Anda di halaman 1dari 13

ANALISIS YURIDIS TENTANG TANGGUNGJAWAB PIDANA TERHADAP

SAKSI YANG MEMBERIKAN KETERANGAN PALSU DALAM PERKARA


PIDANA

Eko Hadi Purnomo /Dadin Eka Saputra /Nasrullah

UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN (UNISKA)


Email: ek0had1purnom0@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan hukum tentang


kedudukan saksi dalam perkara pidana dan untuk mengetahui bentuk tanggung
jawab pidana terhadap saksi yang meberikan keterangan palsu dalam perkara
pidana. Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan jenis
penelitian hukum normatif berupa penelitian kepustakaan yang menggunakan 3
bahan hukum yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tersier. Penelitian hukum ini menitikberatkan pada studi kepustakaan yang berarti
akan lebih banyak menelaah dan mengkaji aturan-aturan hukum yang ada dan
berlaku. Hasil penelitian menunjukan Kedudukan Saksi dalam proses peradilan
pidana menempati posisi kunci, sebagaimana terlihat dalam Pasal 184 KUHAP.
Menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP, Saksi adalah orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Sebagai
alat bukti utama, sangat terasa bila dalam suatu perkara tidak diperoleh Saksi.
Pentingnya kedudukan Saksi dalam proses peradilan pidana telah dimulai sejak
awal proses peradilan pidana yakni penyelidikan dan penyidikan di Kepolisian.
Begitu pula dalam proses selanjutnya, di tingkat Kejaksaan sampai pada akhirnya
dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan, Keterangan Saksi sebagai alat bukti
menjadi acuan Hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya Terdakwa. Jadi jelas
bahwa Saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan
hukum dan keadilan. Sanksi pidana terhadap saksi yang memberikan keterangan
palsu ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 242
ayat (1),(2), (3) dan (4). Inti dari ayat (1) adalah bahwa siapa yang dengan
keterangannya itu membawa akibat bagi hukum dengan sengaja memberi
keterangan palsu, yang ditanggung dengan sumpah, baik dengan lisan atau dengan
tulisan, maupun oleh dia sendiri atau kuasanya yang istimewa ditunjuk untuk itu,
maka dikenakan hukuman paling lama tujuh tahun penjara. Pada ayat (2). Intinya,
bahwa jika kerangan palsu itu di atas sumpah dalam perkara pidana dengan
merugikan terdakwa atau tersangkanya, maka yang memberikan kerangan palsu di
atas sumpah itu dikenakan hukuman paling lama Sembilan tahun penjara. Pada ayat
(3). Intinya, bahwa disamakan dengan sumpah kesanggupan atau pernyataan /
penguatan yang oleh undang-undang diperintahkan atau menggantikan sumpah.
Kata kunci : Tanggungjawab Pidana, Saksi, Keterangan Palsu, Perkara Pidana
ABSTRACT
This study aims to determine the legal arrangements regarding the position
of witnesses in criminal cases and to determine the form of criminal responsibility
for witnesses who provide false information in criminal cases. The type of research
in writing this thesis is carried out with normative legal research in the form of
library research using 3 legal materials, namely primary legal materials, secondary
legal materials and tertiary legal materials. This legal research focuses on the study
of literature, which means it will study more and examine the existing and
applicable legal rules. The results of the study show that the position of witnesses
in the criminal justice process occupies a key position, as seen in Article 184 of the
Criminal Procedure Code. According to Article 1 number 26 of the Criminal
Procedure Code, a witness is a person who can provide information for the purposes
of investigation, prosecution and trial regarding a criminal case which he himself
heard, saw and experienced. As the main evidence, it is very felt when a witness is
not obtained in a case. The importance of the position of witnesses in the criminal
justice process has started since the beginning of the criminal justice process,
namely investigations and investigations in the police. Likewise, in the subsequent
process, at the Prosecutor's Office until finally in the examination at the Court
session, the Witness's testimony as evidence becomes the judge's reference in
deciding whether or not the Defendant is guilty. So it is clear that the Witness has
a very big contribution in the effort to uphold the law and justice. Criminal sanctions
against witnesses who provide false information are regulated in the Criminal Code
(KUHP) article 242 paragraphs (1), (2), (3) and (4). The essence of paragraph (1)
is that whoever with his statement brings consequences to the law by deliberately
giving false information, which is borne by oath, either orally or in writing, or by
himself or his special proxies appointed for that, will be subject to punishment.
maximum seven years in prison. In paragraph (2). The point is, that if the false
statement is based on oath in a criminal case to the detriment of the defendant or
the suspect, the person giving the false statement under oath is subject to a
maximum sentence of nine years in prison. In paragraph (3). In essence, that is
equated with an oath of power or a statement/reinforcement that is ordered by law
or replaces an oath.

Keywords: Criminal Liability, Witness, False Information, Criminal Case

PENDAHULUAN tidak disumpah, tidak mempunyai


kekuatan pembuktian sebagaimana
Salah satu syarat dalam Pasal 160
ditentukan dalam Pasal 185 ayat (7)
ayat (3) KUHAP menentukan bahwa
KUHAP. Suatu keterangan yang
saksi wajib mengucapkan sumpah
diberikan di atas sumpah dimana
atau janji. Keterangan saksi yang
isinya bertentangan dengan seseorang tidak boleh main-main
kebenaran baik dalam arti positif dalam bersumpah, apalagi berdusta
yaitumemberi keterangan tidak benar atau sumpah palsu. Namun, hari-hari
(merekayasa) maupun dalam arti ini kita dibuat bingung. Bingung
negatif yaitu menyembunyikan karena orang-orang yang berperkara
kebenaran, disebut juga sumpah di pengadilan atau sebagai penegak
palsu. hukum ramai-ramai bersumpah
Menurut Drs. Adami dengan nama Tuhan untuk
Chazawi, S.H. bahwa kepercayaan menyembunyikan kesalahan mereka.
akan kebenaran isi keterangan yang Selain itu juga, nilai kepercayaan
diletakkan di atas sumpah atau yang diyakini masyarakat akan
dikuatkan dengan sumpah, sakralnya sebuah sumpah telah
didasarkan pada 2 (dua) alasan yang dijadikan hukum positif dengan
bersifat psikologis, yaitu1: pertama, sanksi pidana maksimum 7 (tujuh)
sebagai bangsa yang religius, adanya sampai 9 (sembilan) tahun penjara.
kepercayaan terhadap sanksi dosa dan Fenomena yang sering terjadi dalam
kutukan dari Tuhan kepada orang peradilan adalah saksi cenderung
yang dengan sengaja melanggar memberi keterangan yang tidak
sumpah. Kedua, adanya sanksi benar. Saksi berbohong di pengadilan
hukum pidana yang menentukan sudah menjadi hal biasa.
sanksi pidana maksimum 7 (tujuh) METODE PENELITIAN
sampai 9 (sembilan) tahun penjara Dalam melakukan suatu
bagi yang orang yang memberi penelitian ilmiah jelas harus
keterangan palsu di atas sumpah menggunakan metode sebagai ciri
sebagaimana diatur dalam Pasal 242 khas keilmuan. Metode mengandung
Kitab Undang-Undang Hukum makna sebagai cara mencari
Pidana (KUHP). Begitu sakralnya informasi dengan terencana dan
perkara sumpah ini, sehingga sistimatis. Langkah-langkah yang

1
Adami Chazawi, 2006, Hukum Pembuktian
Tindak Pidana Korupsi, PT. Alumni, Bandung,
hlm.50- 51
diambil harus jelas serta ada batasan- 2) Kitab Undang-Undang
batasan yang tegas guna menghindari Hukum Pidana;
terjadinya penafsiran yang terlalu 3) KUHAP
luas.2 b. Bahan hukum sekunder adalah
1. Jenis Penelitian yang memberikan penjelasan
Jenis penelitian yang digunakan terhadap bahan hukum primer,
adalah penelitian hukum normatif, meliputi buku, hasil penelitian,
yaitu penelitian yang berfokus pada pendapat hukum, dokumen-
norma dan penelitian ini memerlukan dokumen lain yang ada
bahan hukum sebagai data utama. relefansinya dengan masalah
2. Sifat Penelitian yang diteliti.
Sedangkan sifat penelitian c. Bahan hukum tersier adalah
yang penulis pergunakan adalah bahan hukum penunjang yang
penelitian yang bersifat deskriktif memberikan petunjuk dan
analitis dalam pengertian semua pengertian terhadap bahan
bahan hukum yang penulis dapatkan hukum primer dan sekunder,
akan digambarkan dan diuraikan meliputi kamus-kamus hukum
kemudian dianalisa. atau kamus bahasa lain.
3. Bahan Hukum 4. Teknik Pengumpulan
a. Bahan hukum primer, yaitu Bahan Hukum.
bahan hukum yang mempu 1) Untuk menjawab
nyai kekuatan mengikat, yaitu permasalahan yang ada
berupa peraturan perundang- Peneliti melakukan
undangan sepertii:3 pengumpulan bahan
1) Undang-Undang Dasar hukum melalui studi
Negara Republik dokumen (studi
Indonesia 1945; kepustakaan) meliputi

2 3
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, 1986, Bambang Sunggono, Metodologi Peneliti
Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: CV. an Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Rajawali), hal. 27 Persada, 2003), hal. 116
bahan hukum primer, bukti yang sah yakni: keterangan
bahan hukum sekunder Saksi, keterangan ahli, surat,
dan bahan hukum tersier petunjuk, dan keterangan Terdakwa.
yakni dengan cara Alat bukti keterangan Saksi memiliki
melakukan inventarisasi peranan penting dalam mengungkap
dan identifikasi terhadap kebenaran materiil suatu tindak
sejumlah peraturan pidana. Pada umumnya alat bukti
perundang-undangan, keterangan Saksi merupakan alat
dokumen hukum, catatan bukti yang utama dalam perkara
hukum, hasil-hasil karya pidana.4 Hal ini tergambar jelas
ilmiah dan bahan dengan menempatkan keterangan
bacaan/literatur yang Saksi diurutan pertama di atas alat
berasal dari ilmu bukti lainnya.
pengetahuan hukum Kedudukan Saksi dalam proses
dalam bentuk buku, peradilan pidana menempati posisi
artikel, jurnal dan hasil kunci, sebagaimana terlihat dalam
penelitian yang ada Pasal 184 KUHAP. Menurut Pasal 1
kaitannya dengan angka 26 KUHAP, Saksi adalah
penelitian yang diangkat. orang yang dapat memberikan
PEMBAHASAN keterangan guna kepentingan
A. Pengaturan Hukum Tentang penyidikan, penuntutan, dan
Kedudukan Saksi Dalam peradilan tentang suatu perkara
Perkara Pidana pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
Ketentuan Pasal 184 ayat (1) sendiri, dan ia alami sendiri. Sebagai
Kitab Undang-Undang Hukum Acara alat bukti utama, sangat terasa bila
Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam suatu perkara tidak diperoleh
dalam beracara pidana, terdapat alat Saksi. Pentingnya kedudukan Saksi

4
Harahap Yahya M, Pembahasan Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Kembali, ( Jakarta:Sinar Grafika, 2005),
Pemeriksaan Sidang hlm.265
dalam proses peradilan pidana telah perundang-undangan yang berlaku.
dimulai sejak awal proses peradilan Namun, hak inipun kadang tidak
pidana yakni penyelidikan dan terpenuhi dengan alasan tidak adanya
penyidikan di Kepolisian. Begitu pula dana.
dalam proses selanjutnya, di tingkat B. Bentuk Tanggung Jawab
Kejaksaan sampai pada akhirnya Pidana Terhadap Saksi Yang
dalam pemeriksaan di sidang Memberikan Keterangan
Pengadilan, Keterangan Saksi sebagai Palsu Dalam Perkara Pidana
alat bukti menjadi acuan Hakim Pasal 1 Ayat (3) Undang-
dalam memutus bersalah atau Undang Dasar Negara Republik
tidaknya Terdakwa. Jadi jelas bahwa Indonesia Tahun 1945, secara tegas
Saksi mempunyai kontribusi yang menyebutkan bahwa Negara
sangat besar dalam upaya Indonesia adalah Negara Hukum.
menegakkan hukum dan keadilan.5 Hukum yang merupakan wadah
Beberapa Pasal dalam KUHAP sekaligus merupakan isi dari
memberikan hak kepada Saksi dalam “peristiwa” persiapan kemerdekaan
proses peradilan pidana, tetapi bangsa Indonesia atau kekuasaan
pemberiannya selalu dikaitkan kedaulatannya itu menjadi dasar bagi
dengan hak Tersangka/Terdakwa, kehidupan kenegaraan bangsa dan
tidak ada pengaturan secara khusus negara Indonesia. Oleh karena itu,
tentang hak seorang Saksi dalam dapat dimengerti bila sejak semula
proses peradilan pidana, misalnya dinyatakan dalam penjelasan
Pasal 229 ayat (1) KUHAP Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun
menyatakan bahwa Saksi atau ahli 1945 bahwa Negara Republik
yang telah hadir memenuhi panggilan Indonesia adalah negara yang
dalam rangka memberikan berdasar atas hukum6.
keterangan di semua tingkat Hukum adalah dasar dan
pemeriksaan, berhak mendapat pemberi petunjuk kepada semua
penggantian biaya menurut peraturan aspek kegiatan sosial

6
5
”, http/www.antikorupsi.org, Zainuddin Ali,Filsafat Hukum. (Jakarta :
Sinar Grafika, 2014), hlm.134
kemasyarakatan, kebangsaan, dan mengumpulkan bukti dan dengan
kenegaraan rakyat Indonesia, baik bukti itu membuat terang tentang
dalam kehidupan politik, ekonomi, tindak pidana yang terjadi dan guna
sosial, budaya, dan keamanan3. menemukan tersangkanya8.
Dengan demikian setiap orang harus PENUTUP
tunduk terhadap hukum, sehingga A. Kesimpulan
apabila seseorang melakukan suatu
1. Pembuktian adalah usaha
perbuatan yang melanggar hukum,
untuk memperoleh kepastian
maka hakim akan menjatuhkan
yang layak dengan jalan
putusan berupa sanksi. Berbagai teori
memeriksa dan penalaran
dan praktek, hukum pidana yang
dari hakim. Pembuktian
berlaku di Indonesia saat ini adalah
dalam hukum acara pidana
masih menggunakan hukum pidana
dikenal dengan adanya teori
yang berasal dari Negara belanda.7
pembuktian negatif atau
Berdasarkan Kitab Undang-Undang
teori negative-wettelijke.
Hukum Acara Pidana (KUHAP),
Teori pembuktian negatif
secara garis besar tahapan
atau teori negativewettelijke
pemeriksaan perkara terbagi menjadi
memiliki pengertian bahwa
tiga proses yaitu tahap penyidikan,
sistem pembuktian pada
penuntutan dan pemeriksaan di
persidangan pidana yang
pengadilan yang dikenal dengan
digunakan oleh hakim
sistem peradilan pidana walaupun
sebagai pertimbangan dalam
dilakukan oleh masing-masing
memutuskan suatu perkara
penegak hukum sesuai dengan
didasarkan pada alat bukti
kewenangannya disetiap tahap.
yang ditentukan oleh
Namun tetap merupakan ketentuan
Undang-Undang dan
yang utuh kegiatan penyidikan ini
keyakinan seorang hakim.
mencakup untuk mencari serta

7
Ali Mahrus, Dasar-Dasar Hukum Pidana. Pelaksanaan Jabatan Notaris dan Akta-
(Jakarta: Sinai Grafika, 2011), hlm.237 aktanya”, https://ikanotariatul.com/
8
Pieter Latumenten, “Prosedur Penegakan
Hukum Pidana Berkaitan Dengan
Dasar hukum diatur dalam terdakwa melakukan tindak
Pasal 183 Undang-Undang pidana tersebut sebab tidak
Nomor 8 Tahun 1981 ada perkara pidana yang
tentang Kitab Undang- luput dari pembuktian
Undang Hukum Acara keterangan saksi. Dan
Pidana (KUHAP). keterangan saksi dapat
Ketentuan Pasal 184 ayat (1) mempengaruhi dan
Kitab Undang-Undang menentukan kecenderungan
Hukum Acara Pidana keputussan hakim. Seorang
(KUHAP) mengatur bahwa saksi dianggap memiliki
dalam beracara pidana, kemampuan yang dapat
terdapat alat bukti yang sah menentukan kemana arah
yakni: keterangan Saksi, putusan hakim. Kedudukan
keterangan ahli, surat, Saksi dalam proses peradilan
petunjuk, dan keterangan pidana menempati posisi
Terdakwa. Alat bukti kunci, sebagaimana terlihat
keterangan Saksi memiliki dalam Pasal 184 KUHAP.
peranan penting dalam Menurut Pasal 1 angka 26
mengungkap kebenaran KUHAP, Saksi adalah orang
materiil suatu tindak pidana. yang dapat memberikan
Pada umumnya alat bukti keterangan guna
keterangan Saksi merupakan kepentingan penyidikan,
alat bukti yang utama dalam penuntutan, dan peradilan
perkara pidana. Keterangan tentang suatu perkara pidana
saksi sangat dibutuhkan yang ia dengar sendiri, ia
dalam proses pemeriksaan lihat sendiri, dan ia alami
perkara di pengadilan. sendiri. Sebagai alat bukti
Keterangan Saksi bisa utama, sangat terasa bila
dikatakan merupakan kunci dalam suatu perkara tidak
utama dalam membuktikan diperoleh Saksi. Pentingnya
benar atau tidaknya bahwa kedudukan Saksi dalam
proses peradilan pidana telah dengan alat-alat bukti yang
dimulai sejak awal proses disebut dalam Pasal 184
peradilan pidana yakni KUHP terdakwa dinyatakan
penyelidikan dan penyidikan “bersalah”. Pasal 184 KUHP
di Kepolisian. Begitu pula telah diatur ada lima alat
dalam proses selanjutnya, di bukti yang sah yaitu:
tingkat Kejaksaan sampai keterangan saksi,
pada akhirnya dalam keterangan ahli, surat,
pemeriksaan di sidang petunjuk, dan keterangan
Pengadilan, Keterangan terdakwa. Dapat dilihat
Saksi sebagai alat bukti dalam pembuktian bahwa
menjadi acuan Hakim dalam salah satu dari alat bukti
memutus bersalah atau yang tercantum di atas yang
tidaknya Terdakwa. Jadi pertama yaitu keterangan
jelas bahwa Saksi saksi. Maka, yang perlu
mempunyai kontribusi yang diketahui terlebih
sangat besar dalam upaya dahulu,pengertian saksi
menegakkan hukum dan tercantum dalam Pasal 26
keadilan. KUHAP Saksi dibutuhkan
2. Hukum acara pidana terletak dalam membuat terang suatu
pada acara pembuktian perkara. Dalam memberi
dimulai dari tingkat keterangan, saksi harus
penyidikan oleh Polisi memberi keterangan yang
sampai ke tingkat pengadilan sebenarbenarnya. Agar
oleh Hakim. Dalam hal ini, keterangan saksi dianggap
pembuktian yang memegang sah harus memenuhi syarat-
peranan dalam proses syarat yang ditentukan
pemeriksaan sidang dalam KUHAP. Salah satu
pengadilan. Dengan syarat dalam Pasal 160 ayat
demikian, kesalahan (3) KUHAP. Keterangan
terdakwa dapat dibuktikan saksi yang tidak disumpah,
tidak mempunyai kekuatan oleh dia sendiri atau
pembuktian sebagaimana kuasanya yang istimewa
ditentukan dalam Pasal 185 ditunjuk untuk itu, maka
ayat (7) KUHAP.Suatu dikenakan hukuman paling
keterangan yang diberikan di lama tujuh tahun penjara.
atas sumpah dimana isinya Pada ayat (2). Intinya, bahwa
bertentangan dengan jika kerangan palsu itu di
kebenaran baik dalam arti atas sumpah dalam perkara
positif yaitu memberi pidana dengan merugikan
keterangan tidak benar terdakwa atau tersangkanya,
(merekayasa) maupun dalam maka yang memberikan
arti negatif yaitu kerangan palsu di atas
menyembunyikan sumpah itu dikenakan
kebenaran, disebut juga hukuman paling lama
sumpah palsu. Mengenai Sembilan tahun penjara.
sanksi pidana terhadap saksi Pada ayat (3). Intinya, bahwa
yang memberikan disamakan dengan sumpah
keterangan palsu di atas kesanggupan atau
sumpah ini diatur dalam pernyataan / penguatan yang
Kitab Undang-Undang oleh undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) diperintahkan atau
pasal 242 ayat (1),(2), (3) menggantikan sumpah.
dan (4). Inti dari ayat (1) B. Saran
adalah bahwa siapa yang 1. Pada dasarnya kedudukan
dengan keterangannya itu saksi dalam sistem peradilan
membawa akibat bagi pidana sudah diatur dalam
hukum dengan sengaja KUHAP yang mana
memberi keterangan palsu, mempunyai kedudukan yang
yang ditanggung dengan sangat penting dalam proses
sumpah, baik dengan lisan perkara pidana. Akan tetapi
atau dengan tulisan, maupun harus lebih dikhususkan lagi
dalam sebuah produk A. Fuad Usfa dan Tongat, 2004,
perundang-undangan yang Pengantar Hukum
mana lebih menguatkan lagi Pidana, Malang:
kedudukan saksi dalam Universitas
dalam perkara pidana. Muhammadiyah Malang
2. Saksi yang memberikan Press
keterangan palsu di muka Andi Hamzah, 1985, Pengantar
pengadilan adalah suatu Hukum Acara Pidana,
kejahatan besar dan Jakarta: Ghalia Indonesia
harapannya terkait sanksi ------------------, 2000, Hukum Acara
pidana terjadap saksi yang Pidana Indonesia,
memberikan keterangan Jakarta: Sinar Grafika,
palsu untuk memperberat Jakarta
ancaman pidananya sebagai Andy Hamzah dan Bambang Waluyo,
efek jera dan agar dapat 1988, Delik-Delik
ditegakkannya hukum yang terhadap
seadil adil nya serta Penyelenggaraan
mempunyai nilai kepastian Peradilan (Conterm of
hukum. Court), Jakarta: Sinar
DAFTAR PUSTAKA Grafika
Abdulkadir Muhamad, 2001, Etika Bambang Sunggono, 2001,
Profesi Hukum, Citra Metodologi Penelitian
Aditya Bakti, Bandung Hukum (Suatu
Adami Chazawi, 2008, Pelajaran Pengantar), Raja
Hukum Pidana Grafindo Persada, Jakarta
(Percobaan & Budi Suhariyanto, 2013, Tindak
Penyertaan), PT. Raja Pidana Teknologi
Grafindo Persada, Jakarta Informasi (Cybercrime)
Andi Hamzah, 2006, KUHP & Urgensi Pengaturan dan
KUHAP, PT. Rineka Celah Hukumnya, Depok:
Cipta, Jakarta PT. Rajagrafindo Persada
Bambang Poernomo, 1982, Seri Bambang Waluyo, 2000, Pidana Dan
Hukum Acara Pidana Pemidanaan, Jakarta:
Pandangan terhadap Sinar Grafika
Asas-Asas Umum Hukum Bambang Sutiyoso, 2007, Metode
Acara Pidana, Penemuan Hukum Upaya
Yogyakarta: Liberty Mewujudkan Hukum
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian yang Pasti dan
Hukum dalam Praktek, Berkeadilan, Yogyakarta:
Jakarta: SInar Grafika UII Press
Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Chairul Huda, 2006, Dari Tiada
Aspek Kebijakan Pidana Tanpa Kesalahan
Penegakan Hukum dan Menuju Kepada Tiada
Pengembangan Hukum Pertanggungjawaban
Pidana, Bandung: Citra Pidana Tanpa Kealahan
Aditya Bakti (Tinjauan Kritis
----------------------------, 2000, Terhadap Teori
Perlindungan HAM dan Pemisahan Tindak
Korban dalam Pidana dan
Pembaharuan Hukum, Pertanggungjawaban
Bandung: Citra Aditya Pidana), Kencana
Bakti Prenada Media, Jakarta
----------------------------, 2001, Departemen Pendidikan dan
Masalah Penegakan Kebudayaan, 1989,
Hukum Dan Kebijakan Kamus Besar Bahasa
Penanggulangan Indonesia, Balai Pustaka,
Kejahatan, Bandung, Jakarta
Citra Aditya Bakti, Djoko Prakoso dan Agus
-----------------------------, 2002, Imunarso,1987, Hak
Bunga Rampai Kebijakan Asasi Tersangka dan
Hukum Pidana, Bandung, Peranan Psikologi dalam
Citra AdityaBakti Konteks KUHAP. Bina
Aksara, Jakarta Dwidja Tahun 2014 tentang
Priyatno, 2004, perubahan UU No. 30
Kebijakan Legislasi Tahun 2004), PT. Refika
tentang sistem Aditama, Bandung
pertanggungjawaban Liliana Tedjosapatro, 1991,
Pidana Korporasi di Malpraktek Notaris dan
Indonesia, CV. Utomo Hukum Pidana, CV.
Bandung Agung, Semarang
E. Sumaryono, 1995, Etika Profesi Liliana Tedjosaputro, 1995, Etika
Hukum: Norma-Norma Profesi Notaris Dalam
Bagi Penegak Hukum, Penegakan Hukum
Kanisivs, Yogyakarta Pidana, Bayu Grafika,
G.H.S. Lumban Tobing, 1980, Yogyakarta
Peraturan Jabatan M. Yahya Harahap, 2005,
Notaris, Erlangga, Jakarta Pembahasan
H. Zainuddin Ali, 2009, Metode Permasalahan KUHAP
Penelitian Hukum, Sinar (Penyelidikan dan
Grafika, Jakarta Penuntutan), Sinar
Habib Adjie, 2013, Sanksi Perdata Grafika, Jakarta
dan Administratif
Terhadap Notaris
Sebagai Pejabat Publik,
PT. Refika Aditama,
Bandung
Habib Adjie, 2014, Hukum Notaris
Indonesia, Refika
Aditama, Bandung
Habib Adjie, 2015, Penafsiran
Tematik Hukum Notaris
di Indonesia
(Berdasarkan UU No. 2

Anda mungkin juga menyukai