Anda di halaman 1dari 8

HUKUM ACARA PERDATA

ALAT BUKTI DAN KEKUATAN PEMBUKTIAN

(PEMERIKSAAN SETEMPAT, KETERANGAN AHLI,


DAN BUKTI ELEKTRONIK)
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Perdata Semester Empat

Dian Hanida 110110180324

Febriella Martinez 110110180326

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR

2020
A. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Pemeriksaan Setempat1

Pemeriksaan setempat (descente) ialah pemeriksaan mengenai perkara oleh


hakim karena jabatannya yang dilakukan di luar gedung atau tempat kedudukan
pengadilan, agar hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau
keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa-peristiwa yang menjadi
sengketa.

Pada asasnya, persidangan pengadilan berlangsung di gedung pengadilan


(Pasal 26, 90 RO. 35 Rbg). Jika yang akan diperiksa oleh hakim merupakan barang
tetap, maka akan sulit untuk mengajukan barang tetap itu di persidangan. Kalau
hakim ingin memperoleh kepastian dan tidak hanya menggantungkan kepada
keterangan saksi atau surat, persidangan haruslah dipindahkan ke tempat barang tetap
tersebut untuk mengadakan pemeriksaan setempat dan hal ini dimungkinkan oleh
Pasal 90 RO.

Ketentuan mengenai pemeriksaan setempat terdapat dalam Pasal 153 HIR,


yang menyatakan bahwa bila ketua menganggap perlu dapat mengangkat seorang
atau dua orang komisaris dari majelis, yang dengan bantuan panitera pengadilan akan
melihat keadaan setempat dan melakukan pemeriksaan (plaatselijke opneming en
onderzoek) yang dapat memberi keterangan kepada hakim (Pasal 180 Rbg, 211 Rv).
Pemeriksaan setempat ini dilakukan sendiri oleh Hakim Ketua persidangan. Dalam
Pasal 211 Rv ditentukan bahwa pemeriksaan tempat dapat diadakan berdasarkan
putusan, baik atas permintaan pihak maupun karena jabatannya. Jadi pemeriksaan
setempat bukanlah pemeriksaan oleh hakim secara pribadi, namun pemeriksaan oleh
hakim karena jabatannya, oleh karena pemeriksaan yang bersifat pribadi oleh hakim
itu tidak boleh dijadikan bukti.

1
Sudikno Mertukusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 1988)
hlm. 204-205
Pemeriksaan setempat berlangsung di luar gedung dan tempat kedudukan
pengadilan, tetapi masih di dalam wilayah hukum pengadilan yang bersangkutan
(Pasal 90 RO, 231 Rv). Kalau pemeriksaan setempat itu dilakukan di luar wilayah
hukum pengadilan tertentu, dilakukan dengan delegasi atau limpahan pemeriksaan.

Meskipun pemeriksaan setempat ini tidak dimuat di dalam Pasal 164 HIR
(Pasal 284 Rbg, 1866 BW) sebagai alat bukti, oleh karena tujuan pemeriksaan
setempat ialah agar hakim memperoleh kepastian tentang peristiwa yang menjadi
sengketa, maka fungsi pemeriksaan setempat pada hakikatnya adalah sebagai alat
bukti. Kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim.

B. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli (Expertise)2

Keterangan ahli ialah keterangan pihak ketiga yang objektif bertujuan untuk
membantu hakim dalam pemeriksaan guna menanambah pengetahuan hakim sendiri.
Hakim menggunakan keterangan seorang ahli agar memperoleh pengetahuan yang
lebih mendalam tentang sesuatu yang hanya dimiliki oleh seorang ahli tertentu,
misalnya tentang hal yang bersifat teknis, kebiasaan (usance) dalam lalu lintas
dagang, dsb. Bahkan mengenai hukum pun hakim dapat minta bantu seorang ahli,
misalnya untuk mengetahui hukum adat setempat, kepala adat atau kepala suku
didengar sebagai ahli.

Keterangan ahli diatur dalam Pasal 154 HIR (Pasal 181 Rbg, 215 Rv), yang
menentukan bahwa apabila pengadilan berpendapat bahwa perkaranya dapat
dijelaskan oleh seorang ahli, atas permintaan salah satu pihak atau karena jabatannya,
pengadilan dapat mengangkat seorang ahli. Ahli itu diangkat oleh hakim untuk
diminta pendapatnya. Pengangkatan itu berlaku selama pemeriksaan berlangsung.

2
Ibid, hlm. 205-208
Ahli atau tidaknya seseorang tidak ditentukan oleh pengetahuan atau
keahliannya yang khusus, tetapi ditentukan oleh pengangkatannya oleh hakim. Saksi
ahli tidak harus bergelar akademik, seseorang yang berijazah SMA pun dengan
penetapan hakim dapat menjad ahli. Seorang ahli yang telah diangkat oleh hakim
tidak ada kewajiban untuk menerima atau memenuhi pengangkatannya itu. Pihak-
pihak yang bersangkutan dapat menunjuk ahli lain sebagai gantinya atau hakim dapat
mengangkat seorang ahli secara ex officio (Pasal 222 Rv).

Laporan seorang ahli yang telah diangkat dapat diberikan baik secara lisan
maupun tertulis, yang diteguhkan dengan sumpah. Seorang ahli yang setelah
disumpah untuk memberi pendapatnya kemudian tidak memenuhi kewajibannya
dapat dihukum untuk mengganti kerugian (Pasal 225 Rv).

Siapa yang tidak boleh didengar sebagai saksi tidak boleh pula diangkat
sebagai ahli. Berikut merupakan perbedaan antara saksi dan ahli:

- Kedudukan seorang ahli dapat diganti dengan ahli lain untuk memberi
pendapatnya, misalnya ahli kebidanan A yang diminta datang di persidangan
untuk diminta keterangannya berhalangan untuk datang, kedudukannya
dapat diganti oleh ahli kebidanan B. Namun berbeda dengan saksi, karena
saksi tidak boleh diganti dengan saksi lain.

- Kalau kita mengenal asas satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis:
Pasal 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW), tidak demikian dengan ahli; satu ahli
cukup untuk didengar mengenai satu peristiwa.

- Seorang ahli mempunyai keahlian tertentu yang berhubungan dengan


peristiwa yang disengketakan, sedangkan saksi untuk peristiwa yang
bersangkutan tidak diperlukan mempunyai keahlian.
- Seorang saksi memberi keterangan yang dialaminya sendiri sebelum terjadi
proses, sedangkan ahli memberikan pendapat atau kesimpulannya tentang
suatu peristiwa yang disengketakan selama terjadinya proses.

- Saksi harus memberikan keterangan secara lisan, keterangan saksi yang


ditulis merupakan alat bukti tertulis, sedang keterangan ahli yang ditulis
tidak termasuk dalam alat bukti tertulis.

- Hakim terikat untuk mendengar saksi keterangan tentang peristiwa yang


relevan, sedangkan mengenai ahli, hakim bebas untuk mendengar atau tidak.

Kalau saksi maupun ahli didengar di persidangan, keterangannya maupun apa


yang terjadi di persidangan yang relevan harus dicatat dalam berita acara
persidangan. Kalau keterangan ahli yang telah dicatat dalam berita acara tidak
digunakan oleh hakim, alasannya mengapa tidak digunakan harus dimuat dalam
putusannya.

Tujuan pembuktian pada hakikatnya adalah memberi kepastian kepada hakim


tentang kebenaran peristiwanya, memberi motivasi kepada hakim mengapa sesuatu
itu dianggap benar. Kalau dengan suatu "alat bukti" hakim memperoleh kepastian dan
keyakinan mengenai kebenaran peristiwa, sudah cukup bagi hakim untuk menyatakan
peristiwa itu benar terjadi. Ini merupakan penemuan hukum. Kalau meragukan masih
dapat dikuatkan dengan petunjuk-pennjuk atau persangkaan. Hakim harus berani
dalam menemukan hukumanya, tetapi dengan argumentasi yang logis, yuridis, dan
bertanggung jawab.

C. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Bukti Elektronik3

3
Prof. Dr. Efa Laela Fakhriah, Bukti Elektronik Dalam Sistem Pembuktian Perdata, (Bandung: PT Refika
Aditama, 2017), hlm. 24-26
Hukum pembuktian perdata di Indonesia, secara yuridis formal belum
mengakomodasikan dokumen atau informasi elektronik sebagai alat bukti dalam
penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Namun, sebenarnya di Indonesia telah ada
beberapa tindakan yang mengarah pada penggunaan dan pengakuan terhadap
dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah, misalnya dengan dikenalnya online
trading dalam bursa efek dan pengaturan mikrofilm serta sarana elektronik sebagai
media penyimpan dokumen perusahaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan.

Dengan berlakunya pengaturan tentang Dokumen Perusahaan, maka dapat


dikatakan hukum Indonesia sudah mulai menjangkau bukti elektronik, karena telah
memberi kemungkinan kepada dokumen perusahaan yang telah diberi kedudukan
sebagai alat bukti tertulis otentik untuk diamankan melalui penyimpanan dalam
bentuk mikro film. Selanjutnya terhadap dokumen yang di simpan dalam bentuk
elektronik (paperless) tersebut (mikrofilm) dapat dijadikan alat bukti yang sah
seandainya kelak terjadi sengketa ke pengadilan. Dalam perkembangannya, Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik melalui
Pasal 5 mengatur tentang bukti elektronik, yang mengatakan bahwa:

(1) Informasi dan atau dokumen elektronik dan atau hasil cetaknya merupakan
alat bukti yang sah dan memiliki akibat hukum yang sah.

(2) Informasi dan atau dokumen elektronik dan atau hasil cetaknya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti
yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di lndonesia.

(3) Informasi dan atau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila


menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
undang-undang ini.

(4) Ketentuan mengenai informasi dan/atau dokumen elektronik sebagai-


mana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku untuk: Surat yang menurut
undang-undang harus dibuat dalam bentuk a. tertulis; dan b. Surat beserta
dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta
notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Pasal 6 juga mengatur bahwa dalam kaitannya dengan ketentuan yang


mengatur suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, maka untuk informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang
tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat
dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.

Secara umum bentuk dari alat bukti elektronik itu adalah infomasi elektronik,
dokumen elektronik dan keluaran komputer lainnya. Menurut Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, informasi elektronik adalah:
"Satu atau sekumpulan data elektronik, temasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,
suara atau gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat
elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda,
angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Batasan mengenai Dokumen
Elektronik, menurut ketentuan Pasal 1 ayat (14) UU ITE adalah: "Setiap informasi
elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk
analog, digital, elektromagnetik optikal atau sejenisnya: yang dapat dilihat,
ditampilkan dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk
tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki
makna atau arti atau dapat difahami oleh orang yang mampu memahaminya."

Dalam praktiknya terjadi pula pemeriksaan saksi sebagai alat bukti dengan
menggunakan perangkat elektronik yang dinamakan video conferences (pemeriksaan
saksi melalui teleconference). Hal ini dilakukan saat saksi yang akan diperiksa tidak
dapat hadir di persidangan karena berada di luar negeri, sementara kesaksiannya
sangat diperlukan dalam persidangan yang sedang berlangsung. Pemeriksaan saksi
jarak jauh ini pernah dilakukan pada perkara pidana, dan hal ini juga dapat dilakukan
dalam pemeriksaan sengketa perdata di pengadilan.

Daftar Pustaka

Dr. Efa Laela Fakhriah. 2017. Bukti Elektronik Dalam Sistem Pembuktian Perdata.
Bandung: PT Refika Aditama.

Sudikno Mertokusumo. 1988. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Cahaya


Atma Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai