Nim : 1913030042
UTS : Hukum Acara Pidana
PROSES PERSIDANGAN
1. Pemeriksaan Identitas Terdakwa
Setelah hakim membuka persidangan maka selanjutnya memanggil terdakwa,
penasehat hukum serta pembimbing masyarakat masuk ke dalam persidangan. Setelah
hakim memanggil masuk terdakwa beserta orang tua, wali atau orang tua asuh,
penasehat hukum dan pembimbing kemasyarakatan, selanjutnya mereka duduk pada
tempat yang disediakan di ruang sidang kecuali terdakwa untuk sementara duduk di
kursi pemeriksaan guna memberikan keterangan mengenai identitasnya. Pemeriksaan
identitas terdakwa, diatur dalam pasal 155 ayat (1) KUHAP. Cara pemeriksaan
identitas tersebut dilakukan oleh calon hakim ketua sidang dengan menanyakan
kepada terdakwa tentang nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, agama
dan pekerjaannya serta mengingatkan terdakwa agar memperhatikan segala sesuatu
yang didengar dan dilihatnya disidang. Menurut Yahya Harahap pemeriksaan
identitas ini untuk memberi kepastian kepada hakim bahwa terdakwa yang sedang
diperiksa dalam perkara ini adalah orang yang tepat sehingga tidak ada lagi kekeliruan
terhadap terdakwa.
1
Triyanto, Tinjauan Hukum Terhadap Proses Sidang Perkara Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan Oleh
Anak, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Vol.2 No.6 (2014), 6
Bahwa eksepsi diajukan dengan harapan bahwa perkara ini bukan
merupakan perkara pidana, sehingga hakim perkara pidana tidak
mempunyai kewenangan untuk memeriksa perkara ini. Misalnya nya kasus
terdakwa Arifin Panigoro yang dibebaskan oleh hakim pengadilan negeri
Jakarta Selatan yang menyatakan tidak berwenang mengadili perkara ini
(hakim pengadilan negeri Jakarta Selatan menerima atau setuju dengan
eksepsi yang diajukan oleh penasehat hukum terdakwa Arifin Panigoro).
Sikap pengadilan atas eksepsi atau keberatan dari terdakwa atau penasihat hukum
terdakwa, tentang tidak berwenang nya pengadilan memeriksa perkara ini ada dua
kemungkinan yaitu:
Setuju dengan eksepsi terdakwa atau penasihat hukum terdakwa
Keberatan (eksepsi) terdakwa atau penasihat hukum terdakwa tidak terima.
Apabila hakim berpendapat bahwa keberatan yang diajukan terdakwa atau
penasihat hukum terdakwa tidak dapat diterima atau hakim berpendapat
tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang
dilanjutkan.
b. Dakwaan tidak dapat diterima
suatu dakwaan tidak dapat diterima apabila:
1. Suatu perkara termasuk tindak pidana aduan, tetapi tidak ada pengaduan
2. Suatu perkara termasuk tindak pidana aduan, ada pengaduan tetapi
pengaduannya sudah melewati tenggang waktu yang diharuskan oleh
undang-undang. Untuk domisili orang yang dirugikan di Indonesia,
tenggang waktu mengajukan pengaduan adalah 6 bulan, sedangkan kalau
domisili pihak pengaduan di luar negeri, tenggang waktu mengajukan
pengaduan 9 bulan (diatur dalam pasal 74 KUHAP)
3. Suatu perkara nebis in idem (diatur dalam pasal 76 KUHAP)
4. Perkara sudah kadaluarsa (diatur dalam pasal 78 KUHAP)
c. Dakwaan batal demi hukum
suatu dakwaan batal demi hukum manakala surat dakwaan tersebut tidak
memenuhi syarat materiil sebagaimana diisyaratkan oleh pasal 143 ayat (2) huruf
b KUHAP surat dakwaan harus memenuhi persyaratan:
1. Syarat formil (pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP)
syarat formil di sini yaitu surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum,
yang diberi tanggal ditandatangani serta berisi identitas terdakwa:
a. Nama lengkap terdakwa
b. Tempat lahir
c. Umur atau tanggal lahir
d. Jenis kelamin
e. Kebangsaan
f. Tempat tinggal
g. Agama
h. Pekerjaan
syarat formil ini dalam rangka menghindari terjadi error in persona atau
kekeliruan mengenai orangnya. Dengan perkataan ini berdasarkan syarat
formil ini bahwa yang duduk sebagai terdakwa adalah benar-benar yang
patut di dakwah, bukan orang lain. Tidak menutup kemungkinan, ada
kalanya identitasnya tidak lengkap, nama orang di Indonesia banyak yang
sama.
2. Syarat materiil (pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP)
Dalam syarat materiil ini terkandung adanya uraian secara cermat, jelas
dan lengkap tentang:
a. Tindak pidana yang didakwakan.
b. Kapan tindak pidana dilakukan.
c. Tempat tindak pidana dilakukan.2
4. Putusan sela
Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan masih dalam proses pemeriksaan perkara
dengan tujuan untuk memperlancar jalannya pemeriksaan. Putusan sela tidak
mengakhiri pemeriksaan, tetapi akan berpengaruh terhadap arah dan jalannya
pemeriksaan, namun putusan sela dituangkan dalam bentuk penetapan yang terpisah
dengan putusan akhir, tujuannya adalah untuk menghadiri agar penetapan penundaan
tidak menempel terus pada pokok perkaranya sampai dengan putusan berkekuatan
hukum tetap. 3
2
Didik Endro Purwoleksono, Eksepsi Dalam Perkara Pidana, Jurnal Perspektif, Vol.8 No.2, (2003) 119-123
3
Dezonda Rosiana Pattipawae, Tinjauan Eksekusi Putusan Sela Dalam Bentuk Schorsing Pada Pengadilan Tata
Usaha Negara, Jurnal Sasi, Vol.4 No.1, (2018), 87
penghargaan dari hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan
dari hal-hal itu.
c. Surat
ada beberapa pengertian surat secara umum yang dikemukakan oleh para ahli
di antaranya adalah sebagai berikut:
Menurut Sudikno Mertokusumo “surat adalah yang memuat tanda-tanda
bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk
menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai
pembuktian”.
Pengaturan mengenai alat bukti surat ini diatur dalam pasal 187 KUHAP,
menurut ketentuan ini surat dapat dinilai sebagai alat musik yang sah menurut
UU ialah:
1. Surat yang dibuat atas sumpah jabatan
2. Atau surat yang dikuatkan dengan sumpah
d. Petunjuk
Dalam praktek peradilan, sering terjadi kesulitan dalam menerapkan alat bukti
petunjuk. Dimana akibat dari kekurang hati-hatian dalam menggunakan alat
bukti petunjuk itu dapat berakibat fatal pada putusannya. Berdasarkan
ketentuan pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP, petunjuk merupakan bagian
keempat sebagai alat bukti. Esensi alat bukti petunjuk ini diatur ketentuan
pasal 188 KUHAP yang selengkap-lengkapnya berbunyi sebagai berikut:
e. Keterangan terdakwa
Keterangan terdakwa (erkentenis) merupakan bagian kelima ketentuan pasal
184 ayat (1) huruf e KUHAP. Apabila perbandingan dari segi istilah dengan
pengakuan terdakwa. Pada sasarnya keterangan terdakwa sebagai alat bukti
tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan, semua keterangan terdakwa
hendaknya didengar. Apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan ataupun
pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan, keterangan terdakwa tidak
perlu sama dengan pengakuan karena pengakuan sebagai alat bukti
mempunyai syarat-syarat:
1. Mengakui ya yang melakukan delik yang didakwakan
2. Mengaku ia bersalah. 4
6. Pembacaan Tuntutan
Setelah proses pemeriksaan atau pembuktian dinyatakan selesai maka Jaksa Penuntut
Umum mengajukan Surat Tuntutan (Requisitoir). Requisitoir berisi kesimpulan Jaksa
Penuntut Umum atas proses pembuktian, dakwaan apa yang menurut Jaksa Penuntut
Umum telah terbukti berdasarkan hasil pembuktian, serta berapa tuntutan pidana yang
diminta untuk dijatuhkan kepada terdakwa.5
7. Pledooi
Pledoi atau nota pembelaan merupakan pembelaan berisikan tangkisan terhadap
segala tuntutan atau tuduhan Jaksa Penuntut Umum dengan dasar mengemukakan hal-
hal yang meringankan atau membenarkan dirinya yang diucapkan oleh terdakwa atau
penasihat Hukum. Terdapat 3 (tiga) hal yang dapat menjadi kesimpulan dalam nota
pembelaan (pledoi). Pertama, terdakwa minta dibebaskan dari segala dakwaan (bebas
murni) karena tidak terbukti. Kedua, terdakwa supaya dilepaskan dari segala tuntutan
hukum, karena dakwaan terbukti, tetapi bukan merupakan suatu tindak pidana.
Ketiga, Terdakwa meminta dihukum yang seringan-ringannya karena telah terbukti
melakukan suatu tindak pidana yang didakwakan. Ketiga kesimpulan pledoi di atas
menunjukan bahwa terbukti atau tidaknya terdakwa melakukan tindak pidana yang
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain bahwa tidak
ada hukum atau keadilan di luar aturan, ini merupakan ajaran dari warisan penjajah di
Indonsia. Di sisi lain jika pledoi dibuat dengan berpikir kritis dan mendalam tidak
hanya terbukti atau tidaknya terdakwa namun perlu kajian kritis apakah
memungkinkan perbuatan pidana tersebut dibenarkan.6
8. Replik
Replik dilakukan dalam persidangan yang ketiga. Secara etimologis, replik berasal
dari kata “re” yang berarti kembali dan “pliek” yang berarti menjawab. Jadi replik
berarti memberi jawaban kembali (balasan) atas jawaban tergugat/para tergugat atau
kuasanya. Pada dasarnya replik diatur dalam Pasal 142 Reglement op de
Rechtsverordering (Stb. 1847-52 jo 1849-63). Lebih jauh dalam hal ini apabila dalam
jawaban tergugat/para tergugat atau kuasanya disertakan mengenai gugatan balik
(rekonvensi), maka dalam replik juga dijawab terhadap replik konvensi karena
penggugat/para penggugat berkedudukan sebagai “penggugat/penggugat dalam
konvensi” sedangkan terhadap gugatan rekonvensi maka persidangan ketiga bersifat
“jawaban terhadap gugatan dalam rekonvensi” karena penggugat/para penggugat
sebagai “tergugat/para tergugat dalam rekonvensi”.7
4
Fachrul Rozi, Sistem Pembuktian Dalam Proses Persidangan Pada Perkara Tindak Pidana, Jurnal Yuridis Unaja,
Vol.1 No.2, (2018),27-30
5
Johar Moidadi, Peranan Saksi Yang Menguntungkan Terdakwa Dalam Proses Pemeriksaan Perkara Pidana,
Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Vol 4 No.1, (2016), 8
6
Muhammad Helmi, Pembelaan (Pledoi) Advokat berdasar Paradigma Critical Theory Guba And Lincoln, Jurnal
Pandecta, Vol.16 No.1, (2021), 47
7
Faisal Luqman Hakim, Simplifikasi Prosedur Beracara dengan Pemanfaatan Teknologi dalamRancangan
Undang-Undang Hukum Acara Perdata. Jurnal JHAPER, Vol. 5 No. 1, (2019), 9
Replik yaitu adalah jawaban penggugat dalam hal baik terulis maupun juga lisan
terhadap jawaban tergugat atas gugatannya. Replik diajukan oleh penggugat untuk
meneguhkan gugatannya tersebut, dengan cara mematahkan berbagai alasan dalam
penolakan yang dikemukakan tergugat di dalam jawabannya.Replik adalah lanjutan
dari suatu pemeriksaan dalam perkara perdata di dalam pengadilan negeri setelah
tergugat mengajukan jawabannya. Replik ini berasal dari 2 kata yakni re (kembali)
dan pliek (menjawab), jadi dapat kita simpulkan bahwareplik berarti kembali
menjawab.8
9. Duplik
Duplik adalah tanggapan dari tergugat atas replik yang diajukan oleh penggugat.
Yang isinya membantah jawaban sekaligus replik penggugat. Seperti halnya replik,
duplik inipun dapat dibuat oleh tergugat in person maupun atas kuasa hukumnya.
Duplik juga dapat diajukan secara lisan maupun tertulis. Untuk acara jawab menjawab
(replik-duplik) ini dapat diulangi sampai ada titik temu atau titik perselisihan antara
penggugat dan tergugat, sebagai masalah pokok yang akan dibawa ke tahap
pembuktian.9
8
Ery Agus Priyono, Duplik Sebagai Upaya Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi Dalam Mempertahankan
Argumentasi Dalam Jawaban Atas Gugatan Penggugat Konvensi/Tergugat Rekovensi, Jurnal Law Development
& Justice Revie, Vol. 1 No.1, (2018), 105
9
Suharto, Pengkajian Praktek Tugas Wewenang dan Prosedur Sidang di Pengadilan Agama Kabupaten Kediri,
Jurnal Diversi, Vol.1 No.2, (2015), 133
Dissenting opinion ini merupakan salah satu implementasi dari kebebasan hakim
dalam hal memutus suatu perkara. Perbedaan pendapat ini harus berdasarkan dasar
hukum yang relevan dan jelas. Kebebasan hakim ini juga diatur dengan adanya Pasal
14 ayat (3) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman. Selain di dalam Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman, dissenting opinion juga diatur dalam Pasal 30 ayat (3)
Undang-Undang Mahkamah Agung. Jika dalam suatu sidang permusyawaratan tidak
tercapai kata mufakat bulat maka, hakim dapat menyatakan pendapat yang berbeda
dan wajib dimuat dalam putusan tersebut. Perbedaan pendapat ini pertama kali
dikenal di dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2000 tentang
Penyempurnaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1999 tentang Hakim
Ad Hoc. Menurut Pasal 1 Angka 3 PERMA Nomor 2 Tahun 2000, “Perbedaan
pendapat adalah pendapat yang berbeda dari salah seorang Anggota Majelis, baik
mengenai fakta atau hukumnya dalam musyawarah Majelis”.10
11. Putusan
Pengertian putusan oleh Sudikno Mertokussumo melihat putusan itu sebagai suatu
pernyataan yang dikemukakan oleh Hakim sebagai pejabat negara, seperti tampak
jeelas dikemukakannya bahwa : “Putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh
Hakim sebagai negara yang di beri wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan
dan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak,
bahkan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan melainkan yang dituangkan
dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan dalam persidangan”.
Lain halnya dengan Wirjono Prodjodokoro yang mengemukakan putusan bukan dari
segi pengertian melainkan memilikinya dari sisi jenis putusan Hakim tersebut, sebagai
berikut : “Ada dua macam putusan Hakim, yaitu putusan terakhir ( eindvonnis ) yang
mengakhiri perkara perdata yang diperiksa oleh Hakim, dan putusan sela
(tusenvonnis) yang diadakan sebelum Hakim memutuskan perkaranya yaitu untuk
memungkinkan mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara”. Bilamana
diperhatikan dua jenis putusan diatas, khususnya putusan akhir yang dikemukakan
oleh Wirjono Prodjodikoro tersebut, di samping pengertian putusan yang
dikemukakan oleh dua orang pakar ebelumnya , dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu
putusan adalah merupakan proses akhir dalam menjatuhkan putusan yang dimaksud,
tidak lain untuk mengakhiri sengketa / perkara di antara pihak – pihak.11
DAFTAR PUSTAKA
Ferevaldy Adisti Pratama. 2017. Kedudukan Hakim Tunggal Dalam Gugatan Sederhana
(Small Claim Court). Jurnal JHAPER. Vol. 3 No. 2.
Hakim Faisal Luqman. 2019. Simplifikasi Prosedur Beracara dengan Pemanfaatan
Teknologi dalamRancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata. Jurnal JHAPER.
Vol. 5 No. 1.
Helmi Muhammad. 2021. Pembelaan (Pledoi) Advokat berdasar Paradigma Critical Theory
Guba And Lincoln. Jurnal Pandecta. Vol.16 No.1.
10
Adisti Pratama Ferevaldy, dan Ghansham Anand, Kedudukan Hakim Tunggal Dalam Gugatan Sederhana
(Small Claim Court), Jurnal JHAPER, Vol. 3 No. 2,(2017), 221-222
11
Lukman, Tinjauan Hukum Putusan Perkara Perdata, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Vol.1 No.2, (2013), 3
Lukman. 2003. Tinjauan Hukum Putusan Perkara Perdata, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion
Vol.1 No.2.
Moidadi Johar. 2016. Peranan Saksi Yang Menguntungkan Terdakwa Dalam Proses
Pemeriksaan Perkara Pidana. Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion. Vol 4 No.1.
Pattipawae Dezonda Rosiana. 2018. Tinjauan Eksekusi Putusan Sela Dalam Bentuk Schorsing
Pada Pengadilan Tata Usaha Negara. Jurnal Sasi. Vol.4 No.1.
Priyono Ery Agus. 2018. Duplik Sebagai Upaya Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi
Dalam Mempertahankan Argumentasi Dalam Jawaban Atas Gugatan Penggugat
Konvensi/Tergugat Rekovensi. Jurnal Law Development & Justice Revie. Vol. 1 No.1.
Purwoleksono Didik Endro. 2003. Eksepsi dalam Perkara Pidana. Jurnal Perspektif, Vol.8
No.2.
Rozi Fachrul. 2018. Sistem Pembuktian dalam Proses Persidangan Pada Perkara Tindak
Pidana. Jurnal Yuridis Unaja. Vol.1 No.2.
Suharto. 2015. Pengkajian Praktek Tugas Wewenang dan Prosedur Sidang di Pengadilan
Agama Kabupaten Kediri. Jurnal Diversi. Vol.1 No.2.
Triyanto. 2014. Tinjauan Hukum Terhadap Proses Sidang Perkara Tindak Pidana
Penganiayaan Yang Dilakukan Oleh Anak. Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion. Vol.2
No.6.