Anda di halaman 1dari 12

PENERAPAN DESCENTE SECARA ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA

PERDATA DI INDONESIA

Disusun Oleh:

Agha Nabiel Rafera (2006582095)

Arief Darmawan (2006483391)

Muhammad Satria Ilham Nugroho (2006581691)

Muhammad Farel Aryawiratama (2006582271)

Narendra Dirgantara (2006481796)

Samuel Estomihi Girsang (2006582164)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS INDONESIA

2023
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada hakikatnya sistem pembuktian tidak hanya ada dalam ranah Hukum Acara
Pidana. Pembuktian juga ada dalam ranah hukum perdata dengan mengacu asas actori
incumbit probatio, actori onus probandi yang berarti siapa yang mendalilkan, dialah yang
harus membuktikan. Dunil litigasi peradilan hukum perdata tidak mengenal adanya dakwaan
melainkan gugatan dan permohonan. Jadi, pihak penggugat, pemohon, tergugat, dan
termohon (apabila ada) mereka apabila mendalilkan sesuatu maka mereka harus meyakinkan
hakim dengan alat bukti yang ada dalam KUHPerdata.
Mengenai alat bukti dalam KUHPerdata tidak dijelaskan mengenai minimal alat bukti
yang dibutuhkan untuk menjadi dasar keyakinan hakim memberikan putusan atau penetapan.
Kemudian dalam hukum perdata kebenaran formill yang dicari berbeda dengan hukum
pidana yang mencari kebenaran materiil. Beberapa kasus dalam gugatan keperdataan
berkaitan dengan sengketa tanah. Pihak penggugat dalam Surat Gugatannya apabila
mencantumkan adanya keterangan mengenai tanah harus menyebutkan batas-batasnya dari
utara, timur, selatan, dan barat. Hal ini berguna untuk memberikan kepastian atas tanah
tersebut. Namun, saat ini dikenal pemeriksaan bukti tanah dengan cara pemeriksaan setempat.
Pemeriksaan mengenai sengketa pertanahan diatur oleh Mahkamah Agung melalui SEMA
Nomor 7 Tahun 2001 dimana hakim yang memeriksa perkara untuk mengadakan
Pemeriksaan Setempat atas objek perkara, baik atas permintaan Para Pihak atau inisiatif
Hakim itu sendiri.1 Lebih lanjut mengenai Descente atau Pemeriksaan Setempat akan kami
bahas pada tulisan ini.
1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari karya tulis ini antara lain;

1. Bagaimanakan konsep Descente dalam hukum di Indonesia?

1
Kevin Bhaskara Sibarani, “Pemeriksaan Setempat (descente) Dalam Hukum Pembuktian
Perkara Perdata”,
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/14309/Pemeriksaan-Setempat-descente-Dalam-Hukum
-Pembuktian-Perkara-Perdata.html, dakses 4 April 2023.
1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan karya tulis ini selain untuk memenuhi kewajiban dari mata
kuliah Hukum Pembuktian, tujuan penulisan karya tulis ini antara lain;

1. Mengetahui bagaimanakan konsep Descente dalam hukum di Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pelaksanaan Descente secara Umum
Pemeriksaan setempat atau descente adalah sidang pengadilan yang dilakukan di
tempat objek perkara untuk melihat atau memeriksa keadaan objek barang tersebut secara
langsung oleh salah satu hakim atau majelis hakim dengan dibantu oleh seorang panitera.2
Pemeriksaan tersebut menjadi sarana yang disediakan oleh peraturan perundang-undangan.
Proses descente dapat dilakukan melalui beberapa cara. Pertama, sidang dibuka terlebih
dahulu di pengadilan, menuju ke lokasi objek sengketa, dan menutup kembali di ruang sidang
atau dapat di lokasi objek sengketa. Kedua, sidang langsung dibuka dan ditutup di lokasi
objek yang diperiksa. Ketiga, sidang dibuka di kantor desa atau kelurahan, menuju ke lokasi
objek sengketa, dan ditutup di kantor desa, kelurahan, atau lokasi objek sengketa.
Dalam pelaksanaannya, descente juga merupakan sidang resmi pengadilan. Maka,
asas hukum acara perdata juga berlaku di lokasi descente seperti yang berlaku dalam ruang
persidangan. Majelis hakim harus menerapkan hukum acara tersebut secara benar dengan
tidak mengubah atau menghilangkannya karena asas-asas tersebut juga termasuk sebagai
bagian dalam sistem peradilan. Beberapa asas mutlak yang harus ditegakkan dalam sidang
pemeriksaan perkara yang juga harus diterapkan dalam sidang descente, antara lain:
a. Audi et alteram partem, yaitu masing-masing pihak diberikan kesempatan atau
kedudukan yang sama.
b. Ultra pertium partem, artinya luasnya objek sengketa dalam perkara perdata
ditentukan oleh para pihak sehingga hakim tidak dapat memutus melampaui apa yang
dimohonkan.
c. Terbuka untuk umum.
d. Eventual maxim, yaitu hakim harus aktif dalam memimpin sidang guna
terselenggaranya peradilan yang tertib, efektif, dan efisien.
e. Sederhana, cepat, dan biaya ringan.3
Hukum acara perdata mengatur mengenai alat-alat bukti dan batas minimal serta
kekuatan dari pembuktian. Pengaturan mengenai hal tersebut tercantum dalam Pasal 164
HIR, 284 R.Bg, dan 1866 KUHPerdata yang didalamnya mengatur terkait dengan alat bukti
yang terdapat di hukum acara perdata, yaitu bukti tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan, dan

2
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 781.
3
A. Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), hlm.
35.
sumpah. Namun, terdapat beberapa hal lain yang dapat dijadikan sebagai alat bukti demi
memberikan kepastian hukum bagi peristiwa atau objek yang menjadi sengketa.
Alat bukti yang tidak termasuk ke dalam pasal terkait alat bukti adalah pemeriksaan
setempat (descente) dan keterangan ahli. Kedua hal tersebut tidak termasuk ke dalam Pasal
164 HIR, 284 R.Bg, dan 1866 KUHPerdata, tetapi terdapat beberapa pendapat yang
menjadikan descente sebagai alat bukti. Salah satu pendapat dikemukakan oleh Sudikno M.,
S.H. yang berpendapat bahwa descente merupakan pemeriksaan perkara oleh hakim yang
karena jabatannya dilakukan di luar dari tempat pengadilan yang dilakukan hakim agar
mendapatkan gambaran atau keterangan untuk kepastian mengenai peristiwa sengketa.4
Descente memiliki dasar hukum, yaitu Pasal 180 R.Bg dan 153 HIR yang
menyebutkan bahwa ketua yang memandang perlunya suatu pemeriksaan setempat dapat
menunjuk satu sampai dua orang komisaris yang dibantu panitera untuk mengadakan
pemeriksaan di tempat yang bertujuan mendapat keterangan tambahan. Pemeriksaan setempat
juga diatur dalam SEMA Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2001 tentang pemeriksaan
setempat yang menyebutkan mengenai masih banyak perkara perdata yang setelah suatu
putusan dijadikan berkekuatan hukum tetap tidak bisa dilakukan eksekusi karena objek
sengketa yang masih kurang jelas terkait letak, jenis, luas, dan batasnya.5
2.1.1. Kekuatan Pembuktian Descente
Meskipun secara formil Descente sebagai alat bukti masih dijadikan perdebatan oleh
para ahli, dalam praktiknya memang diperlukan fasilitas khusus untuk mengetahui secara
lebih jelas terkait detail dari suatu perkara. Seringkali, keterangan-keterangan dalam
persidangan masih banyak yang bertentangan dan sulit untuk memutuskan keterangan mana
yang menjadi valid akan suatu objek persengketaan.
Dalam keadaan tertentu mengenai fakta-fakta perkara untuk diketahui secara lebih
mendalam, diperlukan suatu pemeriksaan setempat demi mendapatkan fakta-fakta yang lebih
jelas. Dengan demikian, pemeriksaan setempat dapat menjadi keterangan yang dapat
membuktikan kepastian mengenai lokasi, ukuran, dan batas-batas objek sengketa. Keterangan
tersebut menjadi keterangan tambahan sebagai pendukung alat bukti dalam hal memperkuat
kekuatan nilai pembuktian dan dasar untuk hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.6
2.2. Pelaksanaan Descente secara Elektronik

4
FJP Law Office, "Pemeriksaan Setempat ( descente )", https://fjp-law.com/id/pemeriksaan-setempat-descente/,
diakses 4 April 2023
5
Fakultas Hukum Universitas Udayana bagian Hukum Acara , Buku Ajar Hukum Acara dan Praktek Peradilan
Perdata , (Denpasar: Universitas Udayana, 2016), hlm. 32.
6
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1998), hal. 789
Pada tahun 2018, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung
(perma) Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penanganan Perkara di Pengadilan Secara Elektronik.
Setelah itu, Perma dicabut dan diganti dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2019 tentang Administrasi dan Proses Peradilan Secara Elektronik. Sederhananya. Secara
sederhana, descente secara elektronik dapat diartikan sebagai penyidikan terhadap objek
sengketa atau seseorang yang ingin didengar kesaksiannya, dengan bantuan teknologi
informasi dan komunikasi, yang memungkinkan dilakukannya pemeriksaan oleh komisioner
atau majelis hakim. objek atau orang tanpa pergi ke lokasi objek atau orang tersebut. Dalam
teori hukum perdata, Descente pada hakikatnya adalah putusan sebagaimana biasa, hanya
tempat pelaksanaannya saja yang berbeda.
Sehingga, prinsip-prinsip hukum acara yang berlaku pada pelaksanaan descente
adalah sama dengan hukum acara yang berlaku pada sidang pemeriksaan dalam ruang sidang.
Jika dalam sidang pemeriksaan perkara, khususnya pembuktian, dapat dilakukan secara jarak
jauh (Pasal 24 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi
Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik), maka, idealnya, descente juga
dapat diselenggarakan dengan jarak jauh atau secara elektronik. Secara prinsip, hukum acara
yang berlaku pada sidang descente konvensional, juga harus diterapkan dalam descente
secara elektronik. Perbedaan yang paling mendasar antara descente konvensional dengan
descente secara elektronik adalah dalam descente konvensional, hakim komisaris atau majelis
hakim harus mendatangi lokasi objek atau person yang diperiksa, adapun dalam descente
secara elektronik, hakim komisaris atau majelis hakim tetap berada di ruang sidang dan
melakukan pemeriksaan terhadap objek atau person yang diperiksa dengan menggunakan
bantuan perangkat audio-visual yang memungkinkan bagi hakim untuk melihat, mendengar,
dan mengamati objek yang diperiksa secara online.7 Adapun bagi pihak berperkara, dapat
ditentukan kehadirannya secara kondisional: apakah cukup menghadiri descente secara
elektronik, atau perlu datang langsung di lokasi pemeriksaan. Hal yang perlu ditekankan
dalam descente secara elektronik, sebagaimana ditekankan dalam hukum acara pembuktian
secara jarak jauh (Pasal 24 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang
Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik), adalah:
1. Pelaksanaan descente secara elektronik harus terlebih dahulu mendapat kesepakatan
dari pihak-pihak;

7
Fakhrur Amam, Hukum Acara Elektronik di Pengadilan Agama, Era Baru Sistem Peradilan di Indonesia,
(Sidoarjo, Nizama Learning Center, 2019), hal 83.
2. Pelaksanaan descente secara elektronik harus menggunakan media komunikasi
audio-visual, tidak dibenarkan hanya dengan menggunakan media audio saja, atau
visual saja;
3. Media yang digunakan harus dapat memungkinkan semua pihak untuk terlibat aktif
dalam persidangan descente;
4. Menggunakan infrastruktur pengadilan, atau dalam konteks tertentu, dapat pula
menggunakan infrastruktur dari luar pengadilan;

Adapun panjar biaya yang mungkin timbul dari descente secara elektronik seperti
biaya pembelian paket data dan honor admin IT dibebankan sesuai dengan amar putusan sela
descente. Dalam tataran teknis, perlu diformulasikan lebih lanjut perangkat keras (hardware)
dan lunak (software) apa yang paling tepat digunakan dalam descente secara elektronik. Juga
perlu dirumuskan siapa petugas operator IT yang ditunjuk untuk membantu hakim untuk
memeriksa objek. Semua teknis dan perangkat dukung penyelenggaraan descente secara
elektronik dapat diatur dalam aturan pelaksanaan oleh masing-masing direktorat jenderal
badan peradilan. Terdapat perbedaan keleluasaan hakim dalam memeriksa objek antara
descente secara langsung dengan descente secara elektronik. Berikut merupakan pemeriksaan
descente, yang secara teknis, sangat memungkinkan untuk dilakukan secara elektronik:

- Pemeriksaan benda tak bergerak, namun berupa tanah


- Pemeriksaan benda-benda bergerak
- Pemeriksaan orang yang dimintakan pengampuan
- Pemeriksaan saksi yang tidak dapat dihadirkan dalam sidang karena sakit, cacat, atau
berhalangan untuk menghadiri sidang di pengadilan dalam tempo yang lama
- Pemeriksaan akta-akta di instansi tertentu
- Pemeriksaan anak dalam perkara sengketa asuh

2.3. Objek yang dapat Diperiksa dengan Descente secara Elektronik


Descente secara elektronik lebih kompatibel untuk memeriksa:
1. objek yang sifat pemeriksaannya tidak terlalu rumit
2. pemeriksaan orang (person) yang perlu diperiksa di tempat tinggalnya
3. pemeriksaan akta-akta di instansi tertentu.
Objek yang dapat diperiksa dengan Descente secara elektronik adalah sebagai berikut.

1. Pemeriksaan benda tidak bergerak, namun bukan berupa tanah

Selain tanah, objek-objek benda tidak bergerak merupakan objek yang didirikan di
atas tanah (bangunan), gilingan, pohon, mesin dan perkakas produksi dalam pabrik,
reruntuhan bangunan, dan lain-lain (Pasal 506, 507 dan 508 KUH Perdata). Selain itu, benda
tidak bergerak juga termasuk kapal dengan berat kotor minimal 20 Meter kubik (Pasal 314
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang). Objek-objek tersebut dalam pemeriksaan sejatinya
tidak mengharuskan mengetahui ukuran sisi-sisi, batas-batas, dan letak seperti descente
terhadap sebidang tanah, sehingga objek-objek tersebut memungkinkan untuk diperiksa
dengan descente secara elektronik.

2. Pemeriksaan benda-benda bergerak

Benda bergerak yang dimaksudkan seperti:

1) alat-alat konstruksi bangunan


2) kendaraan (mobil, motor, perahu, kapal dengan berat kotor tidak mencapai 20
Meter kubik)
3) hewan ternak

3. Pemeriksaan orang (person) yang dimintakan pengampuan

Dalam perkara permohonan pengampuan, jika orang yang dimintakan


pengampuannya tidak dapat hadir ke persidangan, maka sesuai Pasal 439 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa hakim harus melakukan pemeriksaan setempat terhadap orang yang
dimintakan pengampuan tersebut. Cara pemeriksaan terhadap orang yang berada di luar
ruang sidang cukup sederhana, hakim cukup mendengar keterangan person tersebut secara
jarak jauh dengan bantuan teknologi audio visual, sehingga descente dalam konteks ini
memungkinkan dilakukan secara elektronik;

4. Pemeriksaan saksi yang tidak dapat dihadirkan dalam sidang karena sakit, cacat, atau
berhalangan untuk menghadiri sidang di pengadilan dalam tempo yang lama

Jika dalam suatu pemeriksaan perkara hakim menilai perlu mendengar keterangan
seorang saksi, sedangkan saksi tersebut tidak dapat dihadirkan dalam sidang karena sakit,
cacat, atau berhalangan untuk hadir ke persidangan, maka sesuai Pasal 169 R.Bg memberikan
solusi agar keterangan saksi tersebut didengarkan oleh majelis hakim di tempat tinggal saksi
tersebut.

5. Pemeriksaan akta-akta di instansi tertentu

Contohnya adalah kasus perceraian. Akta nikah yang biasanya dikuasai oleh salah
satu pihak (tergugat) sejatinya dapat dilakukan pengecekan secara elektronik melalui
pengecekan arsip yang ada di KUA.

6. Pemeriksaan anak dalam perkara sengketa hak asuh

2.4. Analisis Kasus


Kasus yang menarik dalam perkembangan Descente secara elektronik adalah
penggunaan drone dalam melakukan pemeriksaan. Drone adalah kendaraan udara yang
bentuknya menyerupai pesawat terbang atau helikopter yang dapat dioperasikan tanpa
menggunakan awak atau pilot. Berbeda dengan pesawat terbang yang pilotnya berada di
dalam kabin, operator drone berada di daratan dan mengendalikan drone menggunakan
remote control. Pada awalnya, drone hanya digunakan oleh militer, namun saat ini
penggunaannya semakin meluas dan tidak hanya digunakan oleh pihak militer, tetapi juga
badan pemerintah terkait intelijen dan pertahanan, serta masyarakat umum. Drone memiliki
berbagai spesifikasi yang berbeda, beberapa di antaranya menggunakan tenaga surya sebagai
sumber tenaga, sedangkan jenis lainnya menggunakan baterai, terutama pada drone
komersial. Dalam upaya mempercepat proses sidang pemeriksaan setempat, Pengadilan
Negeri Surabaya memanfaatkan drone. Dalam proses ini, majelis hakim dan para pihak hanya
perlu melihat monitor untuk menunjukkan batas obyek sengketa, sehingga dapat menghemat
waktu dan tenaga.
Dalam hal ini, drone dapat dilengkapi dengan kamera dan sensor yang dapat
memantau kegiatan yang sedang berlangsung di suatu lokasi dari udara. Hal ini
memungkinkan polisi atau penyidik untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat dan
mendetail mengenai kegiatan yang sedang berlangsung di suatu tempat. Selain itu, drone juga
dapat digunakan untuk melakukan pengintaian dan pengawasan secara rahasia tanpa
diketahui oleh pihak yang sedang diselidiki. Hal ini dapat membantu penyidik untuk
mengumpulkan bukti-bukti yang kuat untuk menjerat pelaku kejahatan. Namun demikian,
penggunaan drone dalam proses descente elektronik harus dilakukan dengan hati-hati dan
sesuai dengan aturan yang berlaku. Penggunaan drone yang tidak terkendali atau melanggar
privasi orang lain dapat menimbulkan masalah hukum yang serius bagi pihak yang
menggunakannya.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pemeriksaan descente dalam hukum perdata mengacu pada suatu prosedur hukum
yang dilakukan untuk memeriksa suatu benda atau properti yang menjadi sengketa dalam
suatu kasus hukum. Tujuan dari pemeriksaan descente adalah untuk mengumpulkan
bukti-bukti dan fakta-fakta yang diperlukan untuk menyelesaikan kasus hukum dengan adil
dan tepat. Setelah selesai melakukan pemeriksaan descente, pihak yang melakukan
pemeriksaan akan membuat laporan yang berisi hasil pemeriksaan dan temuan-temuan yang
didapat. Laporan tersebut kemudian akan menjadi bukti yang dipertimbangkan oleh
pengadilan dalam memutuskan kasus hukum yang sedang berlangsung. Penggunaan drone
dalam pemeriksaan descente ini memungkinkan untuk memperoleh gambaran yang lebih
jelas dan detail dari objek atau lokasi yang menjadi sengketa. Namun, perlu diingat bahwa
penggunaan drone dalam pemeriksaan descente perdata harus dilakukan sesuai dengan aturan
dan regulasi yang berlaku. Penggunaan drone harus memperhatikan aspek keselamatan dan
privasi, serta tidak boleh melanggar hak-hak privasi pihak yang terkait dengan objek atau
lokasi yang sedang disengketakan.
3.2. Saran
Dalam penerapan descente ini terlebih dengan menggunakan teknologi tambahan
seperti drone, perlu diperhatikan juga sistematika perhitungan data yang akurat. Hal ini
berangkat dari kemungkinan teknologi tidak selalu sempurna. Perlunya pemeriksaan kembali
apabila hakim memiliki keraguan dalam perhitungan langsung menggunakan teknologi
tersebut. Kemudian perlunya prosedur tetap dalam penggunaan teknologi dalam pelaksanaan
descente agar adanya landasan prosedural dari pemeriksaan secara descente.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Bagian Hukum Acara, Fakultas Hukum Universitas Udayana. Buku Ajar Hukum Acara dan
Praktek Peradilan Perdata . Denpasar: Universitas Udayana, 2016.
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1998.
Mujahidin, A. Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama. Bogor: Ghalia Indonesia,
2012.

INTERNET
FJP Law Office. "Pemeriksaan Setempat ( descente )".
https://fjp-law.com/id/pemeriksaan-setempat-descente/. diakses 4 April 2023.
Kevin Bhaskara Sibarani. “Pemeriksaan Setempat (descente) Dalam Hukum Pembuktian
Perkara Perdata”.
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/14309/Pemeriksaan-Setempat-descent
e-Dalam-Hukum-Pembuktian-Perkara-Perdata.html. dakses 4 April 2023.

Anda mungkin juga menyukai