Anda di halaman 1dari 7

TUGAS II

MATA KULIAH
SISTEM HUKUM INDONESIA

Oleh:

Nama :Ayu Rachmawati


NIM : 043928709

PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM, ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TERBUKA
2021
Hakim tunggal sidang praperadilan kasus Komjen Budi Gunawan terhadap KPK,
Senin (16/2), memutuskan bahwa penetapan Budi sebagai tersangka kasus korupsi
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah tidak sah dan tidak berdasar
hukum. Terhadap putusan tersebut, banyak pihak yang mengomentari bahwa Hakim
telah melampaui kewenangannya dalam memutus perkara praperadilan tersebut.

Pertanyaan :

Silakan dianalisis dan kemukakan pendapat anda :

1. Mengapa dikatakan bahwa Hakim tersebut telah melampaui kewenangannya d


alam memutus perkara praperadilan tersebut.? Silakan ditanggapi dengan men
ggunakan ketentuan Pasal 77 KUHAP!.
2. Bagaimana jika putusan tersebut ditetapkan pasca adanya Putusan MK Nomor
21/PUU-XII/2014 Tentang Pengujian Undang-Undang (UU) 8/1981 tentang K
itab Hukum Acara Pidana (KUHAP)?

Jawaban

1. Dalam pasal 77 KUHAP tentang gugurnya hak melakukan tuntutan dalam


proses persidangan. Putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sarpin Rizald
i yang mengabulkan gugatan praperadilan penetapan tersangka Komjen Budi Gunawa
n (BG) telah menimbulkan kontroversi. Praperadilan merupakan suatu sidang pengadi
lan yang diselenggarakan untuk menguji keabsahan suatu tindakan paksa yang dilaku
kan oleh pejabat yang berwenang selaku penegak hukum. Terkait dengan dasar huku
m praperadilan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP
“) dan Undang-Undang Mahkamah Agung. Dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP, dinyata
kan bahwa:

“Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan mem


utus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangk
a atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permi
ntaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

c. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau p
ihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”

Kemudian dalam Pasal 77 KUHAP ditegaskan kembali mengenai tujuan diad


akannya praperadilan dan batas wewenang hakim yang menyatakan: “Pengadilan ne
geri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam undangundang ini tentang:

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghen


tian penuntutan;

b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentik
an pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”

Hakim tunggal praperadilan Sarpin Rizaldi mengabulkan permohonan prapera


dilan BG, karena menganggap objek permohonan praperadilan yang diajukan pemoho
n termasuk dalam objek praperadilan.Dalam pertimbangannya, Hakim Sarpin mengat
akan, berdasarkan Surat Perintah Penyidikan nomor 03/01/01/2015 pada 12 Januari 2
015, BG ditetapkan sebagai tersangka dalam kapasitasnya sebagai kepala biro pengem
bangan karir (Karo Binkar) Deputi SSDM Polri. Peristiwa pidana itu dilakukan dalam
rentang tahun 2003-2006. Menurut Hakim, peristiwa pidana yang dilakukan BG saat i
tu tidak termasuk dalam subjek kewenangan KPK sebagaimana ditegaskan bahwa sala
h satu kewenangan KPK yang diatur dalam Undang-Undang antara lain adalah penyel
enggara negara atau penegak hukum. Berdasarkan (Sprindik 03/01/01/2015) yang me
njadi dasar dalam penyidikan terhadap BG tidak sah dan tidak berdasar hukum dan tid
ak mempunyai kekuatan mengikat, oleh karenanya penyidikan atas kasus yang disang
kakan terhadap BG juga dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar hukum sehingga tida
k mempunyai kekuatan mengikat. Dalam putusan praperadilan tersebut, Hakim Sarpin
tidak mengabulkan seluruh gugatan yang diajukan BG selaku pemohon. Gugatan BG
untuk mendapatkan Ganti Rugi secara materiil dari KPK ditolak oleh Hakim Sarpin. S
elain itu, dalam putusannya Hakim Sarpin juga menghapuskan biaya perkara yang har
us ditanggung negara.
Peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Mas Miko,
menyatakan terdapat beberapa kelemahan dalam putusan praperadilan tersebut. Perta
ma, Hakim Sarpin telah melampaui kewenangannya dalam memutus perkara praperad
ilan tersebut. Dalil-dalil yang dipertimbangkan oleh Sarpin seperti kualifikasi penyele
nggara negara/penegak hukum adalah pembuktian terhadap unsurunsur tindak pidana.
Hal tersebut seharusnya diperiksa pada persidangan pokok perkara bukan praperadila
n.

Kedua, Hakim Sarpin juga tidak konsisten dalam melakukan penafsiran huku
m. Di satu sisi, hakim memperluas penafsiran terhadap objek praperadilan yang telah t
egas dan jelas diatur dalam KUHAP. Namun, di sisi lain, penafsiran yang diperluas it
u tidak dilakukan dalam konteks pemaknaan terhadap penyelenggara negara/penegak
hukum. Hal senada juga diungkapkan oleh Mantan pimpinan KPK Busyro Muqoddas,
menyatakan seharusnya hakim Sarpin Rizaldi menggunakan Kitab Undang-undang H
ukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai landasan putusan. Secara fundamental setiap h
akim wajib mengadili berdasarkan Undang-undang.

Putusan praperadilan yang mengabulkan sebagian permohonan BG tersebut m


enimbulkan berbagai pendapat dikalangan para ahli hukum, Jaksa Agung AM Prasety
o menegaskan bahwa, untuk saat ini putusan hakim Sarpin itu tidak bisa dijadikan seb
agai sumber acuan hukum atau yurisprudensi karna baru satu putusan pengadilan. Sel
ain itu, pendapat lain juga diungkapkan oleh Ketua Komisi Yudisial, Suparman Marz
uki mengingatkan, putusan Praperadilan yang dikeluarkan oleh Hakim Sarpin Rizaldi
berimplikasi luas pada sistem penegakan hukum pidana khususnya tugas penyidik. Se
lain itu, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD juga menambahkan, denga
n putusan praperadilan tersebut, ke depan setiap penetapan tersangka berpotensi akan
di praperadilankan. Pengadilan negeri dapat dibanjiri permohonan praperadilan terkait
penetapan tersangka oleh KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan. Hal senada juga diungkap
kan oleh Nursyahbani Katjasungkana, yang menyatakan bahwa putusan praperadilan t
ersebut menjadi preseden yang sangat buruk. Penetapan tersangka dalam dua tahun ke
belakang dapat dibatalkan semua. Bahkan, mereka yang sudah dijadikan tersangka da
n ditahan KPK pun bisa mengajukan praperadilan.
2. Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 Tentang Pengujian Undang-
Undang (UU) 8/1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP).Putusan itu men
yatakan, objek praperadilan tidak hanya yang telah ditentukan oleh Pasal 77 KUHAP
yaitu:

a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghenti


an penuntutan;

b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentika
n pada tingkat penyidikan atau penuntutan”. Tetapi juga termasuk “penetapan tersang
ka, penggeledahan, dan penyitaan”.

Berdasarkan pertimbangan hukum yaitu: “Bahwa pada saat KUHAP diberlaku


kan pada 1981, penetapan tersangka belum menjadi isu krusial dan problematik dalam
kehidupan masyarakat Indonesia. Kemudian upaya paksa pada masa itu secara konve
nsional dimaknai sebatas pada penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan.
Namun pada masa sekarang, bentuk upaya paksa telah mengalami berbagai perkemba
ngan atau modifikasi yang salah satu bentuknya adalah “penetapan tersangka oleh pen
yidik” yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pemberian label atau status tersangk
a pada seseorang tanpa adanya batas waktu yang jelas, sehingga seseorang tersebut di
paksa oleh negara untuk menerima status tersangka tanpa tersedianya kesempatan bag
inya untuk melakukan upaya hukum untuk menguji legalitas dan kemurnian tujuan pe
netapan tersangka tersebut”.

Dalam putusan MK halaman110, bahwa: “Pasal 77 a Undang-Undang Republi


k Indonesia  Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (Lembaran Ne
gara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Repub
lik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tid
ak dimaknai penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan”. Ketentuan/norma b
aru yang ditambah oleh MK di dalam Pasal 77 UU 8/1981 adalah “penetapan tersangk
a, penggeledahan, dan penyitaan”. Padahal UU 24/2003 tentang MK menentukan bah
wa hanya 3 jenis putusan MK berkaitan dengan pengujian UU, yaitu dikabulkan, ditol
ak, dan tidak dapat diterima.

Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 tersebut, tidak tepat kalau kemudian M


K membuat norma baru di dalam putusannya. Sebab tidak ada keadaan dan kondisi ya
ng mendesak yang mengharuskan MK untuk memerankan fungsinya sebagai positive
legislature (DPR dan Presiden) yang kemudian berujung kepada “penetapan tersangka,
penggeledahan, dan penyitaan” juga merupakan objek praperadilan. Hal ini sama saja
MK telah menambah bunyi Pasal 77 UU 8/1981.
Daftar Pustaka

“Menangkan budi gunawan hakim sarpin dilaporkan ke ky”.


https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150217145500-12-32792/. diaskes
5/12/2021

https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=10849. diakses
5/12/2021

“Catatan atas putusan praperadilan komjen pol budi gunawan”.


https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54f515581f2d4/. diakses 5/12/2021

“Hakim praperadilan budi gunawan dilaporkan ke ky.


https://www.liputan6.com/news/read/2177111/ .diakses 5/12/2021

https://putusan3.mahkamahagung.go.id/peraturan/detail/11eace7b0037bc9097
49323033303236.html. diakses 5/12/2021

Anda mungkin juga menyukai