli waris pemilik hak atas tanah yang bertempat tinggal di luar
daerah diberikan oleh peraturan perundangan-undangan dengan syarat
ahli waris benar-benar ahli waris dari pemilik tanah absentee, serta
ahli waris tersebut akan menggarap tanah pertaniannya. Apabila ahli
waris tidak mengusahakan atau menggarap tanah absentee
sebagaimana mestinya maka tidak ada perlindungan hukum bagi ahli
waris tersebut.

B. Saran
1. Ketentuan-ketentuan larangan pemilikan tanah absentee/guntai yang
ada pada saat ini masih perlu ditinjau ulang agar dapat disesuaikan
dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat saat ini. Perlu untuk
dipertimbangkan mengenai jarak antara domisili pemilik tanah dan
letak tanah mengingat kemajuan teknologi transpotasi, jarak anar
kecamatan sudah bukan suatu hambatan terhadap efektifitas dan
produktivitas secara optimal tanah pertanian dapat diolah
2. Pemerintah sudah lama memiliki peraturan mengenai pemilkan tanah
secara absentee. Tetapi tetap saja masih banyak ditemukan
pelanggaran terhadap aturan perundang-undangan. Untuk itu
diperlukan kerjasama dari semua pihak baik masyarakat dan lembaga
yang berwenang sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan bagi
seluruh rakyat Indonesia.
3. Hendaknya ketentuan sanksi terhadap pelanggaran larangan pemilikan
tanah absente/guntai diperaharui dan disesuaikan dengan
perkembangan kemajuan pembangunan sekarang ini, dan
pelaksanaannya agar lebih dipertegas. Karena dari segi materiil,
keeluruhan peraturan yang mengatur tentang larangan pemilikan tanah
absentee ini adalah produk pada tahun 1960-an, sehingga pemikiran-
pemikiran saat itu pada kenyataannya sudah tidak sesuai lagi dengan
kondisi dan kebutuhan masyarakat saat ini.

Anda mungkin juga menyukai