Kuhap
A. Penyelidikan
Berdasarkan Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang dimaksud dengan penyelidikan adalah
serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang
diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Berdasarkan
pengertian diatas dapat diperoleh kesimpulan bahwa penyelidikan bertujuan untuk
menyatakan apakah suatu perbuatan itu digolongkan ke dalam suatu tindak pidana
atau bukan.
B. Penyidikan
Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang dimaksud dengan penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Oleh
karena itu, dapat juga ditarik kesimpulan bahwa penyidikan itu merupakan suatu
tindakan lanjutan dari penyelidikan dimana sudah dapat ditentukan bahwa perbuatan
itu merupakan suatu tindak pidana.
C. Penuntutan
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke
pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di
sidang pengadilan (vide Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Penuntutan merupakan suatu
rangkaian tindakan setelah adanya penyelidikan dan penyidikan.
Setelah Penuntut Umum menerima hasil penyidikan dari penyidik, maka ia akan
segera mempelajarinya dan menelitinya serta dalam waktu 7 hari wajib
memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau
belum. Apabila dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, maka penuntut
umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal
yang harus dilakukan untuk melengkapi dan dalam waktu 14 hari sejak tanggal
penerimaan berkas, penyidik sudah harus menyampaikan kembali berkas perkara
kepada Penuntut Umum.
D. Putusan Hakim
Pada dasarnya putusan hakim dalam hukum acara pidana merupakan suatu bentuk
keadilan tertinggi yang diberikan kepada terdakwa dan putusan tersebut dianggap
benar serta memiliki kekuatan yang mengikat sepanjang tidak ada upaya hukum yang
dilakukan oleh terdakwa terhadap putusan tersebut. Dalam hal hakim memutus suatu
perkara pidana, maka ia harus berlandaskan asas keadilan, kemanfaatan, dan
kepastian hukum. Hakim juga dalam memutus suatu perkara pidana harus
berlandaskan keyakinan dan alat bukti yang dihadirkan ke persidangan.
Dalam teori hukum pembuktian, sistem hukum di Indonesia menggunakan sistem
hukum Eropa Kontinental yaitu negatief wettelijk bewijstheorie yaitu dasar
pembuktian hukum pidana dilakukan menurut keyakinan hakim yang timbul dari alat-
alat bukti dalam undang-undang secara negatif. Prinsip tersebut terdapat dalam Pasal
183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang memberikan
batasan untuk hakim dalam menjatuhkan hukuman pemidanaan terhadap seseorang
harus berdasarkan keyakinan hakim dan minimal dua alat bukti. Adapun bunyi Pasal
183 KUHAP adalah “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah
melakukannya.”
E. Upaya Hukum
Pada hakikatnya dalam hukum acara pidana di Indonesia dikenal adanya upaya
hukum yang dilakukan oleh Terdakwa ataupun Penuntut Umum apabila merasa
keberatan dengan putusan hakim pengadilan tingkat I. Upaya hukum adalah hak
terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa
perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan
permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
KUHAP. Upaya Hukum terdiri dari 2 yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar
biasa.
1. Upaya Hukum Biasa
Upaya hukum biasa terdiri dari upaya hukum banding dan upaya hukum kasasi.
Dalam hal Terdakwa atau Penuntut Umum tidak menerima putusan pengadilan
tingkat I, dapat dilakukan upaya hukum banding sebagai upaya hukum pertama. Akan
tetapi, perlu diketahui bahwa upaya hukum banding tidak dapat dilakukan terhadap
putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah
kurang tepatnya penerapan hukum, serta putusan pengadilan dalam acara cepat.
Adapun pengaturan mengenai upaya hukum banding tertuang dalam pasal 233 sampai
dengan pasal 243 KUHAP. Dalam hal Terdakwa atau Penuntut Umum ingin
melakukan upaya hukum banding, maka maksimal jangka pengajuan banding adalah
7 hari sejak putusan pengadilan tingkat I dibacakan oleh Majelis Hakim yang
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
Upaya hukum selanjutnya adalah upaya hukum kasasi. Upaya hukum kasasi tertuang
didalam Pasal 244 sampai dengan Pasal 262 KUHAP. Jangka waktu pengajuan kasasi
adalah maksimal 14 hari setelah putusan Pengadilan Tinggi diberitahukan. Upaya
hukum kasasi ini dilakukan apabila salah satu pihak tidak menerima putusan
Pengadilan Tinggi. Terhadap putusan bebas, Penuntut Umum juga dapat melakukan
upaya hukum kasasi.
2. Upaya Hukum Luar Biasa
Upaya hukum luar biasa merupakan tahap akhir dari segala upaya hukum yang dapat
dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Upaya
hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali. Putusan pengadilan yang disebut
mempunyai kekuatan hukum tetap adalah putusan Pengadilan Negeri yang tidak
diajukan upaya banding, putusan Pengadilan Tinggi yang tidak diajukan kasasi (upaya
hukum di tingkat Mahkamah Agung), atau putusan kasasi Mahkamah Agung.
Peninjauan Kembali dapat diajukan terhadap putusan kasasi apabila pada putusan
sebelumnya diketahui terdapat kesalahan atau kekhilafan yang nyata pada hakim
dalam memutus perkara ataupun terdapat bukti baru yang belum pernah diungkapkan
dalam persidangan.
Tahapan Persidangan Pidana pada Tingkat Pertama yaitu sebagai berikut:
Dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum;
Eksepsi (nota keberatan) oleh Terdakwa/Penasihat Hukum (jika ada);
Tanggapan atas Eksepsi oleh Jaksa Penuntut Umum (jika ada);
Putusan sela (jika ada eksepsi);
Pembuktian (pemeriksaan alat bukti dan barang bukti);
Tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum;
Pledoi (nota pembelaan) oleh Terdakwa/Penasihat Hukum;
Replik (jawaban atas pledoi oleh Jaksa Penuntut Umum);
Duplik (tanggapan atas replik oleh Terdakwa/Penasihat Hukum); dan
Putusan Hakim.
Pidana Penomoran tindak pidana umum (berasal dari KUHP) menggunakan kode
Pid.B untuk perkara dengan acara biasa, Pid.S untuk perkara dengan acara singkat,
Pid.C untuk perkara dengan acara cepat (tindak pidana ringan) dan Pid.LL untuk
pelanggaran lalu-lintas. Perkara acara singkat adalah perkara pidana yang menurut
Penuntut Umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya
sederhana. Perkara dengan acara cepat adalah perkara pidana yang diancam dengan
hukuman tidak lebih dari 3 (tiga) bulan penjara atau denda Rp7500,00 yang
mencakup: tindak pidana ringan, pelanggaran lalu lintas dan penghinaan ringan.
Seperti contoh berikut:
Penomoran tindak pidana khusus (yang diatur diluar KUHP) menggunakan kode
Pid.Sus, seperti misalnya: Nomor 200/Pid.Sus/2011/PN Sby (Narkotika) Nomor
201/Pid.Sus/2011/PN Sby (Terorisme) Nomor 202/Pid.Sus/2011/PN Sby (Pencucian
Uang) Nomor 204/Pid.Sus/2011/PN Sby (Perdagangan Orang)
Hallo Sobat!
Balik lagi nih sama aku dalam tulisan yang membahas tentang peradilan
pidana.
Berdasarkan narasi di atas pasti kita bertanya-tanya, seperti apa sih bentuk
dari surat dakwaan itu? Let’s follow the explanation below guys!!!
Isi dalam Surat Dakwaan
Mengenai pengaturan surat dakwaan, diatur dalam Pasal 140 sampai dengan
Pasal 144 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Surat dakwaan
berisikan konstruksi yuridis atas fakta-fakta perbuatan terdakwa yang
terungkap pada proses penyidikan sesuai dengan unsur-unsur pidana yang
termuat dalam undang-undang yang tersebut.
Menurut Pasal 142 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
bahwa dalam surat dakwaan terdapat 2 (dua) unsur di dalamnya, yaitu: a.
Unsur formil dan b. Unsur materiil. Dari kedua unsur tersebut, menurut para
ahli hukum acara pidana yang bersumber dari berbagai literatur, bahwa
unsur-unsur tersebut diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Unsur formil surat dakwaan yang tercantum di dalam Pasal 142 ayat (2) huruf a Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, berisikan tentang identitas dari terdakwa yang disertai
dengan tanggal dan tanda tangan penuntut umum yang membuat surat dakwaan tersebut.
2. Unsur materiil surat dakwaan yang tercantum di dalam Pasal 142 ayat (2) huruf b Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, berisikan tentang kronologi peristiwa pidana yang
terjadi dan pasal yang dilanggarnya.
Sudah disebut di atas tadi bahwa unsur formil surat dakwaan diatur dalam
Pasal 142 ayat (2) huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Adapun rincian formil dalam surat dakwaan adalah sebagai berikut:
1. Berisikan identitas terdakwa, mulai dari nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir,
agama dan pekerjaannya.
2. Dalam surat dakwaan, harus dicantumkan tanggal pembuatan dan disertai dengan tanda
tangan penuntut umum yang membuat surat dakwaan tersebut.
Perlu diingat, apabila syarat formil ini tidak dipenuhi,maka suatu surat
dakwaan dapat dibatalkan.
Unsur Materiil Surat Dakwaan
Unsur materil dalam surat dakwaan diatur di dalam Pasal 142 ayat (2) huruf b
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Aristo M.A Pangaribuan Dkk
dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Hukum Acara Pidana Di Indonesia”
memaparkan tentang apa saja yang tercantum dalam unsur materiil surat
dakwaan. Yaitu sebagai berikut:
Dalam praktik yang dilakukan oleh penuntut umum, surat dakwaan terdiri dari
5 (lima) bentuk, yaitu a. Dakwaan tunggal; b. Dakwaan subsidair; c. Dakwaan
alternatif; d. Dakwaan kumulatif; dan e. Dakwaan kombinasi. Kelima bentuk
dakwaan tersebut akan dijelaskan di bawah ini!
1. Dakwaan tunggal
Bentuk dakwaan ini digunakan ketika hanya ditemukan satu tindak pidana
saja dan tidak dimungkinkannya untuk mengajukan dakwaan yang berbentuk
alternatif ataupun dakwaan pengganti lainnya.
1. Dakwaan subsidair
Dalam dakwaan ini, terdapat dakwaan yang berlapis dengan maksud lapisan
yang satu berfungsi sebagai lapisan yang sebelumnya. Susunan dalam surat
dakwaan berbentuk ini dimulai dari tindak pidana yang ancaman nya paling
tinggi sampai yang paling rendah.
1. Dakwaan alternatif
1. Dakwaan kumulatif
Dakwaan ini dibuat karena dalam kondisi terdapat beberapa tindak pidana
yang tidak saling tidak saling berkaitan. Karena tindak pidana yang satu
dengan yang lain masing-masing berdiri sendiri dan semua dakwaan tersebut
harus dibuktikan satu persatu.
1. Dakwaan kombinasi
Cermat dalam memenuhi apa yang disyaratkan oleh Pasal 142 ayat (2) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana,yang mana dalam pasal tersebut
menyatakan bahwa surat dakwaan harus memenuhi unsur formil dan unsur
materiil. Apabila salah satu tidak dipenuhi, maka dakwaan tersebut dapat
dibatalkan atau batal demi hukum.
– Syarat-syarat materiil:
Sumber:
16 Duplik;
GUGATAN :
Sebuah Gugatan adalah merupakan suatu tuntutan hak yang merupakan tindakan yang
bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk
mencegah “Eigenrichting” (Main Hakim Sendiri).
suatu gugatan hendaklah memenuhi ketentuanketentuan sbb :
Syarat Formal:
a. Tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan.
Suatu surat gugatan biasanya secara tegas disebutkan tempat dimana
gugatan itu diperbuat, misalnya apakah gugatan dibuat ditempat
domisili penggugat atau di tempat domisili kuasanya.
b. Materai.
Dalam Prakteknya suatu surat gugatan sebelum didaftarkan di PN
harus diberikan materai secukupnya (dewasa ini biaya materai untuk
surat gugatan sebesar Rp. 10.000. Dalam praktek jika gugatan itu
tidak bermaterai bukanlah mengakibatkan gugatan itu menjadi batal
akan tetapi oleh pengadilan akan mengembalikan untuk dibubuhi
materai).
c. Tanda Tangan,
Suatu gugatan haruslah ditanda tangani oleh si Penggugat atau oleh
kuasanya yang khusus untuk itu (Seorang kuasa tidak dibenarkan
mengajukan gugatan secara lisan). Suatu gugatan yang ditanda-tangani
dengan cap jempol maka harus dilegalisir. (Putusan MA tgl 4 Juli
1978, Reg No. 480 K/Sip/1975})
Syarat Substansi
Menurut pasal 8 no. 3 RV suatu gugatan pada pokoknya mengharuskan
memuat hal-hal sbb:
a. Identitas para pihak. Dalam suatu surat gugatan harus jelas
diuraikan mengenai identitas dari para penggugat atau tergugat,
Identitas itu umumnya menyangkut :
Nama Lengkap
Umur / tempat dan tanggal lahir.
Pekerjaan
Alamat atau Domisili
b. Posita (Fundamentum Petendi) Posita adalah dalil-dalil konkret
tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta
alasanalasan dari tuntutan (middelen van den eis). Dalam praktek
posita itu mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Objek Perkara : yaitu mengenai hal apa gugatan itu diajukan,
apakah menyangkut sengketa hak atas tanah, sengketa mengenai
perjanjian dll Objek gugatan ini sangat penting dalam perkara
perdata oleh karenanya harus diuraikan secara jelas dan terperinci,
Kalau objeknya menyangkut benda tak bergerak maka juga diuraikan
cara perolehannya Letak dan batasbatasnya {Lihat Putusan MA 17 April
1979 No. Reg. 1149 K/Sip/1979 ), kalau objeknya benda bergerak juga
harus diuraikan cara perolehannya, cirri-cirinya, nomor, jenis dan
lain-lain.
2. Fakta-fakta Hukum : yaitu uraian mengenai hal-hal yang
menyebabkan timbulnya sengketa, Misalnya apakah ada perjanjian
antara penggugat dan tergugat sebelumnya dan salah satu pihak ingkar
janji, atau melakukan perbuatan melawan hukum yang akibatnya
menimbulkan kerugian bagi penggugat, dll.
3. Qualifikasi perbuatan tergugat : Yaitu qualifikasi perbuatan dari
masing-masing tergugat, suatu perumusan mengenai perbuatan materil
atau formil dari tergugat yang dapat berupa Perbuatan melawan hukum
(Onrechtmatige Daad, Onrechtsmatige overheads daads wanprestasi,
dll. Qualifikasi ini sedemikian pentingnya sehingga bisanya disusun
secara alternatif agar jangan sampai perbuatan tergugat lepas dari
surat gugatan.
4. Uraian Kerugian : yaitu suatu uraian atau rincian mengenai
kerugian yang diderita penggugat akibat dari perbuatan tergugat
kerugian itu dapat berupa kerugian materil ataupun kerugian moril
yang harus ditaksir dengan sejumlah uang, dan tidak dapat hanya di
reka-reka saja, Uraian kerugian dari penggugat ini harus disusun
secara terperinci didukung dengan bukti-bukti yang ada berupa Bon,
dan kwitansi-kwitansi dll.
5. Hubungan Posita dengan Petitum : Yaitu halhal yang tidak
dikemukakan dalam posita tidak dapat dimohonkan didalam petitum akan
tetapi dalam halhal yang tidak dimintakan dalam petitum dapat
dikabulkan asal hal tersebut telah dikemukakan dalam posita, dengan
demikian hubungan antara posita dengan petitum sangat erat, karena
posita adalah dasar membuat petitum, petitum tidak boleh
bertentangan dan melebihi dari posita.
C. Petitum
Adalah kesimpulan dari suatu gugatan, yang berisi hal-hal yang
dimohonkan untuk diputuskan oleh hakim atau Pengadilan. Petitum
biasanya terdiri dari dua bagian, yaitu Petitum Primair yang
berisikan halhal pokok yang mohon dikabulkan oleh pengadilan dan
Petitum Subsidair yang isinya memberi kebebasan kepada Hakim untuk
mengabulkan lain dari Petitum Primair.
Tempat Gugatan
bahwa Gugatan harus diajukan dengan surat Gugatan Kepada Ketua
Pengadilan Negeri Yang berkompeten mengadili Perkara, dan yang tidak
kalah pentingnya dan harus diperhatikan adalah kemana Gugatan
diajukan, misalnya didalam gugatan perdata harus diajukan dengan
surat Gugatan kepada ketua Pengadilan Negeri dalam daerah Hukum
tempat tinggal tergugat yang disebut dengan Domisili hal ini dapat
dilihat dari KTP dari tergugat. Begitu jika gugatan terhadap Benda
Tidak bergerak maka gugatan dapat diajukan kepada Ketua Pengadilan
Negeri dimana tempat Benda tetap itu berada, dll.