Anda di halaman 1dari 4

1.

penerimaan negara bukan pajak juga merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang
sangat penting.
Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan dan kesederhanaan, maka
arah dan tujuan perumusan Undang-undang Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah:
a. menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan Negara dan pembiayaan pembangunan
melalui optimalisasi sumber-sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak dan ketertiban
administrasi pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak serta penyetoran Penerimaan Negara
Bukan Pajak ke Kas Negara;
b. lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat berpartisipasi dalam
pembiayaan pembangunan sesuai dengan manfaat yang dinikmatinya dari kegiatan-kegiatan
yang menghasilkan Penerimaan Negara Bukan Pajak;
c. menunjang kebijaksanaan Pemerintah dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta investasi di seluruh wilayah Indonesia;
d. menunjang upaya terciptanya aparat Pemerintah yang kuat, bersih dan berwibawa,
penyederhanaan prosedur dan pemenuhan kewajiban, peningkatan tertib administrasi
keuangan dan anggaran Negara, serta peningkatan pengawasan.

2. Hukum Pajak banyak sekali hubungannya dengan Hukum Perdata, hal ini dapat dimengerti
karena Hukum Pajak mencari dasar kemungkinan pemungutan pajak atas dasar peristiwa
(kematian, kelahiran), keadaan (kekayaan), perbuatan (jual beli, sewa menyewa) yang diatur
dalam Hukum Perdata. Hal ini dijadikan Tesbestand yang dituangkan dalam Undang-undang
pajak, dan bila dipenuhi syarat-syaratnya akan menyebabkan seseorang atau badan dikenakan
pajak. Sebagian Sarjana mengatakan bahwa bukan itu yang menyebabkan timbulnya hubungan
yang erat antara Hukum Pajak dengan Hukum Perdata, melainkan suatu ajaran di bidang hukum
yang menyatakan bahwa lex specialis derogat lex generale, yaitu hukum yang khusus
menyimpangkan hukum yang umum.
Di dalam Hukum Perdata domisili diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 25 BW, sedangkan
dalam Hukum Pajak antara lain dama Undang-undang lama yaitu Pasal 1 ayat (2) Ordonansi PPh
1932 jo pasal 1 ayat (2) Ordonansi PPd 1944 dan dalam Undang-undang Pajak baru Pasal 2 ayat
(5) dan ayat (6) UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Untuk jelasnya bunyi pasal-
pasal tersebut adalah :
Pasal 17 B.W : Setiap orang dianggap mempunyai tempat tinggalnya dimana ia menempatkan
pusat kediamannya. Dalam hal tak adanya tempat tinggal yang demikian, maka tempat
kediaman sewajarnya dianggap sebagai tempat tinggal.
Pasal 2 ayat (5) UU. No. 7 Tahun 1983 : Seseorang atau suatu badan berada, bertempat tinggal,
atau berkedudukan di Indonesia ditentukan menurut keadaan sebenarnya.
Pasal 2 ayat (6) UU No. 7 Tahun 1983 : Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan
seseorang atau suatu badan berada, bertempat tinggal atau bertempat kedudukan.
Dengan adanya kedua ketentuan tersebut maka ketentuan yang ada dalam Hukum Pajak yang
dianut oleh Fiskus, karena merupakan ketentuan yang khusus (lex spescialis).
Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Perdata
Hukum Perdata merupakan hubungan hukum yang terjadi antara sesama anggota masyarakat,
sedangkan hukum pajak merupakan hukum publik (Administrasi negara) yang mengatur
hubungan khusus antara pemerintah (DJP) dengan masyarakat (WP).
Hukum pajak selalu mencari dasar kemungkinan pemungutan pajak berdasarkan perbuatan
hukum perdata
Misalkan: berupa perjanjian-perjanjian, hal pendapatan, kekayaan dan warisan
Hk. Pajak (Subjek Pajak) = Hk. Perdata (Subjek Hukum)

3. Fungsi Anggaran (Budgetair)


Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan
pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak.
Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang,
pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari
tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan
pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan
pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.

Fungsi Mengatur (Regulerend)

Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi
mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka
menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai
macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah
menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.

Fungsi Stabilitas

Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang
berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan
antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak,
penggunaan pajak yang efektif dan efisien.

Fungsi Redistribusi Pendapatan

Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan
umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan
kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

4. A. Perlawanan Pasif terhadap Pajak (Perlawanan Pasif).

Perlawanan pasif terdiri dari hambatan-hambatan yang mempersukar pemungutan pajak dan
yang erat hubungannya dengan struktur ekonomi suatu negara, dengan perkembangan
intelektual dan moral penduduk, dan dengan teknik pemungutan pajak itu sendiri.

Cara hidup penduduk juga memegang peranan penting. Kekurangan gairah kerja, tetapi juga
keinginan menabung di masyarakat;
Misalnya akan menambah mahalnya biaya suatu tagihan terhadap pajak langsung karena pada
waktu jatuh tempo untuk membayar;
Para wajib pajak tidak menguasai uang yang diperlukan sehingga harus diambil tindakan untuk
menjamin berhasilnya pemungutannya (demikian itu bilamana ada benda-benda yang dapat
disita).
Sebaliknya, suatu kecerdasan, suatu pengertian yang jelas mengenai tugas kewajiban terhadap
negara dan keharusan membayar pajak, pula perasaan mendalam mengenai solidaritas nasional
pada penduduk, akan mengurangi perlawanan pasif.

B. Perlawanan Aktif terhadap Pajak


1. Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)
Penghindaran pajak terjadi sebelum SKP keluar. Dalam penghindaran pajak ini, wajib pajak tidak
secara jelas melanggar undang-undang sekalipun kadang-kadang dengan jelas menafsirkan
undang-undang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pembuat undang-undang.
Penghindaran pajak dilakukan dengan 3 cara, yaitu:

a. Menahan Diri

Wajib pajak tidak melakukan sesuatu yang bisa dikenai pajak.

Contoh:

Tidak merokok agar terhindar dari cukai tembakau Tidak menggunakan ikat pinggang dari kulit
ular atau buaya agar terhindar dari pajak atas pemakaian barang tersebur. Sebagai gantinya,
menggunakan ikat pinggang dari plastik.
b. Pindah Lokasi

Memindahkan lokasi usaha atau domisili dari lokasi yang tarif pajaknya tinggi ke loksi yang tarif
pajaknya rendah. Contoh: Di Indonesia, diberikan keringanan bagi investor yang ingin
menanamkan modalnya di Indonesia Timur. Mereka harus memikirkan tentang transportasi,
akomodasi, SDM, SDA, serta fasilitas-fasilitar yang menunjang usaha mereka.

c. Penghindaran Pajak Secara Yuridis

Biasanya dilakukan dengan memanfaatkan kekosongan atau ketidak jelasan undang-undang. Hal
inilah yang memberikan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis.

2. Pengelakan Pajak (Tax Evasion)

Pengelakan pajak terjadi sebelum SKP dikeluarkan. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap
undang-undang dengan maksud melepaskan diri dari pajak/mengurangi dasar penetapan pajak
dengan cara menyembunyikan sebagian dari penghasilannya.
Wajib pajak di setiap negara terdiri dari:

Wajib pajak besar (berasal dari multinational corporation yang terdiri dari perusahaan-
perusahaan penting nasional).
Wajib pajak kecil (berasal dari profesional bebas yang terdiri dari dokter yang membuka praktek
sendiri, pengacara yang bekerja sendiri, dll).
Kecenderungan wajib pajak melakukan penghindaran atau pengelakan pajak (dengan asumsi
negara yang mempunyai sistem penegakan hukum yang bagus dan orang-orang yang tidak
mudah disuap).

3. Melalaikan Pajak

Melalaikan pajak terjadi setelah SKP keluar. Melalaikan pajak adalah menolak membayar pajak
yang telah ditetapkan dan menolak memenuhi formalitas-formalitas yang harus dipenuhi oleh
wajib pajak dengan cara menghalangi penyitaan. Jika wajib pajak telah menerima SKP, maka dia
harus membayar pajak sesuai dengan SKP tersebut. Jika wajib pajak tidak melakukannya, maka
fiscus akan mengirim surat teguran. Jika belum dibayar juga, maka diterbitkanlah surat paksa
yang kekuatannya sama dengan putusan pengadilan yang berlaku. Setelah 2 x 24 jam wajib
pajak belum membayar juga, maka diterbitkan surat penyitaan yaitu surat perintah untuk
melakukan penyitaan pada harta wajib pajak itu

Anda mungkin juga menyukai