Anda di halaman 1dari 19

ALAT BUKTI, SUMPAH DAN PERSANGKAAN

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Praktek Yustisi Pada

Fakultas Syariah dan Hukum Islam Program Studi Hukum Keluarga Islam

(HKI) Kelompok Satu (I) Semester Enam (VI)

Institut Agama Islam Negeri

(IAIN) Bone

Oleh :

KELOMPOK X

ASPIRA ASTIWI
742302019029

AYULIARTI
742302019030

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

(IAIN) BONE

2022
A. Alat Bukti

Alat Bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan

suatu perbuatan , dimana dengan alat –alat bukti tersebut , dapat di

pergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan

hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh

terdakwa.

1. Pihak Yang Berhak Mengajukan AlatBukti

Pengajuan alat bukti yang sah menurut undang-undang didalam

persidangan dilakukan oleh :

a. Penuntut umum dengan tujuan untuk membuktikan dakwaan nya ;

b. Terdakwa atau penasehat hukum , jika ada alat bukti yang bersifat

meringankan , atau membebaskan terdakwa dari segala tuntutan

hukum.

Pada dasar nya yang mengajukan alat bukti dalam persidangan

adalah penuntut umum (alat bukti yang memberatkan / acharge).

Terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian .hal ini merupakan

jelmaan asas praduga tak bersalah (Pasal 66 KUHAP). jadi pada prinsipnya

yang membuktikan kesalahan terdakwa adalah penuntut umum.

2. Macam-Macam Alat Bukti dalam KUHAP

Mengenai jenis-jenis alat bukti yang boleh digunakan dan

kekuatan pembuktian serta bagaimana cara menggunakannya untuk

membuktikan di siding pengadilan, merupakan hal yang paling pokok

dalam hukum pembuktian dengan sistem negatif. Ketiga hal pokok itu
telah tertuang dalam Pasal-Pasal bagian keempat KUHAP.mengenai

macam-macam alat bukti dimuat dalam Pasal 184. Sementara mengenai

cara menggukan alat bukti- alat bukti dan kekuatan pembuktian alat

bukti- alat bukti dimuat dalam Pasal-Pasal 185-189 KUHAP. Mengenai

macam-macam alat bukti yang sah yang digunakan untuk

membuktikantelah ditentukan Pasal 184 ayat

(1) KUHAP.

a. Keterangan saksi

b. Keterangan ahli

c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa

1. Alat Bukti Keterangan Saksi

Pengertian saksi dan keterangan saksi KUHAP memberikan

batasan/pengertian saksi, ialah “orang yang memberikan keterangan

guna kepentingan penyelidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu

perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami

sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.’’Sementara

keterangan saksi adalah salah satu alat bukti perkara pidana merupakan’’

keterangan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia

lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari

pengetahuannya’’.

Dari batasan oleh undang-undang (penafsiran otentik) tentang


saksi dan keterangan saksi tersebut, dapat ditarik 3(tiga) kesimpulan.

a. Tujuan saksi memberikan keterangan untuk kepentingan penyidikan,

penuntutan dan peradilan. Ketentuan ini juga mengandung pengertian

bahwa saksi di perlukan dan memberikan keterangannya dalam

2(dua) tingkat, di tingkat penyidikan dan ditingkat penuntutan-

sidang pengadilan.

b. Isi yang diterangkan , adalah segala sesuatu yang ia dengar sendiri, ia

lihat sendiri dan ia alami sendiri. Keterangan mengenai segala

sesuatu yang sumbernya diluar 3(tiga) sumber tadi, tidak mempunyai

nilai atau kekuatan pembuktian. Ketentuan ini merupakan suatu

prinsip pembuktian dengan menggunakan alat bukti keterangan saksi.

c. Keterangan saksi haruslah disertai alasan dari sebab apa ia

mengetahui tentang sesuatu yang ia terangkan. Artiya , isinya

keterangan bias berharga dan bernilai pembuktian apabila setelah

memberikan keterangan, kemudian menerangkan tentang sebab-

sebab dari pengetahuannya tersebut. Hal ini merupakan prinsip

umum alat bukti keterangan saksi dalam hal pembuktian dalam

perkara pidana.

2. Alat Bukti Keterangan Ahli

Dalam praktik alat bukti ini disebut alat bukti ini disebut alat

bukti saksi ahli.Tentu saja pemakaian istilah ‘’ saksi ahli ‘’ tidak benar.

Karena perkataan saksi mengandung pengertian yang berbeda dengan

ahli atau keterangan ahli. Bahwa isi keterangan yang disampaikan saksi

adalah segala sesuatu yang ia dengar sendiri , ia lihat sendiri dan ia alami
sendiri . pada keterangan saksi haruslah diberikan alas an dari sebab

pengetahuan itu. Sementara seorang ahli memberikan keterangan bukan

mengenai segala hal yang dilihat , dengar dan dialaminya sendiri. Tetapi

mengenai pengetahuan yang menjadi atau sebidang keahliannya yang

ada hubungannya dengan perkara yang sedang di periksa . keterangan

ahli tidak perlu diperkuat dengan alasan sebab keahliannya atau

pengetahuan sebagaimana pada keterangan saksi. Segala sesuatu yang

diterangkan saksi adalah hal mengenai kenyataan atau fakta (materiele

waarheid). Tetapi yang diterangkan ahli adalah suatu penghargaan dari

kenyataan dan atau kesimpulan atas penghargaan itu berdasarkan

keahlian seorang ahli.

3. Alat Bukti Surat

a. Syarat-syarat surat agar menjadi alat bukti yang sah.

KUHAP sedikit sekali mengatur tentang alat bukti surat. Hanya

dua Pasal, Pasal184 dan secara khusus Pasal-Pasal saja, Pasal 304,305,

306. Meskipun hanya tiga Pasalyang isinya hampir sama dengan Pasal

187 KUHAP. Tetapi dalam Pasal 304 HIR , disebut kan bahwa aturan

tentang nilai kekuatan dari alat bukti surat- surat pada umumnya dan

surat- surat resmi (openbaar) dalam hukum acara perdata harus diturut

dalam hukum acara pidana. Dengan demikian mengenai surat- surat

pada umumnya (maksudnya dibawah tangan) dan surat- surat resmi

(akta otentik) mengenai nilai pembuktiannya dalam perkara pidana harus

menurut hukum acara perdata. Sayang ketentuan seperti Pasal 304 HIR

ini, tidak adalagi dalam KUHAP. Dulu ketika masih berlakunya HIR

berdasarkan Pasal 304 ,praktik hukum perkara pidana mengenai


penggunaan dan penilaian alat bukti surat dapat menggunakan

pembuktian dalam alat bukti surat menurut hukum acara perdata.

Artinya pembuktian dengan surat hukum acara perdata berlaku pula

pada pembuktian dengan surat dalam perkara pidana. Tetapi sekarang

setelah berlakunya KUHAP, sudah tidak lagi.Segala sesuatunya

diserahkan pada kebijakan hakim.Dengan alasannya bahwa alat bukti –

alat bukti dalam perkara pidana adalah merupakan alat bukti bebas.

Tidak ada sesuatu alat bukti pun yang mengikat hakim, termasuk akta

otentik. Penilaian diserahkan pada hakim. Memang prinsip hukum

pembuktian dalam hukum acara pidana berbeda dengan pembuktian

hukum acara perdata. Mengingat dalam hukum pembuktian perkara

pidana diperlukan keyakinan hakim atas dasar minimal alat bukti

(standar bukti) yang dalam hukum pembuktian perkara perdata tidak di

perlukan keyakinan hakim. Karena, apa yang dicari dari pembuktian

hukum acara pidana adalah kebenaran materil. Sementara dalam,hukum

acara perdata kebenaran formil sudah cukup, seperti halnya bukti akta

otentik sebagai alat bukti sempurna (volledig bewijs) yang mengikat

hakim. Dengan didapatnya kebenaran materiil dari minimal dua alat

bukti yang sah, syarat sebagai menjatuhkan pidana. Berdasarkan

systempembuktian yang berbeda, apapun alat buktinya seperti akta

otentik yang menurut hukum acara perdata adalah alat bukti sempurna.

Tetapi dalam hukum pembuktian perkara pidana satu akta otentik saja

akan lumpuh kekuatan buktinya apabila tidak ditunjang oleh satu alat

bukti lainnya, meskipun hakim yakin akan kebenaran dari akta otentik

tersebut. Karena dalam hukum pembuktian perkara pidana diikat lagi

dengan beberapa ketentuan.


a. Adanya syarat minimal pembuktian (standar bukti), ialah satu alat

bukti saja tidaklah cukup dalam perkara pidana,melainkan minimal

dua alat bukti.

b. Diperlukan adanya keyakinan hakim. Dari minimal dua alat bukti

terbentuklah keyakinan tentang 3 hal\ keadaan (terjadinya tindak

pidana, terdakwa melakukannya , dan ia dapat diperasalahkan akan

perbuatannya itu tersebut. Tujuannya di buat surat semacam ini untuk

pembuktian mengenai suatu hal,atau suatu kejadian. Misalnya untuk

membuktikan adanya perkawinan disebut surat nikah, untuk

membuktikan sebagai penduduk disebut dengan kartu tanda

penduduk atau KTP. Surat yag disebut huruf ( c ), adalah surat yang

dibuat oleh seorang ahli yang isinya pendapat mengenai hal ,

keadaan ,kejadiaan tertentu dalam bidang keahliannya itu,

berhubungan dengan suatu perkara pidana. Surat ini dibuat memenuhi

permintaan secara resmi. Contohnya surat (visum et repertum)yang

dibuat oleh dokter.

4. Alat Bukti Petunjuk

Apabila kita bandingkan dengan 4 (empat) alat bukti – alat bukti

yang lain dalam Pasal 184 KUHAP , maka alat bukti petunjuk bukan satu

bukti yang bulat dan berdiri sendiri , melainkan suatu alat bukti bentukan

hakim. Hal itu tampak dari batasannya dalam ketentuan Pasal 188 ayat 1

KUHAP. Bahwa petunjuk adalah perbuatan , kejadian atau keadaan, yang

karena persesuaian , baik antara yang satu dengan yang lain, maupun

dengan tindak pidana itu sendiri , menandakan bahwa telah terjadi suatu

tindak pidana dan siapa pelakunya. Oleh karena keberadaan dan bekerjanya
alat bukti petunjuk ini cenderung merupakan penilaian terhadap hubungan

atau persesuaian antara isi dari beberapa alat bukti lainnya. Bukan alat

bukti yang berdiri sendiri , maka dapat dimaklumi apabila sebagian ahli

menaruh sangat keberatan-keberadaannya dan menjadi bagian dalam

hukum pembuktian perkara pidana. Misalnya Van Bemmelen yang

mengatakan sebuah kesalahan utama ialah petunjuk-petunjuk dipandang

sebagai suatu alat bukti, padahal pada hakekatnya tidak ada. Karena

sifatnya demikian , maka Wirjono Projodikoro menyatakan agar alat bukti

petunjuk dilenyapkan dari penyebutan sebagai alat bukti. Selanjutnya

penggantinya ialah ke- 1 pengalaman hakim dalam pengalaman sidang dan

ke- 2 keterangan terdakwa dimuka hakim yang tidak mengandung

pengakuan salah seluruhnya dari terdakwa.

5. Alat Bukti Keterangan Terdakwa

Diantara 5 (lima) alat bukti yang disebut dalam Pasal 184

KUHAP, alat bukti keterangan terdakwa lah yang sering kali

diabaikan oleh hakim. Hal ini dapat dimaklumi , karena berbagai

sebab. Seringkali keterangan terdakwa tidak bersesuaian dengan

isi alat bukti – alat bukti yang lain, misalnya keterangan saksi .

Tidak menerangkan hal- hal yang memberatkan atau merugikan

terdakwa sendiri adalah sesuatu sifat manusia (manusiawi).

Menghindari kesusahan atau kesuliatan bagi dirinya

sendiri.Untuk itu dia terpaksa berbohong. Berbohong dimuka

sidang,bagi terdakwa boleh saja. Resikonya sekedar dapat

dijadikan hakim sebagai alasan memberatkan pidana yang

dijatuhkan. Pada diri terdakwa memiliki hak untuk bebas


berbicara termasuk isinya yang tidak benar. Berhubung terdakwa

yang memberikan keterangan yang tidak benar tidak diancam

sanksi pidana sebagaimana saksi (yang disumpah) memberikan

keterangan isinya yang tidak benar. Karena terdakwa tidak

disumpah sebelum memberikan keterangan, sebagaimana saksi

sebelum memberikan keterangan.Pada sumpah diletakkan

kepercayaan kebenaran atas keterangan yang diberikan di sidang

pengadilan.Pada sanksi pidana diletakkan kekuatan paksaan agar

seorang saksi memberikan keterangan yang benar.

Pengabaian oleh hakim biasanya terhadap keterangan

terdakwa yang berisi penyangkalan terhadap dakwaan.

Pengabaian hakim dapatlah diterima, mengingat menurut

KUHAP penyangkalan terdakwa bukanlah menjadi bagaian dari

isi alat bukti keterangan terdakwa. Karena isi keterangan

terdakwa itu hanyalah terhadap keterangan mengenai apa yang ia

lakukan , ia ketahui atau alami sendiri. Sementara penyangkalan

adalah berada diluar tiga hal tersebut.Jadi menurut KUHAP

penyangkalan bukanlah isi dari alat bukti keterangan terdakwa.

Meskipun terkadang hakim mempertimbangkan penyangkalan,

apabila dari alat bukti yang tidak cukup kuat untuk membuktikan

kesalahan terdakwa cukup kuat untuk membuktikan kesalahan

terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan. Dalam

Pasal 295 HIR mengenai alat bukti yang berhubungan dengan

terdakwa ini disebut dengan pengakuan (bekentenis). KUHAP

kemudian mengganti alat bukti pengakuan salah satu terdakwa ini

dengan alat bukti keterangan terdakwa. Isi alat bukti keterangan


terdakwa jauh lebih luas dari pada isi pengakuan.

B. Sumpah

Suppletoir, Aestimatoire, dan Decisoir merupakan tiga istilah

yang dapat kita temukan dalam Hukum Acara Perdata. Ketiga istilah ini

merupakan klasifikasi sumpah, dimana sumpah dikenal sebagai salah

satu alat bukti yang diakui dalam Hukum Acara Perdata. Pasal 1865

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) mengatur

mengenai pembuktian:

“Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak,

atau, guna mengeguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak

orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan

adanya hak atau peristiwa tersebut.”

Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata tentang

Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan

Pengadilan (hal. 745) menjelaskan bahwa sumpah sebagai alat bukti

adalah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama

Tuhan, dengan tujuan:

1. Agar orang yang bersumpah dalam memberi keterangan atau

pernyataan itu, takut atas murka Tuhan apabila dia berbohong;

2. Takut kepada murka atau hukuman Tuhan dianggap sebagai daya

pendorong bagi yang bersumpah untuk menerangkan yang

sebenarnya.
Sumpah Decisoir, Suppletoir, dan Aestimatoire

Yahya (hal. 750) menjelaskan bahwa dalam Pasal 1929 KUH

Perdata diatur mengenai klasifikasi sumpah yang terdiri dari:

a. Sumpah pemutus (decisoir eed);

b. Sumpah tambahan (suppletoir eed); dan

c. Sumpah penaksir (aestimatoire eed).

1. Sumpah Pemutus (Decisoir eed)

Sumpah decisoir disebut juga sumpah pemutus, ada juga yang

mempergunakan istilah sumpah menentukan, yaitu sumpah yang oleh

pihak yang satu (boleh penggugat atau tergugat) diperintahkan kepada

pihak yang lain untuk menggantungkan pemutusan perkara atas

pengucapan atau pengangkatan sumpah. Sumpah inilah yang disebut

sumpah pemutus, yaitu:

a. merupakan sumpah yang diucapkan oleh salah satu pihak atas

perintah atau permintaan pihak lawan;

b. pihak yang memerintahkan atau meminta mengucapkan sumpah

disebut deferent, yaitu orang atau pihak yang memerintahkan

sumpah pemutus, sedangkan pihak yang diperintahkan

bersumpah disebut delaat atau gedefereerde.

Makna sumpah pemutus yakni memiliki daya kekuatan

memutuskan perkara atau mengakhiri perselisihan. Jadi, sumpah

pemutus ini mempunyai sifat dan daya litis decisoir, yang berarti

pengucapan sumpah pemutus:

a. dengan sendirinya mengakhiri proses pemeriksaan perkara;


b. diikuti dengan pengambilan dan menjatuhkan putusan

berdasarkan ikrar sumpah yang diucapkan;

c. dan undang-undang melekatkan kepada sumpah pemutus tersebut

nilai kekuatan pembuktian sempurna, mengikat, dan menentukan.

 Ruang lingkup penerapan sumpah pemutus Pasal 1930 KUH

Perdata:

a. meliputi segala sengketa;

b. dapat diperintahkan dalam segala jenis sengketa.

Sumpah pemutus dapat diperintahkan:

a. dalam persengketaan apa pun juga, kecuali dalam hal kedua belah

pihak tidak dapat mengadakan suatu perdamaian atau dalam hal

pengakuan mereka tidak boleh diperhatikan.

b. pada setiap tingkatan perkara, bahkan dalam hal tidak ada upaya

pembuktian apa pun untuk membuktikan tuntutan atau tangkisan

yang memerlukan pengambilan sumpah itu.

 Hal serupa juga dikatakan oleh Yahya, pasal ini sendiri

membatasi sepanjang sengketa yang tidak dibenarkan penyelesaiannya

melalui perdamaian, yakni berkenaan dengan status hukum seseorang

atau yang menyangkut dengan hukum keluarga seperti sengketa di

bidang perkawinan.

Syarat formil sumpah pemutus sebagai alat bukti adalah:

a. Tidak ada bukti apapun

Syarat ini disebut pada Pasal 1930 ayat (2) KUH Perdata dan

Pasal 156 ayat (1) Herzien Inlandsch Reglement. Sumpah


pemutus merupakan alat bukti untuk memperkuat dalil gugatan

atau bantahan jika sama sekali tidak ada upaya lain untuk

membuktikannya dengan alat bukti lain. Kalau ada alat bukti lain,

tidak ada dasar alasan untuk memerintahkannya.

b. Inisiatif berada pada pihak yang memerintahkan

Syarat ini disebut pada Pasal 1929 ayat (1) KUH Perdata dan

Pasal 156 ayat (1) Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”).

Sumpah pemutus merupakan sumpah yang oleh pihak yang satu

diperintahkan kepada pihak yang lain untuk menggantungkan

putusan perkara padanya. Itu sebabnya, sumpah pemutus disebut

juga sumpah pihak karena inisiatif atau prakarsanya datang dari

pihak yang berperkara atau berada di tangan pihak yang

memerintahkan.

2.    Sumpah Tambahan (Suppletoir eed)

Sumpah tambahan ini diatur dalam Pasal 1940 KUH Perdata:

“Hakim, karena jabatannya, dapat memerintahkan salah satu pihak

yang berperkara untuk mengangkat sumpah, supaya dengan sumpah

itu dapat diputuskan perkara itu atau dapat ditentukan jumlah uang

yang dikabulkan.”

Yahya menjelaskan (hal. 767) bahwa syarat formil sumpah

tambahan adalah:

a. Alat bukti yang diajukan tidak mencukupi

Inilah syarat utama. Harus ada lebih dahulu permulaan

pembuktian sebagai landasan menerapkan sumpah tambahan.

Dengan demikian, sumpah tambahan tidak dapat berdiri sendiri


sebagai alat bukti. Baru dapat didirikan apabila ada permulaan

pembuktian.

b. Atas perintah hakim

Sumpah tambahan harus atas perintah hakim berdasrkan

jabatannya. Hakim yang berwenang menilai dan

mempertimbangkan apakah perlu atau tidak diperintahkan

pengucapan sumpah tambahan.

3.    Sumpah Penaksir (Aestimatoire eed)

Yahya (hal. 775) menyebutkan sumpah ini diatur dalam kalimat

terakhir Pasal 155 ayat (1) HIR dan Pasal 1940 KUH Perdata. Yahya

menjelaskan bahwa sumpah penaksir merupkan salah satu alat bukti

sumpah yang secara khusus diterapkan untuk menentukan berapa

jumlah nilai ganti rugi atau harga barang yang digugat oleh penggugat.

Apabila dalam persidangan penggugat tidak mampu

membuktikan berapa jumlah ganti rugi yang sebenarnya atau berapa

nilai harga barang yang dituntutnya, begitu juga tergugat tidak mampu

membuktikan bantahannya berapa ganti rugi atau harga barang yang

sebenarnya, taksiran atas ganti rugi atau harga barang itu dapat

ditentukan melalui pembebanan sumpah penaksir.

Tujuan dari sumpah ini untuk menetapkan berapa jumlah ganti

rugi atau harga yang akan dikabulkan. Jadi, penerapan sumpah ini baru

dapat dilakukan apabila sama sekali tidak ada bukti dari kedua belah

pihak yang dapat membuktikan jumlah yang sebenarnya. Kalau ada

bukti, sumpah penaksir tidak boleh diterapkan. 


Yahya menjelaskan (hal. 776) bahwa syarat formil utama agar

sumpah penaksir dapat diterapkan:

a. Apabila penggugat telah mampu membuktikan haknya atas dalil

pokok gugatan;

b. Karena sumpah penaksir tersebut asesor kepada hak yang

menimbulkan adanya tuntutan atas sejumlah ganti rugi atau

sejumlah harga barang, maka selama belum dapat dibuktikannya

hak, tidaklah mungkin menuntut ganti rugi atau harga barang.

C. Persangkaan

Dalam Pasal 1915 KUH Perdata, persangkaan adalah

kesimpulan yang ditarik oleh Undang-Undang atau hukum atau oleh

hakim dari peristiwa yang jelas atau terang ke arah peristiwa yang

belum terang atau jelas. Dari peristiwa yang terang dan nyata ini ditarik

kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain yang harus dibuktikan (Retno

Wulan Sutantio dan Iskandar Oerip Kartawinata, 1997 : 90).

Alat bukti persangkaan dalam hukum acara perdata terdapat 2

macam yaitu sebagai berikut :

1. Persangkaan Hukum atau Undang-Undang (wettelijke vermoeden)

2. Kesimpulan yang ditarik oleh undang-undang dari peristiwa yang

jelas kearah peristiwa yang belum terang atau jelas, yang

berdasarkan suatu ketentuan khusus yang ada didalam Undang-

Undang yang dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu

atau peristiwa- peristiwa tertentu.


3. Persangkaan Hakim atau Kenyataan (Rechtelijk vermoeden)

4. Kesimpulan yang ditarik oleh hakim dari peristiwa yang jelas kearah

peristiwa yang belum terang atau jelas. Persangkaan hakim

disimpulkan oleh hakim berdasarkan peristiwa hukumnya dalam

perkara. Alat bukti persangkaan akan diterapkan oleh hakim apabila

ternyata dalam perkara yang ditangani oleh pengadilan ternyata

tidak ada alat bukti saksi yang mendengar, mengalami, dan

menyaksikan langsung terjadinya peritiwa hukum yang dialami oleh

para pihak yang sedang berperkara (Sarwono, 2011:271).

Dalam praktik alat bukti persangkaan dapat dijadikan sebagai bahan

pertimbangan hakim dalam hal menentukan putusan, namun pertimbangan

keputusan diawali dengan adanya persangkaan saja tidaklah cukup harus ada

persangkaan-persangkaan lain yang berhubungan dengan peristiwa hukumnya,

sehingga dari beberapa persangkaan yang saling berhubungan tersebut dapat

dijadikan bahan pertimbangan hakim untuk menentukan siapakah yang salam

dalam suatu perkara.

Alat bukti masuk dalam persangkaan atau bukan terletak pada persoalan

apakah alat bukti itu memberikan kepastian yang langsung mengenai peristiwa

yang diajukan untuk dibuktikan atau mengenai peristiwa yang tidak diajukan

untuk dibuktikan atau sangkut pautnya dengan peristiwa yang diajukan untuk

dibuktikan (Sudikno Mertokusumo, 2009:179-180).

Cara menarik persangkaan yang memenuhi syarat formal yaitu bertitik

tolak dari data atau fakta yang telah terbukti dalam persidangan, untuk

mengungkap fakta yang belum diketahui dengan cara menarik kesimpulan dari

fakta yang telah ada dan terbukti tersebut. Jadi hakim dalam persidangan harus
pandai dan jeli membuat membuat pertanyaan-pertanyaan yang dapat

menjebak salah satu pihak yang berperkara (Sarwono, 2011:271). Adanya

jawaban dari pertanyaan tersebut dan saling berhubungan erat, maka hakim

akan dapat menarik kesimpulan atas persangkaan atau dugaan-dugaannya.

Persangkaan diatur dalam Pasal 173 HIR dijelaskan bahwa,

persangkaan saja yang tidak berdasarkan sesuatu peraturan perundang-

undangan yang tertentu hanya harus diperhatikan oleh hakim waktu

menjatuhkan keputusan, jika persangkaan itu penting, saksama, tertentu dan

satu sama lain bersetujuan.

Persangkaan-persangkaan atau vermoedens merupakan alat bukti

pelengkap atau accessory evidence. Artinya, persangkaan-persangkaan

bukanlah alat bukti yang mandiri. Persangkaan-persangkaan dapat menjadi alat

bukti dengan merujuk pada alat bukti lainnya dengan demikian juga satu

persangkaan saja bukanlah merupakan alat bukti (Eddy O.S Hiariej, 2012:81).

Hakim dalam memberikan keputusan tidak diperbolehkan hanya

berdasarkan alat bukti persangaan saja, tetapi harus disertai dengan bukti- bukti

lain yang berdasarkan ketentuan undang-undang yang ada. Bukti-bukti lain

tersebut harus saling berhubungan satu sama lain dengan peristiwa hukum

yang menjadi objek sengketa dari para pihak yang berperkara.

Hakim apabila dalam keputusannya hanya berdasarkan pada satu

persangkaan saja, maka bukti tersebut secara yuridis belum sempurna. Apabila

dalam suatu keputusan pengadilan yang hanya berdasarkan satu persangkaan

saja, maka alat bukti tersebut secara yuridis sangatlah lemah atau tidak

sempurna karena tidak adanya alat bukti persangkaan lain (Sarwono,

2011:272).
Secara yuridis persangkaan-persangkaan jika ditambah dan atau disertai

dengan bukti-bukti lain yang ada hubungannya dengan peristiwa hukum sesuai

dengan peraturan perundang-undangan, maka alat bukti tesebut dapat

dinyatakan sebagai alat bukti yang sempurna.

Berdasarkan Pasal 164 HIR, Pasal 283 Rbg, dan Pasal 1866 KUH

Perdata (Burgerlijk wetboek), persangkaan merupakan alat bukti yang sah

dalam perkara perdata dan memiliki kekuatan pembuktian, nilai kekuatan

pembuktian persangkaaan udang-undang adalah sempurna, mengikat dan

menentukan (volledig, bindende dan beslissende), sedangkan persangkaan

hakim atau kenyataan merupakan bukti bebas (vrijbewjiskracht), yaitu

kekuatan pembuktian diserahkan kepada pertimbangan hakim.

Pasal 1922 KUH Perdata, persangkaan-persangkaan yang tidak

berdasarkan undang-undang sendiri, diserahkan kepada pertimbangan dan

kewaspadaan hakim yang hanya boleh memperlihatkan persangkaan yang

penting, seksama, tertentu dan ada hubungannya satu sama lain. Persangkaan

yang demikian hanyalah boleh dianggap dalam hal-hal dimana undang- undang

mengizinkan pembuktian dengan saksi-saksi, begitu pula apabila diajukan

suatu bantahan terhadap suatu perbuatan atau suatu akta, berdasarkan alasan

adanya iktikad buruk atau penipuan.

Majelis Hakim dalam memutus perkara Nomor 216/Pdt.G/2015/PA.Sgt

menggunakan persangkaan hakim atau kenyataan. Persangkan hakim atau

kenyataan memiliki kekuatan pembuktian yang bebas, yaitu diserahkan kepada

petimbangan hakim. Majelis hakim dalam perkara perceraian ini

mempertimbangkan fakta-fakta yang ada dipersidangan, salah satunya saksi II

penggugat memiliki hubungan dekat dengan penggugat, selain mengetahui dari


cerita penggugat, saksi II penggugat juga mengetahui langsung dari keterangan

warga setempat bahwa rumah tangga penggugat dan tergugat sering terjadi

perselisihan dan pertengkaran. Majelis Hakim meyakini keterangan yang

didapat dari warga setempat bukan merupakan rekayasa. Dikarenakan

keterangan saksi saling berkaitan, logis dan sesuai dengan peristiwa yang

diuraikan oleh penggugat, serta diperkuat pengakuan tergugat dipersidangan

Majelis Hakim mengabulkan gugatan penggugat.

Anda mungkin juga menyukai