Anda di halaman 1dari 11

NAMA : ANGGUN MELLYNIA SUKASTI

NPM : 2008010169
KELAS : 3B NON REGULER BANJARBARU
MATA KULIAH : HUKUM ACARA PIDANA

1. Jaksa Penuntut umum berkewajiban untuk menuntut perkara ke pengadilan :


PERTANYAAN:
a. Jelaskan fungsi surat dakwaan !
b. Dalam KUHP dikenal tiga acara pemeriksaan,sebutkan acara pemeriksaan tersebut!
2. Dalam hukum acara pidana dikenal dengan pembuktian.
PERTANYAAN:
a. Sebutkan macam-macam alat bukti dalam KUHAP !
b. Jelaskan perbedaan antara keterangan ahli dan saksi !
c. Jelaskan yang dimaksud dengan istilah unus testis nullus testis !
3. Jelaskan secara singkat yang dimaksud dengan eksepsi serta jelaskan secara singkat
dalam hal apa saja terdakwa ataupun kuasanya untuk mengajukan eksepsi!
4. Sebutkan tentang tata urutan persidangan perkara pidana!
5. Pengadilan mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili serta memutus perkara.
PERTANYAAN:
a. Jelaskan secara singkat tentang macam-macam putusan hakim dalam perkara pidana
b. Jelaskan secara singkat tentang upaya-upaya hukum yang dikenal dalam persidangan
perkara pidana!

JAWABAN

1. a. Fungsi Surat Dakwaan


Dengan demikian, ditinjau dari berbagai kepentingan yang berkaitan dengan pemeriksaan
suatu perkara tindak pidana, maka fungsi suatu Surat Dakwaan dapat di bagi kedalam 3
kepentingan, yakni:
1.) Bagi Seorang Jaksa Penuntut Umum:
Surat Dakwaan berfungsi sebagai dasar pembuktian yuridis dari suatu tuntutan pidana
dan penggunaan upaya hukum.
2.) Bagi Seorang Terdakwa:
Surat Dakwaan berfungsi sebagai dasar dalam mempersiapkan suatu pembelaan atas
suatu dakwaan terhadap suatu tindak pidana yang dituduhkan kepadanya.
3.) Bagi Seorang Hakim:
Surat Dakwaan berfungsi sebagai dasar dan batas ruang lingkup pemeriksaan di
persidangan, serta sebagai dasar pertimbangan hukum dalam menjatuhkan putusan
pidana.
Pengertian Surat Dakwaan itu sendiri adalah sebuah akta yang dibuat oleh Jaksa
Penuntut Umum yang berisikan perumusan atau alur kejadian suatu tindak pidana yang
didakwakan kepada seseorang atau beberapa orang terdakwa berdasarkan kesimpulan
dari hasil penyidikan.
Surat dakwaan merupakan alat yang hanya bisa digunakan oleh Jaksa Penuntut
Umum berdasarkan atas asas oportunitas yang memberikan hak kepada jaksa penuntut
umum sebagai wakil dari negara untuk melakukan suatu penuntutan kepada seorang
pelaku tindak pidana.

b. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) secara garis besar mengenal 3
(tiga) tahapan pemeriksaan perkara pidana yaitu , Tahap Penyidikan, Tahap Penuntutan
dan Pemeriksaan di Pengadilan yang dikenal dengan Sistem Peradilan Pidana Terpadu
(Integrated Criminal Justice System).
Sistem terpadu maksudnya kewenangan penyidikan, penuntutan dan peradilan,
walaupun dilakukan oleh masing masing penegak hukum sesuai dengan kewenangannya
di setiap tahap, namun tetap merupakan satu kesatuan yang utuh atau saling keterkaitan
satu dengan lainnya dalam suatu sistem peradilan pidana.
Kegiatan Penyidikan mencakup kegiatan Penyidik untuk mencari serta
mengumpulkan bukti dan dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Pada tahap ini penyidik mempunyai kewenangan melakukan upaya hukum untuk
melakukan pemeriksaan, penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan barang
bukti dimana dalam mengumpulkan barang bukti yang diperlukan, penyidik dapat
meminta keterangan saksi, saksi ahli dan tersangka serta melakukan penyitaan bukti surat
atau tulisan yang dituangkan dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Kegiatan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik, wajib diberitahukan kepada
Penuntut Umum dalam bentuk Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP),
dimana dengan SPDP penuntut Umum akan memantau perkembangan penyidikan yang
dilakukan oleh Penyidik.
Hasil penyidikan dalam bentuk berkas perkara, dikirimkan oleh penyidik kepada
Penuntut Umum atau Penyerahan Tahap I, dan oleh Penuntut Umum dilakukan penelitian
terhadap kelengkapan berkas perkara baik dari segi formil maupun materil, yang dalam
sistem peradilan pidana terpadu disebut Pra Penuntutan.
Dalam rangka penelitian berkas perkara maka ada 2 (dua) hal yang perlu
diperhatikan yaitu :
Jika hasil penelitian berkas perkara oleh Penuntut Umum, dinyatakan lengkap,
maka penyidik menyerahkan tanggung jawab tersangka dan barang bukti kepada
Penuntut Umum atau Penyerahan Tahap II.
Jika hasil penelitian berkas perkara oleh Penuntut Umum, dinyatakan belum
lengkap atau kurang memenuhi persyaratan formil dan atau materil, maka berkas perkara
dikirim kembali oleh Penuntut Umum kepada Penyidik, untuk dilengkapi disertai
petunjuk dari Penuntut Umum kepada Penyidik.
Setelah berkas perkara dinyatakan lengkap dan penyerahan tersangka dan barang
bukti oleh penyidik kepada Penuntut Umum, maka Penuntut Umum akan menyusun surat
dakwaaan atau masuk pada tahap penuntutan.
Penuntut Umum melimpahkan perkara ke Pengadilan untuk disidangkan dan
diputus oleh Pengadilan ini diaebut Tahap Pemeriksaan Persidangan.

2. a. Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (”KUHAP”)
disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang
menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-
undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian. Hal ini berarti bahwa di luar dari
ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.

b. Keterangan Ahli dalam perkara pidana berdasarkan Pasal 1 angka (28) Undang-
Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah
keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang
diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Sedangkan Ahli itu sendiri adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia
mempunyai keahlian khusus tentangnya. Sedangkan Berdasarkan Pasal 1 angka (26)
UndangUndang No. 8 Tahun 1981 jo. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang dimaksud Saksi adalah orang yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan
tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia Iihat sendiri dan ia alami sendiri.
Keterangan Saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa
keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu.

Dari hal tersebut di atas jelas sekali perbedaan antara Saksi dan Ahli. Saksi
memberikan keterangan berdasarkan sesuatu yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia
alami sendiri sedangkan Ahli memberikan keterangannya berdasarkan keahlian khusus
yang dimilikinya.

c. Definisi dan arti kata Unus Testis Nullus Testis adalah satu saksi tidak dianggap sebagai
kesaksian. Diartikan sebagai kewajiban menghadirkan dua saksi untuk dapat diterimanya
suatu kesaksian. Saat ini, kesaksian satu orang dapat diterima apabila sesuai dengan alat
bukti yang lain.

3. Exceptie (Belanda), Exception (Inggris) secara umum berarti


pengecualian. Akan tetapi dalam konteks hukum perdata, bermakna tangkisan
atau bantahan (objection), bisa juga pembelaan (plea) yang diajukan Tergugat
terhadap materi pokok gugatan Penggugat. Menurut Yahya Harahap,dalam
bukunya Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan
Putusan Pengadilan “Eksepsi adalah tangkisan atau bantahan yang ditujukan
kepada hal- hal menyangkut syarat-syarat atu formalitas gugatan, yaitu jika
gugatan yang diajukan mengandung cacat atau pelanggaran formil dan tidak berkaitan
dengan pokok perkara ( verweer ten principale)yang mengakibatkan gugatan tidak sah
sehingga harus dinyatakan tidak dapat diterima. (inadmissible).
Dengan demikian, Eksepsi jawaban Tergugat bentuk bantahan atau sangkalan
terhadap gugatan Penggugat, namun tidak secara langsung mengenai pokok perkara
dengan maksud agar gugatan Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima. Dengan
demikian dalam eksepsi terkandung menimal
terdapat tiga unsur di dalamnya yaitu :
a. Jawaban Tergugat yang berisi bantahan atau sangkalan;
b. Bantahan atau sangkalan tersebut tidak secara langsung mengenai pokok perkara, dan
c. Bertujuan agar gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.
Eksepsi dapat diajukan oleh Tergugat pada saat menjawab surat gugatan
Penggugat pada sidang pertama setelah gagalnya proses mediasi yang difasilitasi oleh
pengadilan pertama (vide Pasal 121 ayat (2) HIR). Namun apabila Tergugat belum siap,
Majelis Hakim akan memberikan kesempatan lagi pada sidang berikutnya untuk
menyampaikan jawaban.

Cara mengajukan Eksepsi


Tata cara pengajuan eksepsi terbagi atas dua jenis yaitu mengajukan Eksepsi
Kewenangan Mengadili dan Diluar Kewenangan Mengadili;
a. Eksepsi Kewenangan Mengadili:
- Eksepsi kompentensi Absolut Eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan kapanpun
selama proses pemeriksaan dimulai sampai dengan sebelum putusan dijatuhkan pada
tingkat
pertama , sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 HIR yang berbunyi:
“Jika perselisihan itu adalah suatu perkara yang tidak masuk kuasa pengadilan
negeri, maka pada sebarang waktu dalam pemeriksaan perkara itu, boleh
diminta supaya hakim mengaku dirinya tidak berkuasa dan hakim itupun wajib
pula mengaku karena jabatannya bahwa ia tidak berkuasa”.
Eksepsi Absolut ini bertujuan agar hakim menyatakan dirinya tidak berwenang
memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya, karena perkara
tersebut menjadi kewenangan badan peradilan yang lain.
- Eksepsi kompentensi Relatif
Eksepsi kewenangan relatif hanya dapat diajukan di sidang pertama dan bersamaan
dengan saat mengajukan jawaban pertama terhadap materi pokok perkara , sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 133 HIR yang berbunyi: “Jika orang yang digugat dipanggil
menghadap pengadilan negeri, sedang menurut peraturan pada Pasal 118 ia tidak usah
menghadap pengadilan negeri itu, maka bolehlah ia meminta hakim supaya menerangkan
bahwa hakim tidak berkuasa, asal saja permintaan itu dimasukan dengan segera pada
permulaan persidangan pertama; permintaan itu tidak akan diperhatikan lagi jika orang
yang digugat telah melahirkan suatu perlawanan lain”.

b. Eksepsi di luar kewenangan mengadili;


Pada perinsipnya pengajukan Eksepsi di luar kewenangan mengadili sama dengan
eksepsi kompentensi relatif. Ketentuan mengenai kapan waktu pengajuan Eksepsi di luar
kewenangan mengadili diatur dalam Pasal 114 Rv yang menyatakan : ‘Pengacara
Tergugat berkewajiban mengajukan semua angkisan dan jawaban mengenai pokok
perkaranya bersama-sama dengan ancaman tangkisan yang tidak diajukan gugur dan jika
tidak dijawab pokok perseolannya ia kehilangan hak untuk mengajukannya’ Meskipun
dalam pasal tersebut tidak secara tegas menyebut jawaban pertama, namun penafsiran
yang paling tepat terhadap jawaban tersebut dalam praktek adalah “ Jawaban pertama.

4. Tata urutan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Negeri  


1. Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum (kecuali perkara tertentu
dinyatakan tertutup untuk umum);
2. PU diperintahkan untuk menghadapkan terdakwa ke depan persidangan dalam keadaan
bebas;
3. Terdakwa ditanyakan identitasnya dan ditanya apakah sudah menerima salinan surat
dakwaan;
4. Terdakwa ditanya pula apakah dalam keadaan sehat dan bersedia untuk diperiksa di
depan persidangan (kalau bersedia sidang dilanjutkan);
5. Terdakwa ditanyakan apakah akan didampingi oleh Penasihat Hukum (apabila
didampingi apakah akan membawa sendiri, kalau tidak membawa sendiri akan ditunjuk
PH oleh Majlis Hakim dalam hal terdakwa diancam dengan pidana penjara lima tahun
atau lebih/pasal 56 KUHAP ayat (1);
6. Dilanjutkan pembacaan surat dakwaan;
7. Atas pembacaan surat dakwaan tadi terdakwa (PH) ditanya akan mengajukan eksepsi
atau tidak;
8. Dalam terdakwa/PH mengajukan eksepsi maka diberi kesempatan dan sidang ditunda;
9. Apabila ada eksepsi dilanjutkan tanggapan JPU atas eksepsi (replik);
10. Selanjutnya dibacakan putusan sela oleh Majlis Hakim;
11. Apabila eksepsi ditolak dilanjutkan pemeriksaan pokok perkara (pembuktian)
12. Pemeriksaan saksi-saksi yang diajukan oleh PU (dimulai dari saksi korban);
13. Dilanjutkan saksi lainnya;
14. Apabila ada saksi yang meringankan diperiksa pula, saksi ahli Witness/expert)
15. Pemeriksaan terhadap terdakwa;
16. Tuntutan (requisitoir);
17. Pembelaan (pledoi);
18. Replik dari PU;
19. Duplik
20. Putusan oleh Majlis Hakim

5. a. Berdasarkan pengertian putusan pengadilan yang disebutkan dalam KUHAP tersebut di


atas, maka dapat diuraikan bahwa putusan pengadilan tersebut dapat berupa :

1) Pemidanaan
Sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 194 ayat (1) KUHAP “jika pengadilan
berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”. Lebih lanjut Pasal 196 ayat (3)
menyebutkan, “segera setelah putusan pemidanaan diucapkan, bahwa hakim ketua sidang
wajib memberitahukan kepada terdakwa apa yang yang menjadi haknya, yaitu :
- Hak segera menerima atau segera menolak putusan.
- Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan,
dalam tenggang waktu yang ditentukan dalam undang-undang ini.
- Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan
oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan.
- Hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu yang
ditentukan oleh undang-undang ini, dalam hal ia menolak putusan.
- Hak mencabut pernyataan berkenaan dengan hak menerima atau menolak putusan
dalam tenggang waktu yang di tentukan oleh undang-undang ini”.
Pidana atau hukuman yang dijatuhkan dapat berupa kurungan badan dan/atau denda,
sesuai dengan unsur pasal yang didakwakan kepadanya.

2) Putusan Bebas (Vrijspraak)


Disebutkan juga dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP bahwa yang dimaksud dengan
putusan bebas adalah, “jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di
sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.

3) Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum (Onslaag van Alle Recht Vervolging)
Pengertian putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah, “jika pengadilan
berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi
perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa dituntut lepas dari
segala tuntutan hukum”. (Pasal 191 ayat (2) KUHAP. Hukuman bebas dan hukuman
lepas dari segala tuntutan hukum ini berdampak pada masalah penahanan, dijelaskan
lebih lanjut dalam Pasal 191 ayat (3) bahwa, “terdakwa yang ada dalam status tahanan
diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali ada alasan lain yang sah,
terdakwa perlu ditahan”.
Selanjutnya dalam hal putusan pemidaan atau bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan
kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam
putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus
dirampas untuk kepentingan Negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat
dipergunakan lagi, kecuali apabila terdapat alasan yang sah, pengadilan menetapkan
supaya barang bukti diserahkan sesudah sidang selesai, dan perintah penyerahan barang
bukti dilakukan tanpa disertai syarat apapun kecuali dalam hal putusan pengadilan yang
belum mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 194 ayat (1), (2) dan (3) KUHAP).

b. 1.) Upaya Hukum Praperadilan


Praperadilan merupakan salah satu lembaga dalam hukum pidana Indonesia,
secara formil diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP. Dalam praktik
digunakan oleh pihak-pihak/institusi yang mengajukan upaya atas ketidakpuasan
penerapan hukum atau tindakan/keputusan aparat hukum yang dianggap telah menciderai
rasa keadilan dan kepentingan mereka. Berdasarkan ketentuan Pasal 78 Ayat (1) dan (2)
KUHAP praperadilan merupakan wewenang pengadilan negeri dan praperadilan tersebut
dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu
oleh seorang panitera.
Adapun kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus perkara
praperadilan dimaksud adalah sebagai berikut:

a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian


penuntutan;
b) ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

2. Upaya Hukum Biasa


a. Banding (Pasal 67 KUHAP)
Terhadap diri terdakwa atau penuntut umum, KUHAP memberikan hak kepada
mereka untuk mengajukan upaya banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama
kecuali terhadap putusan bebas murni/vrijpraak (bebas dari segala dakwaan), bebas tidak
murni/onslag van alle rechtvervollging atau lepas dari segala tuntutan hukum yang
menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam
acara cepat (putusan tindak pidana ringan dan perkara pelanggaran lalu-lintas).

b. Kasasi (Pasal 244 KUHAP)


Terhadap putusan pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain
selain daripada Mahkamah Agung (Red: pengadilan negeri dan pengadilan tinggi),
terdakwa ataupun penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi
kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas murni/vrijpraak.
Selanjutnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 253 KUHAP pemeriksaan dalam
tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 KUHAP guna menentukan:
1) apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak
sebagaimana mestinya;
2) apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang;
3) apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya;
Maka oleh karena itu dalam tingkat kasasi kepada pihak yang mengajukan upaya
hukum, undang-undang ini mewajibkan adanya memori kasasi dalam permohonannya,
dan dengan alasan yang diuraikan dalam memori tersebut Mahkamah Agung menerima,
memeriksa dan memutus perkara yang diajukan dan dengan sendirinya tanpa memori
kasasi permohonan tersebut menjadi gugur.

3. Upaya Hukum Luar Biasa


a. Pemeriksan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum (Pasal 259 KUHAP)
Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung dapat diajukan 1
(satu) kali permohonan oleh Jaksa Agung dan putusan kasasi demi kepentingan hukum
tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan.

b. Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang telah Mempunyai Kekuatan Hukum


Tetap (Pasal 263 KUHAP)
Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat
mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
Permintaan peninjauan kembali diajukan bersamaan dengan memori peninjauan kembali
dan berdasarkan alasan dari pemohon tersebut Mahkamah Agung mengadili hanya
dengan alasan yang telah ditentukan oleh KUHAP sebagai berikut:
1) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan
itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa
putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut
umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana
yang lebih ringan;
2) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti,
akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah
terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
3) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata;
selanjutnya, atas dasar alasan yang sama sebagaimana disebutkan dalam poin 1, 2 dan 3
di atas (Pasal 263 Ayat [2] KUHAP) maka terhadap suatu putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali
apabila dalam putusan itu secara jelas memperlihatkan bahwa dakwaan telah terbukti
akan tetapi pemidanaan tidak dijatuhkan.
Dalam hal permintaan peninjauan kembali tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana tersebut pada Pasal 263 Ayat (2) KUHAP, maka Mahkamah Agung
menyatakan bahwa permintaan peninjauan kembali tidak dapat diterima dengan disertai
dasar alasannya. Pernyataan tidak dapat diterima tersebut tidak terkait dengan
substansi/materiil pemeriksaan peninjauan kembali namun lebih kepada alasan formil
yang tidak terpenuhi sehingga terhadapnya dapat diajukan kembali.
Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan kembali
tersebut memenuhi persyaratan dan alasan peninjauan kembali telah sesuai dengan
ketentuan KUHAP maka Mahkamah Agung akan memeriksa permohonan itu dan
membuat putusan sebagai berikut:
1) Apabila alasan pemohon tidak benar atau tidak terbukti, Mahkamah Agung menolak
permintaan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan
peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dengan dasar pertimbangnnya;
2) Apabila alasan pemohon benar atau terbukti, maka Mahkamah Agung membatalkan
putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dan menjatuhkan putusan yang
alternatifnya sebagai berikut:
a) putusan bebas;
b) putusan lepas dari segala tuntutan;
c) putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;
d) putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

Dalam hal Mahakamah Agung menjatuhkan pidana terhadap permintaan peninjauan


kembali itu maka dengan alasan apapun pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi
pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.

Anda mungkin juga menyukai