Anda di halaman 1dari 9

Nama : Delvi Sofyanti

Nim : 1913030042
UTS : Hukum Acara Pidana
PROSES PERSIDANGAN
1. Pemeriksaan Identitas Terdakwa
Setelah hakim membuka persidangan maka selanjutnya memanggil terdakwa,
penasehat hukum serta pembimbing masyarakat masuk ke dalam persidangan. Setelah
hakim memanggil masuk terdakwa beserta orang tua, wali atau orang tua asuh,
penasehat hukum dan pembimbing kemasyarakatan, selanjutnya mereka duduk pada
tempat yang disediakan di ruang sidang kecuali terdakwa untuk sementara duduk di
kursi pemeriksaan guna memberikan keterangan mengenai identitasnya. Pemeriksaan
identitas terdakwa, diatur dalam pasal 155 ayat (1) KUHAP. Cara pemeriksaan
identitas tersebut dilakukan oleh calon hakim ketua sidang dengan menanyakan
kepada terdakwa tentang nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, agama
dan pekerjaannya serta mengingatkan terdakwa agar memperhatikan segala sesuatu
yang didengar dan dilihatnya disidang. Menurut Yahya Harahap pemeriksaan
identitas ini untuk memberi kepastian kepada hakim bahwa terdakwa yang sedang
diperiksa dalam perkara ini adalah orang yang tepat sehingga tidak ada lagi kekeliruan
terhadap terdakwa.

2. Pembacaan surat dakwaan


pembacaan surat dakwaan pada pengadilan anak sama halnya dengan pengadilan
umum. Hanya saja penuntut umum yang bertugas melakukan penuntutan adalah
penuntut umum anak yang telah memiliki pengalaman dalam penuntutan tindak
pidana yang dilakukan oleh orang dewasa dan mempunyai minat dan bakat, dedikasi
dan memahami masalah anak. Menyangkut surat dakwaan yang dibuat harus
memenuhi syarat formil dan materiil. Mengenai syarat surat dakwaan diatur pada
pasal 143 ayat (2) KUHAP yang berbunyi:
Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta
berisi:
a) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka.
b) Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan
dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana dilakukan.
Ketentuan huruf a pada pasal diatas merupakan syarat formil yaitu menyangkut
identitas terdakwa. Sedangkan pada huruf b pada pasal diatas merupakan syarat
materiil sehingga apabila dakwaan tidak memenuhi ketentuan ini maka dinyatakan
batal demi hukum. (Pasal 143 ayat (2) KUHAP). Dalam membuat surat dakwaan
penuntut umum dapat menyusun secara tunggal, subsidaritas, alternatif, atau
kumulatif, hal ini tergantung pada hasil penyidikan yang tertuang dalam penuntutan.
Setelah surat dakwaan dibacakan, maka ketua sidang akan menanyakan kepada
terdakwa apakah isi surat dakwaan sudah terang, jika masih belum jelas maka ketua
sidang dapat meminta penuntut umum untuk menjelaskannya. Kalau diurut proses
pembacaan surat dakwaan dapat kita ringkas sebagai berikut:
a. Atas permintaan ketua sidang, penuntut umum membacakan surat
dakwaan
b. Kemudian ketua sidang menyatakan kepada terdakwa apakah ia sudah
mengerti sepenuhnya akan isi surat dakwaan
c. Apabila terdakwa belum mengerti ketua sidang meminta penuntut umum
untuk memberi penjelasan seperlunya
d. Atas permintaan itu, penuntut umum wajib memberikan penjelasan yang
diperlukan.1

3. Eksepsi jawaban terhadap dakwaan (perlawanan terdakwa terhadap


pertanyaan-pertanyaan oleh hakim ketua)
Pengertian eksepsi itu sendiri adalah alat-alat pembelaan yang dimaksudnya untuk
menghindarkan keputusan tentang pokok perkara, karena dengan menerima baik
tangkisan-tangkisan tidak perlu lagi. KUHAP dalam pasal 156 ayat (1) menyatakan
bahwa “ Dalam hal terdakwa atau penasihat hukumnya mengajukan keberatan,
bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkara nya atau dakwaan tidak dapat
diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan
kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan
keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan”
Dari bunyi ketentuan pasal 156 KUHAP di atas, terdakwa atau penasihat hukumnya
bisa mengajukan keberatan (eksepsi) dalam hal:
a. Pengadilan tidak berwenang mengadili perkara nya
Berbicara masalah kewenangan pengadilan, ada dua hal yang di sini itu masalah
kewenangan absolut dan kewenangan relatif. Kewenangan absolut di sini
berhubungan dengan adanya wewenang peradilan yaitu:
1. Peradilan umum
2. Peradilan militer
3. Peradilan agama
4. Peradilan tata usaha negara
Sedangkan yang dimaksud dengan kompetensi relatif di sini yaitu jenis pengadilan
dalam lingkungan peradilan tertentu misalnya pengadilan negeri dalam
lingkungan peradilan umum. Dengan demikian untuk keberatan (eksepsi) yang
diajukan berhubungan dengan kewenangan pengadilan ini:
 Bawa eksepsi diajukan dengan suatu harapan agar pengadilan yang sedang
melakukan pemeriksaan perkara, dinyatakan tidak mempunyai wewenang
memeriksa perkara ini. Ini berarti ada eksepsi bahwa yang berwenang
adalah pengadilan lain, misalnya ada aksi yang menyatakan bahwa
pengadilan Negeri Sidoarjo tidak berwenang memeriksa kasus Ny Mutiara
(ingat kasus marsinah yang digelar). Menurut penasehat hukum Ny
Mutiara, yang berwenang adalah pengadilan Negeri Surabaya.

1
Triyanto, Tinjauan Hukum Terhadap Proses Sidang Perkara Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan Oleh
Anak, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Vol.2 No.6 (2014), 6
 Bahwa eksepsi diajukan dengan harapan bahwa perkara ini bukan
merupakan perkara pidana, sehingga hakim perkara pidana tidak
mempunyai kewenangan untuk memeriksa perkara ini. Misalnya nya kasus
terdakwa Arifin Panigoro yang dibebaskan oleh hakim pengadilan negeri
Jakarta Selatan yang menyatakan tidak berwenang mengadili perkara ini
(hakim pengadilan negeri Jakarta Selatan menerima atau setuju dengan
eksepsi yang diajukan oleh penasehat hukum terdakwa Arifin Panigoro).
Sikap pengadilan atas eksepsi atau keberatan dari terdakwa atau penasihat hukum
terdakwa, tentang tidak berwenang nya pengadilan memeriksa perkara ini ada dua
kemungkinan yaitu:
 Setuju dengan eksepsi terdakwa atau penasihat hukum terdakwa
 Keberatan (eksepsi) terdakwa atau penasihat hukum terdakwa tidak terima.
Apabila hakim berpendapat bahwa keberatan yang diajukan terdakwa atau
penasihat hukum terdakwa tidak dapat diterima atau hakim berpendapat
tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang
dilanjutkan.
b. Dakwaan tidak dapat diterima
suatu dakwaan tidak dapat diterima apabila:
1. Suatu perkara termasuk tindak pidana aduan, tetapi tidak ada pengaduan
2. Suatu perkara termasuk tindak pidana aduan, ada pengaduan tetapi
pengaduannya sudah melewati tenggang waktu yang diharuskan oleh
undang-undang. Untuk domisili orang yang dirugikan di Indonesia,
tenggang waktu mengajukan pengaduan adalah 6 bulan, sedangkan kalau
domisili pihak pengaduan di luar negeri, tenggang waktu mengajukan
pengaduan 9 bulan (diatur dalam pasal 74 KUHAP)
3. Suatu perkara nebis in idem (diatur dalam pasal 76 KUHAP)
4. Perkara sudah kadaluarsa (diatur dalam pasal 78 KUHAP)
c. Dakwaan batal demi hukum
suatu dakwaan batal demi hukum manakala surat dakwaan tersebut tidak
memenuhi syarat materiil sebagaimana diisyaratkan oleh pasal 143 ayat (2) huruf
b KUHAP surat dakwaan harus memenuhi persyaratan:
1. Syarat formil (pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP)
syarat formil di sini yaitu surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum,
yang diberi tanggal ditandatangani serta berisi identitas terdakwa:
a. Nama lengkap terdakwa
b. Tempat lahir
c. Umur atau tanggal lahir
d. Jenis kelamin
e. Kebangsaan
f. Tempat tinggal
g. Agama
h. Pekerjaan
syarat formil ini dalam rangka menghindari terjadi error in persona atau
kekeliruan mengenai orangnya. Dengan perkataan ini berdasarkan syarat
formil ini bahwa yang duduk sebagai terdakwa adalah benar-benar yang
patut di dakwah, bukan orang lain. Tidak menutup kemungkinan, ada
kalanya identitasnya tidak lengkap, nama orang di Indonesia banyak yang
sama.
2. Syarat materiil (pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP)
Dalam syarat materiil ini terkandung adanya uraian secara cermat, jelas
dan lengkap tentang:
a. Tindak pidana yang didakwakan.
b. Kapan tindak pidana dilakukan.
c. Tempat tindak pidana dilakukan.2

4. Putusan sela
Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan masih dalam proses pemeriksaan perkara
dengan tujuan untuk memperlancar jalannya pemeriksaan. Putusan sela tidak
mengakhiri pemeriksaan, tetapi akan berpengaruh terhadap arah dan jalannya
pemeriksaan, namun putusan sela dituangkan dalam bentuk penetapan yang terpisah
dengan putusan akhir, tujuannya adalah untuk menghadiri agar penetapan penundaan
tidak menempel terus pada pokok perkaranya sampai dengan putusan berkekuatan
hukum tetap. 3

5. Pemeriksaan saksi, Saksi ahli, Alat bukti, Surat, Petunjuk, Keterangan


terdakwa
a. Keterangan saksi
Perihal batasan keterangan saksi secara eksplisit pada pasal 1 angka 27
KUHAP, menentukan bahwa: “keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam
perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai sesuatu peristiwa
pidana yang ia dengar sendiri, iya lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuan itu”.
Sedangkan menurut pasal 185 ayat (1) KUHAP, memberi batasan pengertian
keterangan saksi dalam kapasitasnya sebagai alat bukti, bahwa: “keterangan
saksi sebagai alat bukti iyalah apa yang saksi nyatakan di muka persidangan”.
Berdasarkan pengertian di atas jelaslah bahwa keterangan saksi sebagai alat
bukti yang paling utama dalam perkara pidana, boleh dikatakan tidak ada
perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi
sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan yang lain.
b. Keterangan ahli
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang
suatu perkara guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 angka 28 KUHAP).
Menurut m Yahya Harahap perbedaan antara keterangan seorang saksi dengan
seorang ahli, adalah bahwa keterangan seorang ahli adalah bahwa keterangan
seorang saksi mengenai hal-hal yang dialami oleh saksi itu sendiri (Eugen
waarneming), sedang keterangan seorang ahli adalah mengenai suatu

2
Didik Endro Purwoleksono, Eksepsi Dalam Perkara Pidana, Jurnal Perspektif, Vol.8 No.2, (2003) 119-123
3
Dezonda Rosiana Pattipawae, Tinjauan Eksekusi Putusan Sela Dalam Bentuk Schorsing Pada Pengadilan Tata
Usaha Negara, Jurnal Sasi, Vol.4 No.1, (2018), 87
penghargaan dari hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan
dari hal-hal itu.
c. Surat
ada beberapa pengertian surat secara umum yang dikemukakan oleh para ahli
di antaranya adalah sebagai berikut:
Menurut Sudikno Mertokusumo “surat adalah yang memuat tanda-tanda
bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk
menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai
pembuktian”.
Pengaturan mengenai alat bukti surat ini diatur dalam pasal 187 KUHAP,
menurut ketentuan ini surat dapat dinilai sebagai alat musik yang sah menurut
UU ialah:
1. Surat yang dibuat atas sumpah jabatan
2. Atau surat yang dikuatkan dengan sumpah
d. Petunjuk
Dalam praktek peradilan, sering terjadi kesulitan dalam menerapkan alat bukti
petunjuk. Dimana akibat dari kekurang hati-hatian dalam menggunakan alat
bukti petunjuk itu dapat berakibat fatal pada putusannya. Berdasarkan
ketentuan pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP, petunjuk merupakan bagian
keempat sebagai alat bukti. Esensi alat bukti petunjuk ini diatur ketentuan
pasal 188 KUHAP yang selengkap-lengkapnya berbunyi sebagai berikut:

1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena


persesuaian baik antara satu dan yang lain maupun tindak
pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak
pidana dan siapa pelakunya.

2. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat


diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.

3. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam


setiap keadaan tertentu oleh hakim setelah ia mengadakan
pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan
berdasarkan hati nuraninya.

e. Keterangan terdakwa
Keterangan terdakwa (erkentenis) merupakan bagian kelima ketentuan pasal
184 ayat (1) huruf e KUHAP. Apabila perbandingan dari segi istilah dengan
pengakuan terdakwa. Pada sasarnya keterangan terdakwa sebagai alat bukti
tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan, semua keterangan terdakwa
hendaknya didengar. Apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan ataupun
pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan, keterangan terdakwa tidak
perlu sama dengan pengakuan karena pengakuan sebagai alat bukti
mempunyai syarat-syarat:
1. Mengakui ya yang melakukan delik yang didakwakan
2. Mengaku ia bersalah. 4

6. Pembacaan Tuntutan
Setelah proses pemeriksaan atau pembuktian dinyatakan selesai maka Jaksa Penuntut
Umum mengajukan Surat Tuntutan (Requisitoir). Requisitoir berisi kesimpulan Jaksa
Penuntut Umum atas proses pembuktian, dakwaan apa yang menurut Jaksa Penuntut
Umum telah terbukti berdasarkan hasil pembuktian, serta berapa tuntutan pidana yang
diminta untuk dijatuhkan kepada terdakwa.5

7. Pledooi
Pledoi atau nota pembelaan merupakan pembelaan berisikan tangkisan terhadap
segala tuntutan atau tuduhan Jaksa Penuntut Umum dengan dasar mengemukakan hal-
hal yang meringankan atau membenarkan dirinya yang diucapkan oleh terdakwa atau
penasihat Hukum. Terdapat 3 (tiga) hal yang dapat menjadi kesimpulan dalam nota
pembelaan (pledoi). Pertama, terdakwa minta dibebaskan dari segala dakwaan (bebas
murni) karena tidak terbukti. Kedua, terdakwa supaya dilepaskan dari segala tuntutan
hukum, karena dakwaan terbukti, tetapi bukan merupakan suatu tindak pidana.
Ketiga, Terdakwa meminta dihukum yang seringan-ringannya karena telah terbukti
melakukan suatu tindak pidana yang didakwakan. Ketiga kesimpulan pledoi di atas
menunjukan bahwa terbukti atau tidaknya terdakwa melakukan tindak pidana yang
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain bahwa tidak
ada hukum atau keadilan di luar aturan, ini merupakan ajaran dari warisan penjajah di
Indonsia. Di sisi lain jika pledoi dibuat dengan berpikir kritis dan mendalam tidak
hanya terbukti atau tidaknya terdakwa namun perlu kajian kritis apakah
memungkinkan perbuatan pidana tersebut dibenarkan.6

8. Replik
Replik dilakukan dalam persidangan yang ketiga. Secara etimologis, replik berasal
dari kata “re” yang berarti kembali dan “pliek” yang berarti menjawab. Jadi replik
berarti memberi jawaban kembali (balasan) atas jawaban tergugat/para tergugat atau
kuasanya. Pada dasarnya replik diatur dalam Pasal 142 Reglement op de
Rechtsverordering (Stb. 1847-52 jo 1849-63). Lebih jauh dalam hal ini apabila dalam
jawaban tergugat/para tergugat atau kuasanya disertakan mengenai gugatan balik
(rekonvensi), maka dalam replik juga dijawab terhadap replik konvensi karena
penggugat/para penggugat berkedudukan sebagai “penggugat/penggugat dalam
konvensi” sedangkan terhadap gugatan rekonvensi maka persidangan ketiga bersifat
“jawaban terhadap gugatan dalam rekonvensi” karena penggugat/para penggugat
sebagai “tergugat/para tergugat dalam rekonvensi”.7

4
Fachrul Rozi, Sistem Pembuktian Dalam Proses Persidangan Pada Perkara Tindak Pidana, Jurnal Yuridis Unaja,
Vol.1 No.2, (2018),27-30
5
Johar Moidadi, Peranan Saksi Yang Menguntungkan Terdakwa Dalam Proses Pemeriksaan Perkara Pidana,
Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Vol 4 No.1, (2016), 8
6
Muhammad Helmi, Pembelaan (Pledoi) Advokat berdasar Paradigma Critical Theory Guba And Lincoln, Jurnal
Pandecta, Vol.16 No.1, (2021), 47
7
Faisal Luqman Hakim, Simplifikasi Prosedur Beracara dengan Pemanfaatan Teknologi dalamRancangan
Undang-Undang Hukum Acara Perdata. Jurnal JHAPER, Vol. 5 No. 1, (2019), 9
Replik yaitu adalah jawaban penggugat dalam hal baik terulis maupun juga lisan
terhadap jawaban tergugat atas gugatannya. Replik diajukan oleh penggugat untuk
meneguhkan gugatannya tersebut, dengan cara mematahkan berbagai alasan dalam
penolakan yang dikemukakan tergugat di dalam jawabannya.Replik adalah lanjutan
dari suatu pemeriksaan dalam perkara perdata di dalam pengadilan negeri setelah
tergugat mengajukan jawabannya. Replik ini berasal dari 2 kata yakni re (kembali)
dan pliek (menjawab), jadi dapat kita simpulkan bahwareplik berarti kembali
menjawab.8

9. Duplik
Duplik adalah tanggapan dari tergugat atas replik yang diajukan oleh penggugat.
Yang isinya membantah jawaban sekaligus replik penggugat. Seperti halnya replik,
duplik inipun dapat dibuat oleh tergugat in person maupun atas kuasa hukumnya.
Duplik juga dapat diajukan secara lisan maupun tertulis. Untuk acara jawab menjawab
(replik-duplik) ini dapat diulangi sampai ada titik temu atau titik perselisihan antara
penggugat dan tergugat, sebagai masalah pokok yang akan dibawa ke tahap
pembuktian.9

10. Musyawarah Majelis


Sebelum dijatuhkannya putusan akhir, majelis hakim akan bermusyawarah di dalam
sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia. Hal ini telah diatur dalam Pasal
178 ayat (1) H.I.R yang menyatakan bahwa hakim karena jabatannya waktu
bermusyawarat wajib mencukupkan segala alasan hukum, yang tidak dikemukakan
oleh kedua belah fihak. Selain itu juga diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman Musyawarah majelis ini merupakan perundingan yang
dilakukan oleh hakim dalam mengambil sebuah kesimpulan dari sengketa yang
sedang diadili yang selanjutnya dituangkan dalam suatu putusan.29 Di dalam suatu
musyawarah majelis, majelis akan melakukan dua hal yakni:
a. Pihak mana yang berhasil membuktikan dan pihak mana yang tidak berhasil
membuktikan
b. Menetapkan hak-hak dan hubungan hukum antara para pihak
Dalam hal musyawarah majelis, para hakim kerap dihadapkan oleh perbedaan
pendapat antar hakim satu sama lain. Hal ini biasanya disebut dissenting opinion.
Dalam kamus bahasa Indonesia kata dissenting berasal dari kata dissent yang artinya
perbedaan pendapat, ketidak sepakatan, berbeda pendapat atau berselisih. Menurut
Black’s Law Dictionary, dissenting opinion adalah adanya pendapat satu atau lebih
hakim yang tidak setuju akan pendapat mayoritas sedangkan Menurut Pontang
Moerad, “dissenting opinion adalah pendapat/putusan yang ditulis oleh seorang hakim
atau lebih yang tidak setuju dengan pendapat mayoritas majelis hakim, yang tidak
setuju dengan putusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis hakim.

8
Ery Agus Priyono, Duplik Sebagai Upaya Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi Dalam Mempertahankan
Argumentasi Dalam Jawaban Atas Gugatan Penggugat Konvensi/Tergugat Rekovensi, Jurnal Law Development
& Justice Revie, Vol. 1 No.1, (2018), 105
9
Suharto, Pengkajian Praktek Tugas Wewenang dan Prosedur Sidang di Pengadilan Agama Kabupaten Kediri,
Jurnal Diversi, Vol.1 No.2, (2015), 133
Dissenting opinion ini merupakan salah satu implementasi dari kebebasan hakim
dalam hal memutus suatu perkara. Perbedaan pendapat ini harus berdasarkan dasar
hukum yang relevan dan jelas. Kebebasan hakim ini juga diatur dengan adanya Pasal
14 ayat (3) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman. Selain di dalam Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman, dissenting opinion juga diatur dalam Pasal 30 ayat (3)
Undang-Undang Mahkamah Agung. Jika dalam suatu sidang permusyawaratan tidak
tercapai kata mufakat bulat maka, hakim dapat menyatakan pendapat yang berbeda
dan wajib dimuat dalam putusan tersebut. Perbedaan pendapat ini pertama kali
dikenal di dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2000 tentang
Penyempurnaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1999 tentang Hakim
Ad Hoc. Menurut Pasal 1 Angka 3 PERMA Nomor 2 Tahun 2000, “Perbedaan
pendapat adalah pendapat yang berbeda dari salah seorang Anggota Majelis, baik
mengenai fakta atau hukumnya dalam musyawarah Majelis”.10

11. Putusan
Pengertian putusan oleh Sudikno Mertokussumo melihat putusan itu sebagai suatu
pernyataan yang dikemukakan oleh Hakim sebagai pejabat negara, seperti tampak
jeelas dikemukakannya bahwa : “Putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh
Hakim sebagai negara yang di beri wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan
dan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak,
bahkan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan melainkan yang dituangkan
dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan dalam persidangan”.
Lain halnya dengan Wirjono Prodjodokoro yang mengemukakan putusan bukan dari
segi pengertian melainkan memilikinya dari sisi jenis putusan Hakim tersebut, sebagai
berikut : “Ada dua macam putusan Hakim, yaitu putusan terakhir ( eindvonnis ) yang
mengakhiri perkara perdata yang diperiksa oleh Hakim, dan putusan sela
(tusenvonnis) yang diadakan sebelum Hakim memutuskan perkaranya yaitu untuk
memungkinkan mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara”. Bilamana
diperhatikan dua jenis putusan diatas, khususnya putusan akhir yang dikemukakan
oleh Wirjono Prodjodikoro tersebut, di samping pengertian putusan yang
dikemukakan oleh dua orang pakar ebelumnya , dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu
putusan adalah merupakan proses akhir dalam menjatuhkan putusan yang dimaksud,
tidak lain untuk mengakhiri sengketa / perkara di antara pihak – pihak.11

DAFTAR PUSTAKA
Ferevaldy Adisti Pratama. 2017. Kedudukan Hakim Tunggal Dalam Gugatan Sederhana
(Small Claim Court). Jurnal JHAPER. Vol. 3 No. 2.
Hakim Faisal Luqman. 2019. Simplifikasi Prosedur Beracara dengan Pemanfaatan
Teknologi dalamRancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata. Jurnal JHAPER.
Vol. 5 No. 1.
Helmi Muhammad. 2021. Pembelaan (Pledoi) Advokat berdasar Paradigma Critical Theory
Guba And Lincoln. Jurnal Pandecta. Vol.16 No.1.
10
Adisti Pratama Ferevaldy, dan Ghansham Anand, Kedudukan Hakim Tunggal Dalam Gugatan Sederhana
(Small Claim Court), Jurnal JHAPER, Vol. 3 No. 2,(2017), 221-222
11
Lukman, Tinjauan Hukum Putusan Perkara Perdata, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Vol.1 No.2, (2013), 3
Lukman. 2003. Tinjauan Hukum Putusan Perkara Perdata, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion
Vol.1 No.2.
Moidadi Johar. 2016. Peranan Saksi Yang Menguntungkan Terdakwa Dalam Proses
Pemeriksaan Perkara Pidana. Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion. Vol 4 No.1.
Pattipawae Dezonda Rosiana. 2018. Tinjauan Eksekusi Putusan Sela Dalam Bentuk Schorsing
Pada Pengadilan Tata Usaha Negara. Jurnal Sasi. Vol.4 No.1.
Priyono Ery Agus. 2018. Duplik Sebagai Upaya Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi
Dalam Mempertahankan Argumentasi Dalam Jawaban Atas Gugatan Penggugat
Konvensi/Tergugat Rekovensi. Jurnal Law Development & Justice Revie. Vol. 1 No.1.
Purwoleksono Didik Endro. 2003. Eksepsi dalam Perkara Pidana. Jurnal Perspektif, Vol.8
No.2.
Rozi Fachrul. 2018. Sistem Pembuktian dalam Proses Persidangan Pada Perkara Tindak
Pidana. Jurnal Yuridis Unaja. Vol.1 No.2.
Suharto. 2015. Pengkajian Praktek Tugas Wewenang dan Prosedur Sidang di Pengadilan
Agama Kabupaten Kediri. Jurnal Diversi. Vol.1 No.2.
Triyanto. 2014. Tinjauan Hukum Terhadap Proses Sidang Perkara Tindak Pidana
Penganiayaan Yang Dilakukan Oleh Anak. Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion. Vol.2
No.6.

Anda mungkin juga menyukai