Anda di halaman 1dari 34

Jurist-Diction Vol.

4 (6) 2021 2243

Jurist-Diction
Volume 4 No. 6, November 2021

Central Bank Digital Currency (CBDC) Sebagai Alat


Pembayaran di Indonesia
Claudia Saymindo Emanuella
claudia.se.purba@gmail.com
Universitas Airlangga
How to cite: Abstract
Claudia Saymindo Emanuella,
Technological developments encourage innovation in various sectors,
‘Central Bank Digital
Currency (CBDC) Sebagai including banking. The widespread use of digital currencies is an
Alat Pembayaran di Indonesia’ impetus for central banks to create an alternative to replace ungoverned
(2021) Vol. 4 No. 6 Jurist- digital currencies. Central Bank Digital Currency (CBDC) is the
Diction. alternative chosen by various central banks in the world. Various
countries have conducted research related to the implementation in
Histori artikel:
Submit 6 Agustus 2021; terms of design and risk in the financial, operational, and legal fields.
Diterima 15 Oktober 2021; Bank Indonesia plans to develop a CBDC as part of national economy
Diterbitkan 5 November 2021. and finance digitalization. Indonesia does not yet have a strong legal
framework to underlie the implementation of CBDC, especially in
DOI:
the cyber security sector, The role of the central bank becomes very
10.20473/jd.v4i6.31845
important in CBDC’s issuance and implementation as the only party
p-ISSN: 2721-8392 that has the right to determine, issue, and regulate legal payment
e-ISSN: 2655-8297 instruments in Indonesia.
Keywords: Central Bank Digital Currency; Digital Money; Central
Bank; Cybersecurity.

Abstrak
Perkembangan teknologi mendorong inovasi dalam berbagai sektor,
termasuk perbankan. Maraknya penggunaan digital currency menjadi
dorongan bagi bank sentral untuk menciptakan mata uang digital yang
dapat menggantikan digital currency tanpa pihak berwenang. Central
Bank Digital Currency (CBDC) menjadi alternatif yang dipilih oleh
berbagai bank sentral di dunia, dan berbagai negara telah melakukan
riset terkait penerapan CBDC dari sisi desain dan risiko di bidang
finansial, operasional, dan legal. Bank Indonesia berencana untuk
mengembangkan CBDC di Indonesia sebagai bagian dari digitalisasi
ekonomi dan keuangan nasional. Indonesia belum memiliki kerangka
hukum yang kuat untuk mendasari penerapan CBDC, terutama dalam
bidang keamanan siber, mengingat banyaknya ancaman keamanan siber
canggih yang terus berkembang. Peran bank sentral menjadi sangat
penting dalam penerbitan dan penerapannya sebagai satu-satunya pihak
yang berhak menentukan, menetapkan, menerbitkan, dan meregulasi
alat pembayaran sah di Indonesia.
Kata Kunci: Central Bank Digital Currency; Uang Digital; Bank
Sentral; Cybersecurity.
Copyright © 2021 Claudia Saymindo Emanuella

Jurist-Diction. 2021; 2243-2276 https://e-journal.unair.ac.id/JD


2244 Claudia Saymindo: Central Bank Digital...

Pendahuluan
Sistem Pembayaran adalah sistem yang mencakup seperangkat aturan,
lembaga, dan mekanisme yang dipakai untuk melaksanakan pemindahan dana,
guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi.1 Seiring
dengan berjalannya waktu, teknologi yang terus berkembang memberi dampak
yang signifikan dalam kehidupan masyarakat, termasuk dalam pelaksanaan sistem
pembayaran. Munculnya teknologi finansial (financial technology / fintech)
menjadi salah satu faktor terbesar dalam pelaksanaan sistem tersebut. Makin
banyak masyarakat yang lebih memilih untuk bertransaksi menggunakan uang
elektronik dibandingkan uang kartal sebagai alat untuk transaksi pembayaran. Hal
ini dibuktikan dengan pertumbuhan transaksi uang elektronik terus meningkat,
sebagaimana pada Januari 2020 tercatat sebesar 172,85% (year on year/yoy).2
Perkembangan teknologi finansial memudahkan masyarakat dalam melakukan
transaksi, baik untuk kepentingan jual beli, transfer dana, atau membayar tagihan.
Mulai dari penggunaan kartu debet atau kredit yang digesekkan ke mesin EDC
(Electronic Data Capture) hingga penggunaan e-wallet seperti Go-Pay, OVO,
Dana, dan ShopeePay, menjadi pilihan alternatif untuk bertransaksi finansial tanpa
perlu membawa sejumlah besar nominal uang tunai saat berpergian. Terlebih
semenjak adanya pandemi Covid-19 yang mengharuskan limitasi kontak. Bank
Indonesia mencatat nilai transaksi uang elektronik mencapai Rp 20,7 triliun pada
Januari 2021. Jumlah tersebut meningkat 30,7% dibandingkan periode yang sama
pada tahun sebelumnya sebesar Rp 15,9 triliun.3
Salah satu inovasi dalam teknologi finansial adalah munculnya mata uang
digital atau virtual currency / cryptocurrency. Cryptocurrency adalah mata uang

1
Bank Indonesia, ‘Sistem Pembayaran & Pengelolaan Uang Rupiah’ (Bank Indonesia, 2021)
https://www.bi.go.id/id/fungsi-utama/sistem-pembayaran/default.aspx, dikunjungi pada 26-03-
2021.
2
Giri Hartono, ‘BI Catat Penggunaan Uang Elektronik Tumbuh 172,85%’ (Okezone,
2020) <https://economy.okezone.com/read/2020/02/20/320/2171484/bi-catat-penggunaan-uang-
elektronik-tumbuh-172-85>, dikunjungi pada 26-03-2021.
3
Andrea Lidwina, ‘Nilai Transaksi Uang Elektronik Naik 30% pada Awal 2021’ (Katadata,
2021) <https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/03/04/nilai-transaksi-uang-elektronik-
naik-30-pada-awal-2021> dikunjungi pada 26-07-2021.
Jurist-Diction Vol. 4 (6) 2021 2245

digital Peer-to-Peer (P2P) yang dapat diprogram dan memungkinkan pembayaran


online dikirim langsung dari satu pihak ke pihak lain tanpa melalui perantara.4
Bank Indonesia mendefinisikan cryptocurrency sebagai mata uang digital yang
diterbitkan oleh pihak lain selain otoritas moneter dan diperoleh dengan cara mining,
pembelian, atau transfer pemberian (reward). Cara kerja cryptocurrency adalah
melalui blockchain, suatu database berisi daftar catatan informasi atau record
(yang juga disebut block) digital yang terus berkembang. Fungsi dari blockchain
sama seperti pembukuan pada umumnya, yaitu untuk mencatat transaksi, debit, dan
kredit antara pihak (seperti penjual dan pembeli). Cara blockchain bekerja adalah
dengan sistem distribusi data. Mudahnya, saat seseorang ingin menambahkan
suatu data dalam jaringan blockchain-nya, maka data tersebut akan diverifikasi dan
kemudian di-approve oleh semua pihak yang berada dalam jaringan tersebut. Data
itu kemudian akan terdistribusikan ke seluruh pihak dalam jaringan setelah proses
verifikasi dan approval selesai. Awalnya, sistem blockchain diciptakan sebagai
sistem transparan untuk beroperasi di Bitcoin yang merupakan jenis cryptocurrency
yang paling dikenal masyarakat luas. Sebagai uang digital, kepemilikan Bitcoin
dicatat pada buku besar elektronik yang diperbarui hampir secara bersamaan pada
sekitar 10.000 (sepuluh ribu) komputer di seluruh dunia yang saling terhubung dan
dioperasikan secara independen.5 “Buku besar elektronik” inilah yang berkembang
menjadi blockchain.
Sebagai bank sentral, salah satu tugas dan fungsi Bank Indonesia adalah
untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dengan
berkembangnya teknologi, Bank Indonesia telah mengeluarkan beberapa peraturan
terkait untuk meregulasi perkembangan tersebut, seperti Peraturan Bank Indonesia
(PBI) Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi

4
David Lee Kuo Chuen & Linda Low, ‘Inclusive Fintech: Blockchain, Cryptocurrency, and
ICO’ World Scientific Publishing (2018).[35].
5
Antony Lewis, ‘The Basics of Bitcoins and Blockchains: An Introduction to Cryptocurren-
cies and the Technology that Powers Them’ Mango Publishing (2018).
2246 Claudia Saymindo: Central Bank Digital...

Pembayaran dan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 19/12/PBI/2017 tentang


Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Kedua peraturan tersebut secara tegas
melarang penggunaan segala jenis mata uang digital. Pasal 34 huruf (a) PBI
Nomor 18/40/PBI/2016 dengan jelas menyatakan bahwa “Penyelenggara Jasa
Sistem Pembayaran dilarang melakukan pemrosesan transaksi pembayaran dengan
menggunakan virtual currency”. Salah satu alasan kuat yang mendasari keputusan
pelarangan ini adalah karena tidak adanya otoritas yang dapat bertanggung jawab
atas penggunaan virtual currency tersebut. Karena sistem desentralisasi dalam
blockchain yang ditandai dengan penyebaran data kepada pihak-pihak (sehingga
tidak terpusat), hal ini berarti tidak ada badan yang membawahi sistem jaringan
yang digunakan. Jika muncul suatu konsekuensi akibat dari penggunaan virtual
currency, tidak ada pihak yang dapat dimintai pertanggungjawabannya. Pengguna
virtual currency sendiri bisa saja juga tidak memiliki informasi atau pengetahuan
mengenai konsekuensi tersebut. Selain itu, virtual currency juga tidak memiliki
underlying asset yang mendasari harganya dan nilai perdagangannya sangat
fluktuaktif.
Beberapa negara memberikan pengertian terkait virtual / digital currency
sebagai berikut:6
1. European Central Bank (2012): “A virtual currency is a type of unregulated,
digital money, which is issued and usually controlled by its developers, and
used and accepted among the members of a specific virtual community”. (Mata
uang virtual adalah jenis uang digital yang tidak diatur dan dikeluarkan serta
dikendalikan oleh pengembangnya, dan digunakan serta diterima oleh anggota
komunitas virtual tertentu).
2. Financial Action Task Force (2014): “Virtual currency is a digital representation
of value that can be digitally traded and functions as (1) a medium of exchange;
and/or (2) a unit of account; and/or (3) a store of value, but does not have
legal tender status (i.e., when tendered to a creditor, is a valid and legal offer
of payment) in any jurisdiction”. (Mata uang virtual adalah representasi digital
dari nilai yang dapat diperdagangkan secara digital dan berfungsi sebagai (1)
alat tukar; dan / atau (2) satuan rekening; dan / atau (3) penyimpan nilai, tetapi
tidak memiliki status tender yang sah di yurisdiksi manapun).

6
Muhammad Edhie Purnawan & Retno Riyanti, ‘Significant Effect of the Central Bank
Digital Currency on the Design of Monetary Policy’ (2019) 8 Jurnal Ekonomi Indonesia.[129].
Jurist-Diction Vol. 4 (6) 2021 2247

3. Committee on Payments and Market Infrastructures (CPMI): “Digital currency


as any electronic form of money, or medium of exchange that features a
distributed ledger and a decentralized payment system.” (Mata uang digital
sebagai segala bentuk uang elektronik, atau alat tukar dengan buku besar yang
didistribusikan dan sistem pembayaran yang terdesentralisasi).
4. Bank for International Settlements (2015): “Digital currency is an asset stored
in electronic form that can serve essentially the same function as physical
currency, namely, facilitating payments transactions.” (Mata uang digital adalah
aset yang disimpan dalam bentuk elektronik yang pada dasarnya dapat berfungsi
sama dengan mata uang fisik, yaitu memfasilitasi transaksi pembayaran).
Mengingat sistem virtual currency yang relatif tidak aman karena berpengaruh
terhadap stabilitas moneter, pemerintah di berbagai negara terinspirasi untuk
menciptakan suatu mata uang digital yang lebih aman dengan pertanggungjawaban
yang jelas, yaitu Central Bank Digital Currency (CBDC). Berbeda dengan virtual
currency yang sistemnya bersifat desentralisasi, CBDC diterbitkan dan diregulasi
oleh bank sentral seperti uang kartal maupun uang elektronik.
CBDC mengacu pada mata uang yang memenuhi kriteria berikut:7
1. The central bank issues it in digital form. (Bank sentral menerbitkannya dalam
bentuk digital).
2. Anyone has the right to hold it. It is not a privilege reserved to, e.g. credit
institutions. (Siapapun berhak memegangnya. Ini bukan hak istimewa seperti
hanya untuk lembaga kredit).
3. It is the same currency as banknotes and central bank deposits. The conversion
rate of Bank notes and zero-interest bearing digital cash would always be one-
to-one, and at least some economic entities, e.g. banks, could convert it freely
into other types of central bank money. (Mata uang yang sama dengan uang
kertas dan deposito bank sentral. Tingkat konversi uang kertas dan uang digital
tanpa bunga akan selalu satu banding satu, dan setidaknya beberapa entitas
ekonomi, seperti bank, dapat mengubahnya secara bebas menjadi jenis uang
bank sentral lainnya).
4. It can be used as a payment instrument in retail payments. (Dapat digunakan
sebagai alat pembayaran dalam pembayaran retail).
5. When two parties engage in a transaction, there is no third party – at least not a
private one - that verifies or executes the payment as a central counterparty. The
same principle applies to banknote payments. (Ketika dua pihak terlibat dalam
suatu transaksi, tidak ada pihak ketiga yang memverifikasi atau melaksanakan
pembayaran sebagai rekan utama. Prinsip yang sama berlaku untuk pembayaran
dengan uang kertas).

7
Aleksi Grym, et.al., ‘Central Bank Digital Currency’ (2017) BoF Economics Review.[2].
2248 Claudia Saymindo: Central Bank Digital...

Sejak April 2020, negara Cina telah melakukan percobaan atas CBDC
mereka yang disebut Digital Currency / Electronic Payment (DC/EP). Penggunaan
uang kartal di Cina semakin berkurang dari tahun ke tahun, dimana pada tahun
2016 hanya 40% dari seluruh transaksi dilakukan dengan uang kartal.8 Hal ini
mendorong pemerintah Cina untuk menciptakan alternatif pembayaran sebagai
pengganti uang kartal, yaitu dengan mengeluarkan DC/EP.9 Selain Cina, Swedia
juga mengalami berkurangnya penggunaan uang kartal dan memprediksi akan
menjadi negara cashless pada tahun 2023. Mereka melakukan uji coba CBDC yang
dinamai e-krona sebagai pengganti uang kartal sejak 2020 sampai Februari 2021
yang lalu dan kini sedang mencoba untuk memutuskan apakah e-krona akan terus
dikeluarkan.10 Beberapa negara lain juga sudah atau sedang melangsungkan uji
coba atas penggunaan CBDC, seperti Perancis, Filipina, Jepang, Turki, dan Swiss.
Sampai saat ini masih belum ada negara yang benar-benar menerapkan CBDC dan
masih meneliti dampak positif dan negatifnya, tetapi seiring dengan berjalannya
waktu semakin banyak negara yang tertarik untuk menerapkannya.
Saat ini Bank Indonesia sedang merumuskan pembentukan CBDC untuk
membendung maraknya penggunaan virtual currency. Bank Indonesia melakukan
kajian untuk melihat potensi dan manfaat CBDC, yang nantinya akan menentukan
perbedaan desain dan arsitektur CBDC yang akan dipilih serta mitigasi risikonya.11
Sejauh ini Bank Indonesia baru mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/6/PBI/2018 yang meregulasi Uang Elektronik. Berbeda dengan CBDC yang
berfungsi sebagai mata uang tersendiri, uang elektronik diterbitkan berdasarkan
nilai uang yang disetor terlebih dahulu dan disimpan secara elektronik. Dengan kata

8
Jonas Gross, ‘CBDC pioneers: Which countries are currently testing a retail central
bank digital currency?’ (University of Bayreuth, 2020) <https://jonasgross.medium.com/cbdc-pi-
oneers-which-countries-are-currently-testing-a-retail-central-bank-digital-currency-49333be-
477f4#:~:text=Our%20analysis%20shows%20that%20China,pioneers%20in%20the%20
CBDC%20space>, dikunjungi pada 28-03-2021.
9
ibid.
10
ibid.
11
Herlina Kartika Dewi, ‘Rumuskan uang digital, BI akan bikin Central Bank Digital
Currency (CBDC)’ (Kontan, 2021) <https://nasional.kontan.co.id/news/rumuskan-uang-digital-bi-
akan-bikin-central-bank-digital-currency-cbdc>, dikunjungi pada 28-03-2021.
Jurist-Diction Vol. 4 (6) 2021 2249

lain, peraturan yang sudah ada baru meregulasi mata uang rupiah yang disimpan
secara elektronik di media server.
Bank for International Settlements (BIS) telah mengeluarkan 2 panduan
terkait CBDC ini, yaitu:
1. Central bank digital currencies: foundational principles and core features;
2. Committee on Payments and Market Infrastructures: Digital currencies.
Dari kedua panduan tersebut, masih diperlukan kajian terkait penerapan
digital currency di Indonesia, agar tetap terjamin kepastian hukum dan stabilitas
moneter di Indonesia yang merupakan fungsi dari Bank Indonesia selaku bank
sentral.
Berdasarkan latar belakang penulisan di atas, adapun rumusan masalah yang
akan diangkat sebagai topik pembahasan, yaitu:
1. Karakteristik Central Bank Digital Currency;
2. Tanggung jawab bank sentral sebagai penyelenggara Central Bank Digital
Currency.

Metode Penelitian
Tipe penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif / doktrinal. Menurut Peter Mahmud, “Penelitian doktrinal, yaitu
penelitian yang menyediakan ekspos sistematis terhadap peraturan yang mengatur
kategori hukum tertentu, menganalisis hubungan antar peraturan, menjelaskan
area yang mengalami hambatan, dan bahkan memperkirakan perkembangan
mendatang”.12
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute
approach) yang dilakukan dengan menganalisis, menelaah, dan mengkaji peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan rumusan masalah tersebut, pendekatan
perbandingan (comparative approach) yang dilakukan dengan membandingkan
hukum suatu negara dengan hukum negara lain atau hukum dari suatu waktu

12
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Kencana Prenada Media 2017).[32].
2250 Claudia Saymindo: Central Bank Digital...

tertentu dengan hukum dari waktu yang lain, serta pendekatan konseptual
(conceptual approach) yang dilakukan tanpa beranjak dari peraturan hukum yang
ada dikarenakan aturan hukum untuk permasalahan memang belum ada.

Asal Mula Uang Digital


Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan orang lain selain dirinya
sendiri. Baik untuk kebutuhan fisik maupun psikis, tidak ada seorangpun yang
mampu bertahan hidup sendirian. Sebelum uang pertama kali muncul, manusia
saling bertukar barang dan jasa dengan barang dan jasa lainnya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya masing-masing. Seiring berjalannya waktu, sistem ini menjadi
sulit diterapkan karena adanya ketidakseimbangan nilai tukar antara barang atau
jasa yang ditawarkan. Sebagai solusi, beberapa benda ditetapkan sebagai alat tukar.
Benda-benda ini umumnya memiliki nilai yang tinggi dan dibutuhkan oleh orang-
orang, seperti garam atau bahkan hewan ternak. Solusi ini tidak bertahan lama
karena daya tahannya tidak lama. Seiring dengan perkembangan zaman, akhirnya
manusia menggunakan logam mulia berupa emas dan perak sebagai alat tukar.
Proses tersebut berdasarkan atas kelangkaan yang masuk akal dan tidak mudah
rusak dalam waktu yang relatif lama, serta mudah digunakan dan dapat diterima
berbagai pihak.13
Masalah lain muncul ketika jumlah logam mulia yang digunakan untuk
transaksi menjadi terlalu banyak dan sulit untuk digunakan. Maka, mereka
menitipkan uang-uangnya pada penyimpanan-penyimpanan tukang emas,
tempat penukaran emas, atau pemuka-pemuka agama. Pihak-pihak itu kemudian
memberikan akta berbentuk kertas (banknote), yaitu janji pihak penerima titipan
(bank promise) untuk membayarkan uang logam kepada pemilik kertas ini
ketika ada permintaan.14 Akta ini berperan sebagai alat bukti kepemilikan dan
penyimpanan yang aman. Lama kelamaan, banknote yang diterbitkan ini makin

Ahmad Hasan, Mata Uang Islami (PT. Raja Grafindo Persada 2005).[62-63].
13

Difi Dahliana, ‘Sejarah Uang’ (UIN Antasari, 2021) <https://doi.org/10.17605/OSF.IO/


14

WS8JE>, dikunjungi pada 30-05-2021.


Jurist-Diction Vol. 4 (6) 2021 2251

banyak digunakan tanpa ditukarkan ke logam mulia yang direpresentasikan. Dari


sinilah mulai terbentuk konsep uang kertas.
Seiring dengan perkembangan teknologi, konsep digitalisasi makin sering
digunakan. Digitalisasi adalah proses pemindahan akitivitas dari bentuk fisik ke
bentuk digital menggunakan teknologi. Keuntungan yang didapat dari proses ini
adalah meningkatnya efisiensi, keamanan, dan kemudahan akses. Salah satu visi
dan misi dari Presiden Joko Widodo adalah mempercepat digitalisasi di bidang
ekonomi dan keuangan nasional. Sebagai bagian dari digitalisasi ekonomi, salah
satu rencana yang disiapkan oleh Bank Indonesia adalah mendigitalisasikan
uang. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan uang sebagai “alat
tukar atau standar pengukur nilai (kesatuan hitungan) yang sah, dikeluarkan oleh
pemerintah berupa kertas, emas, perak, atau logam lain yang dicetak dengan
bentuk dan gambar tertentu.”, sedangkan menurut Pasal 1 ayat (1) UU Mata
Uang yang dimaksud dengan uang adalah alat pembayaran yang sah. Dengan
adanya digitalisasi uang, definisi uang sendiri tidak akan terbatas pada bentuk
fisik, melainkan juga dengan bentuk digital.
Tidak seperti uang kertas dan logam, uang digital hanya tersedia dalam
bentuk digital atau elektronik, bukan dalam bentuk fisik. Uang kertas dan logam
(uang kartal) dapat disimpan dalam rekening di bank sebagai bentuk deposit dan
dapat ditransaksikan secara elektronik menggunakan kartu pembayaran. Meskipun
tidak menggunakan wujud asli uang dalam transaksi, metode ini pada dasarnya
tetap menggunakan bentuk uang kartal yang direpresentasikan, berbeda dengan
uang digital. Uang digital merupakan mata uang tersendiri, seperti cryptocurrency,
virtual currency, dan central bank digital currency (CBDC).
Saat ini salah satu jenis alat pembayaran yang marak digunakan adalah uang
elektronik atau e-money. Pasal 1 ayat (3) PBI Uang Elektronik mendefinisikan Uang
Elektronik sebagai instrumen pembayaran yang memenuhi unsur sebagai berikut:
a. diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbit;
b. nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip; dan
c. nilai uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan
2252 Claudia Saymindo: Central Bank Digital...

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai


perbankan.
Dalam PBI tersebut juga dijelaskan bahwa e-money dapat dibedakan
berdasarkan media penyimpanan nilai uang dan pencatatan data identitas pengguna.
Berdasarkan media penyimpanannya, e-money dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Server based dengan media penyimpanan berupa server. Server based e-money
menggunakan basis server sehingga pengguna harus terkoneksi dengan server
internet penerbit e-money tersebut; dan
b. Chip based dengan media penyimpanan berupa chip. Chip based e-money
menggunakan suatu chip yang ditanamkan langsung pada kartu, seperti kartu E-Toll.
Sedangkan berdasarkan pencatatan data identitas pengguna, e-money juga
dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Unregistered, dimana identitas pengguna tidak terdaftar dan tidak tercatat pada
penerbit; dan
b. Registered, dimana identitas pengguna terdaftar dan tercatat di penerbit.
Beberapa provider e-money yang banyak digunakan di Indonesia seperti OVO,
Go-Pay, dan DANA merupakan bentuk server based e-money dimana pengguna
dapat menggunakannya melalui aplikasi di smartphone yang terhubung internet.
Berbeda dengan e-money yang saat ini beredar di masyarakat, CBDC
merupakan mata uang tersendiri yang akan digunakan sebagaimana uang kertas
dan uang giral. Laporan Committee on Payments and Market Infrastructures
(CPMI) and the Markets Committee (MC) dari Bank for International Settlements
pada tahun 2018 mendefiniskan CBDC sebagai varian baru uang bank sentral yang
berbeda dari kas fisik atau rekening cadangan bank sentral.15

Mekanisme Penerbitan CBDC


Dengan cepatnya perkembangan teknologi, berbagai pihak telah lama
mencari alternatif untuk sistem pembayaran yang dapat sepenuhnya terintegrasi.

15
Christian Barontini & Henry Holden, ‘Proceeding with caution – a survey on central bank
digital cuurency’ (2019) 101 BIS Papers.[1].
Jurist-Diction Vol. 4 (6) 2021 2253

CBDC menjadi salah satu opsi yang dipertimbangkan karena tingkat keamanannya
yang lebih terjamin dibandingkan dengan virtual currency, terutama dengan adanya
larangan menggunakan cryptocurrency di Indonesia sebagaimana tertulis dalam
PBI PPTP. Bank-bank sentral di berbagai negara, termasuk Indonesia, sedang
mempertimbangkan berbagai tujuan untuk menerbitkan CBDC, seperti:16
a. Meningkatkan persaingan, efisiensi, dan ketahanan sistem pembayaran;
b. Mendukung digitalisasi keuangan, mengurangi biaya terkait pengeluaran dan
pengelolaan kas fisik, meningkatkan inklusi keuangan;
c. Meningkatkan efektivitas kebijakan moneter untuk melaksanakan kebijakan
yang ditargetkan;
d. CBDC berbunga dapat meningkatkan transmisi kebijakan moneter;
e. Mengurangi atau mencegah adopsi mata uang yang dikeluarkan secara pribadi
(cryptocurrency);
f. Meningkatkan daya tarik mata uang lokal (mengurangi dolarisasi); dan
g. Berperan dalam penyaluran stimulus fiskal.
Sebelum menerbitkan mata uang baru, ada beberapa hal yang harus
dipertimbangkan oleh bank sentral untuk menjamin keamanan dan stabilitas
keuangan. Tidak hanya masyarakat sebagai target pengguna mata uang tersebut,
pihak swasta seperti bank-bank lainnya juga turut menjadi bagian dari pertimbangan.
Umumnya, ada tiga prinsip dasar yang menjadi pertimbangan bank sentral dalam
penerbitan CBDC yang berdasarkan dari tujuan utamanya:17
a. Do no harm: Bentuk uang baru yang dikeluarkan oleh bank sentral harus
mendukung pemenuhan tujuan kebijakan publik dan tidak mengganggu atau
menghalangi kemampuan bank sentral menjalankan tugasnya dalam menjaga
stabilitas moneter. Keberadaan CBDC harus memelihara dan memperkuat
keseragaman mata uang, sehingga masyarakat dapat menggunakan CBDC dan
uang tradisional secara bersamaan.
b. Coexistence: Berbagai jenis uang bank sentral, seperti CBDC atau uang
yang sudah ada (uang tunai, deposit, atau settlement accounts) harus saling

16
John Kiff, et.al., ‘A Survey of Research on Retail Central Bank Digital Currency’ (2020),
104 IMF Working Paper.[39].
17
Bank for International Settlements, ‘Central bank digital currencies: foundational principles
and core features’ (BIS Papers, 2020) (selanjutnya disingkat Bank for International Settlements I).[10].
2254 Claudia Saymindo: Central Bank Digital...

melengkapi dan berdampingan dengan uang pribadi (misalkan rekening bank


komersial) untuk mendukung tujuan kebijakan publik. Keberadaan CBDC
bukan berarti dapat menghapus fungsi uang tunai, sehingga bank sentral harus
terus menyediakan uang tunai selama diperlukan.
c. Innovation and efficiency: Tanpa inovasi dan persaingan untuk mendorong
efisiensi dalam sistem pembayaran, masyarakat dapat terdorong untuk
menggunakan instrumen pembayaran atau mata uang lain yang kurang aman,
sehingga menyebabkan kerugian yang dapat merusak stabilitas moneter. Agen
swasta dalam sistem pembayaran harus memiliki kebebasan untuk menentukan
alat pembayaran yang mereka gunakan untuk transaksi.
Dari ketiga prinsip tersebut, BIS menyimpulkan 14 (empat belas) karakteristik
dan fitur yang harus dimiliki CBDC. Fitur-fitur ini mencakup instrumen CBDC,
sistem yang mendasarinya, dan institutional framework sebagai berikut:18
a. Convertible: Nilai tukar CBDC harus setara dengan uang yang sudah ada.
b. Convenient: Penggunaan CBDC harus semudah menggunakan uang tunai,
kartu debit atau kredit, dan memindai kode melalui perangkat gawai.
c. Accepted and available: CBDC harus dapat digunakan untuk banyak jenis
transaksi yang sama dengan uang tunai, termasuk vendor dan peer-to-peer
seperti transaksi offline.
d. Low cost: Transaksi menggunakan CBDC harus berbiaya rendah atau gratis
dan tidak memerlukan investasi teknologi khusus.
e. Secure: Infrastruktur dan pengguna CBDC harus aman dari serangan siber dan
ancaman lainnya, termasuk dari pemalsuan.
f. Instant: Transaksi harus cepat dan instan.
g. Resilient: Sistem CBDC harus tahan terhadap gangguan operasional, bencana
alam, pemadaman listrik, dan masalah lainnya. Jika terjadi gangguan koneksi
jaringan, transaksi menggunakan CBDC harus dapat dilaksanakan offline.
h. Available: Sistem pembayaran menggunakan CBDC harus tersedia setiap saat.
i. Throughput: Sistem CBDC harus mampu memproses jumlah transaksi yang
sangat tinggi.
j. Scalable: Untuk mengakomodasi potensi peningkatan pengguna atau
perkembangan lainnya, sistem CBDC harus dapat dikembangkan pula.
k. Interoperable: Sistem CBDC bekerja sama dengan sistem dan pengaturan
pembayaran digital sektor swasta untuk memungkinkan aliran dana antar
sistem.

ibid.[11].
18
Jurist-Diction Vol. 4 (6) 2021 2255

l. Flexible and adaptable: Sistem CBDC harus fleksibel dan mudah beradaptasi
terhadap perubahan kondisi dan peraturan.
m. Robust legal framework: Bank sentral harus memiliki otoritas yang jelas atas
pengeluaran CBDC.
n. Standards: Sistem CBDC harus mematuhi standar regulasi yang sesuai,
misalnya pihak swasta yang menawarkan transfer CBDC harus memenuhi
standar peraturan dan kehati-hatian yang setara dengan perusahaan yang
menawarkan layanan serupa untuk uang tunai.
Sejauh ini ada beberapa jenis desain CBDC yang dapat diimplementasikan,
tergantung dari model, teknologi database yang mendasarinya, tingkat privasi yang
tersedia, batasan jumlah, dan suku bunga. Jenis-jenis desain yang telah ada ini
memiliki pengaruh atas satu sama lain dan bekerja sama untuk menciptakan sistem
yang berfungsi dengan lancar. Mengingat penelitian terkait CBDC yang masih
relatif baru, belum banyak penelitian, penerapan, maupun pengujiannya dalam
skala besar. Akibatnya, tidak banyak pilihan untuk membandingkan desain-desain
tersebut. Observasi lebih jauh terhadap cara kerja sistem dan peran swasta maupun
publik masih sangat diperlukan.
Secara garis besar, tipe desain yang diperlukan untuk menggunakan CBDC
dibagi menjadi tiga, yaitu desain instrumen, desain ledger, dan desain insentif.
Sebagaimana dijelaskan berikut ini:19
a. Desain instrumen merujuk pada “bentuk” CBDC yang digunakan, apakah
dengan bunga (interest bearing) atau dengan limit kepemilikan individu. Secara
teoritis, menggunakan desain CBDC dengan bunga dapat berperan dalam
mengendalikan permintaan CBDC dan suku bunganya. Dengan demikian,
atribut CBDC yang digunakan dalam desain ini akan seperti deposit, bukan
uang tunai. Kekurangan dari desain ini adalah kemungkinan disintermediasi
yang semakin cepat, dimana nasabah memilih untuk menarik deposit dari bank
untuk digantikan dengan deposit CBDC di bank sentral. Melimitasi jumlah
kepemilikan individu dapat mengurangi risiko tersebut, tetapi juga dengan
mengurangi keefektifan bunga CBDC. Alternatif lain dapat berupa membuat

19
Bank for International Settlements I, Op.Cit.[12-13].
2256 Claudia Saymindo: Central Bank Digital...

tingkatan-tingkatan suku bunga berdasarkan jumlah deposit yang dimiliki.


Bank sentral memiliki pengalaman terkait sistem remunerasi bertingkat.
Sistem ini dapat diterapkan ke CBDC beratribut deposit dan dapat mengatasi
krisis struktural dan keuangan terkait masalah disintermediasi bank tanpa
mengekspos pihak yang menggunakan CBDC untuk tujuan pembayaran.20 Sisi
negatifnya, limitasi dan tingkatan bunga ini dapat menimbulkan kompleksitas
dan tantangan kalibrasi bagi bank sentral dan pengguna CBDC.
b. Tipe desain selanjutnya adalah desain ledger. Dalam penggunaan CBDC,
yang dimaksud dengan pembayaran adalah transfer kewajiban bank sentral
yang dicatat dalam ledger (buku besar). Dengan kata lain, desain ini merujuk
pada sistem yang digunakan dan untuk mencatat CBDC tersebut. Ada 5 (lima)
faktor yang harus diperhatikan dalam mendesain ledger CBDC, yaitu struktur,
otentikasi pembayaran, fungsionalitas, akses, dan pengaturan. Struktur ledger
dapat berupa sentralisasi, desentralisasi, atau kombinasi. Struktur sentralisasi
memerlukan perantara untuk mengelola dan mentransfer, sehingga keamanan
lebih terjamin. Di sisi lain, struktur desentralisasi dapat memudahkan
pembayaran peer-to-peer (P2P) dan offline, dengan risiko keamanan karena
memerlukan teknologi sentralisasi ledger seperti blockchain.
Alternatif lain adalah dengan struktur kombinasi antara sentralisasi dan
desentralisasi, misalkan ledger sentralisasi hanya mencatat jumlah CBDC yang
dikeluarkan bank sentral, sedangkan jumlah saldo individu disimpan dalam kartu
atau smartphone pengguna. Namun, mengembangkan struktur kombinasi ini
dapat menghasilkan kompleksitas yang menimbulkan beban yang signifikan pada
fungsi sistem.
Dalam laman Frequently Asked Question / FAQ terkait CBDC di website
Bank Indonesia, Bank Indonesia menyatakan bahwa dari sisi Bank Sentral,
pengelolaan CBDC akan lebih mudah karena secara terdesentralisasi.21 Dari laman

20
John Kiff, et.al., Loc.Cit.
21
Bank Indonesia, ‘Rupiah Digital / Central Bank Digital Currency (CBDC)’ (Bank Indone-
sia, 2021) <https://bicara.bi.go.id/knowledgebase/article/KA-01038> dikunjungi pada 29-04-2021.
Jurist-Diction Vol. 4 (6) 2021 2257

tersebut, Bank Indonesia memilih struktur desentralisasi dibandingkan dengan


struktur sentralisasi atau kombinasi. Struktur ini memiliki beberapa kelebihan dari
struktur lainnya, seperti berkurangnya biaya dengan menghilangkan verifikasi
dari pihak ketiga, privasi saat transaksi, dan teknologi yang transparan. Pada saat
skripsi ini disusun, Bank Indonesia masih mempertimbangkan berbagai faktor
untuk penerapan CBDC. Salah satu pertimbangan untuk menerapkannya adalah
pilihan teknologinya.22
Proses otentikasi pembayaran, seperti berbasis identitas, token, atau
multifaktor, akan mengarahkan struktur data yang mendasari sistem CBDC dan
menentukan cara integrasi dengan sistem lainnya (misalnya untuk verifikasi
identitas digital sebagai bagian dari know-your-customer (KYC) atau dengan
persyaratan pemantauan transaksi). Otentikasi pembayaran ini juga berfungsi
sebagai jaminan tingkat privasi untuk pengguna. Jenis transaksi yang berbeda
dapat juga memerlukan metode otentikasi yang berbeda, misalkan pembayaran
dengan nilai yang lebih rendah menggunakan menggunakan metode yang lebih
mudah, sedangkan pembayaran dengan nilai yang tinggi memerlukan syarat-
syarat tambahan.
Penerbitan CBDC melalui sistem ledger dengan metode sentralisasi dan
desentralisasi memberikan panduan terkait pencatatan pada penerbitan CBDC. Fungsi
ledger CBDC hanya sebagai catatan kewajiban bank sentral atau dengan fungsi
tambahan, seperti dapat menyinkronisasikan pembayaran. Fungsi-fungsi tambahan
ini dapat membantu mendorong penerapan CBDC, tapi juga meningkatkan biaya.
Persyaratan akses, misalkan untuk menetapkan pihak mana saja yang
berwenang untuk membaca dan menulis ledger, akan memengaruhi keselamatan
dan efisiensi seluruh sistem. Perlu ada keseimbangan antara mendorong keragaman
dan persaingan dalam sistem sambal mempertahankan standar regulasi yang
memadai dari pihak swasta.

22
Bidara Pink, ‘BI akan minta desain acuan Central Bank Digital Currency di pertemuan
G20’ (Kontan, 2021) <https://nasional.kontan.co.id/news/bi-akan-minta-desain-acuan-central-
bank-digital-currency-di-pertemuan-g20>, dikunjungi pada 24-06-2021.
2258 Claudia Saymindo: Central Bank Digital...

Faktor terakhir yang harus dipikirkan dalam mendesain ledger adalah


pengaturannya. Sistem CBDC akan membutuhkan susunan peraturan terkait
peran dan tanggung jawab operator, peserta, penyedia layanan, dan pihak-pihak
berkepentingan lainnya. Selain aturan yang berisi peran dan tanggung jawab,
pengaturan lainnya juga perlu dipertimbangkan, seperti limitasi diskresi bank
sentral untuk memodifikasi sistem dan pembagian data dan privasi.
Mengeluarkan CBDC membutuhkan biaya, belum lagi untuk biaya
operasional, sama seperti untuk produksi uang tunai. Memutuskan pihak yang harus
berperan dalam pembiayaan akan berimplikasi pada efisiensi sistem, persaingan,
inovasi, dan inklusivitas.23 Menarik biaya secara langsung dari pengguna
merupakan salah satu pilihan yang paling transparan, akan tetapi dapat mengurangi
minat masyarakat untuk menggunakan CBDC. Bank sentral dapat menggunakan
seigniorage (keuntungan bank dari perbedaan antara nilai nominal uang dan biaya
produksinya) yang diperoleh untuk mengurangi atau bahkan menutupi kebutuhan
biaya, sedangkan membebankan biaya pada penyedia layanan berarti para penyedia
layanan harus memiliki model bisnis yang layak untuk menutupi pengeluaran.24

Risiko Pada Digital Currency


Perkembangan mata uang digital berdasarkan penggunaan ledger
menimbulkan sejumlah masalah, baik terkait kebijakan bagi bank sentral dan
otoritas publik lainnya maupun terhadap perekonomian negara. Bank sentral
harus mempertimbangkan tata kelola, organisasi internal, serta pro dan kontra dari
penerbitan CBDC. Baik dewan maupun staf tingkat operasional harus memahami
jelas terkait masalah utama dalam pertimbangan awal dan implementasi setelah
keputusan untuk menerbitkan CBDC dibuat. Masalah-masalah ini dapat termasuk:25
a. Tujuan CBDC;
b. Konsekuensi kebijakan (misalnya terkait posisi CBDC dalam kebijakan
pemerintah atau koeksistensi mata uang fisik dan digital serta pengaruhnya

23
Bank for International Settlements I, Op.Cit.[13].
24
ibid.
25
John Kiff, et.al., Loc.Cit.
Jurist-Diction Vol. 4 (6) 2021 2259

terhadap pengelolaan likuiditas dan mata uang tunai operasional);


c. Persyaratan teknis;
d. Efek pada organisasi internal (seperti pengembangan kapasitas dan keahlian),
manajemen risiko (risiko keterlibatan / pengadaan dan outsourcing pihak ketiga,
keamanan dunia maya, dan risiko operasional, hukum, dan reputasi lainnya),
pengumpulan dan pengelolaan data; dan
e. Persyaratan transparansi dan akuntabilitas (misalnya terkait temuan audit
internal, mekanisme akuntansi, dan komunikasi internal dan eksternal).
Dari sisi finansial, mengeluarkan CBDC memiliki risiko mempengaruhi
transmisi kebijakan moneter, misalnya dengan mengubah jumlah permintaan
dan komposisi uang kartal yang tidak bisa diprediksi atau mengubah sensitivitas
permintaan uang terhadap perubahan suku bunga. Dampak ini bisa saja tidak
signifikan jika desain CBDC yang digunakan memadai. Transmisi kebijakan
moneter dapat menguat jika CBDC meningkatkan inklusi keuangan dan
mengenalkan berbagai pihak kepada instrumen keuangan yang sensitif terhadap
suku bunga. CBDC juga memfasilitasi pengelolaan mata uang yang lebih aktif,
mengarahkan pada pergerakan nilai tukar yang lebih kuat untuk perubahan nilai
pasar tertentu. Transmisi pinjaman bank, dimana kebijakan moneter mempengaruhi
kelayakan kredit bank dan biaya pendanaan, juga dapat dipertahankan jika bank
sentral menyediakan pendanaan yang stabil dengan mendaur ulang deposit kembali
ke sistem perbankan.26
Juga tergantung dengan desain yang digunakan, CBDC dapat
mempengaruhi stabilitas keuangan dan intermediasi perbankan jika disaingkan
dengan deposit di bank komersial. Sejauh mana persaingan ini dapat terjadi akan
tergantung kepada suku bunga. Bank yang memiliki simpanan ritel yang lebih
besar akan bersaing dengan CBDC, terutama yang berbunga, dan mungkin harus
menaikkan suku bunga deposit agar tetap kompetitif. Suku bunga deposit yang
lebih tinggi akan mengurangi margin bunga. Untuk melawannya, bank dapat
mencoba menaikkan suku bunga pinjaman, tetapi dengan risiko berkurangnya
jumlah permintaan pinjaman.27

26
ibid.[15].
27
ibid.
2260 Claudia Saymindo: Central Bank Digital...

Disintermediasi juga mungkin terjadi akibat dari penggunaan sistem CBDC itu
sendiri. Dengan sistem desentralisasi, tidak adanya perantara untuk menggunakan
CBDC dapat menghilangkan minat pengguna terhadap bank komersial. Dengan
CBDC, pengguna tidak memerlukan bank komersial untuk melakukan transfer
karena adanya sistem P2P tanpa perantara. Ada kemungkinan karena fasilitas ini
pengguna akan lebih memilih menggunakan CBDC dan menarik depositnya di
bank komersial untuk selanjutnya dikonversikan menjadi CBDC. Hal ini dapat
menimbulkan bank run / rush money dan mengakibatkan bank pailit.28
Sisi positif dari penggunaan CBDC adalah adanya kesempatan untuk kebijakan
moneter menembus batas bawah efektif dan membantu menjaga efektivitas
kebijakan moneter dengan mengurangi insentif untuk mengadopsi alat pembayaran
alternatif. Penggunaan alat pembayaran yang tidak termasuk dalam mata uang
domestik (termasuk mata uang asing dan cryptocurrency) dapat membahayakan
kemampuan bank sentral untuk mencapai tujuan kebijakan moneternya saat ini.29
Di sisi biaya kebijakan moneter, CBDC dapat menyebabkan besarnya pengurangan
saldo cadangan (deposito bank komersial dan lembaga penyimpanan lainnya) ketika ada
perubahan kualitas, menaikkan suku bunga pasar uang dan berpotensi mendestabilisasi
pasar keuangan. Untuk mempersiapkan perubahan demikian dan untuk mengakomodasi
potensi permintaan CBDC, bank sentral harus mempertahankan neraca yang jauh lebih
besar, mungkin lebih dari sepertiga dari GDP.30
Sedangkan dari sisi operasional dan legal, pada dasarnya CBDC adalah
suatu mata uang digital, yang berarti dalam prosesnya menggunakan teknologi.
Cybersecurity menjadi salah satu faktor paling penting dalam pembuatan dan
pengoperasian CBDC. Dengan berkembangnya teknologi, berkembang pula
ancaman-ancaman di dalamnya. Tidak sedikit ancaman keamanan siber canggih

28
Bank for International Settlements I, Op.Cit.[8].
29
Mohammad Davoodalhosseini, et.al., ‘CBDC and Monetary Policy’, Bank of Canada Staff
Analytical Note (2020).
30
Bill Nelson, ‘The Benefits and Costs of a Central Bank Digital Currency for Monetary
Policy’ (BPI, 2021) <https://bpi.com/the-benefits-and-costs-of-a-central-bank-digital-currency-for-
monetary-policy/>, dikunjungi pada 28-06-2021.
Jurist-Diction Vol. 4 (6) 2021 2261

yang selalu berubah muncul tiap harinya. Pihak-pihak tidak bertanggung jawab
dapat membobol keamanan siber CBDC jika sistem keamanan yang digunakan
belum mutakhir. Cybersecurity merupakan risiko yang selalu ada dan signifikan
terhadap segala jenis infrastruktur pembayaran. Ini menekankan betapa pentingnya
bagi bank sentral untuk merancang, membangun, dan menjalankan ekosistem CBDC
yang aman dan tangguh secara keseluruhan di seluruh komponen dan integrasi
sistem. Sebagai infrastruktur yang akan berperan penting, keamanan dan ketahanan
CBDC setidaknya harus mirip dengan sistem pembayaran saat ini dengan layanan
yang beroperasi 24/7.31
Risiko legal lainnya terdapat dalam perlindungan konsumen terkait sulitnya
memproyeksikan nilai mata uang digital di masa depan. Umumnya nilai mata uang
digital didenominasikan dalam unit nilainya sendiri, tidak memiliki nilai intrinsik,
bergantung pada persepsi pengguna tentang nilai dan harga, tidak terikat pada mata
uang negara, dan bukan merupakan kewajiban siapapun.32 Dengan demikian, nilai
mata uang digital hanya berdasarkan ekspektasi pengguna bahwa mereka dapat
menukarnya dengan barang dan jasa atau mata uang negara lain di kemudian
hari. Hal ini tentunya sangat tidak stabil. Ekspektasi setiap orang berbeda-beda
dan dapat dengan mudah berubah dalam waktu singkat, menyebabkan volatilitas
dan risiko kerugian yang lebih besar daripada valuta asing pada umumnya. Tidak
seperti mata uang digital pada umumnya, CBDC secara resmi dikeluarkan oleh
bank sentral negara. Nilai CBDC terhadap mata uang lain akan lebih stabil karena
tidak bergantung pada persepsi atau ekspektasi pengguna, seperti layaknya mata
uang fisik. Faktor ekonomi yang dapat mempengaruhi adalah tingkat inflasi, tingkat
suku bunga, jumlah uang beredar, aliran modal yang masuk maupun keluar, posisi
neraca pembayaran internasional Indonesia serta kebijakan-kebijakan moneter
yang dijalankan pemerintah.33

31
Bank for International Settlements I, Op.cit, [14].
32
Bank for International Settlements, ‘Committee on Payments and Market Infrastructures:
Digital currencies’ (BIS Papers, 2015) (selanjutnya disingkat Bank for International Settlements II).[14].
33
Samsul Arifin & Shany Mayasya, ‘Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Nilai Tukar Rupiah
Terhadap Dolar Amerika Serikat’ (2018) 8 Jurnal Ekonomi-Qu.[83].
2262 Claudia Saymindo: Central Bank Digital...

Fungsi dan Wewenang Bank Sentral


Sesuai dengan UU BI, Bank Indonesia sebagai bank sentral bertujuan untuk
mencapai dan memelihara kestabilan rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut,
Bank Indonesia memiliki tugas dan fungsi untuk menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta
mengatur dan mengawasi Bank. Fungsi moneter dan sistem pembayaran inilah
yang akan berhubungan dengan implementasi CBDC. Pasal 10 UU BI menyebutkan
wewenang Bank Indonesia dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan
moneter sebagai berikut:
1. Menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memerhatikan sasaran lalu lintas
yang ditetapkannya;
2. Melaksanakan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-cara yang
termasuk, tetapi tidak terbatas pada:
a. Operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing;
b. Penetapan tingkat diskonto;
c. Penetapan cadangan wajib minimum;
d. Pengaturan kredit atau pembiayaan.
Wewenang Bank Indonesia untuk pemenuhan fungsi moneter tersebut
dituangkan dalam PBI Moneter. Bank Indonesia kemudian memiliki tugas dan
wewenang untuk melakukan pengawasan moneter dalam rangka memastikan
kepatuhan terhadap ketentuan di bidang moneter dan untuk mencegah dan
mengurangi risiko di bidang moneter. Pengawasan ini dilakukan secara tidak
langsung, seperti dengan mewajibkan penyediaan data, informasi, dan / atau
keterangan yang diperlukan dari pihak di bawah pengawasan, maupun dengan
pemeriksaan langsung.
Sedangkan dalam menjalankan fungsinya untuk mengatur dan menjaga kelancaran
sistem pembayaran, wewenang Bank Indonesia dalam pasal 15 UU BI adalah:
1. Melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa
sistem pembayaran;
2. Mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan
laporan kegiatannya;
Jurist-Diction Vol. 4 (6) 2021 2263

3. Menentukan dan menetapkan penggunaan alat pembayaran.


Wewenang Bank Indonesia untuk pemenuhan fungsi sistem pembayaran
tersebut kemudian diperjelas dalam PBI Sistem Pembayaran. Pasal 7 PBI Sistem
Pembayaran memperluas wewenang dalam pasal 15 UU BI menjadi:
1. Perumusan, penetapan, dan komunikasi kebijakan di bidang Sistem Pembayaran;
2. Penerbitan peraturan di bidang Sistem Pembayaran;
3. Penetapan akses ke penyelenggaraan Sistem Pembayaran;
4. Persetujuan dan pelaporan terhadap pengembangan aktivitas, pengembangan
produk, dan/atau kerja sama dalam penyelenggaraan Sistem Pembayaran;
5. Penyelenggaraan infrastruktur Sistem Pembayaran;
6. Pengawasan dan pengenaan sanksi;
7. Pengelolaan data dan/atau informasi terkait Sistem Pembayaran;
8. Kewenangan lain di bidang Sistem Pembayaran yang ditetapkan Bank
Indonesia.
Kewenangan Bank Indonesia lainnya terkait dengan sistem pembayaran
adalah menetapkan penggunaan alat pembayaran, agar alat pembayaran yang
digunakan dalam masyarakat memenuhi persyaratan keamanan bagi pengguna.
Termasuk dalam wewenang ini adalah membatasi menggunakan alat pembayaran
tertentu dalam rangka prinsip kehati-hatian.34

Koordinasi Cybersecurity pada Financial Stability di Indonesia


Cybersecurity adalah salah satu risiko besar yang dihadapi seiring dengan
perkembangan fintech. Bank sentral bertanggung jawab untuk menetapkan
kerangka ketahanan siber dan memastikan bahwa cybersecurity dikelola secara
efektif dengan menetapkan tingkat toleransi terhadap risiko siber. Peraturan
terkait cybersecurity di Indonesia yang masih berlaku adalah UU Nomor 11 Tahun
2008 jo. UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(selanjutnya disebut sebagai UU ITE). UU ITE memberikan perlindungan hukum
untuk konten sistem elektronik dan transaksi elektronik. Akan tetapi, UU ini
tidak mencakup aspek penting keamanan siber, seperti infrastruktur informasi

Nanda Patimbano, ‘Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral di Indonesia Menurut
34

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009’ (2016) IV
Lex Administratum.[78].
2264 Claudia Saymindo: Central Bank Digital...

dan jaringan, dan sumber daya manusia dengan keahlian di bidang keamanan
siber.35 Sebagai salah satu bentuk komitmen Indonesia terhadap keamanan siber,
adanya rencana penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) Keamanan dan
Ketahanan Siber (KKS) dimaksudkan untuk melengkapi kekurangan dalam
UU ITE. Mengingat ancaman siber nyata terjadi dalam perspektif keamanan
nasional yang modern, dimana negara harus berupaya mewujudkan keamanan
tersebut mulai dari tahap pencegahan sampai pada tahap pemulihan termasuk
dalam konteks keamanan siber sebagai sub-sistem dari keamanan nasional, RUU
KKS memiliki peran yang penting. Dalam kenyataannya, masih terdapat banyak
tantangan yang belum dapat diatasi dengan peraturan perundang-undangan yang
ada, misalnya belum terdapat keseragaman tata kelola keamanan siber, belum
berfungsinya pelayanan keamanan siber yang efektif, dan belum optimalnya
pemanfaatan keahlian keamanan siber dalam proses penegakan hukum. Untuk itu,
dalam mewujudkan penyelenggaraan keamanan siber nasional yang efektif yang
dapat mengatasi berbagai tantangan serta untuk menjamin bahwa penyelenggaraan
keamanan siber tersebut sesuai dengan kepentingan perlindungan hak asasi
manusia, maka kehadiran Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber
menjadi sangat penting.
Dikaitkan dengan status Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang
independen berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU BI sebagaimana telah diubah beberapa
kali (terakhir dengan UU No. 6 Tahun 2009), maka penyelenggaraan keamanan dan
ketahanan siber dalam lingkup internal Bank Indonesia masuk dalam ruang lingkup
pengaturan penyelenggaraan keamanan dan ketahanan siber menurut RUU KSS.
Merujuk pada definisi siber dalam RUU KSS, terdapat sarana interaksi
antara manusia dengan teknologi informasi, komputerisasi, jaringan computer,
kriptografi, dan / atau kecerdasan buatan (AI) yang digunakan oleh Bank Indonesia
dalam konteks pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia sebagaimana
diamanatkan oleh UU BI. Dari sisi pelaksanaan tugas pokok, Bank Indonesia

Noor Halimah Anjani, ‘Ringkasan Kebijakan No. 9: Perlindungan Keamanan Siber di


35

Indonesia’ Center for Indonesian Policy Studies (2021).


Jurist-Diction Vol. 4 (6) 2021 2265

memiliki sarana siber yang merupakan bagian dari Financial Market Infrastructure
(FMI) di Indonesia. Desain FMI tersusun dari beberapa fungsi FMI, antara lain
payment system (PS), central securities depositories (CSD), securities settlement
system (SSS), central counterparties (CCP), dan trade repositories (TR), masing-
masing fungsi FMI tersebut memiliki hubungan satu dengan yang lain.36
Di dalam proses dan prosedur pelaksanaan perbankan di Bank Indonesia,
fungsi-fungsi tersebut dilaksanakan melalui beberapa system meliputi: fungsi PS
melalui Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) dan Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia (SKNBI); fungsi SSS dan CSD melalui Bank Indonesia
Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS), dan fungsi trading system melalui
Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (BI-ETP). Fungsi-fungsi ini berkaitan
satu dengan lainnya termasuk fungsi FMI yang berada diluar Bank Indonesia yang
dioperasikan oleh pihak lain yang memiliki kewenangan dalam mengoperasikan
FMI, seperti fungsi CCP oleh Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) dan fungsi
SSS dan CSD oleh custodian Sentral Efek Indonesia (KSEI).
Dalam menyelenggarakan sistem keamanan siber tentu perlu adanya
kerjasama dan koordinasi dari segenap pihak untuk memastikan sistem kontrol
cyber risk management dapat berjalan secara optimal. Sehingga dalam hal ini,
pemerintah dapat segera mengambil keputusan yang cepat dan tepat atas adanya
laporan serangan siber yang terjadi.
Manajemen risiko pada dasarnya merupakan elemen fundamental dari
sebuah strategi. Dengan melakukan manajemen risiko, pemerintah dapat membuat
perhitungan anggaran biaya yang diperlukan dalam penanggulangan serangan siber,
sebab biaya yang harus dikeluarkan dalam melakukan pengamanan kerahasiaan
informasi dan data sebuah negara tidaklah sedikit. Dengan demikian, manajemen
risiko yang dibuat dapat membuat sebuah strategi yang lebih terjangkau dalam
menghadapi berbagai ancaman siber.

36
Bank Indonesia, ‘Infrastruktur Pasar Keuangan’ (Bank Indonesia, 2021) <https://www.
bi.go.id/id/fungsi-utama/sistem-pembayaran/Infrastruktur-Pasar-Keuangan/Default.aspx>,
dikunjungi pada 24-06-2021.
2266 Claudia Saymindo: Central Bank Digital...

Pada dasarnya, terdapat beberapa aspek terkait keamanan informasi yang


harus diperhatikan dalam menyusun kebijakan dan kerangka hukum cybersecurity.
BSSN dalam buku Panduan Pengaturan Cybersecurity di Indonesia menyatakan
adanya 5 (lima) aspek keamanan informasi yang harus diperhatikan, antara lain
yaitu Confidentiality, Integrity, Availability, Authentication, dan Non Repudiation37
Confidentiality adalah bahwa informasi tidak tersedia atau diungkapkan kepada
individu, entitas, atau proses yang tidak sah.38 Artinya, bahwa sistem informasi
dalam hal ini harus menjamin dan memastikan bahwa informasi hanya dapat
diakses dan digunakan oleh orang yang mempunyai wewenang sekaligus menjamin
bahwa informasi yang dikirim, diterima, dan disimpan benar-benar terjamin
kerahasiannya. Informasi rahasia yang terakses terhadap pihak-pihak yang
tidak berwenang tentu memiliki konsekuensi yang sangat serius terhadap sistem
keamanan nasional. Integrity adalah tindakan menjaga keakuratan dan kelengkapan
asset. Secara lebih luas, prinsip integrity berarti bahwa informasi yang diterima
tidak diubah, dimanipulasi, dimodifikasi maupun dihilangkan tanpa izin dari pihak
berwenang, serta menjaga keakuratan dan kesempurnaan informasi dan prosesnya.
Adapun Availibility berarti bahwa informasi akan tersedia ketika dibutuhkan,
serta memastikan pihak yang berwenang dapat menggunakan informasi yang
dibutuhkan tanpa ada gangguan atau interupsi terhadap sistem dan jaringan.
Authentication berarti bahwa sistem dapat membuktikan bahwa pengguna memiliki
hak klaim terhadap informasi yang diakses. Adapun Non repudiation berarti bahwa
prinsip yang memastikan suatu aksi atau transaksi menjadi tidak dapat dibantah.
Secara lebih rinci, ruang lingkup prinsip non repudiation adalah meliputi; 1) non
repudiation pada tanda terima, artinya bahwa melalui mekanisme ini pengirim
dapat membuktikan bahwa pesan telah dikirimkan kepada orang yang tepat. Hal
tersebut dimaksudkan untuk menghindari adanya situasi dimana pihak pengirim
telah mengirimkan pesan atau informasi namun tidak dapat membuktikan bahwa

BSSN, Pengaturan Cybersecurity di Indonesia (2020).


37
38
Badan Standarisasi Nasional, ISO IEC 27001 Teknologi Informasi-Teknik Keamanan-
Sistem Manajemen Keamanan Informasi (2009).
Jurist-Diction Vol. 4 (6) 2021 2267

pihak penerima telah mendapatkannya. 2) non repudiation bagi pengirim, bahwa


melalui mekanisme tersebut diharapkan dapat membuktikan bahwa suatu pesan
datang dari orang yang tepat. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari situasi
dimana pesan yang diterima kemudian dibantah oleh pengirim. 3) non repudiation
terhadap waktu, yaitu prinsip yang mendefinisikan waktu ketika suatu pesan atau
informasi dikirimkan.
Sebagai konsekuensi dianutnya negara hukum oleh Indonesia, maka segala
kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara haruslah didasarkan pada
hukum. Selain itu, dalam rangka menjalankan tata kelola pemerintahan yang baik
(good governance), maka diperlukan adanya kebijakan sebagai landasan hukum.
Kebijakan tersebut juga diperlukan dalam rangka menjaga arah dari kegiatan-
kegiatan pengembangan pembangunan dan penerapan pertahanan cyber agar selalu
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kebijakan yang dimaksud dalam
hal ini yang dimaksud adalah sebagai acuan bagi seluruh kegiatan pertahanan
dan cybersecurity yang diwujudkan baik dalam bentuk peraturan, pedoman,
petunjuk teknis, dan bentuk kebijakan-kebijakan lainnya yang meliputi aspek
pengembangan kelembagaan, persiapan, infrastruktur dan teknologi, persiapan
SDM, hingga pengaturan mengenai fungsi, peran, dan wewenang dalam kerangka
pertahanan cyber (cyberresilience). Pada tingkatan operasional, kebijakan
berbentuk pedoman, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis yang dijadikan acuan
utama dalam cybersecurity.
Bidang keamanan siber merupakan salah satu bidang pemerintahan yang
perlu didorong dan diperkuat sebagai upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi
nasional dan mewujudkan keamanan nasional. Berdasarkan Pasal 2 Peraturan
Presiden Nomor 53 Tahun 2017 tentang Badan Siber dan Sandi Negara, diatur
bahwa BSSN mempunyai tugas melaksanakan keamanan siber secara efektif dan
efisien dengan memanfaatkan, mengembangkan, dan mengonsolidasikan semua
unsur yang terkait dengan keamanan siber, selaras dengan hal tersebut dalam hal
penguatan ekonomi nasional, maka koordinasi di sektor jasa keuangan yang harus
diintegrasikan dengan peran Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.
2268 Claudia Saymindo: Central Bank Digital...

Hal tersebut karena adanya kekhususan pada sektor jasa keuangan yang memiliki
karakteristik tersendiri dengan tingkat rentabilitas yang tinggi. Rentabilitas yang tinggi
pada sektor jasa keuangan tersebut menjadi unsur yang penting untuk menerapkan
urgensi pengaturan dan tingkat koordinasi oleh BSSN, yang dalam hal ini pelaksanaan
supervisi secara koordinatif harus dilaksanakan secara lex spesialis kepada bank sentral,
sebagai amanat Pasal 8 UU BI, bahwa Bank Indonesia memiliki tugas untuk menetapkan
dan melaksanakan kebijakan moneter, dan bahwa dalam rangka menetapkan kebijakan
moneter tersebut BI akan melakukan pengawasan bersama dengan OJK untuk melakukan
fungsi supervisi di bidang moneter. Hal ini diperlukan guna mendukung terwujudnya
perekonomian nasional sejalan dengan tantangan perkembangan dan pembangunan
ekonomi yang semakin kompleks, sistem keuangan yang semakin maju serta
perekonomian internasional yang semakin kompetitif dan terintegrasi, kebijakan moneter
harus dititikberatkan pada upaya untuk memelihara stabilitas nilai rupiah dan bahwa untuk
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter yang efektif dan efisien diperlukan
sistem keuangan yang sehat, transparan, terpercaya, dan dapat dipertanggungjawabkan
yang didukung oleh sistem pembayaran yang lancar, cepat, tepat, dan aman, serta
pengaturan dan pengawasan bank yang memenuhi prinsip kehati-hatian.
Bank Indonesia sebagai bank sentral yang bertugas untuk menetapkan
dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran, dan melakukan pengawasan secara makro terhadap sektor jasa
keuangan, maka BI melakukan pengaturan-pengaturan terkait penggunaan teknologi
dalam kegiatan sektor jasa keuangan, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang  Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik;
2. Undang‐Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Perubahan Kedua atas
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Undang‐Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;
3. Undang‐Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang‐Undang Nomor 6 Tahun 2009;
4. Undang‐Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang‐ Undang Nomor 10 Tahun 1998;
5. Undang‐Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem
dan Transaksi Elektronik;
Jurist-Diction Vol. 4 (6) 2021 2269

7. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 Perubahan atas Peraturan


Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan
Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu;
8. Peraturan Bank Indonesia No. 9/15/PBI/2007 Penerapan Manajemen Risiko
Dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum dan Lampiran;
9. Peraturan Bank Indonesia No.11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik
(Electronic Money);
10. Surat Edaran Bank Indonesia No.16/11/DKSP tanggal 22 Juli 2014 perihal
Penyelenggaraan Uang Elektronik (Electronic Money);
11. Surat Edaran Bank Indonesia No.15/13/DASP tanggal 12 April 2013 perihal
Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan
Kartu dan Uang Elektronik (Electronic Money) oleh Bank Perkreditan Rakyat
dan Lembaga Selain Bank;
12. Peraturan Bank Indonesia No.19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan
Teknologi Finansial; dan
13. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik.
Ketentuan-ketentuan tersebut apabila dikaitkan dengan kewenangan
Bank Indonesia dalam sistem pembayaran mengenai ketahanan sibernya maka
kedepannya perlu dilakukan pengaturan yang lebih komprehensif, bukan hanya
pengaturan intern terkait Bank Indonesia sebagai penyelenggara, namun perlu
diberikan kewenangan lebih luar Bank Indonesia sebagai regulator, agar fungsi
bank sentral sebagai pengawas moneter dapat lebih tercapai. Namun, yang perlu
diperhatikan, dalam hal ini yaitu apabila Bank Indonesia mengatur dirinya sendiri
sebagai penyelenggara, maka harus ada pihak ketiga yang berperan sebagai
pengawas. Di sinilah fungsi koordinatif BSSN akan menjadi substansial. Fungsi
koordinatif tersebut akan menjadi perwujudan fungsi good governance antara
instansi pengawasan cybersecurity di sistem keuangan.
Untuk memastikan ketahanan, bank sentral dapat berkoordinasi dengan
pihak ketiga yang ahli dalam bidangnya. Pihak ketiga tersebut harus secara teratur
berkoordinasi dengan bank sentral dan menginformasikan riwayat risiko siber
untuk memastikan bahwa tingkat risiko tersebut tetap konsisten dengan toleransi
yang telah ditetapkan. Sebagai bagian dari tanggung jawab ini, bank sentral juga
harus mempertimbangkan bagaimana perubahan pada layanan, kebijakan, praktik,
dan lanskap ancaman dapat memengaruhi riwayat risiko sibernya. Implementasi
kerangka ketahanan, kebijakan, prosedur, dan kontrol yang mendukung harus
2270 Claudia Saymindo: Central Bank Digital...

diawasi dengan ketat.39


Penggunaan digital banking yang sekarang telah diimplementasikan di
berbagai negara sebenarnya sudah memiliki berbagai langkah keamanan bagi
pengguna. Bank di Arab Saudi menyediakan 2-Factor Authentication (2FA)
dimana setelah pengguna berhasil login, one-time password (OTP) akan dikirim
ke nomor ponsel yang sudah terdaftar dan harus dimasukkan sebelum pengguna
diarahkan ke laman digital banking.40 Di Indonesia, berbagai bank juga telah
mengimplementasikan 2FA untuk bertransaksi menggunakan digital banking
yang mereka sediakan. Sebagai contoh, Bank Mandiri menggunakan 2FA dengan
username dan password, beserta MPIN untuk bertransaksi. Transaksi melalui laman
internet juga menggunakan otentikasi transaksi melalui fiture mobile app approval,
yaitu approval transaksi melalui aplikasi pada ponsel.41

Kewajiban Bank Sentral dalam Risiko Penerbitan CBDC


Sebagai bank sentral, Bank Indonesia adalah satu-satunya pihak yang berhak
untuk menentukan dan menetapkan alat pembayaran sah di Indonesia. Berdasarkan
UU Mata Uang, proses pengelolaan Rupiah meliputi tahapan sebagai berikut:
a. Perencanaan;
b. Pencetakan;
c. Pengeluaran;
d. Pengedaran;
e. Pencabutan dan Penarikan; dan
f. Pemusnahan.
Pasal 11 ayat (3) secara eksplisit menyatakan bahwa Bank Indonesia merupakan
satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan Pengeluaran, Pengedaran, dan/
atau Pencabutan dan Penarikan Rupiah. Mengingat CBDC yang belum memiliki

39
Bank for International Settlements, ‘Guidance on cyber resilience for financial market
infrastructures’ (BIS Papers, 2016) (selanjutnya disingkat Bank for International Settlements III).
[10].
40
Zafar Kazmi, Jaafar Alghazo, dan Ghazanfar Latif, ‘Cyber Security Analysis of Internet
Banking in Emerging Countries: User and Bank Perspectives’ 4th IEEE International Conference on
Engineering Technologies and Applied Sciences (ICETAS) (2017).[6].
41
Bank Mandiri, ‘Livin’ by Mandiri – Cara Daftar & Aktivasi’ (Mandiri, 2021) <bankmandiri.
co.id>, dikunjungi pada 20-06-2021.
Jurist-Diction Vol. 4 (6) 2021 2271

regulasi sendiri, jika mengacu pada karakteristik CBDC yang merupakan mata
uang, maka pada dasarnya segala wewenang Bank Indonesia atas Rupiah berlaku
pula pada CBDC karena pada dasarnya fungsi CBDC adalah sebagai mata uang
layaknya Rupiah. Dengan demikian, segala risiko terkait penerbitan CBDC akan
menjadi tanggung jawab dari Bank Indonesia, berbeda dengan cryptocurrency yang
tidak memiliki pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Ini menjadi salah
satu poin positif dalam penerbitan CBDC.
Dalam tahap perencanaan, bank sentral perlu melakukan analisis manajemen
risiko yang terintegrasi untuk menilai potensi risiko sebagai pertimbangan sebelum
menerbitkan CBDC. Cybersecurity yang menjadi risiko operasional, risiko strategi
dan kebijakan, risiko hukum, dan berbagai risiko lainnya menjadi tanggung jawab
bank sentral sepenuhnya. Perluasan mandat bank sentral juga dapat melibatkan risiko
terkait dengan kebijakan di bidang lain, terutama stabilitas keuangan (pengawasan
makroprudensial, pengawasan mikroprudensial, ELA/LOLR, dan resolusi). Ini
juga dapat mencakup masalah yang berkaitan dengan integritas keuangan, inklusi
keuangan, perlindungan konsumen, dan kemungkinan tujuan lain dari bank sentral.42
Maka dari itu bank sentral harus menerapkan transparansi atas segala kebijakan dan
tindakan yang dilaksanakan. Transparansi bank sentral dalam pengembangan CBDC
akan memungkinkan akuntabilitas kepada pihak-pihak yang berkepentingan, baik dari
pemerintah maupun masyarakat, serta mengklarifikasi mandat dan kerangka hukum
bank sentral. Sesuai dengan UU BI, prinsip akuntabilitas dari pelaksanaan tugas
dan wewenang Bank Indonesia diterapkan dengan cara menyampaikan informasi
langsung kepada masyarakat luas secara terbuka melalui media massa, pada setiap
awal tahun, mengenai evaluasi kebijakan moneter dan penerapan sasaran-sasaran
moneter untuk tahun yang akan datang. Bank Indonesia juga diwajibkan untuk
menyampaikan perkembangan pelaksanaan tugas dan wewenangnya kepada DPR
setiap triwulan atau sewaktu-waktu bila diminta oleh DPR.43

42
John Kiff, et.al., Op.Cit.[40].
43
Perry Warjiyo & Solikin M. Juhro, ‘Kebijakan Bank Sentral – Teori dan Praktik’ (Rajawali
Pers 2016).[483].
2272 Claudia Saymindo: Central Bank Digital...

Dalam operasionalnya, pengguna CBDC dapat terkena risiko tambahan dari


pihak ketiga yang berpartisipasi. Pihak ketiga dapat menyimpan informasi terkait
akun pengguna dan mengambil CBDC pengguna untuk digabungkan dengan aset
mereka sendiri. Regulasi yang sudah ada, seperti PBI Uang Elektronik, telah mengatur
terkait penanganan risiko serupa dengan mewajibkan service provider di bidang uang
elektronik untuk memiliki kebijakan dan prosedur berbagai aspek seperti penerapan
manajemen risiko, anti pencucian uang, perlindungan konsumen, dan keamanan
sistem informasi. Jika risiko yang timbul dari pihak ketiga tersebut belum sepenuhnya
teratasi dengan regulasi yang sudah ada, penggunaan CBDC bisa saja hanya terbatas
pada kepemilikan dan transaksi dengan jumlah kecil untuk menghindari risiko gagal
bayar pihak ketiga. Maka demikian bank sentral memiliki tanggung jawab untuk
memastikan risiko ini terminimalisir sepenuhnya baik dengan mengeluarkan regulasi
baru yang memadai maupun dengan menerapkan prinsip kehati-hatian.

Kesimpulan
Ada 3 (tiga) prinsip yang mendasari karakteristik CBDC, yaitu do no harm
(mendukung pemenuhan tujuan publik dan tidak menghalangi tugas bank sentral
untuk menjaga stabilitas moneter), coexistence (saling melengkapi dan berdampingan
dengan jenis uang lainnya), dan innovation and efficiency (mendorong efisiensi sistem
pembayaran dengan inovasi dan saingan). Karakteristik CBDC sendiri adalah:
1. Diterbitkan bank sentral dalam bentuk digital dengan mempertimbangkan
desain instrumen, ledger, dan insentif;
2. Dapat dimiliki oleh semua orang;
3. Memiliki tingkat konversi yang sama dengan uang kertas;
4. Dapat digunakan sebagai alat pembayaran dalam pembayaran retail; dan
5. Tidak ada pihak ketiga yang memverifikasi atau melaksanakan pembayaran.
Sebagai bank sentral, Bank Indonesia bertanggung jawab atas segala risiko
dalam penerbitan CBDC karena CBDC adalah mata uang yang diterbitkan dan
diregulasikan oleh bank sentral. Maka dari itu Bank Indonesia perlu melakukan
analisis manajemen risiko sebelum penerbitan dan menerapkan transparansi atas
segala kebijakan dan tindakan yang dilaksanakan. Bank sentral juga bertanggung
jawab untuk menetapkan kerangka ketahanan siber dan memastikan bahwa
Jurist-Diction Vol. 4 (6) 2021 2273

cybersecurity dikelola secara efektif. Salah satu upaya Indonesia dalam meningkatkan
cybersecurity adalah rencana penyusunan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber.
Dikaitkan dengan status lembaga negara independen Bank Indonesia sesuai UU BI,
penyelenggaraan keamanan dan ketahanan siber internal Bank Indonesia termasuk
ruang lingkup pengaturan penyelenggaraan keamanan dan ketahanan siber menurut
RUU KSS. Kedepannya perlu dilakukan pengaturan yang lebih komprehensif
terkait Bank Indonesia sebagai regulator agar fungsi bank sentral sebagai pengawas
moneter dapat lebih tercapai. Jika Bank Indonesia mengatur diri sendiri sebagai
penyelenggara, maka harus ada pihak ketiga sebagai pengawas. Fungsi koordinatif
BSSN menjadi substansial sebagai perwujudan fungsi good governance antara
instansi pengawasan cybersecurity di sistem keuangan.

Daftar Bacaan
Buku
Ahmad Hasan, Mata Uang Islami (PT. Raja Grafindo Persada 2005).

Perry Warjiyo & Solikin M. Juhro, Kebijakan Bank Sentral – Teori dan Praktik
(Rajawali Pers 2016).

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Kencana Prenada Media 2011).

Jurnal
Aleksi Grym, et.al., ‘Central Bank Digital Currency’ (2017) BoF Economics
Review.

Bastian Muzbar Zams, et.al., ‘Designing Central Bank Digital Currency For
Indonesia: The Delphy-Analutic Network Process’ (2020) 23 Bulletin of
Monetary Economics and Banking 3.
Christian Barontini & Henry Holden, ‘Proceeding with caution – a survey on central
bank digital currency’ (2019) 101 BIS Papers.

John Kiff, et.al., ‘A Survey of Research on Retail Central Bank Digital Currency’
(2020) 104 IMF Working Paper 20.

Muhammad Edhie Purnawan & Retno Ritanti, ‘A Significant Effect of the Central
Bank Digital Currency on the Design of Monetary Policy’ (2019) 8 Jurnal
Ekonomi Indonesia 1.
2274 Claudia Saymindo: Central Bank Digital...

Muhammad Sofyan Abidin, ‘Dampak Kebijakan E-Money di Indonesia Sebagai


Alat Sistem Pembayaran Baru’ (2015) 3 Jurnal Akuntansi AKUNESA 2.

Nanda Patimbano, ‘Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral di Indonesia


Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2009’ (2016) IV Lex Administratum 4.

Samsul Arifin & Shany Mayasya, ‘Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nilai Tukar
Rupiah Terhadap Dolar Amerika Serikat’ (2018) 8 Jurnal Ekonomi-Qu 1.

Laman
Andrea Lidwina, ‘Nilai Transaksi Uang Elektronik Naik 30% pada Awal 2021’,
(Katadata, 2021) <https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/03/04/
nilai-transaksi-uang-elektronik-naik-30-pada-awal-2021>, dikunjungi pada
tanggal 26 Juli 2021.

Bank Indonesia, ‘Infrastruktur Pasar Keuangan’, (Bank Indonesia, 2021) <https://


www.bi.go.id/id/fungsi-utama/sistem-pembayaran/Infrastruktur-Pasar-
Keuangan/Default.aspx>, dikunjungi pada tanggal 24 Juni 2021.

Bank Indonesia, ‘Rupiah Digital / Central Bank Digital Currency (CBDC)’, (Bank
Indonesia, 2021) <https://bicara.bi.go.id/knowledgebase/article/KA-01038>,
dikunjungi pada tanggal 29 April 2021.

Bank Indonesia, ‘Sistem Pembayaran & Pengelolaan Uang Rupiah’, (Bank


Indonesia, 2021) https://www.bi.go.id/id/fungsi-utama/sistem-pembayaran/
default.aspx , dikunjungi pada tanggal 26 Maret 2021.

Bill Nelson, ‘The Benefits and Costs of a Central Bank Digital Currency for Monetary
Policy’, (BPI, 2021) <https://bpi.com/the-benefits-and-costs-of-a-central-bank-
digital-currency-for-monetary-policy/>, dikunjungi pada tanggal 28 Juni 2021.

Difi Dahliana, ‘Sejarah Uang’, (UIN Antasari, 2021) https://doi.org/10.17605/OSF.


IO/WS8JE, dikunjungi pada tanggal 30 Mei 2021.

Giri Hartono, ‘BI Catat Penggunaan Uang Elektronik Tumbuh 172,85%’, (Okezone,
2020) <https://economy.okezone.com/read/2020/02/20/320/2171484/bi-
catat-penggunaan-uang-elektronik-tumbuh-172-85>, dikunjungi pada
tanggal 26 Maret 2021.

Herlina Kartika Dewi, ‘Rumuskan uang digital, BI akan bikin Central Bank Digital
Currency (CBDC)’, (Kontan Nasional, 2021) <https://nasional.kontan.co.id/
news/rumuskan-uang-digital-bi-akan-bikin-central-bank-digital-currency-
cbdc.>, dikunjungi pada tanggal 28 Maret 2021.
Jurist-Diction Vol. 4 (6) 2021 2275

Jonas Gross, ‘CBDC pioneers: Which countries are currently testing a retail central
bank digital currency?’, (University of Bayreuth, 2020) <https://jonasgross.
medium.com/cbdc-pioneers-which-countries-are-currently-testing-a-retail-
central-bank-digital-currency-49333be477f4#:~:text=Our%20analysis%20
shows%20that%20China,pioneers%20in%20the%20CBDC%20space.>,
dikunjungi pada tanggal 28 Maret 2021.

Artikel
Badan Standarisasi Nasional, ISO IEC 27001 Teknologi Informasi – Teknik
Keamanan – Sistem Manajemen Keamanan Informasi, 2009.

Bank for International Settlements, ‘Central bank digital currencies: foundational


principles and core features’, 2020.

Bank for International Settlements, ‘Committee on Payments and Market


Infrastructures: Digital currencies’, 2015.

Bank for International Settlements, ‘Guidance on cyber resilience for financial


market infrastructures’, 2016.

BSSN, Pengaturan Cybersecurity di Indonesia, 2020.

Agustin Carstens, ‘Digital currencies and the future of the monetary system’,
Hoover Institution policy seminar, 2021.

David Lee Kuo Chuen & Linda Low, ‘Inclusive Fintech: Blockchain, Cryptocurrency,
and ICO’, World Scientific Publishing, Singapura, 2018.

Mohammad Davoodalhosseini, et.al., CBDC and Monetary Policy, Bank of Canada


Staff Analytical Note, Canada, 2020.

IBM & OMFIF, ‘Central bank digital currencies – A collaboration between OMFIF
and IBM Blockchain World Wire’, United Kingdom, 2018.

Zafar Kazmi, Jaafar Alghazo, & Ghazanfar Latif, ‘Cyber Security Analysis of
Internet Banking in Emerging Countries: User and Bank Perspectives’, 2017
4th IEEE International Conference on Engineering Technologies and Applied
Sciences (ICETAS), 2017.

Antony Lewis, ‘The Basics of Bitcoins and Blockchains: An Introduction to


Cryptocurrencies and the Technology that Powers Them’, Mango Publishing,
Florida, 2018.
2276 Claudia Saymindo: Central Bank Digital...

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472 dan 3790)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara


Republik Indonesia Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843)

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana (Lembaran Negara


Republik Indonesia Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5204)

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara


Republik Indonesia Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5223)

Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/8/PBI/2015 tentang Pengaturan dan


Pengawasan Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 121,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5703)

Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40//PBI/2016 tentang Penyelenggaraan


Pemrosesan Transaksi Pembayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 236, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5845)

Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan


Teknologi Finansial (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 245,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6142)

Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik


(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 70, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6203)

Peraturan Bank Indonesia Nomor 22/23/PBI/2020 tentang Sistem Pembayaran


(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 311, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6610)

Anda mungkin juga menyukai