Anda di halaman 1dari 14

PRA PERADILAN

PRA PERADILAN
Praperadilan adalah hal yang biasa dalam membangun saling kontrol
antara Kepolisian, Kejaksaan dan Tersangka melalui Kuasa Hukumnya atau
menciptakan saling kontrol antara sesama penegak hukum.
Dalam negara hukum yang berusaha menegakkan supremasi hukum
sangat diperlukan suatu lembaga kontrol yang independen yang salah satu
tugasnya mengamati/mencermati terhadap sah tidaknya suatu penangkapan,
penahanan atau sah tidaknya penghentian penyidikan atau sah tidaknya alasan
penghentian penuntutan suatu perkara pidana baik itu dilakukan secara resmi
dengan mengeluarkan SP3 atau SKPPP (Devonering), apalagi yang dilakukan
secara diam-diam.
Di samping itu diharapkan juga pihak Kepolisian dapat mengontrol kinerja
Kejaksaan apakah perkara yang sudah dilimpahkan benar-benar diteruskan ke
Pengadilan.
Begitu juga pihak Kejaksaan diharapkan dapat mengontrol kinerja
Kepolisian di dalam proses penanganan perkara pidana apakah perkara yang
sudah di SPDP (P.16) ke Kejaksaan akhirnya oleh penyidik perkara tersebut
benar-benar dilimpahkan ke Kejaksaan atau malah berhenti secara diam-diam.
Di dalam era supremasi hukum ini sudah saatnya dibangun budaya saling
kontrol, antara semua komponen penegak hukum (Hakim, Jaksa, Polisi dan
Advokat) agar kepastian hukum benar-benar dapat diberikan bagi mereka para
pencari keadilan.
Jadi, Praperadilan pada prinsipnya adalah untuk menguji dan menilai
tentang kebenaran dan ketepatan tindakan upaya paksa yang dilakukan
penyidik dan penuntut umum dalam hal menyangkut ketepatan penangkapan,
penahanan, penghentian penyidikan dan penuntutan serta ganti kerugian dan
rehabilitasi.

Mahkamah Konstitusi melalui putusan No.21/PUU-XII/2014 telah


memperluas objek praperadilan, yakni juga meliputi penetapan tersangka,
penggeledahan, dan penyitaan.
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan
memutus tentang :

1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan

2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentikan


penuntutan

3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi ( pasal 1 angka 10


KUHAP)
Hal mana tentang Praperadilan tersebut secara limitatif umumnya diatur
dalam pasal 77 sampai pasal 83 Undang-undang No.8 tahun 1981 tentang
KUHAP. Sebenarnya upaya pra-peradilan tidak hanya sebatas itu, karena
secara hukum ketentuan yang mengatur tentang pra-pradilan menyangkut juga
tentang tuntutan ganti kerugian termasuk ganti kerugian akibat adanya
“tindakan lain” yang di dalam penjelasan pasal 95 ayat (1) KUHAP ditegaskan
kerugian yang timbul akibat tindakan lain yaitu, kerugian yang timbul akibat
pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut
hukum.
Dalam konteks ini pra peradilan tidak hanya menyangkut sah tidaknya
suatu penangkapan atau penahanan, atau tentang sah tidaknya suatu
penghentian penyidikan atau penuntutan, atau tentang permintaan ganti-rugi
atau rehabilitasi, akan tetapi upaya pra-peradilan dapat juga dilakukan
terhadap adanya kesalahan penyitaan yang tidak termasuk alat pembuktian,
atau seseorang yang dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan
undang-undang, karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkan. ( Vide : Keputusan Menkeh RI No.:M.01.PW.07.03 tahun 1982 ),
atau akibat adanya tindakan lain yang menimbulkan kerugian sebagai akibat
pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut
hukum.
Sejauh ini yang kita kenal pra-peradilan sering dilakukan oleh tersangka
atau keluarga tersangka melalui kuasa hukumnya dengan cara melakukan
Gugatan/Permohonan Praperadilan terhadap pihak Kepolisian atau terhadap
pihak Kejaksaan ke Pengadilan Negeri setempat, yang substansi gugatannya
mempersoalkan tentang sah tidaknya penangkapan atau sah tidaknya
penahanan atau tentang sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan.
Yang dapat mengajukan Pra peradilan adalah:

a. Tersangka, yaitu apakah tindakan penahanan terhadap dirinya


bertentangan dengan ketentuan Pasal 21 KUHAP, ataukah penahanan
yang dikenakan sudah melawati batas waktu yang ditentukan Pasal 24
KUHAP;

b. Penyidik untuk memeriksa sah tidaknya penghentian penuntutan;

c. Penuntut Umum atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk


memeriksa sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan. Yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan
misalnya saksi korban.
Tuntutan ganti rugi, rehabilitasi yang diajukan oleh tersangka, keluarganya
atau penasihat hukumnya, harus didasarkan atas:

• Penangkapan atau penahanan yang tidak sah;

• Penggeledahan atau penyitaan yang pertentangan dengan ketentuan


hukum dan undang-undang;

• Kekeliruan mengenai orang yang ditangkap, ditahan atau diperiksa.

PROSES PEMERIKSAAN PRAPERADILAN


1. Pra peradilan dipimpin oleh Hakim Tunggal yang ditunjuk oleh Ketua
Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang Panitera (Pasal 78 ayat (2)
KUHAP).

2. Pada penetapan hari sidang, sekaligus memuat pemanggilan pihak


pemohon dan termohon pra peradilan.

3. Dalam waktu 7 (tujuh) hari terhitung permohonan pra peradilan


diperiksa, permohonan tersebut harus diputus.

4. Pemohon dapat mencabut permohonannya sebelum Pengadilan Negeri


menjatuhkan putusan apabila disetujui oleh termohon. Kalau termohon
menyetujui usul pencabutan permohonan tersebut, Pengadilan Negeri
membuat penetapan tentang pencabutan tersebut.

5. Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan


sedangkan pemeriksaan pra peradilan belum selesai maka permohonan
tersebut gugur. Hal tersebut dituangkan dalam bentuk penetapan.
UPAYA HUKUM DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN
1. Putusan pra peradilan tidak dapat dimintakan banding (Pasal 83 ayat
(1), kecuali terhadap putusan yang menyatakan “tidak sahnya”
penghentian penyidikan dan penuntutan (Pasal 83 ayat (2) KUHAP).

2. Dalam hal ada permohonan banding terhadap putusan pra peradilan


sebagaimana dimaksud Pasal 83 ayat (1) KUHAP, maka permohonan
tersebut harus dinyatakan tidak diterima.

3. Pengadilan Tinggi memutus permintaan banding tentang tidak sahnya


penghentian penyidikan dan penuntutan dalam tingkat akhir.

4. Terhadap Putusan pra peradilan tidak dapat diajukan upaya hukum


kasasi.
Dalam proses pemeriksaan, hakim mendengar keterangan baik dari tersangka
atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang. Pemeriksaan tersebut
dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah
menjatuhkan putusannya. Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh
pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada
praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur terhadap putusan
praperadilan dalam tidak dapat dimintakan banding, kecuali putusan
praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau
penuntutan, untuk itu tidak dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan
tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.
PEMBUKTIAN MENURUT
HUKUM ACARA PIDANA

PEMBUKTIAN PADA PERKARA PIDANA


Tujuan dari pembuktian adalah untuk memberikan gambaran berkaitan
tentang kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dari peristiwa tersebut dapat
diperoleh kebenaran yang dapat diterima oleh akal. Pembuktian mengandung
arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang
bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya.
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan
pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang
dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan
kesalahan yang didakwakan.

PEMBUKTIAN HUKUM MENURUT ACARA PIDANA


Berkaitan tentang pembuktian, dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) yang didalamnya mengatur tata cara beracara pidana
di pengadilan. Memang tidaklah dijelaskan secara mendalam berkaitan dengan
konteks pembuktian, hanya saja didalam KUHAP terdapat pasal 183 yang
mengatur berkaitan tentang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana pada
seorang kecuali ditemukan sekurang-kurangnya terdapat 2 (dua) alat bukti
yang sah dan atasnya memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. dan
jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum, yang tertuang dalam Pasal 184
ayat (1) KUHAP yaitu :

a. keterangan saksi
b. keterangan ahli
c. surat
d. petunjuk; dan
e. keterangan terdakwa.
Sistem pembuktian hukum acara pidana bertujuan untuk menilai alat bukti
dalam perkara yang sedang diperiksa. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan
yang berisi pedoman tata cara yang dibenarkan undang-undang untuk
membuktikan kesalahan yang didakwakan terhadap terdakwa. Pembuktian
merupakan bagian terpenting dalam sidang pengadilan karena dengan
pembuktian akan tampak apakah terdakwa bersalah atau tidak bersalah.
Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan
undangundang “tidak cukup kuat” membuktikan kesalahan yang didakwakan
maka terdakwa “dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan
terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184
KUHAP maka terdakwa dinyatakan “bersalah”, kepadanya akan dijatuhkan
hukuman.
Hukum Indonesia menganut sistem pembuktian negatif yakni
menggabungkan unsur keyakinan hakim dengan unsur pembuktian menurut
undang-undang. Kedua unsur tersebut harus terpenuhi ketika hakim
menjatuhkan putusan bebas atau bersalah. Sebagaimana yang tercantum dalam
Pasal 183 KUHAP yang berbunyi :

A. Keterangan Saksi
Penjelasan terkait keterangan saksi terdapat dalam Pasal 1 angka 27
KUHAP yaitu salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa
keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu.
Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “the degree of
evidence”. Agar keterangan saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti
yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus dipenuhi aturan ketentuan
sebagai berikut:

1) Harus mengucap sumpah atau janji


Hal ini diatur dalam Pasal 160 ayat (3), sebelum saksi memberikan
keterangan ”wajib mengucapkan” sumpah atau janji. Adapun sumpah
menurut cara agamanya masing-masing serta lafal sumpah atau janji
berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-
benarnya tiada lain dari yang sebenarnya.

2) Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan


Agar keterangan saksi menjadi alat bukti yang sah, maka sesuai
Pasal 185 ayat (1) keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa
yang ia dengar sendiri, dilihatnya sendiri atau dialaminya sendiri
terhadap peristiwa pidana, baru dapat bernilai alat bukti apabila
keterangan saksi dinyatakan di sidang pengadilan.
3) Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup
Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yaitu
untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus
didukung oleh “dua orang saksi” atau kalau saksi yang ada hanya
seorang saja maka kesaksia tunggal itu harus “dicukupi” atau ditambah
dengan salah satu alat bukti yang lain.

B. Keterangan Ahli

Keterangan ahli diatur di dalam Pasal 1 angka 28 KUHAP yaitu


keterangan yang diberikan seorang ahli yang memiliki keahlian khusus
tentang masalah yang diperlukan penjelasannya dalam suatu perkara pidana
yang sedang diperiksa, maksud keterangan khusus dari ahli, agar perkara
pidana yang sedang diperiksa menjadi terang demi untuk penyelesaian
pemeriksaan perkara yang bersangkutan.
Sedang keterangan yang diberikan seorang ahli, tapi tidak mempunyai
keahlian khusus tentang suatu keadaan yang ada hubunganya dengan
perkara pidana yang bersangkutan, tidak mempunyai nilai sebagai alat
bukti yang sah menurut undang-undang.

C. Alat bukti Surat


Menurut ketentuan Pasal 187 KUHAP surat yang dapat dinilai sebagai
sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang ialah surat yang dibuat
atas sumpah jabatan atau surat yang dikuatkan dengan sumpah.
Bagaimanapun sempurnanya nilai pembuktian alat bukti surat,
kesempurnaan itu tidak merubah sifatnya menjadi alat bukti yang
mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat. Nilai kekuatan
yang melekat pada kesempurnaannya tetap bersifat kekuataan pembuktian
yang bebas. Hakim bebas untuk menilai kekuatan dan kebenarannya dari
asas kebenaran sejati maupun dari sudut batas minimum pembuktian.

D. Alat bukti Petunjuk


Alat bukti petunjuk sabagaimana yang terdapat dalam Pasal 188 ayat
(1) KUHAP, Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang
karena persesuainnya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu
tindak pidana dan siapa pelakunya. Penerapan alat bukti petunjuk dalam
persidangan juga terdapat dalam Pasal 188 ayat (3), yaitu penilaian atas
kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu
dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan
pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati
nuraninya.
Kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk berupa sifat dan kekuatannya
dengan alat bukti yang lain. Kekuatan pembuktian petunjuk oleh hakim
tidak terikat atas kebenaran persesuain yang diwujudkan oleh petunjuk.
Oleh karena itu hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai
upaya pembuktian.

E. Keterangan Terdakwa
Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam Pasal
184 ayat (1). Terkait dengan keterangan terdakwa terdapat dalam Pasal 189
ayat (1) KUHAP. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan
di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau
alami sendiri. Pada prinsipnya keterangan terdakwa adalah apa yang
dinyatakan atau diberikan terdakwa di sidang pengadilan. Adapun apa
yang terdakwa terangkan dalam pemeriksaan pendahuluan dahulu itu
bukan merupakan suatu bukti yang sah, ia hanya dapat digunakan untuk
membantu menerangkan bukti di sidang pengadilan. Dan hanya dapat
digunakan terhadap terdakwa sendiri. Untuk membuktikan bahwa
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya,
maka keterangan terdakwa itu harus ditambah lagi dengan satu alat bukti
yang lain misalnya dengan keterangan saksi, satu keterangan ahli atau satu
surat maupun petunjuk.

Dengan demikian, telah jelaslah pembuktian yang dimaksud dalam KUHAP.


Bahwa untuk menentukan seorang bersalah atau tidak maka harus
dilaksanakan sesuai amanah Pasal 183 KUHAP yaitu berdasarkan
sekurangkurangnya 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud pasal 184 ayat
(1) dan keyakinan hakim (red)

.
UPAYA PAKSA
Kepolisian merupakan salah satu lembaga penegak hukum yang ada dalam
sistem peradilan pidana Indonesia. Bersama lembaga-lembaga lain, kepolisian
terlibat dalam proses peradilan pidana, yakni pada tahap penyidikan. Menurut
KUHAP, penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan untuk menemukan tersangkanya.

Dalam KUHAP, penerapan upaya paksa tersebut diatur dalam dua sistem:

1) Mengenai tindakan upaya paksa yang berkenaan dengan penangkapan


(Pasal 16 KUHAP) dan penahanan ( Pasal 20 KUHAP ) merupakan
kewenangan inheren dari setiap aparat penegak hukum berdasar
diferensiasi fungsional secara instansional tanpa campur t angan (
intervensi ) atau bantuan dari aparat penegak hukum lain.
2) Sebaliknya mengenai tindakan upaya paksa penggeledahan (Pasal32
KUHAP) dan penyitaan (Pasal 38 KUHAP) memerlukan izin Ketua
Pengadilan Negeri setempat.
Dalam melakukan tahap ini, polisi diberi kewenangan untuk melakukan upaya
paksa demi penyelesaian penyidikan. Upaya-upaya bersifat memaksa dalam
penyidikan tersebut, yakni penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan
penyitaan. Upaya-upaya ini dilakukan demi memenuhi pembuktian untuk
kepentingan penuntutan dan persidangan atas perkara tersebut.

Penangkapan
Penangkapan adalah tindakan penyidik berupa pengekangan sementara
waktu kebebasan tersangka jika terdapat cukup bukti untuk kepentingan
penyidikan, penuntutan, atau peradilan. Untuk kepentingan penyidikan,
penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan.
Penangkapan dilakukan oleh penyidik dengan memperlihatkan surat tugas
serta memberikan surat perintah penangkapan kepada tersangka.
Dalam surat penangkapan tersebut menyebutkan identitas tersangka,
alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan,
serta tempat ia diperiksa.

Penahanan
Penahanan adalah penempatan tersangka di tempat tertentu oleh penyidik
menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Penahanan dilakukan terhadap
tersangka yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang
cukup dan adanya kekhawatiran bahwa ia akan melarikan diri, merusak atau
menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana. Tidak semua
tindak pidana dapat dikenakan penahanan. Dalam KUHAP, penahanan hanya
dapat dilakukan dalam kasus tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara lima tahun atau lebih dan beberapa pidana yang diancam kurang dari
lima tahun.

Dari jenisnya, penahanan dibagi menjadi :

- Penahanan rumah
- Pnahanan kota dan
- Penahanan rumah tahanan negara (Rutan).

Penggeledahan
Ada dua jenis penggeledahan yang dapat dilakukan polisi, yakni
penggeledahan rumah dan penggeledahan pakaian atau badan. Penggeledahan
rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan
tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan, penyitaan atau
penangkapan sesuai KUHAP.
Sementara, penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk
mengadakan pemeriksaan badan dan/atau pakaian tersangka untuk mencari benda
yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta, untuk disita. Dalam
melakukan penggeledahan, penyidik tetap harus menegakkan hak asasi manusia.

Penyitaan
Penyitaan adalah tindakan penyidik untuk mengambil alih atau menyimpan
di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan. Penyitaan hanya
dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri
setempat. Benda yang dapat dikenakan penyitaan, yaitu:

- Benda atau tagihan tersangka yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh
dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
- Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak
pidana atau untuk mempersiapkannya;
- Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak
pidana;
- Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
- Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang
dilakukan;
- Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit.
PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN
Dalam KUHAP sendiri telah memberikan pengertian mengenai apa itu
penyidik, penyidikan, penyelidik, dan penyelidikan sebagai berikut:

Pasal 1 angka 1 KUHAP

Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat


pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-
undang untuk melakukan penyidikan.

Pasal 1 angka 2 KUHAP

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi
dan guna menemukan tersangkanya.

Pasal 1 angka 4 KUHAP

Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi


wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.

Pasal 1 angka 5 KUHAP

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan


menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.
Mengenai perbedaan penyelidikan dan penyidikan, M. Yahya Harahap
dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Penyidikan dan Penuntutan (hal. 101), menjelaskan bahwa dari pengertian
dalam KUHAP, penyelidikan adalah tindakan tahap pertama permulaan dari
penyidikan.
Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri
sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang
tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang digunakan
buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah
satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului
tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan
pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.
Lebih lanjut, M. Yahya Harahap menyatakan sebelum dilakukan tindakan
penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan
maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang
cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan
dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha
mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu
peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.

Yahya Harahap (hal. 102) juga menerangkan jika diperhatikan dengan


seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung
jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan
hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah
melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan,
harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan
tindak lanjut penyidikan.
Adapun perihal lembaga yang berwenang melakukan tindakan
penyelidikan dan penyidikan adalah lembaga mana, kepolisian diberi
wewenang untuk melakukan penyelidikan. Sedangkan aparat penegak hukum
yang berwenang melakukan penyidikan adalah kepolisian atau atau pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undangundang.
Contohnya, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) di bidang lalu lintas dan
angkutan jalan yang bekerja di lingkungan Kementerian Perhubungan dan
Dinas Perhubungan di seluruh Indonesia.

Oleh karena itu, tugas penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh


masing-masing pejabat yang berwenang yaitu kepolisian untuk penyelidikan
dan penyidikan, serta penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang punya
wewenang khusus berdasarkan undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Adapun khusus terkait penghentian penyidikan, patut Anda ketahui,


berdasarkan KUHAP, penegak hukum yang berwenang mengadakan
penghentian penyidikan adalah pihak kepolisian.

PERBEDAAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN


1. TUJUAN
Penyelidikan : Mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga
sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan. Pasal 1 angka 5 KUHAP.

Penyidikan : Mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu


membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya. Pasal 1 angka 2 KUHAP
2. PIHAK YANG BERWENANG
Penyelidikan : Setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia.
Pasal 4 KUHAP
Penyidikan : Pejabat polisi negara Republik Indonesia, Pejabat pegawai
negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Pasal 6 ayat (1) KUHAP

3. WEWENANG PIHAK YANG BERWENANG


Penyelidikan
Karena kewajibannya mempunyai wewenang
1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya
tindak pidana
2. mencari keterangan dan barang bukti
3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri
4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
Selain itu, atas perintah penyidik, penyelidik dapat melakukan
tindakan berupa:
a. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan
penahanan
b. Pemeriksaan dan penyitaan surat

5. mengambil sidik jari dan memotret seorang;


6. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.

- Pasal 5 ayat (1) KUHAP

Penyidikan
Khusus penyidik dari kepolisian, karena kewajibannya mempunyai
wewenang:
1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana;
2. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
3. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal
diri tersangka
4. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan
5. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat
6. mengambil sidik jari dan memotret seorang
7. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi
8. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara
9. mengadakan penghentian penyidikan
10. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

- Pasal 7 ayat (1) KUHAP

Sedangkan untuk penyidik dari pegawai negeri sipil tertentu wewenangnya


sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing
dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan
penyidik kepolisian. - Pasal 7 ayat (2) KUHAP

Demikian jawaban dari kami tentang perbedaan penyelidikan dan penyidikan,


semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;

2. Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor 14 Tahun 2016 tentang


Tugas dan Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di
Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di Lingkungan Dinas
Perhubungan.

Anda mungkin juga menyukai