Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

HUKUM ACARA PIDANA

Tentang

UPAYA HUKUM

Disusun oleh:

Rahma Julia 2113010013

Miftahul Jannah 2113010040

Fegiska Andrea 2113010082

Anisa Rahmawati 2113010153

Dosen Pengampu:

Dr. Taufik Hidayat, SH.I,.MA,.MH.

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSIRTAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG

1444H/2023M
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang maha pengasih lagi mahha penyayang yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-nya kepada setiap hambanya. Sholawat dan salam semoga
selalu tercurah kepada baginda Nabi besar Muhammad SAW. Yang telah menunjukkan kita jalan
yang benar serta di ridhoi Allah SWT. Atas berkat rahmat pertolongan dan hidayahnya-lah kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dengan judul “UPAYA HUKUM”.

Penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini.
Penulis juga sangat mengharapakan kritk dan saran pembaca yang bersifat membangun agar
dalam pembuatan makalah berikutnya dapat lebih baik lagi. Semoga makalah ini dapat
memberikan mamfaat bagi pembaca terutama penulis khususnya. Amiin Ya Rabbal Alamin.

Padang, 30 maret 2023

Penulis

(kelompok 10)
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pemerikasaan suatu perkara pidana didalam suatu proses pengadilan pada hakekatnya
adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materille warhead) terhadap perkar
tersebut. Hal ini dapat dilihat dari berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
dalam memperoleh bukti-buki yang dibutuhkan untuk mrngungkap suatu perkara baik pada
tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap
persidangan perkara tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan upaya hukum biasa?
2. Apa yang dimaksud dengan upaya hukum luar biasa?

C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan upaya hukum biasa
2. Untuk mengetahuui apa yang dimaksud dengan upaya hukum luar biasa
BAB II

PEMBAHASAN

UPAYA HUKUM

Tujuan utama dalam suatu proses di muka Pengadilan adalah untuk memperoleh putusan
Hakim yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, setiap putusan yang dijatuhkan oleh Hakim
belum tentu dapat menjamin kebenaran secara yuridis, karena putusan itu tidak lepas dari
kekeliruan dan kekhilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Agar kekeliruan dan
kekilafan itu dapat diperbaiki, maka demi tegaknya kebenaran dan keadilan, terhadap putusan
Hakim itu dimungkinkan untuk diperiksa ulang. Cara yang tepat untuk dapat mewujudkan
kebenaran dan keadilan itu adalah dengan melaksanakan upaya hukum. Jadi, Upaya hukum
merupakan Upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan
(Krisna Harahap, 2003 : 114-115).

Upaya hukum merupakan hak terdakwa yang dapat dipergunakan apabila si terdakwa
merasa tidak puas atas putusan yang diberikan oleh pengadilan. Karena upaya hukum ini
merupakan hak, jadi hak tersebut bisa saja dipergunakan dan bisa juga si terdakwa tidak
menggunakan hak tersebut. Akan tetapi, bila hak untuk mengajukan upaya hukum tersebut
dipergunakan oleh si terdakwa, maka pengadilan wajib menerimanya. Hal ini dapat dilihat
dalam KUHAP pada rumusan pasal 67 yang menyatakan: “terdakwa atau penuntut umum berhak
untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, kecuali terhadap putusan
bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan
hukum dan putusan pengadilan acara cepat.

KUHAP membedakan upaya hukum kepada dua macam, yaitu:

A. Upaya hukum biasa

Upaya hukum biasa terdiri dari dua bagian, bagian pertama tentang pemeriksaan
tingkat banding dan bagian kedua adalah pemeriksaan kasasi.

1. Banding
a. Pengertian
Banding merupakan lembaga yang tersedia bagi para pihak yang tidak
menerima atau menolak putusan pengadilan pada tingkat pertama, ketentuan
dimaksud diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peraturan
Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura yang mencabut ketentuan banding
yangterdapat pada Herziene Inlandsche Reglement (HIR).
Namun demikian, untuk ketentuan banding bagi yurisdiksi pengadilan
tingkat banding di luar Jawa danMadura ketentua3n tersebut masih diatur dalam
Pasal 199 sampai dengan Pasa 205 Rechtsglement Buitengewesten (RBg).
acara banding dalam perkara pidana pada awalnya diatur dalam pasal 350-356
HIR yang kemudian dicabut oleh Stb. 1932 No. 460 jo 580, sehingga hanya
tinggal ketentuan yang diatur dalam Reglement op de strafvordering voor de
raden van justitie op java en het hooggerechtshof van Indonesia (pasal 282 dst.)
serta Rbg pasal 660. Sekarang hal banding dalam perkara pidana diaur dalam
KUHAP pasal 67, 87, 233-243 KUHAP.

a. Alasan permohonan Banding


Adapun alasan-alasan untuk dapat mengajukan permohonan banding
diantaranya yaitu:
1. Apabila salah satu pihak dalam suatu perkara tidak menerima putusan
pengadilan tingkat pertama karena merasa hak-haknya terserang oleh
adanya putusan itu.
2. Menganggap putusan itu kurang benar atau kurang adil.

b. Prosedur pengajuan banding


pemohon dapat mengikuti langkah-langkah di bawah ini untuk mengajukan
banding pidana. Dikutip dari Pasal 233-243 KUHAP, berikut tata cara
mengajukan banding pidana:

1. Permintaan banding yang diajukan, dicatat dalam register induk perkara


pidana dan register banding oleh masing-masing petugas register.
2. Permintaan banding diajukan selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh)
hari sesudah putusan dijatuhkan, atau 7 (tujuh) hari setelah putusan
diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir dalam pengucapan
putusan.
3. Apabila permintaan banding yang diajukan melampaui tenggang waktu,
tetap dapat diterima dan dicatat dengan membuat Surat Keterangan
Panitera bahwa permintaan banding telah lewat tenggang waktu dan harus
dilampirkan dalam berkas perkara.
4. Dalam hal pemohon tidak datang menghadap, hal ini harus dicatat oleh
Panitera dengan disertai alasannya dan catatan tersebut harus dilampirkan
dalam berkas perkara.
5. Panitera wajib memberitahukan permintaan banding dari pihak yang satu
kepada pihak yang lain.
6. Apabila tenggang waktu telah lewat tanpa diajukan permintaan banding
oleh yang bersangkutan, maka yang bersangkutan dianggap menerima
putusan. Panitera mencatat dan membuat akta mengenai hal itu serta
melekatkan akta tersebut pada berkas perkara.
7. Tanggal penerimaan memori dan kontra memori banding dicatat dalam
register dan salinan memori serta kontra memori disampaikan kepada
pihak yang lain.
8. Dalam hal pemohon belum mengajukan memori banding sedangkan
berkas perkara telah dikirimkan ke Pengadilan Tinggi, pemohon dapat
mengajukannya langsung ke Pengadilan Tinggi, sedangkan salinannya
disampaikan ke Pengadilan Negeri untuk disampaikan kepada pihak lain.
9. Selama 7 (tujuh) hari sebelum pengiriman berkas perkara kepada
Pengadilan Tinggi, pemohon wajib diberi kesempatan untuk mempelajari
berkas perkara tersebut di Pengadilan Negeri.
10. Jika kesempatan mempelajari berkas diminta oleh pemohon dilakukan di
Pengadilan Tinggi, maka pemohon harus mengajukan secara tegas dan
tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri.
11. Berkas perkara banding berupa bundel A dan bundel B dalam waktu
selambat-lambatnya 14 hari sejak permintaan banding diajukan sesuai
dengan pasal 236 ayat 1 KUHAP, harus sudah dikirim ke Pengadilan
Tinggi.
12. Selama perkara banding belum diputus oleh Pengadilan Tinggi,
permohonan banding dapat dicabut sewaktu-waktu. Panitera membuat
akta pencabutan banding yang ditandatangani oleh Panitera, pihak yang
mencabut dan diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri. Akta tersebut
dikirim ke Pengadilan Tinggi.
13. Pemeriksaan dalam tingkat banding dilakukan oleh pengadilan tinggi
dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim atas dasar berkas perkara
yang diterima dari pengadilan negeri yang terdiri dari berita acara
pemeriksaan dari penyidik, berita acara pemriksaan di sidang pengadilan
negeri, beserta semua surat yang timbul di sidang yang berhubungan
dengan perkara itu dan putusan pengadilan negeri.
14. Wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke pengadilan tinggi
sejak saat diajukannya permintaan banding.
15. Dalam waktu tiga hari sejak menerima berkas perkara banding dari
pengadilan negeri, pengadilan tinggi wajib mempelajarinya untuk
menetapkan apakah terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak, baik karena
wewenang jabatannya maupun atas permintaan terdakwa.
16. Salinan putusan Pengadilan Tinggi yang telah diterima oleh Pengadilan
Negeri, harus diberitahukan kepada terdakwa dan penuntut umum dengan
membuat Akta Pemberitahuan Putusan.
17. Petugas register harus mencatat semua kegiatan yang berkenaan dengan
perkara banding, dan pelaksanaan putusan ke dalam buku register terkait.
18. Setelah semua hal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut di atas
dipertimbangkan dan dilaksanakan, pengadilan tinggi memutuskan,
menguatkan atau mengubah atau dalam hal membatalkan putusan
pengadilan negeri, pengadilan tinggi mengadakan putusan sendiri.
2. KASASI

a. Pengertian
Kasasi adalah salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu
atau kedua belah pihak (terdakwa atau penuntut) terhadap suatu putusan pengadilan
tinggi. Terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan kasasi bila masih merasa belum
puas dengan isi putusan pengadilan tinggi kepada mahkamah agung. Kasasi berasal dari
bahasa Prancis yaitu cassation yang berarti memecah atau membatalkan.
asasnya, landasan hukum kewenangan kasasi diatur dalam ketentuan pasal 24 A
ayat (1) perubahan ke-3 UUD 1945, pasal 20 ayat (2) UU no. 48 tahun2009, penjelasan
umum angka 2, pasal 28 dan 30 UU no. 48 tahun 2009.
Kasasi bertujuan memeriksa sejauh mana penerapan hukum yang dilaksanakan
pengadilan yang memutuskan sebelumnya (judex factie) apakah telah terjadi kesalahan
penerapan hukum atau hakim pengadilan sebelumnya telah memutus perkara dengan
melampaui kekuasaan kehakiman yang dimilikinya, atau hakim yang memutuskan
sebelumnya itu nyata keliru atau khilaf dalam menerapkan aturan hukum mengenai
perkara bersangkutan, maka dalam pengertian seperti itulah yang dimaksudkan mengapa
kasasi bisa langsung diajukan atas putusan bebas (vrijspraak) oleh hakim pengadilan
negeri.

1. Prosedur permohonan Kasasi


Permohonan kasasi dalam perkara perdata disampaikan secara tertulis atau
lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya,
dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan
Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang
waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi yang
diajukan oleh pihak berperkara, maka pihak yang berperkara dianggap telah
menerima putusan.
Setelah pemohon membayar biaya perkara, Panitera tersebut ayat (1) mencatat
permohonan kasasi dalam buku daftar, dan pada hari itu juga membuat akta
permohonan kasasi yang dilampirkan pada berkas perkara.
Selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah permohonan kasasi
terdaftar, Panitera Pengadilan Dalam Tingkat Pertama yang memutus perkara tersebut
memberitahukan secara tertulis mengenai permohonan itu kepada pihak lawan.
Dalam pengajuan permohonan kasasi pemohon wajib menyampaikan pula
memori kasasi yang memuat alasan-alasannya, dalam tenggang waktu 14 (empat
belas) hari setelah permohonan yang dimaksud dicatat dalam buku daftar.
Panitera Pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama memberikan
tanda terima atas penerimaan memori kasasi dan menyampaikan salinan memori
kasasi tersebut kepada pihak lawan dalam perkara yang dimaksud dalam waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari.

Pihak lawan berhak mengajukan surat jawaban terhadap .memori kasasi kepada
Panitera sebagaimana dimaksudkan ayat (1), dalam tenggang waktu 14 (empat belas)
hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasasi.
Setelah menerima memori kasasi dan jawaban terhadap memori kasasi
sebagaimana dimaksudkan Pasal 47, Panitera Pengadilan yang memutus perkara
dalam tingkat pertama, mengirimkan permohonan kasasi, memori kasasi, jawaban
atas memori kasasi, beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung dalam
waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari.
Panitera Mahkamah Agung mencatat permohonan kasasi tersebut dalam buku
daftar dengan membubuhkan nomor urut menurut tanggal penerimaannya, membuat
catatan singkat tentang isinya, dan melaporkan semua itu kepada Mahkamah
Agung.

A. UPAYA HUKUM LUAR BIASA


Upaya hukum luar biasa diatur dalam Bab XVIII KUHAP, yang terdiri atas dua
upaya berikut:

1. Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum

Menyatakan sebagai upaya hukum luar biasa, kasasi demi kepentingan hukum
ialah untuk mencapai kesatuan penafsiran hukum oleh pengadilan. Kasasi demi
kepentingan hukum diajukan jika sudah tidak ada upaya hukum biasa yang dapat
dipakai.

Pasal 259 ayat (1) KUHAP menjelaskan pemeriksaan kasasi demi


kepentingan hukum berlaku terhadap semua putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung,
yang dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh jaksa agung.

Menurut ketentuan KUHAP, kasasi demi kepentingan hukum pada dasarnya


hanya bisa diajukan oleh jaksa agung kepada Mahkamah Agung yang diajukan
secara tertulis melalui panitera pengadilan negeri yang telah memutus perkara
dalam tingkat pertama disertai risalah yang memuat alasan permintaan itu.[4]
Kemudian, panitera menyampaikan salinan risalah kepada yang
berkepentingan.[5] Setelah itu, ketua pengadilan negeri yang bersangkutan segera
meneruskannya kepada Mahkamah Agung.[6]

Kasasi demi kepentingan hukum diajukan apabila putusan pengadilan negeri


terdapat:

1. suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan, tidak sebagaimana


mestinya;
2. apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang.
3. pengadilan melampaui wewenangnya.

Jika Mahkamah Agung menerima permohonan kasasi demi kepentingan


hukum, selanjutnya Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan yang
lebih rendah, dengan demikian terjawablah keraguan atau hal yang
dipermasalahkan itu.

2. Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang Telah Memperoleh


Kekuatan Hukum Tetap (herziening)
Upaya hukum peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (herziening) diatur dalam Pasal 263-269
KUHAP.
Ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP menentukan bahwa terhadap
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli
warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung.

Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:

a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika
keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung,
hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan
hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap
perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah
terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan
yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan
yang lain;
c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim
atau suatu kekeliruan yang nyata.

Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan


kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan sebagai berikut:

a. apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon,


Mahkamah Agung menolak permintaan peninjauan kembali dengan
menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu tetap
berlaku disertai dasar pertimbangannya;
b. apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah
Agung membatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dan
menjatuhkan putusan yang dapat berupa:
1. putusan bebas;
2. putusan lepas dari segala tuntutan hukum;
3. putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;
4. putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

Patut dicatat, pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali


tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.
KESIMPULAN

Dari kedua jenis upaya hukum yang telah dipaparkan diatas dengan berbagai persamaan
dan perbedaannya maka perlulah kita mengetahui tujuan dari upaya hukuk itu sendiri dan untuk
menjamin adanya kepastiam hukum dengan mengadakan peradilan ditingkat berbeda.
Tranfaransi hukum juga akan terlihat, karena pada hakikatnya orang yang melakukan upaya
hukum adalah orang yang mempertahankan haknya untuk mendapatkkan rasa keadilan yang
tentunya relative dan subjektif.
DAFTAR PUSTAKA

Krisna Harahap, 2003, pengadilan negeri, pengadilan Tinggi, Mahmakah Agung Dan
pengadilan tata uasaha Negara. Rineka Cipta

Mr. Tresna. 2005. Komentar HIR ,Jakarta: Pradnya Paramita

Sudikno Martokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty, Yogyakarta

Jur Andi Hamzah, 2008, Hukum Pidan Indonesia , Jakarta: sinar Grafika

Soepomo , 1993, Hukum Acara Perdata pengadilan negeri, Jakarta :pradnya paramita

Retnowulan Sutantuo, 2022, hukum acara perdata dalam teoi praktik. Mandar, bandung

Anda mungkin juga menyukai