Anda di halaman 1dari 19

FAISAL REZA

1913030117

HTN B

UTS HUKUM PIDANA

PROSEDUR PERSIDANGAN

A.Pemeriksaan Identitas Terdakwa

Pemeriksaan Identitas Terdakwa adalah suatu kegiatan atau proses pembuktian tindak
pidana melalui data-data pribadi terdakwa (seperti nama,umur,alamat,pekerjaan,dan sebagainya)
di dalam suatu persidangan. Atau menurut pendapat lain adalah pemeriksaan merupakan
serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang
dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan. Sedangkan
pemeriksaan dapat juga di katakan dengan membuktikan. pembuktian adalah perbuatan
membuktikan. Membuktikan berarti memberikan atau memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu
kebenaran, melaksanakan, menandakan menyaksikan dan meyakinkan. Dalam konteks hukum
pidana,pembuktian merupakan Inti persidangan perkara pidana, karena yang dicari adalah
kebenaran materiil. Pembuktian adalah merupakan suatu pemeriksaan perkara dalam sidang
pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman
tentang caracara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan
kepada terdakwa.

Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan
undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.
Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan
terdakwa. Sesudah pembacaan surat dakwaan dibacakan oleh Penuntut Umum, Hakim Ketua
akan menanyakan kepada terdakwa/tersangka apakah ia sudah mengerti isi dari surat dakwaan.
Apabila terdakwa/tersangka belum mengerti, maka Penuntut Umum harus memberikan
penjelasan yang diperlukan mengenai dakwaan terhadap terdakwa. Apabila kemudian terdakwa
dan penasehat hukumnya tidak menyetujui isi daripada surat dakwaan, maka terdakwa atau
penasehat hukumnya .
B. Pembacaan Surat Dakwaan

Proses pemeriksaan dalam persidangan, pada permulaan sidang diawali dengan hakim
ketua membuka sidang, kemudian dilanjutkan dengan hakim ketua sidang menanyakan tentang
identitas terdakwa/tersangka. Serta mengingatkan supaya terdakwa/tersangka memperhatikan
segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya dalam sidang itu, sesudah itu Hakim Ketua akan
memintakan kepada Penuntut Umum untuk membacakan surat dakwaan. Sesudah pembacaan
surat dakwaan dibacakan oleh Penuntut Umum, Hakim Ketua akan menanyakan kepada
terdakwa/tersangka apakah la sudah mengerti isi dari surat dakwaan. Apabila terdakwa/tersangka
belum mengerti, maka penuntut umum harus memberikan penjelasan yang diperlukan mengenal
dakwaan terhadap terdakwa. Apabila kemudian terdakwa dan penasehat hukumnya tidak
menyetujui isi daripada surat dakwaan, maka terdakwa atau penasehat hukumny terdakwa dapat
mengajukan bantahan atau tangkisan.

Bantahan atau tangkisan terdakwa terhadap surat dakwaan yang dibuat hakim Penuntut
Umum di dalam praktek peradilan lazim disebut dengan 'eksepsi atau keratan. Pada dasarnya,
eksepsi atau ketan adalah keberatan terdakwa terhadap dakwaan yang diajukan oleh Penuntut
Umum. Eksepsi atau keberatan ini selain diajukan oleh terdakwa bisa juga diajukan oleh
penasehat hukumnya. Alasan-alasan pengajuan eksepsi atau keberatan yang diajukan oleh
terdakwa atau penasehat hukumnya pada dasarnya meliputi: eksepsi atau keberatan tentang
kewenangan ompetensi), eksepsi atau keberatan tentang sorat dakwaan tidak dapat diterima,
eksepsi atau keberatan surat dakwaan kabur. 1Pemberian kesempatan kepada terdakwa atau
penasehat hukumnya untuk mengajukan eksepsi atau keberatan merupakan suatu hal yang wajar,
karena dalam hukum acara pidana dikenal asas presumption of innocence (asas praduga tidak
bersalah). Suatu asas yang mengatakan bahwa terdakwa dianggap tidak bersalah sebelum ada
keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.2

Rumusan surat dakwaan harus sejalan dengan pemeriksaan penyidikan. Rumusan surat
dakwaan yang menyimpang dari hasil pemeriksaan penyidikan merupakan surat dakwaan yang
palsu dan tidak benar. Surat dakwaan yang demikian tidak dapat dipergunakan oleh jaksa untuk
menuntut terdakwa. Jika seandainya terdakwa menjumpai perumusan surat dakwaan yang
1
Telaah Yuridis Pengajuan Eksepsi Oleh Terdakwa otos Alason Penuntutan Penuntul Umum Telah Dakarsa Dan
Implikasinya Jika Diterima Oleh Hakim Dalam Pemeriksaan Perkra Korupsi, diakses tanggal 24 Maret 2016.
2
Ibid.
menyimpang dari hasil pemeriksaan penyidikan, terdakwa dapat mengajukan keberatan / eksepsi
terhadap dakwaan yang dimaksud. Apabila pengadilan menerima pelimpahan berkas perkara,
maka harus meneliti secara seksama apakah surat dakwaan yang diajukan tidak menyimpang dari
hasil pemeriksaan penyidikan dan tentang menyimpang tidaknya rumusan surat dakwaan dengan
hasil pemeriksaan penyidikan dapat diketahui hakim dengan jalan menguji rumusan surat
dakwaan dengan berita acara pemeriksaan penyidikan. 3(M Yahya Harahap, 2000 : 387).

C. Eksepsi

Secara hukum, eksepsi atau keberatan adalah merupakan hak dari terdakwa untuk
menjawab surat dakwaan dan dasar hukumnya diatur dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP yang
menentukan: "Dalam hal terdakwa atau penasehat hukum mengaajukan keberatan bahwa
pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat
dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk
menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya
mengambil keputusan.

Pasal 156 ayat (1) KUHAP, ada 3 (tiga) hal dapat diajukannya eksepsi atau keberatan
oleh terdakwa atau penasehat hukumnya, yaitu:4

 1. Eksepsi atau Keberatan tidak berwenang mengadili;

Eksepsi atau Keberatan ini dapat berupa ketidak wenangan mengadili, baik absolut
(kompetensi absolut) maupun relative (kompetensi relative). Mengenai Eksepsi atau Keberatan
tidak wenang mengadili, ada macam-macam alasan, yaitu:

 A. Tidak wenang, karena yang wenang ialah Pengadilan Militer (kompetensi absolut,
Pasal 10 UU No. 4 Tahun 2002 jo UU No. 31 Tahun 1997 tentang KUHPM);
 b. tidak wenang, karena yang wenang ialah majelis pengadilan Koneksitas (Pasal 89
KUHAP: "Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk
lingkungan Peradilan Umum dan lingkungan Peradilan Militer, diperiksa dan diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali jik menurut keputusan Menteri

3
Harahap M. Yahya. 1988. Pembahasan Permasalahan KUHAP (Jilid I dan II).Jakarta: Pustaka Kartini.
4
KUHAP dan KUHP, Op-Cit, hlm. 260.
Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri kehakiman perkara itu harus
diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.
 c. tidak wenang, yang wenang ialah Pengadilan Negeri lain (Kompetensi relatif, Pasal 84
KUHAP: "Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara tindak pidana yang
dilakukan dalam daerah hukumnya.

 2. Eksepsi atau Keberatan dakwaan tidak dapat diterima;

Ada beberapa alasan yang dapat diajukan terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap
eksepsi atau keberatan dakwaan tidak dapat diterima atau tuntutan Penuntut Umum tidak dapat
diterima, yaitu:

 a. Apa yang didakwakan Penuntut Umum dalam surat dakwaannya telah kadaluarsa.
(Pasal 78 KUHP: (1). "Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa: mengenai
semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun;
mengenai kejahatan yang diancam dengan pdana denda, pidana kurungan, atau pidana
penjara paling lama tiga tahun,sesudah enam tahun; mengenai kejahatan yang diancam
dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun; mengenai kejahatan
yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan
belas tahun. (2). Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan
belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga.
 b. Adanya asas nebis in idem. (Pasal 76 KUHP: (1). Kecuali dalam hal putusan hakim
masih mungkin diulangi, orang tidak dapat dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh
hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap.
 c. tidak adanya unsur pengaduan. (Pasal 74 KUHP: (1). Pengaduan hanya boleh diajukan
dalam waktu enam bulan sejak orang yang bernak mengadu mengetahui adanya
kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia atau dalam waktu sembilan bulan jika
bertempat tinggal di luar Indonesia.
 d. apa yang didakwakan terhadap terdakwa bukan tindak pidana kejahatan atau
pelanggaran.
 e. apa yang didakwakan kepada terdakwa tidak sesuai dengan tindak pidana yang
dilakukannya.
 f. apa yang didakwakan kepada terdakwa bukan merupakan tindak: pidana akan tetapi
termasuk perselisihan perdata.

 3. Eksepsi atau Keberatan Surat dakwaan

harus dibatalkan Eksepsi atau keberatan ini apabila surat dakwaan yang dibuat oleh
Penuntut Umum tidak memenuhi syarat materiil sebagaimana ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf
b KUHAP yang berbunyi: "Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan
ditandatangani serta berisi: uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenal tindak pidana yang
didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat pidana itu dilakukan kadang 3/8 atau
keberatan ini masuk ekseps. dakwaan obscuur libel, akibat dari penafsiran terhadap kata yang
tidak lengkap, tidak jelas dan tidak lengkap.

Suatu surat dakwaan sebagal 'tidak cermat' terjadi karena perbuatan yang dirumuskan
bukan merupakan tindak pidana atau bahkan faktanya bukan merupakan perbuatan terdakwa,
juga karena kasus itu sudah nebis in idem atau daluwarsa. Kemudian 'tidak jelas terjadi bila
rumusan perbuatan itu sesungguhnya adaah akibat perbuatan orang lain (perintah Jabatan),
Sedangkan surat dakwaan 'tidak lengkap bisa terjadi dalam hal tindak pidana dilakukan beberapa
orang namun setiap orang berbuat tidak sempurna.

Secara materiil, suatu surat dakwaan dipandang telah memenuhi syarat apabila surat
dakwaan tersebut telah memberi gambaran secara bulat dan utuh tentang:

 tindak pidana yang dilakukan;


 siapa yang melakukan tindak pidana tersebut;
 dimana tindak pidana dilakukan;
 bilamana tindak pidana dilakukan;
 bagaimana tindak pidana itu dilakukan;
 akibat apa yang ditimbulkan tindak pidana tersebut (delik materil):
 apakah yang mendorong terdakwa melakukan tindak pidana tersebut;
 Ketentuan-ketentuan pidana yang diterapkan.5

5
R. Soesilo, Kitab undang-Undang hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi
Pasal, Politea, Bogor, 1996, hlm. 91.
D. Putusan Sela

Putusan sela adalah suatu putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum putusan akhir
yang berisikan beban pembuktian antara tergugat dan penggugat,fungsinya tidak lain untuk
memperlancar pemeriksaan perkara. Putusan sela ini menurut Pasal 185 HIR/I96 RBg adalah:

1. Putusan sela adalah putusan yang bukan merupakan putusan akhir walaupun harus
diucapkan dalam persidangan, tidak dibuat secara terpisah melainkan hanya tertulis dalam
berita acara persidangan saja.
2. Kedua belah pihak dapat meminta, supaya kepadanya diberi salinan yang sah dari
putusan itu dengan ongkos sendiri. Dari ketentuan Pasal 185 HlR/196 RBg tersebut di atas,
dapat diketahui
bahwa:
a. Semua putusan sela diucapkan dalam sidang
b. Semua putusan sela merupakan bagian dari berita acara
c. Salinan otentik dapat diberikan dari berita acara yang memuat putusan sela
kepada kedua belah pihak. 6

Putusan sela atau putusan antara adalah putusan yang diambil oleh hakim sebelum
menjatuhkan putusan akhir dan fungsinya adalah untuk memungkinkan atau mempermudah
kelanjutan pemeriksaan perkara dalam suatu persidangan pengadilan negeri sesuai dengan
perkara yang telah ditentukan.

 Jenis-jenis Putusan Sela

Dalam teori dan praktik dikenal beberapa jenis putusan yang muncul dari putusan sela,
antara lain sebaga berikut:''

1. Putusan Preparatoir

6
Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, Alumni.
Bandung. 1997, him. 85
Salah satu bentuk spesiflkasi yang terkandung dalam putusan sela ialah putusan
preparatoir atau preparator {preparatoir vonnis). Tujuan putusan ini merupakan persiapan
jalannya pemeriksaan. Misalnya sebelum hakim memulai pemeriksaan, lebih dahulu
menerbitkan putusan preparatoir tentang tahap-tahap proses atau jadwal persidangan.
Umpamanya pembatasan tahap jawab-menjawab atau replik-duplik dan tahap pembuktian.
Dalam praktik, hal ini jarang terjadi. Proses pemeriksaan berjalan dan langsung sesuai dengan
kebijakan dengan memperhitungkan tenggang pemundura persidangan oleh hakim tanp lebih
dahulu ditentukan tahap-tahapnya dalam suatu putusan sela yang disebut putusa preparatoir.

Selanjutnya sesuai dengan sesuai dengan tuntutan peradilan modem, sangat beralasan
mengembangkan putusan preparatoir, dengan jalan menggabungkan prinsip manajemen dalam
sistem peradilan, seperti yang pemah disinggung dibeberapa negara misalnya di Inggris, telah
dimunculkan konsep timetable program. Sebelum proses persidangan dimulai, hakim terlebih
dahulu menetapkan timetable itu, hakim dan dan para pihak terikat melaksanakannya. Tidak
seperti yang berlaku sekarang, jadwal pemeriksaan tidak pasti. Tergantung pada sclera hakim,
terkadang meskipun hakim sendiri yang menetapkan pemunduran siding, tanpa alasan yang
masuk akal, pemeriksaan tidak dilangsungkan dan dimundurkan lagi pada hari yang Iain.

2. Putusan Interlocutoir

Menurut R. Soepomo, seringkali Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan interlocutoir


saat proses pemeriksaan tengah beriangsung. Putusan ini merupakan bentuk khusus putusan sela
{een interlocutoir vonnis is een special sort tussen vonnis) yang dapat berisi bermacam-macam
perintah sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai hakim, antara lain sebagai berikut:

 a. Putusan interlokutor yang memerintahkan pendengaran keterangan ahli, berdasarkan


Pasal 154 HIR
Apabila hakim secara ex officio maupun atas perintah salah satu pihak, menganggap
perlu mendengar pendapat ahli yang kompeten menjelaskan hal yang belum terang
tentang masalah yang disengketakan, hal itu dituangkan dalam putusan sela yang disebut
putusan interlokutor.
 b.Memerintahkan pemeriksaan setempat (gerechtelijke plaatssopmening) berdasarkan
Pasal 153 HIR
Jika hakim berpendapat atau atas permintaan salah satu pihak, perlu dilakukan
pemeriksaan setempat maka pelaksanaannya dituangkan dalam putusan interlokutor yang
berisi perintah kepada hakim komisaris dan panitera untuk melaksanakannya.
 c. Memerintahkan pengucapan atau pengangkatan sumpah baik sumpah penentu atau
tambahkan brdasarkan Pasal 155 HIR, Pasal 1929 KUH Perdata maka pelaksanaannya
dituangkan dalam putusan interlokutor.
 d. Bisa juga memerintahkan pemanggilan saksi berdasarkan Pasal 139 HIR.
Yakni saksi yang diperlukan penggugat atau tergugat tetapi tidak dapat menghadirkannya
berdasarkan Pasal 121 HIR, pihak yang berkepentingan dapat meminta kepda hakim
supaya saksi tersebut dipanggil secara resmi oleh juru sita. Apabila permintaan ini
dikabulkan, hakim menerbitkan surat perintah untuk itu yang dituangkan dalam bentuk
putusan interlokutor.
 e. Putusan interlokutor dapat juga diterbitkan hakim untuk memerintahkan pemeriksaan
pembukuan perusahaan yang terlibat dalam suatu sengketa oleh akuntan publik yang
independent.

3. Putusan Insidentil

Dulu disebut incidenteel vonnis atau putusan dalam insidentil, yakni putusan sela yang
berkaitan langsung dengan gugatan insidentil atau yang berkaitan dengan penyitaan yang
dibebankan pembenan uang jaminan dari pemohon sita agar sita dilaksanakan, yang disebut
cautio judicatum solvi.

Dari penjelasan di atas, secara teori dan praktik, pada umumnya dikenal dua bentuk
putusan insidentil.
a. Putusan insidentil dalam gugatan intervensi. Pasal 279 Rv mengatur lembaga gugatan
intervensi yakni:
1) Memberi hak kepada pihak ketiga yang berkepentingan untuk menggabungkan diri
dalam suatu pericara yang masih beriangsung proses pemeriksaannya pada pengadilan
tingkat pertama.
2) Bentuk gugatan intervensi yang dapat diajukan pihak ketiga yang berkepentingan, bisa
berbentuk; voeging, tussenkomst, dan vrijwaring.
3) Cara ikut sertanya bergabung melalui gugatan intervensi, hal inin diatur dalam Pasal 280
Rv.
b. Putusan insidentil dalam pemberia jaminan atas pelaksanaan sita jaminan. Putusan
insidentil yang dikaitkan dengan dengan pelaksanaan sita jaminan {Conservatoir Beslag)
disebut cautio judicatum solvi. Sebagai contoh Pasal 722 Rv yakni penyitaan atas barang
debitur. Menurut pasal ini, hakim dalam mengabulkan permohonan sita jaminan yang
diajukan penggugat, dapat memerintahkan kepada tergugat agar membayar uang jaminan
meliputi kerugian dan bunga yang mungkin timbul akibat penyitaan, dengan ketentuan dan
ancaman selama uang jaminan belum dibayar penggugat, peyitaan tidak dilaksanakan. Jika
hakim bermaksud menerapkan ketentuan Pasal 722 Rv tersebut, harus dituangkan dalam
bentuk putusan insidentil.

Begitu juga apabila hakim hendak menerapkan ketentua Pasal 763 Rv tentang
pengangkatan sita yang diletakkan atas pesawat terbang, harus dituangkan dalam putusan
insidentil. Menurut pasal ini hakim dapat mengangkat sita atas pesawat terbang dengan syarat
pihak tersta memberi sejumlah uang jaminan yang cukup menutup jumlah gugatan dan bunga
yang harus dibayarkan kepada kreditur (penggugat). Apabila syarat ini teipenuhi, hakim dapat
segera mcngeluarkan perintah pengangkatan sita, yang dituangkan dalam putusan insidentil.

4. Putusan Provisi

Diatur dalam Pasal 180 HIR, Pasal 191 RBg disebut juga provisionele heschikking, yakni
putusan yang bersfat sementara atau interim award {temporary disposal) yang berisi tindakan
sementara menunggu sampai putusan akhir mengenai pokok perkara dijatuhkan. Dengan
demikian putusan provisi ini tidak boleh mengenai materi pokok perkara, tetapi hanya terbatas
mengenai tindakan sementara berupa larangan melanjutkan suatu kegiatan, misalnya melaiang
meneruskan pembangunan di tas tanah terperkara dengan ancamaN hukuman membayar uang
paksa. Penegasan itu dikemukakan dalam putusan MA No. 1788 K/Sip/1976. begitu juga
penegasan putusan MA No.279 K/Sip/1976. Gugatan provisi seharusnya bertujuan agar ada
tindakan sementara dari hakim mengenai hal yang tidak termasuk pokok perkara. Gugatan atau
permohonan provisi yang berisi pokok perkara harus ditolak.
Putusan provisi diambil dan dijatuhkan berdasarkan gugatan provisi {provisionele eis) atau
disebut juga provisionele vordering:
• Bisa diajukan berdiri sendiri dalam gugatan tersendiri, berbarengan dengan gugatan
pokok
• Tetapi biasanya diajukan bersama-sama dengan satu kesatuan dengan gugatan pokok
• Tanpa gugata pokok, gugatan provisi tidak mungkin diajukan , karena itu gugatan
tersebut asesor dengan gugatan pokok.

E. Pemeriksaan Pembuktian (pasal 183 dan 184)

Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh
dipergunakan, penguraian alat bukti, dan dengan cara-cara bagaimana alat-alat bukti itu
dipergunakan serta dengan cara bagaimana haim harus membentuk keyakinannya di depan
sidang pengadilan. Pembuktian dalam hukum acara pidana merupakan hal sangat penting dalam
proses pemeriksaan perkara pidana di pengadilan. Pembuktian dipandang sangat penting dalam
hukum acara pidana karena yang dicari dalam pemeriksaan perkara pidana adalah kebenaran
materil, yang menjadi tujuan dari hukum acara pidana itu sendiri, Berbeda dengan pembuktian
perkara lainnya, pembuktian dalam perkara pidana sudah dimulai dari tahap pendahuluan yakni
penyelidikan dan penyidikan.Ketika pejabat penyidik pada saat mulai mengayuhkan langkah
pertamanya dalam melakukan penyidikan maka secara otomatis dan secara langsung sudah
terikat dengan ketentuanketentuan pembuktian yang diatur dalam KUHAP. Bahkan yang
menjadi target penting dalam kegiatan penyidikan adalah adalah mengumpulakan bukti-bukti
untuk membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi. Demikian pula dalam hal penyidik
menentukan seseorang berstatus sebagai tersangka, setidaktidaknya penyidik harus menguasai
alat pembuktian yang disebut sebagai bukti permulaan. Jadi, meskipun kegiatan upaya
pembuktian yang paling penting dan menentukan itu adalah pada tingkat pemeriksaan perkara di
muka sidang pengadilan, namun upaya pengumpulan sarana pembuktian itu sudah berperan dan
berfungsi pada saat penyidikan.

Saksi sebagai orang yang memberikan keterangan berdasarkan peristiwa pidana yang ia
dengar, ia lihat dan ia alami sangat diperlukan keterangannya dalam proses pembuktian.
Keterangan saksi yang diberikan kepada penyidik harus bebas dari tekanan dari siapapun dan
atau dalam bentuk apapun (Pasal 117 KUHAP). Keterangan saksi dicatat oleh penyidik dalam
Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat atas kekuatan sumpah jabatan (bukan dengan mengingat
sumpah jabatan) kemudian diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik dan saksi yang
memberikan keterangan setelah ia menyetujui isinya (Pasal 75 jo 118 ayat (1) KUHAP). Dalam
hal saksi tersebut tidak mau membubuhkan tanda tangannya maka penyidik tidak perlu
memaksa, akan tetapi cukup memberikan catatan dalam BAP disertai dengan alasannya
Lamintang menyatakan bahwa sistam pembuktian dalam KUHAP, disebut7

1) Wettelijk atau menurut undang-undang karena untuk pembuktian undangundanglah


yang menentukan tentang jenis dan banyaknya alat bukti yang harus ada.

2) Negatief, karena adanya jenis-jenis dan banyaknya alat-alat bukti yang ditentukan oleh
undang-undang itu belum dapat membuat hakim harus menjatuhkan putusan pidana
bagi seorang terdakwa apabila jenis-jenis dan banyaknya alat-alat bukti itu belum dapat
menimbulkan keyakinan pada dirinya bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar telah
terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut.

Keterangan saksi di penyidikan sangat penting untuk proses pembuktian dalam


persidangan, karena dari BAP kepolisian (berkas perkara) dan kemudian oleh penuntut umum
dimuat dalam dakwaannya, menjadi pedoman dalam pemeriksaan sidang.

Jika keterangan saksi di dalam sidang ternyata berbeda dengan yang ada dalam bekas
perkara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta meminta keterangan
mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara persidangan (Pasal 163 KUHAP).
Dalam pasal 183 KUHAP ditentukan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seseorang kecuali apabila dengan sekurang -kurangnya dua alat bukti yang sah hakim tersebut
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar- benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya aka hakim tidak akan memutuskan penjatuhan pidana terhadap
terdakwa.

Dengan demikian, maksud dilakukannya kegiatan pembuktian sebagaimana diatur dalam


Pasal 183 KUHAP adalah untuk menjatuhkan atau mengambil putusan in casu menarik amar
putusan oleh majelis hakim. Pembuktian dilakukan terlebih dahulu dalam usaha mencapai derajat

7
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007
keadilan dan kepastian hukum yang setinggi-tingginya dalam putusan hakim. Sehigga
pembuktian tidak hanya ditujukan untuk menjatuhkan pidana saja berdasarkan syarat minimal
dua alat bukti yang harus dipenuhi dalam hal pembuktian untuk menjatuhkan pidana.

F. Pembacaan Surat Tuntutan Oleh Penuntut Umum

Surat tuntutan (requisitoir) yang baik adalah surat tuntutan yang mengandung konstruksi
hukum yang objektif, benar, dan jelas. Jelas dalam arti penggambarannya dan hubungan antara
keduanya. Secara garis besar, surat tuntutan pidana memuat :8

 a. Pendahuluan
Pada bagian pendahuluan, memuat nama terdakwa serta identitas lengkapnya.
Pada bagian ini juga disertai surat dakwaan.
 B. Uraian fakta hukum
Pada bagian ini isinya meliputi keterangan saksi, keterangan terdakwa, dan
petunjuk (kalau ada). Petunjuk ini bisa dalam bentuk Berita Acara Penyidikan, Berita
Acara Rekonstruksi dan lainnya.
 c. Analisa fakta hukum

Pada bagian ini, berita fakta yang diperoleh di persidangan akan disusun menjadi
kesimpulan Jaksa Penuntut Umum.

 d. Analisa hukum atau uraian yuridis

Bagian analisa ini berisikan pembuktian atas tindak pidana yang dilakukan oleh
terdakwa.

 e. Tuntutan pidana

Bagian ini berisi pendapat Jaksa Penuntut Umum atas perkara yang telah diperiksa, hal
yang memberatkan serta meringankan terdakwa, serta tuntutan sanksi pidana kepada terdakwa.

8
Soeroso, R., Praktik Hukum Acara Pidana: Tata Cara dan Proses Persidangan, Sinar Grafika, Jakarta, 1993.
G. Pledoi

Pledoi adalah suatu tahap pembelaan yang dilakukan terdakwa untuk dapat melakukan
sanggahannya mengenai tuntutan yang dituntutkan oleh penuntut umum. Di dalam undang-
undang telah mengatur mengenai pledoi didalam pemeriksaa sidang pengadilan, yakni pada pasal
182 ayat 1 KUHAP. Walaupun tidak secara menyeluruh pembahasannya, namun cukup jelas
untuk dapat dimengerti. Pledoi ini dilakukan secara tertulis dan dibacakan di muka persidangan.
Tujuan pledoi sendiri adalah untuk meminta putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum. Namun, dalam pakteknya masih dapat ditemui kesalahpahaman dalam melakukan pledoi
ini, seperti isi dari pledoi itu sendiri hanya meminta keringanan hukuman saja dan juga masih
terdapat pledoi yang dilakukan secara lisan dalam persidangan. Kegiatan pengabdian kepada
masyarakat ini membantu memberi pemahaman kepada peserta mengenai hak terdakwa dan
memberikan pemahaman mengenai pembuatan pledoi. Sosialisai ini bertujuan untuk
memberikan pelatihan bagi Terdakwa di Rumah Tahanan Kelas IIB Boyolali agar para Terdakwa
mengetahui dan sadar betapa pentingnya Pembelaan/Pledoi atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Bahkan jika Terdakwa tidak didampingi oleh penasehat hukum pun mereka mampu
memperjuangkan haknya untuk melakukan Pembelaan atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Pemenuhan hak Terdakwa akan memberikan rasa keadilan dalam persidangan.

Terdakwa memiliki beberapa hak yang diperolehnya selama berjalananya persidangan


yang terkait oleh pemeriksaan terdakwa di Pengadilan, Berikut hak-hak terdakwa didalam pasal
50-68 KUHAP, antara lain:

a. Pasal 50: Hak untuk diperiksa, diajukan ke pengadilan, dan di adili

b. Pasal 51: hak untuk mengetahui dnegan jelas dan bahasa yang dimengerti olehnya
tentang

apa yang disangkakan dan apa yang didakwakan

c. Pasal 52: hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan hakim

seperti tersebut dimuka

d. Pasal 53 ayat 1: hak untuk mendapatkan juru bahasa


e. Pasal 54-56: hak untuk mendapatkan bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan

f. Pasal 65: hak tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi dan ahli a de charge

g. Pasal 68: hak tersangka atau terdakwa untuk menuntut ganti kerugian.

Dari sekian hak-hak terdakwa yang di atur dalam KUHAP terdapat juga hak terdakwa
didalam persidangan untuk melakukan pembelaan atau disebut dengan Pledoi.Pembelaan dapat
dilakukan setelah Jaksa Penuntut Umum selesai membacakan surat tuntutannya (Undang-
Undang 1981). Pembelaan (Pledoi) bertujuan untuk mendapatkan putusan hakim [yang dapat
membebaskan terdakwa dari segala dakwaan dan atau dapat melepaskan terdakwa dari segala
tuntutan hukum .9

Praktiknya masih banyak ditemui Terdakwa yang tidak membuat Pembelaan/Pledoi atas
tuntutan Jaksa Penuntut Umum, hal ini dikarenakan ketidaktahuan Terdakwa khususnya
Terdakwa yang tidak didampingi oleh Penasihat Hukum, maka dengan demikian ada salah satu
Hak Terdakwa yang hilang.Melihat permasalahan tersebut maka dilakukan Sosialisasi di Rumah
Tahanan. Sosialisai ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan bagi Terdakwa di Rumah
Tahanan boyolali agar para Terdakwa mengetahui dan sadar betapa pentingnya
Pembelaan/Pledoi atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum, maka dari itu Hak untuk melakukan
Pembelaan atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum tidak hilang.

H. Replik

Dalam praktik, pemeriksaan perkara perdata di persidangan melalui proses jawab-


menjawab antara pihak Penggugat dan Tergugat. Pihak Tergugat diberikan kesempatan untuk
memberikan jawaban atas gugatan dari pihak Penggugat di muka pengadilan, baik secara tertulis
maupun lisan. Apabila jawaban gugatan tersebut dilakukan secara tertulis baik berupa eksepsi
maupun bantahan terhadap pokok perkara, maka majelis hakim memberi kesempatan kepada
pihak Penggugat untuk menjawab kembali hal-hal yang dikemukakan oleh Tergugat dalam
jawaban gugatannya yang disebut replik. Replik merupakan pemberian hak kepada pihak
Penggugat untuk menanggapi jawaban yang diajukan oleh Tergugat. Replik menuurut pasal 142
RV adalah, Dalam tenggang waktu yang sama para pihak dapat saling menyampaikan surat-surat
9
Effendi, Tolib. 2016. Praktik Peradilan Pidana Kemahiran Berbicara Pidana Pada Pengadilan Tingkat Pertama.
Malang: Setara Press
jawaban (replik) dan jawaban balik (duplik) yang dengan cara yang sama bersama-sama dengan
surat-surat yang bersangkutan diserahkan kepada panitera. Dalam proses berperkara perdata di
pengadilan, jawaban gugatan dari Tergugat selain memuat jawaban atau bantahan terhadap
pokok perkara, juga termuat eksepsi serta dapat pula memuat gugatan balik atau gugatan
rekonvensi.10

Dalam menyusun replik, pihak Penggugat perlu memperhatikan jawaban gugatan dari
pihak Tergugat. Bentuk dan susunan replik harus disesuaikan dengan apa yang termuat dalam
jawaban gugatan yang diajukan pihak Tergugat.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan replik yaitu:

 a. Penggugat dalam menyusun replik selayaknya harus menguasai hal-hal yang terkait
dengan eksepsi
 b. Penggugat dalam menyusun replik harus mempertimbangkan dengan cermat isi
gugatan balik/rekonvensi dari Tergugat. Dalam menanggapi gugatan balik/rekonvensi
dari Tergugat, Penggugat harus memuat jawaban dari gugatan balik/rekonvensi tersebut
dalam replik
 c. Penggugat dalam menyusun replik harus mempertimbangkan dalil-dalil bantahan atas
gugatan balik/rekonvensi yang diajukan Tergugat dan juga harus mempertimbangkan alat
bukti yang dapat memperkuat dalil-dalil bantahan terhadap gugatan bali tersebut
 d. Penggugat dalam menyusun replik lazimnya selalu memuat permintaan pada majelis
hakim untuk mengabulkan tuntutan dalam gugatan.

I.Duplik

Duplik adalah merupakan suatu jawaban Tergugat terhadap replik yang diajukan oleh
pihak Penggugat. Sama halnya dengan replik, duplik ini pun dapat diajukan tertulis maupun
lisan. Duplik diajukan Tergugat untuk mempertahankan jawaban gugatan/eksepsi yang telah
diajukan sebelumnya, yang secara umum berisi bantahan terhadap gugatan yang diajukan oleh si
Penggugat. Tergugat dalam dupliknya dapat saja membenarkan dalil atau tuntutan yang diajukan
oleh si Penggugat dalam repliknya, namun tidak pula menutup kemungkinan Tergugat
menyampaikan dalil-dalil baru yang dapat menguatkan bantahan atas replik yang diajukan pihak
10
Abdul Manan, 2006, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana, Jakarta
Penggugat. Dalam menyusun duplik, diharapkan dalil-dalil/pernyataan yang diajukan oleh
Tergugat agar tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang telah dibuat dalam jawaban
gugatan/eksepsi.

Duplik biasanya memuatbantahan atau pembelaan atas dalildalil/pernyataan yang


diajukan oleh Penggugat dalam repliknya, yang tentunya disertai dengan uraian bukti-bukti yang
dapat menguatkan bantahan atau pembelaan tersebut. Sebagaimana dengan halnya replik,
pengaturan mengenai duplik dapat dijumpai dalam Pasal 142 Rv, namun tidak menguraikan
secara jelas mengenai bentuk dan susunan dari Duplik tersebut. Biasanya duplik ini dibuat oleh
kuasa hukum Tergugat yang dilengkapi dengan bukti data, pernyataan dan juga keterangan-
keterangan yang diperoleh dari pihak ketiga.

Tahapan replik dan duplik dapat saja diulangi sampai terdapat kesepahaman antara
Tergugat dan Penggugat atau bisa saja dalam prosesnya hakim yang menentukan apakah proses
jawab-menjawab ini ditutup ataukah diteruskan,dalam proses tersebut hakim akan menilai
apakah replik yang diajukan Penggugat dengan duplik yang diajukan Tergugat hanya
mengulang-ulang dalil atau tuntutan yang sebelumnya telah disampaikan di dalam proses
persidangan, jika hakim menilai proses tersebut hanya pengulangan dari apa yang telah
disampaikan maka atas dasar tersebut hakim akan memutuskan untuk menghentikan proses
jawab-menjawab tersebut. 11

Sesuai dengan prinsip peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan, sedapat mungkin
proses pemeriksaaan berjalan dengan efisien dan efektif. Apabila prinsip tersebut dikaitkan
dengan tahapan jawab-menjawab yang diatur dalam Pasal 117 Rv, hakim cukup memberi
kesempatan kepada para pihak untuk menyampaikan replik dan duplik hanya satu kali saja,
namun dalam hal ini tidak ada larangan yang tegas untuk menyampaikan replik dan duplik
berkali-kali. Apabila Hakim menilai proses jawab-menjawab tersebut tidak efektif dan efisien,
serta hanya membuang waktu saja, maka hakim dapat menghentikan proses jawab-menjawab
tersebut untuk selanjutnya dilanjutkan pada tahap pembuktian di pengadilan.

J. Musyawarah majelis

11
Hamzah, Andi. 2012. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.
Musyawarah Majelis Hakim adalah acara terakhir sebelum, Majelis Hakim, mengambil
suatu kesimpulan atau sebelum majelis Hakim mengucapkan putusan. Musyawarah majelis
dilakukan dalam sidang yang tertutup, karena dalam musyawarah itu masing-masing Hakim
yang ikut memeriksa persidangan itu akan mengemukakan pendapat hukumnya tentang perkara
yang tersebut secara terrahasia dengan arti tidak diketahui oleh yang bukan majelis
hakim.12Sistem hukum terkadang tidak dapat mencapai keadilan yang sempurna, namun hakim
harus dapat menetapkan keputusan yang mendekati keadilan.

Di dalam negara demokrasi, yang terpenting perselisihan diatasi dengan cara yang
tampaknya adil dan mendukung stabilitas sosial. Pada kenyataannya ada saja yang mungkin
tidak setuju dengan keputusan yang dijatuhkan oleh pengadilan, namun mereka harus percaya
pada keadilan sistem hukum secara keseluruhan. Pengambilan keputusan adalah suatu proses
untuk menyelesaikan suatu permasalahan dengan cara memilih salah satu dari berbagai alternatif
yang adauntuk mencapai tujuan yang telah ditentukan yaitu menghasilkan suatu keputusan yang
baik untuk mengatasi suatu masalah. Pengambilan keputusan sebagai suatu perumusan berbagai
macam alternatif tindakan dalam menghadapi situasi serta menetapkan pilihan yang tepat dari
berbagai alternatif. Kedudukan kekuasaan kehakiman dalam sistem peradilan pidana adalah
kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang kepada masing-masing sub sistem yang meliputi
Polisi, Jaksa dan Hakim dalam menjalankan penegakan hukum pidana sebagai satu sistem.

K.Putusan hakim

Seorang hakim adalah mempertimbangkan faktor-faktor yang ada dalam diri Terdakwa,
yaitu apakah Terdakwa benar-benar melakukan perbuatan yang telah dituduhkan kepada dirinya,
apakah terdakwa mengetahui perbuatannya yang dilakukannya itu melanggar hukum sehinga
dilakukan dengan adanya persaan takut dan bersalah, apakah terdakwa pada waktu melakukan
perbuatan tersebut dianggap mampu untuk bertanggung jawab atau tidak. Sehingga Hakim harus
membuat keputusan-keputusan yang adil dan bijaksana dengan mempertimbangkan implikasi
hukum dan dampak yang akan terjadi. Pertimbangan-pertimbangan harus dimiliki oleh seorang
hakim dalam menjatuhkan suatu putusan. Adapaun pertimbangan-pertimbangan hakim tersebut,
disamping berdasarkan Pasal-Pasal yang diterapkan oleh terdakwa, sesungguhnya juga
didasarkan atas keyakinan dan hati nurani hakim itu sendiri. Sehingga antara hakim yang satu
12
Hamzah, Andi. 2012. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.
dengan hakim yang lain saat menjatuhkan suatu putusan mempunyai pertimbangan berbeda
beda.

Berdasarkan asas praduga tak bersalah yang dianut oleh hukum di Indonesia, maka
seseorang belum dapat dinyatakan bersalah sebelum mendapat putusan hakim yang telah
inkracht. Sebelum hakim menjatuhkan putusan, maka harus dilakukan pembuktian dalam
pengadilan berdasar pada proses beracara dalam perkara pidana yang menganut pada KUHAP.
Pembuktian dalam hal ini merupakan beban Penuntut Umum melalui dakwaanya. Dengan
adanya pembuktian, maka hal ini menjadi salah satu alasan hakim berkeyakinan putusan seperti
apa yang seharusnya dijatuhkan untuk Terdakwa. Untuk menjatuhkan putusan dalam suatu
perkara, hakim wajib melakaukan pertimbanganpertimbangan dengan seksama. Dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum pada perkara
Nomor 24/Pid/2015/PT.DPS yaitu hakim dalam memutus perkara berdasarkan fakta-fakta yang
terungkap di persidangan dengan memeriksa beberapa alat bukti dan adanya perjanjian jual-beli
dengan syarat pembayaran dalam tempo 2 (dua) bulan, yang tidak dapat ditafsirkan sebagai
tindak pidana penipuan sehingga hubungan hukum yang dibangun merupakan hubungan hukum
keperdataan bukan merupakan hubungan hukum kepidanaan, sehingga hakim berkeyakinan
bahwa unsur-unsur yang ada pada Pasal 378 dan Pasal 372 KUHP yang menjadi dasar tuntutan
penuntut umum tidak sepenuhnya terpenuhi. 13

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada siapa saja (terdakwa) yang melakukan
tindak pidana, jika orang tersebut tidak mempunyai kesalahan. Laksana sebuah gedung bertumpu
pada fundamennya, demikian juga pidana bertumpu pada kesalahan. Karena kesalahan, pidana
menjadi sah. Dengan perkataan lain: kesalahan adalah dasar yang mensahkan pidana.

DAFTAR PUSTAKA

13
R. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993
Telaah Yuridis Pengajuan Eksepsi Oleh Terdakwa otos Alason Penuntutan Penuntul
Umum Telah Dakarsa Dan Implikasinya Jika Diterima Oleh Hakim Dalam Pemeriksaan Perkra
Korupsi, diakses tanggal 24 Maret 2016.
Harahap M. Yahya. 1988. Pembahasan Permasalahan KUHAP (Jilid I dan II).Jakarta:
Pustaka Kartini.
KUHAP dan KUHP, Op-Cit, hlm. 260.
R. Soesilo, Kitab undang-Undang hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor, 1996, hlm. 91.
Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam
Teori Dan Praktek, Alumni. Bandung. 1997, him. 85
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung : Citra Aditya Bakti,
2007
Soeroso, R., Praktik Hukum Acara Pidana: Tata Cara dan Proses Persidangan, Sinar
Grafika, Jakarta, 1993.
Effendi, Tolib. 2016. Praktik Peradilan Pidana Kemahiran Berbicara Pidana Pada
Pengadilan Tingkat Pertama. Malang: Setara Press
Abdul Manan, 2006, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
Kencana, Jakarta
Hamzah, Andi. 2012. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Sinar
Grafika.
Mukti Arto, Mencari Keadilan, Pustaka Pelajar. Yokyakarta, 2001
Harahap M. Yahya. 1988. Pembahasan Permasalahan KUHAP (Jilid I dan II).Jakarta:
Pustaka Kartini.
KUHAP dan KUHP, Op-Cit, hlm. 260.
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung : Citra Aditya Bakti,
2007
Soeroso, R., Praktik Hukum Acara Pidana: Tata Cara da Hamzah, Andi. 2012. Hukum
Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.
R. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita,
Jakarta, 1993n Proses Persidangan, Sinar Grafika, Jakarta, 1993.
Effendi, Tolib. 2016. Praktik Peradilan Pidana Kemahiran Berbicara Pidana Pada
Pengadilan Tingkat Pertama. Malang: Setara Press
Abdul Manan, 2006, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
Kencana, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai