Anda di halaman 1dari 20

advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di

luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan UU Advokat.

Kuhap
A. Penyelidikan
Berdasarkan Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang dimaksud dengan penyelidikan adalah
serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang
diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Berdasarkan
pengertian diatas dapat diperoleh kesimpulan bahwa penyelidikan bertujuan untuk
menyatakan apakah suatu perbuatan itu digolongkan ke dalam suatu tindak pidana
atau bukan.
B. Penyidikan
Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang dimaksud dengan penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Oleh
karena itu, dapat juga ditarik kesimpulan bahwa penyidikan itu merupakan suatu
tindakan lanjutan dari penyelidikan dimana sudah dapat ditentukan bahwa perbuatan
itu merupakan suatu tindak pidana.
C. Penuntutan
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke
pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di
sidang pengadilan (vide Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Penuntutan merupakan suatu
rangkaian tindakan setelah adanya penyelidikan dan penyidikan.
Setelah Penuntut Umum menerima hasil penyidikan dari penyidik, maka ia akan
segera mempelajarinya dan menelitinya serta dalam waktu 7 hari wajib
memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau
belum. Apabila dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, maka penuntut
umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal
yang harus dilakukan untuk melengkapi dan dalam waktu 14 hari sejak tanggal
penerimaan berkas, penyidik sudah harus menyampaikan kembali berkas perkara
kepada Penuntut Umum.
D. Putusan Hakim
Pada dasarnya putusan hakim dalam hukum acara pidana merupakan suatu bentuk
keadilan tertinggi yang diberikan kepada terdakwa dan putusan tersebut dianggap
benar serta memiliki kekuatan yang mengikat sepanjang tidak ada upaya hukum yang
dilakukan oleh terdakwa terhadap putusan tersebut. Dalam hal hakim memutus suatu
perkara pidana, maka ia harus berlandaskan asas keadilan, kemanfaatan, dan
kepastian hukum. Hakim juga dalam memutus suatu perkara pidana harus
berlandaskan keyakinan dan alat bukti yang dihadirkan ke persidangan.
Dalam teori hukum pembuktian, sistem hukum di Indonesia menggunakan sistem
hukum Eropa Kontinental yaitu negatief wettelijk bewijstheorie yaitu dasar
pembuktian hukum pidana dilakukan menurut keyakinan hakim yang timbul dari alat-
alat bukti dalam undang-undang secara negatif. Prinsip tersebut terdapat dalam Pasal
183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang memberikan
batasan untuk hakim dalam menjatuhkan hukuman pemidanaan terhadap seseorang
harus berdasarkan keyakinan hakim dan minimal dua alat bukti. Adapun bunyi Pasal
183 KUHAP adalah “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah
melakukannya.”
E. Upaya Hukum
Pada hakikatnya dalam hukum acara pidana di Indonesia dikenal adanya upaya
hukum yang dilakukan oleh Terdakwa ataupun Penuntut Umum apabila merasa
keberatan dengan putusan hakim pengadilan tingkat I. Upaya hukum adalah hak
terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa
perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan
permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
KUHAP. Upaya Hukum terdiri dari 2 yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar
biasa.
1. Upaya Hukum Biasa
Upaya hukum biasa terdiri dari upaya hukum banding dan upaya hukum kasasi.
Dalam hal Terdakwa atau Penuntut Umum tidak menerima putusan pengadilan
tingkat I, dapat dilakukan upaya hukum banding sebagai upaya hukum pertama. Akan
tetapi, perlu diketahui bahwa upaya hukum banding tidak dapat dilakukan terhadap
putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah
kurang tepatnya penerapan hukum, serta putusan pengadilan dalam acara cepat.
Adapun pengaturan mengenai upaya hukum banding tertuang dalam pasal 233 sampai
dengan pasal 243 KUHAP. Dalam hal Terdakwa atau Penuntut Umum ingin
melakukan upaya hukum banding, maka maksimal jangka pengajuan banding adalah
7 hari sejak putusan pengadilan tingkat I dibacakan oleh Majelis Hakim yang
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
Upaya hukum selanjutnya adalah upaya hukum kasasi. Upaya hukum kasasi tertuang
didalam Pasal 244 sampai dengan Pasal 262 KUHAP. Jangka waktu pengajuan kasasi
adalah maksimal 14 hari setelah putusan Pengadilan Tinggi diberitahukan. Upaya
hukum kasasi ini dilakukan apabila salah satu pihak tidak menerima putusan
Pengadilan Tinggi. Terhadap putusan bebas, Penuntut Umum juga dapat melakukan
upaya hukum kasasi.
2. Upaya Hukum Luar Biasa
Upaya hukum luar biasa merupakan tahap akhir dari segala upaya hukum yang dapat
dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Upaya
hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali. Putusan pengadilan yang disebut
mempunyai kekuatan hukum tetap adalah putusan Pengadilan Negeri yang tidak
diajukan upaya banding, putusan Pengadilan Tinggi yang tidak diajukan kasasi (upaya
hukum di tingkat Mahkamah Agung), atau putusan kasasi Mahkamah Agung.
Peninjauan Kembali dapat diajukan terhadap putusan kasasi apabila pada putusan
sebelumnya diketahui terdapat kesalahan atau kekhilafan yang nyata pada hakim
dalam memutus perkara ataupun terdapat bukti baru yang belum pernah diungkapkan
dalam persidangan.
Tahapan Persidangan Pidana pada Tingkat Pertama yaitu sebagai berikut:
Dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum;
Eksepsi (nota keberatan) oleh Terdakwa/Penasihat Hukum (jika ada);
Tanggapan atas Eksepsi oleh Jaksa Penuntut Umum (jika ada);
Putusan sela (jika ada eksepsi);
Pembuktian (pemeriksaan alat bukti dan barang bukti);
Tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum;
Pledoi (nota pembelaan) oleh Terdakwa/Penasihat Hukum;
Replik (jawaban atas pledoi oleh Jaksa Penuntut Umum);
Duplik (tanggapan atas replik oleh Terdakwa/Penasihat Hukum); dan
Putusan Hakim.

Pidana Penomoran tindak pidana umum (berasal dari KUHP) menggunakan kode
Pid.B untuk perkara dengan acara biasa, Pid.S untuk perkara dengan acara singkat,
Pid.C untuk perkara dengan acara cepat (tindak pidana ringan) dan Pid.LL untuk
pelanggaran lalu-lintas. Perkara acara singkat adalah perkara pidana yang menurut
Penuntut Umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya
sederhana. Perkara dengan acara cepat adalah perkara pidana yang diancam dengan
hukuman tidak lebih dari 3 (tiga) bulan penjara atau denda Rp7500,00 yang
mencakup: tindak pidana ringan, pelanggaran lalu lintas dan penghinaan ringan.
Seperti contoh berikut:

Penomoran tindak pidana khusus (yang diatur diluar KUHP) menggunakan kode
Pid.Sus, seperti misalnya: Nomor 200/Pid.Sus/2011/PN Sby (Narkotika) Nomor
201/Pid.Sus/2011/PN Sby (Terorisme) Nomor 202/Pid.Sus/2011/PN Sby (Pencucian
Uang) Nomor 204/Pid.Sus/2011/PN Sby (Perdagangan Orang)

Untuk pengadilan khusus seperti Pengadilan Tipikor, Pengadilan HAM, Pengadilan


Perikanan dan Pengadilan Anak, penulisan nomor adalah sebagai berikut, nomor
(tidak disingkat menjadi No.), spasi, angka, garis miring, jenis perkara (berupa
singkatan huruf pertama menggunakan huruf kapital diakhiri dengan titik, diikuti
dengan kata “Sus”, tanda hubung, singkatan pengadilan khusus), garis miring, tahun,
garis miring, kode pengadilan yang menyidangkan (PN spasi Singkatan PN). Seperti
contoh sebagai berikut: Nomor 200/Pid.Sus-TPK/2010/PN Smg Nomor 200/Pid.Sus-
HAM/2011/PN Mdn Nomor 200/Pid.Sus-Prk/2011/PN Jku Nomor 200/Pid.Sus-
Anak/2010/PN Bdg

Jenis-Jenis Surat Dakwaan


Heylaw Edu - 14 Januari 2022
Oleh: Fiqri Aprilia Firmansyah

Hallo Sobat!

Apa kabar kalian semua?

Balik lagi nih sama aku dalam tulisan yang membahas tentang peradilan
pidana.

Suatu pemeriksaan perkara pidana oleh Pengadilan, selalu diawali dengan


pelimpahan perkara dari Kejaksaan ke Pengadilan. Pelimpahan perkara
tersebut, disertai pula dengan permohonan agar Pengadilan segara
mengadilinya, dengan melampirkan satu turunan surat dakwaan.

Dalam proses pemeriksaan perkara pidana, surat dakwaan menjadi faktor


yang paling penting. Karena surat dakwaan adalah sebagai dasar dalam
memeriksa perkara pidana di Pengadilan, sekaligus berfungsi sebagai
pembatas ruang lingkup dalam melaksanakan pemeriksaan perkara.

Bagi penuntut umum, surat dakwaan adalah dasar untuk melakukan


pembuktian/alasan yuridis, tuntutan pidana, dan penggunaan upaya hukum.
Sedangkan bagi terdakwa, surat dakwaan merupakan dasar untuk
mengetahui secara jelas dan lengkap tindak pidana apa yang dituduhkan
kepadanya, dengan demikian terdakwa dapat mempersiapkan
pembelaannya.

Berdasarkan narasi di atas pasti kita bertanya-tanya, seperti apa sih bentuk
dari surat dakwaan itu? Let’s follow the explanation below guys!!!
Isi dalam Surat Dakwaan

Mengenai pengaturan surat dakwaan, diatur dalam Pasal 140 sampai dengan
Pasal 144 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Surat dakwaan
berisikan konstruksi yuridis atas fakta-fakta perbuatan terdakwa yang
terungkap pada proses penyidikan sesuai dengan unsur-unsur pidana yang
termuat dalam undang-undang yang tersebut.

Menurut Pasal 142 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
bahwa dalam surat dakwaan terdapat 2 (dua) unsur di dalamnya, yaitu: a.
Unsur formil dan b. Unsur materiil. Dari kedua unsur tersebut, menurut para
ahli hukum acara pidana yang bersumber dari berbagai literatur, bahwa
unsur-unsur tersebut diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Unsur formil surat dakwaan yang tercantum di dalam Pasal 142 ayat (2) huruf a Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, berisikan tentang identitas dari terdakwa yang disertai
dengan tanggal dan tanda tangan penuntut umum yang membuat surat dakwaan tersebut.
2. Unsur materiil surat dakwaan yang tercantum di dalam Pasal 142 ayat (2) huruf b Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, berisikan tentang kronologi peristiwa pidana yang
terjadi dan pasal yang dilanggarnya.

Unsur Formil Surat Dakwaan

Sudah disebut di atas tadi bahwa unsur formil surat dakwaan diatur dalam
Pasal 142 ayat (2) huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Adapun rincian formil dalam surat dakwaan adalah sebagai berikut:

1. Berisikan identitas terdakwa, mulai dari nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir,
agama dan pekerjaannya.
2. Dalam surat dakwaan, harus dicantumkan tanggal pembuatan dan disertai dengan tanda
tangan penuntut umum yang membuat surat dakwaan tersebut.

Perlu diingat, apabila syarat formil ini tidak dipenuhi,maka suatu surat
dakwaan dapat dibatalkan.
Unsur Materiil Surat Dakwaan

Unsur materil dalam surat dakwaan diatur di dalam Pasal 142 ayat (2) huruf b
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Aristo M.A Pangaribuan Dkk
dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Hukum Acara Pidana Di Indonesia”
memaparkan tentang apa saja yang tercantum dalam unsur materiil surat
dakwaan. Yaitu sebagai berikut:

1. Tindak pidana apa yang dilakukan oleh terdakwa.


2. Siapa yang melakukan tindak pidana tersebut.
3. Dimana tindak pidana tersebut dilakukan (locus delicti).
4. Bilamana/kapan tindak pidana tersebut dilakukan (tempus delicti).
5. Bagaimana tindak pidana itu dilakukan.
6. Apa yang diakibatkan dari terjadinya tindak pidana tersebut.
7. Apa yang mendorong terdakwa melakukan tindak pidana tersebut.
8. Ketentuan-ketentuan/undang-undang pidana mana yang terapkan.

Sembilan poin di atas perlu diperhatikan. Sebab apabila unsur-unsur tersebut


(unsur materiil) tidak dipenuhi, maka dapat menyebabkan surat dakwaan
menjadi batal demi hukum.
Bentuk-Bentuk Dakwaan dalam Surat Dakwaan

Dalam praktik yang dilakukan oleh penuntut umum, surat dakwaan terdiri dari
5 (lima) bentuk, yaitu a. Dakwaan tunggal; b. Dakwaan subsidair; c. Dakwaan
alternatif; d. Dakwaan kumulatif; dan e. Dakwaan kombinasi. Kelima bentuk
dakwaan tersebut akan dijelaskan di bawah ini!

1. Dakwaan tunggal

Bentuk dakwaan ini digunakan ketika hanya ditemukan satu tindak pidana
saja dan tidak dimungkinkannya untuk mengajukan dakwaan yang berbentuk
alternatif ataupun dakwaan pengganti lainnya.
1. Dakwaan subsidair

Dalam dakwaan ini, terdapat dakwaan yang berlapis dengan maksud lapisan
yang satu berfungsi sebagai lapisan yang sebelumnya. Susunan dalam surat
dakwaan berbentuk ini dimulai dari tindak pidana yang ancaman nya paling
tinggi sampai yang paling rendah.

1. Dakwaan alternatif

Bentuk dakwaan ini memiliki kemiripan dengan bentuk dakwaan subsidair.


Karena terdapat pula dakwaan yang berlapis di dalamnya, tetapi dakwaan
yang satu dengan yang lain saling mengecualikan dan dalam bentuk
dakwaan tersebut terdapat suku kata “atau” diantara pasal-pasal yang
didakwakan.

1. Dakwaan kumulatif

Dakwaan ini dibuat karena dalam kondisi terdapat beberapa tindak pidana
yang tidak saling tidak saling berkaitan. Karena tindak pidana yang satu
dengan yang lain masing-masing berdiri sendiri dan semua dakwaan tersebut
harus dibuktikan satu persatu.

1. Dakwaan kombinasi

Bentuk dakwaan kombinasi berisikan tentang beberapa dakwaan yang


termuat di dalamnya. Misalnya seperti dakwaan kumulatif dan dakwaan
subsidair.
Kesimpulan

Surat dakwaan merupakan dasar untuk digelarnya perkara pidana di


Pengadilan. Surat dakwaan tersebut dibuat oleh Jaksa penuntut umum.
Dalam membuat surat dakwaan, penuntut umum harus cermat.

Cermat dalam memenuhi apa yang disyaratkan oleh Pasal 142 ayat (2) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana,yang mana dalam pasal tersebut
menyatakan bahwa surat dakwaan harus memenuhi unsur formil dan unsur
materiil. Apabila salah satu tidak dipenuhi, maka dakwaan tersebut dapat
dibatalkan atau batal demi hukum.

Menurut perkembangannya, bentuk-bentuk dakwaan surat dakwaan terbagi


menjadi 5 (lima) jenis, yaitu dakwaan tunggal, dakwaan subsidair, dakwaan
alternatif, dakwaan kumulatif dan dakwaan kombinasi. Dari 5 (lima) dakwaan
tersebut memiliki fungsinya masing-masing, tergantung kondisi tindak
pidananya.
Kode-kode tersebut didasarkan pada Keputusan Jaksa Agung RI No.
518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 tentang Perubahan Keputusan
Jaksa Agung RI No. 132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak
Pidana. Kode-kode tersebut adalah kode formulir yang digunakan dalam proses
penanganan dan penyelesaian perkara tindak pidana.

Selengkapnya rincian dari kode-kode Formulir Perkara adalah:

P-1 Penerimaan Laporan (Tetap)

P-2 Surat Perintah Penyelidikan

P-3 Rencana Penyelidikan

P-4 Permintaan Keterangan

P-5 Laporan Hasil Penyelidikan

P-6 Laporan Terjadinya Tindak Pidana

P-7 Matrik Perkara Tindak Pidana

P-8 Surat Perintah Penyidikan

P-8A Rencana Jadwal Kegiatan Penyidikan

P-9 Surat Panggilan Saksi / Tersangka

P-10 Bantuan Keterangan Ahli

P-11 Bantuan Pemanggilan Saksi / Ahli

P-12 Laporan Pengembangan Penyidikan

P-13 Usul Penghentian Penyidikan / Penuntutan

P-14 Surat Perintah Penghentian Penyidikan

P-15 Surat Perintah Penyerahan Berkas Perkara

P-16 Surat Perintah Penunjukkan Jaksa Penuntut Umum untuk Mengikuti


Perkembangan Penyidikan Perkara Tindak Pidana

P-16A Surat Perintah Penunjukkan Jaksa Penuntut Umum untuk Penyelesaian


Perkara Tindak Pidana

P-17 Permintaan Perkembangan Hasil Penyelidikan

P-18 Hasil Penyelidikan Belum Lengkap


P-19 Pengembalian Berkas Perkara untuk Dilengkapi

P-20 Pemberitahuan bahwa Waktu Penyidikan Telah Habis

P-21 Pemberitahuan bahwa Hasil Penyidikan sudah Lengkap

P-21A Pemberitahuan Susulan Hasil Penyidikan Sudah Lengkap

P-22 Penyerahan Tersangka dan Barang Bukti

P-23 Surat Susulan Penyerahan Tersangka dan Barang Bukti

P-24 Berita Acara Pendapat

P-25 Surat Perintah Melengkapi Berkas Perkara

P-26 Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan

P-27 Surat Ketetapan Pencabutan Penghentian Penuntutan

P-28 Riwayat Perkara

P-29 Surat Dakwaan

P-30 Catatan Penuntut Umum

P-31 Surat Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Biasa (APB)

P-32 Surat Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Singkat (APS) untuk


Mengadili

P-33 Tanda Terima Surat Pelimpahan Perkara APB / APS

P-34 Tanda Terima Barang Bukti

P-35 Laporan Pelimpahan Perkara Pengamanan Persidangan

P-36 Permintaan Bantuan Pengawalan / Pengamanan Persidangan

P-37 Surat Panggilan Saksi Ahli / Terdakwa / Terpidana

P-38 Bantuan Panggilan Saksi / Tersngka / terdakwa

P-39 Laporan Hasil Persidangan

P-40 Perlawanan Jaksa Penuntut Umum terhadap Penetapan Ketua PN /


Penetapan Hakim

P-41 Rencana Tuntutan Pidana

P-42 Surat Tuntutan

P-43 Laporan Tuntuan Pidana


P-44 Laporan Jaksa Penuntut Umum Segera setelah Putusan

P-45 Laporan Putusan Pengadilan

P-46 Memori Banding

P-47 Memori Kasasi

P-48 Surat Perintah Pelaksanaan Putusan Pengadilan

P-49 Surat Ketetapan Gugurnya / Hapusnya Wewenang Mengeksekusi

P-50 Usul Permohanan Kasasi Demi Kepentingan Hukum

P-51 Pemberitahuan Pemidanaan Bersyarat

P-52 Pemberitahuan Pelaksanaan Pelepasan Bersyarat

P-53 Kartu Perkara Tindak Pidana

Demikian yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.


PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA BIASA
(DEWASA):
1 Petugas PTSP menerima berkas perkara;

2 Panmud Pidana meneliti kelengkapan berkas perkara

3 Petugas menginput data SIPP dan penomoran perkara, pencatatan


dalam register induk (manual) kemudian menyerahkannya ke
Panmud Pidana untuk kemudian diserahkan ke Ketua Pengadilan;

4 Ketua Pengadilan menetapkan Hakim/Majelis Hakim yang


memeriksa perkara;

5 Panitera melakukan penunjukan panitera pengganti;

6 Petugas melakukan pencatatan penunjukan Hakim dan panitera


pengganti ke dalam buku register;

7 Penyerahan berkas perkara kepada Majelis Hakim untuk dibuat


penetapan hari sidang dan penahanan (jika ada);

8 Sebelum perkara disidangkan, Hakim/Majelis Hakim terlebih


dahulu mempelajari berkas perkara untuk mengetahui apakah surat
dakwaan telah memenuhi syarat formil dan materil.

– Syarat formil: nama, tempat lahir, umur atau tanggal lahir,


tempat tinggal, pekerjaan Terdakwa, jenis kelamin, kebangsaan
dan agama

– Syarat-syarat materiil:

a. Waktu dan tempat tindak pidana dilakukan (tempus delicti dan


locus delicti);

b. Perbuatan yang didakwakan harus jelas di¬rumuskan unsur-


unsurnya;

c. Hal-hal yang menyertai perbuatan-perbuatan pidana itu yang


dapat menimbulkan masalah yang memberatkan dan meringankan.

Mengenai butir a dan b merupakan syarat mutlak, apabila syarat-


syarat tersebut tidak terpenuhi dapat mengakibatkan batalnya surat
dakwaan (pasal 143 ayat 3 KUHAP)

9 Panitera pengganti menerima berkas perkara dari majelis


hakim/Hakim dan mengirim penetapan kepada staf untuk dikirim
ke PU dan dicatat dalam register induk;

10 Proses persidangan (maksimal 5 bulan);

11 Penyusunan berita acara sidang harus sudah selesai sebelum sidang


berikutnya. BA yang telah lengkap diserahkan oleh PP kepada
Hakim untuk penyusunan putusan;

12 Sidang pengucapan putusan;

13 Penyampaian petikan dan salinan putusan kepada Penyidik, JPU,


Terdakwa dan Lapas

14 Berkas yang telah berkekuatan hukum tetap (BH) diserahkan ke


Panmud Hukum untuk diarsip

Sumber:

KUHAP, Buku II, Daftar induk SOP Kepaniteraan Pidana, nomor


SOP: 1192/DJU/OT.01.3/12/2018

TATA URUTAN PERSIDANGAN PERKARA PIDANA BIASA


(DEWASA):

1 Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum (kecuali


perkara tertentu dinyatakan tertutup untuk umum);

2 Penuntut Umum diperintahkan untuk menghadapkan Terdakwa ke


depan persidangan dalam keadaan bebas;

3 Majelis Hakim memeriksa identitas Terdakwa, ditahan sejak


kapan, dan apakah Terdakwa sudah menerima surat dakwaan;

4 Majelis Hakim bertanya apakah Terdakwa dalam keadaan sehat


dan siap untuk diperiksa di depan persidangan (apabila menyatakan
sehat dan siap, maka sidang dilanjutkan);

5 Majelis Hakim bertanya apakah Terdakwa akan didampingi oleh


Penasihat Hukum atau menghadap sendiri. Majelis Hakim wajib
menunjuk Penasehat Hukum dalam hal:

– Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana yang diancam


pidana mati atau pidana 15 tahun atau lebih; atau

– Terdakwa yang tidak mampu yang diancam dengan pidana


penjara lima tahun atau lebih;

(Pasal 56 ayat (1) KUHAP);

6 Majelis Hakim memerintahkan kepada Penuntut Umum untuk


membacakan surat dakwaan;

7 Setelah pembacaan surat dakwaan, Terdakwa ditanya apakah telah


mengerti dan akan mengajukan eksepsi.

8 Dalam Terdakwa atau melalui Penasehat Hukumnya mengajukan


eksepsi, maka diberi kesempatan untuk penyusunan
eksepsi/keberatan dan kemudian Majelis Hakim menunda
persidangan;

9 Setelah pembacaan eksepsi Terdakwa, dilanjutkan dengan


tanggapan Penuntut Umum atas eksepsi;

10 Majelis Hakim membacakan putusan sela;

11 Apabila eksepsi ditolak, maka persidangan dilanjutkan dengan


acara pemeriksaan pokok perkara (pembuktian);

12 Pemeriksaan saksi-saksi yang diajukan oleh Penuntut Umum


(dimulai dari saksi korban), dilanjutkan saksi-saksi lainnya,
termasuk saksi yang meringankan dan Ahli (bila ada)

13 Setelah acara pembuktian dinyatakan selesai, kemudian dilanjutkan


dengan acara pembacaan Tuntutan (requisitoir) oleh Penuntut
Umum

14 Pembelaan (pledoi) oleh Terdakwa atau melalui Penasehat


Hukumnya;

15 Replik dari Penuntut Umum;

16 Duplik;

17 Putusan oleh Majelis Hakim.


Dan kuhaper
Perkara perdata khusus meliputi:
1. Permohonan Pernyataan Pailit dan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (Pailit-PKPU) - Nomor 123/Pdt.Sus-Pailit/2010/PN Niaga Smg
2. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) - Nomor 24/Pdt.Sus-HKI/2010/PN Niaga Sby.
3. Arbitrase (Arbt) - Nomor 15/Pdt.Sus-Arbt/2010/PN Niaga Smg
4. Perkara-perkara pada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) - Nomor
28/Pdt.Sus-KPPU/2010/PN Btm.
5. Perkara-perkara pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) - Nomor
12/Pdt.Sus-BPSK/2010/PN Plg.
6. Penyelesaian Hubungan Industrial (PHI) - Nomor 1/Pdt.Sus-PHI/2010/PN Bdg
7. Perkara Partai Politik (Parpol) - Nomor 123/Pdt.Sus-Parpol/2010/PN Cbn.
8. Perkara Keterbukaan Informasi Publik (KIP) - Nomor 12/Pdt.Sus-KIP/2010/PN
Yyk.

Ada beberapa perbedaan antara Jurisdiction Contentiosa dan Jurisdiction Voluntaria


yaitu :
a. Pihak yang berperkara
Dalam Jurisdictio Contentiosa selalu ada dua pihak yang berperkara sedangkan dalam
Jurisdiction Voluntaria hanya ada satu pihak yang berkepentingan.
b. Aktivitas hakim yang memeriksa perkara
Dalam Jurisdiction Contentiosa aktivitas hakim terbatas pada apa yang telah
ditentukan, aktivitas hakim dapat melebihi apa yang dimohonkan karena tugas hakim
bercorak administratif yang bersifat mengatur (regulation)
c. Kebebasan hakim
Dalam Jurisdictio Contentiosa hakim hanya memperhatikan dan menerapkan apa
yang telah ditentukan oleh undang-undang dan tidak berada di bawah pengaruh atau
tekanan dari pihak manapun juga. Hakim hanya menerapkan ketentuan hukum positif.
Dalam Jurisdictio Voluntaria hakim selalu memiliki kebebasan menggunakan
kebijaksanaan yang dipandang perlu untuk mengatur sesuatu hal.
d. Kekuatan mengikat putusan hakim
Dalam Jurisdictio Contentiosa putusan hakim hanya mempunyai kekuatan mengikat
pihak-pihak yang bersengketa serta orang-orang yang telah didengar sebagai saksi.
Dalam Jurisdictio Voluntaria putusan hakim mempunyai kekuatan mengikat terhadap
semua orang.

GUGATAN :
Sebuah Gugatan adalah merupakan suatu tuntutan hak yang merupakan tindakan yang
bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk
mencegah “Eigenrichting” (Main Hakim Sendiri).
suatu gugatan hendaklah memenuhi ketentuanketentuan sbb :
Syarat Formal:
a. Tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan.
Suatu surat gugatan biasanya secara tegas disebutkan tempat dimana
gugatan itu diperbuat, misalnya apakah gugatan dibuat ditempat
domisili penggugat atau di tempat domisili kuasanya.
b. Materai.
Dalam Prakteknya suatu surat gugatan sebelum didaftarkan di PN
harus diberikan materai secukupnya (dewasa ini biaya materai untuk
surat gugatan sebesar Rp. 10.000. Dalam praktek jika gugatan itu
tidak bermaterai bukanlah mengakibatkan gugatan itu menjadi batal
akan tetapi oleh pengadilan akan mengembalikan untuk dibubuhi
materai).
c. Tanda Tangan,
Suatu gugatan haruslah ditanda tangani oleh si Penggugat atau oleh
kuasanya yang khusus untuk itu (Seorang kuasa tidak dibenarkan
mengajukan gugatan secara lisan). Suatu gugatan yang ditanda-tangani
dengan cap jempol maka harus dilegalisir. (Putusan MA tgl 4 Juli
1978, Reg No. 480 K/Sip/1975})

Syarat Substansi
Menurut pasal 8 no. 3 RV suatu gugatan pada pokoknya mengharuskan
memuat hal-hal sbb:
a. Identitas para pihak. Dalam suatu surat gugatan harus jelas
diuraikan mengenai identitas dari para penggugat atau tergugat,
Identitas itu umumnya menyangkut : 
Nama Lengkap 
Umur / tempat dan tanggal lahir. 
Pekerjaan 
Alamat atau Domisili
b. Posita (Fundamentum Petendi) Posita adalah dalil-dalil konkret
tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta
alasanalasan dari tuntutan (middelen van den eis). Dalam praktek
posita itu mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Objek Perkara : yaitu mengenai hal apa gugatan itu diajukan,
apakah menyangkut sengketa hak atas tanah, sengketa mengenai
perjanjian dll Objek gugatan ini sangat penting dalam perkara
perdata oleh karenanya harus diuraikan secara jelas dan terperinci,
Kalau objeknya menyangkut benda tak bergerak maka juga diuraikan
cara perolehannya Letak dan batasbatasnya {Lihat Putusan MA 17 April
1979 No. Reg. 1149 K/Sip/1979 ), kalau objeknya benda bergerak juga
harus diuraikan cara perolehannya, cirri-cirinya, nomor, jenis dan
lain-lain.
2. Fakta-fakta Hukum : yaitu uraian mengenai hal-hal yang
menyebabkan timbulnya sengketa, Misalnya apakah ada perjanjian
antara penggugat dan tergugat sebelumnya dan salah satu pihak ingkar
janji, atau melakukan perbuatan melawan hukum yang akibatnya
menimbulkan kerugian bagi penggugat, dll.
3. Qualifikasi perbuatan tergugat : Yaitu qualifikasi perbuatan dari
masing-masing tergugat, suatu perumusan mengenai perbuatan materil
atau formil dari tergugat yang dapat berupa Perbuatan melawan hukum
(Onrechtmatige Daad, Onrechtsmatige overheads daads wanprestasi,
dll. Qualifikasi ini sedemikian pentingnya sehingga bisanya disusun
secara alternatif agar jangan sampai perbuatan tergugat lepas dari
surat gugatan.
4. Uraian Kerugian : yaitu suatu uraian atau rincian mengenai
kerugian yang diderita penggugat akibat dari perbuatan tergugat
kerugian itu dapat berupa kerugian materil ataupun kerugian moril
yang harus ditaksir dengan sejumlah uang, dan tidak dapat hanya di
reka-reka saja, Uraian kerugian dari penggugat ini harus disusun
secara terperinci didukung dengan bukti-bukti yang ada berupa Bon,
dan kwitansi-kwitansi dll.
5. Hubungan Posita dengan Petitum : Yaitu halhal yang tidak
dikemukakan dalam posita tidak dapat dimohonkan didalam petitum akan
tetapi dalam halhal yang tidak dimintakan dalam petitum dapat
dikabulkan asal hal tersebut telah dikemukakan dalam posita, dengan
demikian hubungan antara posita dengan petitum sangat erat, karena
posita adalah dasar membuat petitum, petitum tidak boleh
bertentangan dan melebihi dari posita.
C. Petitum
Adalah kesimpulan dari suatu gugatan, yang berisi hal-hal yang
dimohonkan untuk diputuskan oleh hakim atau Pengadilan. Petitum
biasanya terdiri dari dua bagian, yaitu Petitum Primair yang
berisikan halhal pokok yang mohon dikabulkan oleh pengadilan dan
Petitum Subsidair yang isinya memberi kebebasan kepada Hakim untuk
mengabulkan lain dari Petitum Primair.

Cara Menyusun Isi Gugatan dan Kemana diajukan.


Untuk menyusun sebuah gugatan pertama sekali yang harus diperhatikan
adalah kompetensi dari Peradilan, dalam mengajukan gugatan harus
diperhatikan benar-benar oleh Penggugat, bahwa gugatannya diajukan
kepada badan Pengadilan yang benar-benar berwenang untuk mengadili
persoalan. Tujuan utama membahas yurisdiksi atau kewenangan mengadili
sebelum menyusun isi dari sebuah gugatan adalah untuk memberi
penjelasan mengenai masalah Pengadilan Mana yang benar-benar tepat
dan berwenang mengadili suatu sengketa atau suatu kasus yang timbul,
agar pengajuan dan penyampaiannya kepada pengadilan tidak keliru.
Sebab apabila pengajuannya keliru mengakibatkan gugatan tidak dapat
diterima atas alasan pengadilan yang dituju tidak berwenang
mengadilinya atau dengan kata lain gugatan yang diajukan diluar
yurisdiksi pengadilan tersebut.

Tempat Gugatan
bahwa Gugatan harus diajukan dengan surat Gugatan Kepada Ketua
Pengadilan Negeri Yang berkompeten mengadili Perkara, dan yang tidak
kalah pentingnya dan harus diperhatikan adalah kemana Gugatan
diajukan, misalnya didalam gugatan perdata harus diajukan dengan
surat Gugatan kepada ketua Pengadilan Negeri dalam daerah Hukum
tempat tinggal tergugat yang disebut dengan Domisili hal ini dapat
dilihat dari KTP dari tergugat. Begitu jika gugatan terhadap Benda
Tidak bergerak maka gugatan dapat diajukan kepada Ketua Pengadilan
Negeri dimana tempat Benda tetap itu berada, dll.

Anda mungkin juga menyukai