Jurist-Diction
Volume 4 No. 6, November 2021
Abstrak
Perkembangan teknologi mendorong inovasi dalam berbagai sektor,
termasuk perbankan. Maraknya penggunaan digital currency menjadi
dorongan bagi bank sentral untuk menciptakan mata uang digital yang
dapat menggantikan digital currency tanpa pihak berwenang. Central
Bank Digital Currency (CBDC) menjadi alternatif yang dipilih oleh
berbagai bank sentral di dunia, dan berbagai negara telah melakukan
riset terkait penerapan CBDC dari sisi desain dan risiko di bidang
finansial, operasional, dan legal. Bank Indonesia berencana untuk
mengembangkan CBDC di Indonesia sebagai bagian dari digitalisasi
ekonomi dan keuangan nasional. Indonesia belum memiliki kerangka
hukum yang kuat untuk mendasari penerapan CBDC, terutama dalam
bidang keamanan siber, mengingat banyaknya ancaman keamanan siber
canggih yang terus berkembang. Peran bank sentral menjadi sangat
penting dalam penerbitan dan penerapannya sebagai satu-satunya pihak
yang berhak menentukan, menetapkan, menerbitkan, dan meregulasi
alat pembayaran sah di Indonesia.
Kata Kunci: Central Bank Digital Currency; Uang Digital; Bank
Sentral; Cybersecurity.
Copyright © 2021 Claudia Saymindo Emanuella
Pendahuluan
Sistem Pembayaran adalah sistem yang mencakup seperangkat aturan,
lembaga, dan mekanisme yang dipakai untuk melaksanakan pemindahan dana,
guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi.1 Seiring
dengan berjalannya waktu, teknologi yang terus berkembang memberi dampak
yang signifikan dalam kehidupan masyarakat, termasuk dalam pelaksanaan sistem
pembayaran. Munculnya teknologi finansial (financial technology / fintech)
menjadi salah satu faktor terbesar dalam pelaksanaan sistem tersebut. Makin
banyak masyarakat yang lebih memilih untuk bertransaksi menggunakan uang
elektronik dibandingkan uang kartal sebagai alat untuk transaksi pembayaran. Hal
ini dibuktikan dengan pertumbuhan transaksi uang elektronik terus meningkat,
sebagaimana pada Januari 2020 tercatat sebesar 172,85% (year on year/yoy).2
Perkembangan teknologi finansial memudahkan masyarakat dalam melakukan
transaksi, baik untuk kepentingan jual beli, transfer dana, atau membayar tagihan.
Mulai dari penggunaan kartu debet atau kredit yang digesekkan ke mesin EDC
(Electronic Data Capture) hingga penggunaan e-wallet seperti Go-Pay, OVO,
Dana, dan ShopeePay, menjadi pilihan alternatif untuk bertransaksi finansial tanpa
perlu membawa sejumlah besar nominal uang tunai saat berpergian. Terlebih
semenjak adanya pandemi Covid-19 yang mengharuskan limitasi kontak. Bank
Indonesia mencatat nilai transaksi uang elektronik mencapai Rp 20,7 triliun pada
Januari 2021. Jumlah tersebut meningkat 30,7% dibandingkan periode yang sama
pada tahun sebelumnya sebesar Rp 15,9 triliun.3
Salah satu inovasi dalam teknologi finansial adalah munculnya mata uang
digital atau virtual currency / cryptocurrency. Cryptocurrency adalah mata uang
1
Bank Indonesia, ‘Sistem Pembayaran & Pengelolaan Uang Rupiah’ (Bank Indonesia, 2021)
https://www.bi.go.id/id/fungsi-utama/sistem-pembayaran/default.aspx, dikunjungi pada 26-03-
2021.
2
Giri Hartono, ‘BI Catat Penggunaan Uang Elektronik Tumbuh 172,85%’ (Okezone,
2020) <https://economy.okezone.com/read/2020/02/20/320/2171484/bi-catat-penggunaan-uang-
elektronik-tumbuh-172-85>, dikunjungi pada 26-03-2021.
3
Andrea Lidwina, ‘Nilai Transaksi Uang Elektronik Naik 30% pada Awal 2021’ (Katadata,
2021) <https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/03/04/nilai-transaksi-uang-elektronik-
naik-30-pada-awal-2021> dikunjungi pada 26-07-2021.
Jurist-Diction Vol. 4 (6) 2021 2245
4
David Lee Kuo Chuen & Linda Low, ‘Inclusive Fintech: Blockchain, Cryptocurrency, and
ICO’ World Scientific Publishing (2018).[35].
5
Antony Lewis, ‘The Basics of Bitcoins and Blockchains: An Introduction to Cryptocurren-
cies and the Technology that Powers Them’ Mango Publishing (2018).
2246 Claudia Saymindo: Central Bank Digital...
6
Muhammad Edhie Purnawan & Retno Riyanti, ‘Significant Effect of the Central Bank
Digital Currency on the Design of Monetary Policy’ (2019) 8 Jurnal Ekonomi Indonesia.[129].
Jurist-Diction Vol. 4 (6) 2021 2247
7
Aleksi Grym, et.al., ‘Central Bank Digital Currency’ (2017) BoF Economics Review.[2].
2248 Claudia Saymindo: Central Bank Digital...
Sejak April 2020, negara Cina telah melakukan percobaan atas CBDC
mereka yang disebut Digital Currency / Electronic Payment (DC/EP). Penggunaan
uang kartal di Cina semakin berkurang dari tahun ke tahun, dimana pada tahun
2016 hanya 40% dari seluruh transaksi dilakukan dengan uang kartal.8 Hal ini
mendorong pemerintah Cina untuk menciptakan alternatif pembayaran sebagai
pengganti uang kartal, yaitu dengan mengeluarkan DC/EP.9 Selain Cina, Swedia
juga mengalami berkurangnya penggunaan uang kartal dan memprediksi akan
menjadi negara cashless pada tahun 2023. Mereka melakukan uji coba CBDC yang
dinamai e-krona sebagai pengganti uang kartal sejak 2020 sampai Februari 2021
yang lalu dan kini sedang mencoba untuk memutuskan apakah e-krona akan terus
dikeluarkan.10 Beberapa negara lain juga sudah atau sedang melangsungkan uji
coba atas penggunaan CBDC, seperti Perancis, Filipina, Jepang, Turki, dan Swiss.
Sampai saat ini masih belum ada negara yang benar-benar menerapkan CBDC dan
masih meneliti dampak positif dan negatifnya, tetapi seiring dengan berjalannya
waktu semakin banyak negara yang tertarik untuk menerapkannya.
Saat ini Bank Indonesia sedang merumuskan pembentukan CBDC untuk
membendung maraknya penggunaan virtual currency. Bank Indonesia melakukan
kajian untuk melihat potensi dan manfaat CBDC, yang nantinya akan menentukan
perbedaan desain dan arsitektur CBDC yang akan dipilih serta mitigasi risikonya.11
Sejauh ini Bank Indonesia baru mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/6/PBI/2018 yang meregulasi Uang Elektronik. Berbeda dengan CBDC yang
berfungsi sebagai mata uang tersendiri, uang elektronik diterbitkan berdasarkan
nilai uang yang disetor terlebih dahulu dan disimpan secara elektronik. Dengan kata
8
Jonas Gross, ‘CBDC pioneers: Which countries are currently testing a retail central
bank digital currency?’ (University of Bayreuth, 2020) <https://jonasgross.medium.com/cbdc-pi-
oneers-which-countries-are-currently-testing-a-retail-central-bank-digital-currency-49333be-
477f4#:~:text=Our%20analysis%20shows%20that%20China,pioneers%20in%20the%20
CBDC%20space>, dikunjungi pada 28-03-2021.
9
ibid.
10
ibid.
11
Herlina Kartika Dewi, ‘Rumuskan uang digital, BI akan bikin Central Bank Digital
Currency (CBDC)’ (Kontan, 2021) <https://nasional.kontan.co.id/news/rumuskan-uang-digital-bi-
akan-bikin-central-bank-digital-currency-cbdc>, dikunjungi pada 28-03-2021.
Jurist-Diction Vol. 4 (6) 2021 2249
lain, peraturan yang sudah ada baru meregulasi mata uang rupiah yang disimpan
secara elektronik di media server.
Bank for International Settlements (BIS) telah mengeluarkan 2 panduan
terkait CBDC ini, yaitu:
1. Central bank digital currencies: foundational principles and core features;
2. Committee on Payments and Market Infrastructures: Digital currencies.
Dari kedua panduan tersebut, masih diperlukan kajian terkait penerapan
digital currency di Indonesia, agar tetap terjamin kepastian hukum dan stabilitas
moneter di Indonesia yang merupakan fungsi dari Bank Indonesia selaku bank
sentral.
Berdasarkan latar belakang penulisan di atas, adapun rumusan masalah yang
akan diangkat sebagai topik pembahasan, yaitu:
1. Karakteristik Central Bank Digital Currency;
2. Tanggung jawab bank sentral sebagai penyelenggara Central Bank Digital
Currency.
Metode Penelitian
Tipe penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif / doktrinal. Menurut Peter Mahmud, “Penelitian doktrinal, yaitu
penelitian yang menyediakan ekspos sistematis terhadap peraturan yang mengatur
kategori hukum tertentu, menganalisis hubungan antar peraturan, menjelaskan
area yang mengalami hambatan, dan bahkan memperkirakan perkembangan
mendatang”.12
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute
approach) yang dilakukan dengan menganalisis, menelaah, dan mengkaji peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan rumusan masalah tersebut, pendekatan
perbandingan (comparative approach) yang dilakukan dengan membandingkan
hukum suatu negara dengan hukum negara lain atau hukum dari suatu waktu
12
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Kencana Prenada Media 2017).[32].
2250 Claudia Saymindo: Central Bank Digital...
tertentu dengan hukum dari waktu yang lain, serta pendekatan konseptual
(conceptual approach) yang dilakukan tanpa beranjak dari peraturan hukum yang
ada dikarenakan aturan hukum untuk permasalahan memang belum ada.
Ahmad Hasan, Mata Uang Islami (PT. Raja Grafindo Persada 2005).[62-63].
13
15
Christian Barontini & Henry Holden, ‘Proceeding with caution – a survey on central bank
digital cuurency’ (2019) 101 BIS Papers.[1].
Jurist-Diction Vol. 4 (6) 2021 2253
CBDC menjadi salah satu opsi yang dipertimbangkan karena tingkat keamanannya
yang lebih terjamin dibandingkan dengan virtual currency, terutama dengan adanya
larangan menggunakan cryptocurrency di Indonesia sebagaimana tertulis dalam
PBI PPTP. Bank-bank sentral di berbagai negara, termasuk Indonesia, sedang
mempertimbangkan berbagai tujuan untuk menerbitkan CBDC, seperti:16
a. Meningkatkan persaingan, efisiensi, dan ketahanan sistem pembayaran;
b. Mendukung digitalisasi keuangan, mengurangi biaya terkait pengeluaran dan
pengelolaan kas fisik, meningkatkan inklusi keuangan;
c. Meningkatkan efektivitas kebijakan moneter untuk melaksanakan kebijakan
yang ditargetkan;
d. CBDC berbunga dapat meningkatkan transmisi kebijakan moneter;
e. Mengurangi atau mencegah adopsi mata uang yang dikeluarkan secara pribadi
(cryptocurrency);
f. Meningkatkan daya tarik mata uang lokal (mengurangi dolarisasi); dan
g. Berperan dalam penyaluran stimulus fiskal.
Sebelum menerbitkan mata uang baru, ada beberapa hal yang harus
dipertimbangkan oleh bank sentral untuk menjamin keamanan dan stabilitas
keuangan. Tidak hanya masyarakat sebagai target pengguna mata uang tersebut,
pihak swasta seperti bank-bank lainnya juga turut menjadi bagian dari pertimbangan.
Umumnya, ada tiga prinsip dasar yang menjadi pertimbangan bank sentral dalam
penerbitan CBDC yang berdasarkan dari tujuan utamanya:17
a. Do no harm: Bentuk uang baru yang dikeluarkan oleh bank sentral harus
mendukung pemenuhan tujuan kebijakan publik dan tidak mengganggu atau
menghalangi kemampuan bank sentral menjalankan tugasnya dalam menjaga
stabilitas moneter. Keberadaan CBDC harus memelihara dan memperkuat
keseragaman mata uang, sehingga masyarakat dapat menggunakan CBDC dan
uang tradisional secara bersamaan.
b. Coexistence: Berbagai jenis uang bank sentral, seperti CBDC atau uang
yang sudah ada (uang tunai, deposit, atau settlement accounts) harus saling
16
John Kiff, et.al., ‘A Survey of Research on Retail Central Bank Digital Currency’ (2020),
104 IMF Working Paper.[39].
17
Bank for International Settlements, ‘Central bank digital currencies: foundational principles
and core features’ (BIS Papers, 2020) (selanjutnya disingkat Bank for International Settlements I).[10].
2254 Claudia Saymindo: Central Bank Digital...
ibid.[11].
18
Jurist-Diction Vol. 4 (6) 2021 2255
l. Flexible and adaptable: Sistem CBDC harus fleksibel dan mudah beradaptasi
terhadap perubahan kondisi dan peraturan.
m. Robust legal framework: Bank sentral harus memiliki otoritas yang jelas atas
pengeluaran CBDC.
n. Standards: Sistem CBDC harus mematuhi standar regulasi yang sesuai,
misalnya pihak swasta yang menawarkan transfer CBDC harus memenuhi
standar peraturan dan kehati-hatian yang setara dengan perusahaan yang
menawarkan layanan serupa untuk uang tunai.
Sejauh ini ada beberapa jenis desain CBDC yang dapat diimplementasikan,
tergantung dari model, teknologi database yang mendasarinya, tingkat privasi yang
tersedia, batasan jumlah, dan suku bunga. Jenis-jenis desain yang telah ada ini
memiliki pengaruh atas satu sama lain dan bekerja sama untuk menciptakan sistem
yang berfungsi dengan lancar. Mengingat penelitian terkait CBDC yang masih
relatif baru, belum banyak penelitian, penerapan, maupun pengujiannya dalam
skala besar. Akibatnya, tidak banyak pilihan untuk membandingkan desain-desain
tersebut. Observasi lebih jauh terhadap cara kerja sistem dan peran swasta maupun
publik masih sangat diperlukan.
Secara garis besar, tipe desain yang diperlukan untuk menggunakan CBDC
dibagi menjadi tiga, yaitu desain instrumen, desain ledger, dan desain insentif.
Sebagaimana dijelaskan berikut ini:19
a. Desain instrumen merujuk pada “bentuk” CBDC yang digunakan, apakah
dengan bunga (interest bearing) atau dengan limit kepemilikan individu. Secara
teoritis, menggunakan desain CBDC dengan bunga dapat berperan dalam
mengendalikan permintaan CBDC dan suku bunganya. Dengan demikian,
atribut CBDC yang digunakan dalam desain ini akan seperti deposit, bukan
uang tunai. Kekurangan dari desain ini adalah kemungkinan disintermediasi
yang semakin cepat, dimana nasabah memilih untuk menarik deposit dari bank
untuk digantikan dengan deposit CBDC di bank sentral. Melimitasi jumlah
kepemilikan individu dapat mengurangi risiko tersebut, tetapi juga dengan
mengurangi keefektifan bunga CBDC. Alternatif lain dapat berupa membuat
19
Bank for International Settlements I, Op.Cit.[12-13].
2256 Claudia Saymindo: Central Bank Digital...
20
John Kiff, et.al., Loc.Cit.
21
Bank Indonesia, ‘Rupiah Digital / Central Bank Digital Currency (CBDC)’ (Bank Indone-
sia, 2021) <https://bicara.bi.go.id/knowledgebase/article/KA-01038> dikunjungi pada 29-04-2021.
Jurist-Diction Vol. 4 (6) 2021 2257
22
Bidara Pink, ‘BI akan minta desain acuan Central Bank Digital Currency di pertemuan
G20’ (Kontan, 2021) <https://nasional.kontan.co.id/news/bi-akan-minta-desain-acuan-central-
bank-digital-currency-di-pertemuan-g20>, dikunjungi pada 24-06-2021.
2258 Claudia Saymindo: Central Bank Digital...
23
Bank for International Settlements I, Op.Cit.[13].
24
ibid.
25
John Kiff, et.al., Loc.Cit.
Jurist-Diction Vol. 4 (6) 2021 2259
26
ibid.[15].
27
ibid.
2260 Claudia Saymindo: Central Bank Digital...
Disintermediasi juga mungkin terjadi akibat dari penggunaan sistem CBDC itu
sendiri. Dengan sistem desentralisasi, tidak adanya perantara untuk menggunakan
CBDC dapat menghilangkan minat pengguna terhadap bank komersial. Dengan
CBDC, pengguna tidak memerlukan bank komersial untuk melakukan transfer
karena adanya sistem P2P tanpa perantara. Ada kemungkinan karena fasilitas ini
pengguna akan lebih memilih menggunakan CBDC dan menarik depositnya di
bank komersial untuk selanjutnya dikonversikan menjadi CBDC. Hal ini dapat
menimbulkan bank run / rush money dan mengakibatkan bank pailit.28
Sisi positif dari penggunaan CBDC adalah adanya kesempatan untuk kebijakan
moneter menembus batas bawah efektif dan membantu menjaga efektivitas
kebijakan moneter dengan mengurangi insentif untuk mengadopsi alat pembayaran
alternatif. Penggunaan alat pembayaran yang tidak termasuk dalam mata uang
domestik (termasuk mata uang asing dan cryptocurrency) dapat membahayakan
kemampuan bank sentral untuk mencapai tujuan kebijakan moneternya saat ini.29
Di sisi biaya kebijakan moneter, CBDC dapat menyebabkan besarnya pengurangan
saldo cadangan (deposito bank komersial dan lembaga penyimpanan lainnya) ketika ada
perubahan kualitas, menaikkan suku bunga pasar uang dan berpotensi mendestabilisasi
pasar keuangan. Untuk mempersiapkan perubahan demikian dan untuk mengakomodasi
potensi permintaan CBDC, bank sentral harus mempertahankan neraca yang jauh lebih
besar, mungkin lebih dari sepertiga dari GDP.30
Sedangkan dari sisi operasional dan legal, pada dasarnya CBDC adalah
suatu mata uang digital, yang berarti dalam prosesnya menggunakan teknologi.
Cybersecurity menjadi salah satu faktor paling penting dalam pembuatan dan
pengoperasian CBDC. Dengan berkembangnya teknologi, berkembang pula
ancaman-ancaman di dalamnya. Tidak sedikit ancaman keamanan siber canggih
28
Bank for International Settlements I, Op.Cit.[8].
29
Mohammad Davoodalhosseini, et.al., ‘CBDC and Monetary Policy’, Bank of Canada Staff
Analytical Note (2020).
30
Bill Nelson, ‘The Benefits and Costs of a Central Bank Digital Currency for Monetary
Policy’ (BPI, 2021) <https://bpi.com/the-benefits-and-costs-of-a-central-bank-digital-currency-for-
monetary-policy/>, dikunjungi pada 28-06-2021.
Jurist-Diction Vol. 4 (6) 2021 2261
yang selalu berubah muncul tiap harinya. Pihak-pihak tidak bertanggung jawab
dapat membobol keamanan siber CBDC jika sistem keamanan yang digunakan
belum mutakhir. Cybersecurity merupakan risiko yang selalu ada dan signifikan
terhadap segala jenis infrastruktur pembayaran. Ini menekankan betapa pentingnya
bagi bank sentral untuk merancang, membangun, dan menjalankan ekosistem CBDC
yang aman dan tangguh secara keseluruhan di seluruh komponen dan integrasi
sistem. Sebagai infrastruktur yang akan berperan penting, keamanan dan ketahanan
CBDC setidaknya harus mirip dengan sistem pembayaran saat ini dengan layanan
yang beroperasi 24/7.31
Risiko legal lainnya terdapat dalam perlindungan konsumen terkait sulitnya
memproyeksikan nilai mata uang digital di masa depan. Umumnya nilai mata uang
digital didenominasikan dalam unit nilainya sendiri, tidak memiliki nilai intrinsik,
bergantung pada persepsi pengguna tentang nilai dan harga, tidak terikat pada mata
uang negara, dan bukan merupakan kewajiban siapapun.32 Dengan demikian, nilai
mata uang digital hanya berdasarkan ekspektasi pengguna bahwa mereka dapat
menukarnya dengan barang dan jasa atau mata uang negara lain di kemudian
hari. Hal ini tentunya sangat tidak stabil. Ekspektasi setiap orang berbeda-beda
dan dapat dengan mudah berubah dalam waktu singkat, menyebabkan volatilitas
dan risiko kerugian yang lebih besar daripada valuta asing pada umumnya. Tidak
seperti mata uang digital pada umumnya, CBDC secara resmi dikeluarkan oleh
bank sentral negara. Nilai CBDC terhadap mata uang lain akan lebih stabil karena
tidak bergantung pada persepsi atau ekspektasi pengguna, seperti layaknya mata
uang fisik. Faktor ekonomi yang dapat mempengaruhi adalah tingkat inflasi, tingkat
suku bunga, jumlah uang beredar, aliran modal yang masuk maupun keluar, posisi
neraca pembayaran internasional Indonesia serta kebijakan-kebijakan moneter
yang dijalankan pemerintah.33
31
Bank for International Settlements I, Op.cit, [14].
32
Bank for International Settlements, ‘Committee on Payments and Market Infrastructures:
Digital currencies’ (BIS Papers, 2015) (selanjutnya disingkat Bank for International Settlements II).[14].
33
Samsul Arifin & Shany Mayasya, ‘Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Nilai Tukar Rupiah
Terhadap Dolar Amerika Serikat’ (2018) 8 Jurnal Ekonomi-Qu.[83].
2262 Claudia Saymindo: Central Bank Digital...
Nanda Patimbano, ‘Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral di Indonesia Menurut
34
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009’ (2016) IV
Lex Administratum.[78].
2264 Claudia Saymindo: Central Bank Digital...
dan jaringan, dan sumber daya manusia dengan keahlian di bidang keamanan
siber.35 Sebagai salah satu bentuk komitmen Indonesia terhadap keamanan siber,
adanya rencana penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) Keamanan dan
Ketahanan Siber (KKS) dimaksudkan untuk melengkapi kekurangan dalam
UU ITE. Mengingat ancaman siber nyata terjadi dalam perspektif keamanan
nasional yang modern, dimana negara harus berupaya mewujudkan keamanan
tersebut mulai dari tahap pencegahan sampai pada tahap pemulihan termasuk
dalam konteks keamanan siber sebagai sub-sistem dari keamanan nasional, RUU
KKS memiliki peran yang penting. Dalam kenyataannya, masih terdapat banyak
tantangan yang belum dapat diatasi dengan peraturan perundang-undangan yang
ada, misalnya belum terdapat keseragaman tata kelola keamanan siber, belum
berfungsinya pelayanan keamanan siber yang efektif, dan belum optimalnya
pemanfaatan keahlian keamanan siber dalam proses penegakan hukum. Untuk itu,
dalam mewujudkan penyelenggaraan keamanan siber nasional yang efektif yang
dapat mengatasi berbagai tantangan serta untuk menjamin bahwa penyelenggaraan
keamanan siber tersebut sesuai dengan kepentingan perlindungan hak asasi
manusia, maka kehadiran Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber
menjadi sangat penting.
Dikaitkan dengan status Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang
independen berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU BI sebagaimana telah diubah beberapa
kali (terakhir dengan UU No. 6 Tahun 2009), maka penyelenggaraan keamanan dan
ketahanan siber dalam lingkup internal Bank Indonesia masuk dalam ruang lingkup
pengaturan penyelenggaraan keamanan dan ketahanan siber menurut RUU KSS.
Merujuk pada definisi siber dalam RUU KSS, terdapat sarana interaksi
antara manusia dengan teknologi informasi, komputerisasi, jaringan computer,
kriptografi, dan / atau kecerdasan buatan (AI) yang digunakan oleh Bank Indonesia
dalam konteks pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia sebagaimana
diamanatkan oleh UU BI. Dari sisi pelaksanaan tugas pokok, Bank Indonesia
memiliki sarana siber yang merupakan bagian dari Financial Market Infrastructure
(FMI) di Indonesia. Desain FMI tersusun dari beberapa fungsi FMI, antara lain
payment system (PS), central securities depositories (CSD), securities settlement
system (SSS), central counterparties (CCP), dan trade repositories (TR), masing-
masing fungsi FMI tersebut memiliki hubungan satu dengan yang lain.36
Di dalam proses dan prosedur pelaksanaan perbankan di Bank Indonesia,
fungsi-fungsi tersebut dilaksanakan melalui beberapa system meliputi: fungsi PS
melalui Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) dan Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia (SKNBI); fungsi SSS dan CSD melalui Bank Indonesia
Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS), dan fungsi trading system melalui
Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (BI-ETP). Fungsi-fungsi ini berkaitan
satu dengan lainnya termasuk fungsi FMI yang berada diluar Bank Indonesia yang
dioperasikan oleh pihak lain yang memiliki kewenangan dalam mengoperasikan
FMI, seperti fungsi CCP oleh Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) dan fungsi
SSS dan CSD oleh custodian Sentral Efek Indonesia (KSEI).
Dalam menyelenggarakan sistem keamanan siber tentu perlu adanya
kerjasama dan koordinasi dari segenap pihak untuk memastikan sistem kontrol
cyber risk management dapat berjalan secara optimal. Sehingga dalam hal ini,
pemerintah dapat segera mengambil keputusan yang cepat dan tepat atas adanya
laporan serangan siber yang terjadi.
Manajemen risiko pada dasarnya merupakan elemen fundamental dari
sebuah strategi. Dengan melakukan manajemen risiko, pemerintah dapat membuat
perhitungan anggaran biaya yang diperlukan dalam penanggulangan serangan siber,
sebab biaya yang harus dikeluarkan dalam melakukan pengamanan kerahasiaan
informasi dan data sebuah negara tidaklah sedikit. Dengan demikian, manajemen
risiko yang dibuat dapat membuat sebuah strategi yang lebih terjangkau dalam
menghadapi berbagai ancaman siber.
36
Bank Indonesia, ‘Infrastruktur Pasar Keuangan’ (Bank Indonesia, 2021) <https://www.
bi.go.id/id/fungsi-utama/sistem-pembayaran/Infrastruktur-Pasar-Keuangan/Default.aspx>,
dikunjungi pada 24-06-2021.
2266 Claudia Saymindo: Central Bank Digital...
Hal tersebut karena adanya kekhususan pada sektor jasa keuangan yang memiliki
karakteristik tersendiri dengan tingkat rentabilitas yang tinggi. Rentabilitas yang tinggi
pada sektor jasa keuangan tersebut menjadi unsur yang penting untuk menerapkan
urgensi pengaturan dan tingkat koordinasi oleh BSSN, yang dalam hal ini pelaksanaan
supervisi secara koordinatif harus dilaksanakan secara lex spesialis kepada bank sentral,
sebagai amanat Pasal 8 UU BI, bahwa Bank Indonesia memiliki tugas untuk menetapkan
dan melaksanakan kebijakan moneter, dan bahwa dalam rangka menetapkan kebijakan
moneter tersebut BI akan melakukan pengawasan bersama dengan OJK untuk melakukan
fungsi supervisi di bidang moneter. Hal ini diperlukan guna mendukung terwujudnya
perekonomian nasional sejalan dengan tantangan perkembangan dan pembangunan
ekonomi yang semakin kompleks, sistem keuangan yang semakin maju serta
perekonomian internasional yang semakin kompetitif dan terintegrasi, kebijakan moneter
harus dititikberatkan pada upaya untuk memelihara stabilitas nilai rupiah dan bahwa untuk
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter yang efektif dan efisien diperlukan
sistem keuangan yang sehat, transparan, terpercaya, dan dapat dipertanggungjawabkan
yang didukung oleh sistem pembayaran yang lancar, cepat, tepat, dan aman, serta
pengaturan dan pengawasan bank yang memenuhi prinsip kehati-hatian.
Bank Indonesia sebagai bank sentral yang bertugas untuk menetapkan
dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran, dan melakukan pengawasan secara makro terhadap sektor jasa
keuangan, maka BI melakukan pengaturan-pengaturan terkait penggunaan teknologi
dalam kegiatan sektor jasa keuangan, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik;
2. Undang‐Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Perubahan Kedua atas
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Undang‐Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;
3. Undang‐Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang‐Undang Nomor 6 Tahun 2009;
4. Undang‐Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang‐ Undang Nomor 10 Tahun 1998;
5. Undang‐Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem
dan Transaksi Elektronik;
Jurist-Diction Vol. 4 (6) 2021 2269
39
Bank for International Settlements, ‘Guidance on cyber resilience for financial market
infrastructures’ (BIS Papers, 2016) (selanjutnya disingkat Bank for International Settlements III).
[10].
40
Zafar Kazmi, Jaafar Alghazo, dan Ghazanfar Latif, ‘Cyber Security Analysis of Internet
Banking in Emerging Countries: User and Bank Perspectives’ 4th IEEE International Conference on
Engineering Technologies and Applied Sciences (ICETAS) (2017).[6].
41
Bank Mandiri, ‘Livin’ by Mandiri – Cara Daftar & Aktivasi’ (Mandiri, 2021) <bankmandiri.
co.id>, dikunjungi pada 20-06-2021.
Jurist-Diction Vol. 4 (6) 2021 2271
regulasi sendiri, jika mengacu pada karakteristik CBDC yang merupakan mata
uang, maka pada dasarnya segala wewenang Bank Indonesia atas Rupiah berlaku
pula pada CBDC karena pada dasarnya fungsi CBDC adalah sebagai mata uang
layaknya Rupiah. Dengan demikian, segala risiko terkait penerbitan CBDC akan
menjadi tanggung jawab dari Bank Indonesia, berbeda dengan cryptocurrency yang
tidak memiliki pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Ini menjadi salah
satu poin positif dalam penerbitan CBDC.
Dalam tahap perencanaan, bank sentral perlu melakukan analisis manajemen
risiko yang terintegrasi untuk menilai potensi risiko sebagai pertimbangan sebelum
menerbitkan CBDC. Cybersecurity yang menjadi risiko operasional, risiko strategi
dan kebijakan, risiko hukum, dan berbagai risiko lainnya menjadi tanggung jawab
bank sentral sepenuhnya. Perluasan mandat bank sentral juga dapat melibatkan risiko
terkait dengan kebijakan di bidang lain, terutama stabilitas keuangan (pengawasan
makroprudensial, pengawasan mikroprudensial, ELA/LOLR, dan resolusi). Ini
juga dapat mencakup masalah yang berkaitan dengan integritas keuangan, inklusi
keuangan, perlindungan konsumen, dan kemungkinan tujuan lain dari bank sentral.42
Maka dari itu bank sentral harus menerapkan transparansi atas segala kebijakan dan
tindakan yang dilaksanakan. Transparansi bank sentral dalam pengembangan CBDC
akan memungkinkan akuntabilitas kepada pihak-pihak yang berkepentingan, baik dari
pemerintah maupun masyarakat, serta mengklarifikasi mandat dan kerangka hukum
bank sentral. Sesuai dengan UU BI, prinsip akuntabilitas dari pelaksanaan tugas
dan wewenang Bank Indonesia diterapkan dengan cara menyampaikan informasi
langsung kepada masyarakat luas secara terbuka melalui media massa, pada setiap
awal tahun, mengenai evaluasi kebijakan moneter dan penerapan sasaran-sasaran
moneter untuk tahun yang akan datang. Bank Indonesia juga diwajibkan untuk
menyampaikan perkembangan pelaksanaan tugas dan wewenangnya kepada DPR
setiap triwulan atau sewaktu-waktu bila diminta oleh DPR.43
42
John Kiff, et.al., Op.Cit.[40].
43
Perry Warjiyo & Solikin M. Juhro, ‘Kebijakan Bank Sentral – Teori dan Praktik’ (Rajawali
Pers 2016).[483].
2272 Claudia Saymindo: Central Bank Digital...
Kesimpulan
Ada 3 (tiga) prinsip yang mendasari karakteristik CBDC, yaitu do no harm
(mendukung pemenuhan tujuan publik dan tidak menghalangi tugas bank sentral
untuk menjaga stabilitas moneter), coexistence (saling melengkapi dan berdampingan
dengan jenis uang lainnya), dan innovation and efficiency (mendorong efisiensi sistem
pembayaran dengan inovasi dan saingan). Karakteristik CBDC sendiri adalah:
1. Diterbitkan bank sentral dalam bentuk digital dengan mempertimbangkan
desain instrumen, ledger, dan insentif;
2. Dapat dimiliki oleh semua orang;
3. Memiliki tingkat konversi yang sama dengan uang kertas;
4. Dapat digunakan sebagai alat pembayaran dalam pembayaran retail; dan
5. Tidak ada pihak ketiga yang memverifikasi atau melaksanakan pembayaran.
Sebagai bank sentral, Bank Indonesia bertanggung jawab atas segala risiko
dalam penerbitan CBDC karena CBDC adalah mata uang yang diterbitkan dan
diregulasikan oleh bank sentral. Maka dari itu Bank Indonesia perlu melakukan
analisis manajemen risiko sebelum penerbitan dan menerapkan transparansi atas
segala kebijakan dan tindakan yang dilaksanakan. Bank sentral juga bertanggung
jawab untuk menetapkan kerangka ketahanan siber dan memastikan bahwa
Jurist-Diction Vol. 4 (6) 2021 2273
cybersecurity dikelola secara efektif. Salah satu upaya Indonesia dalam meningkatkan
cybersecurity adalah rencana penyusunan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber.
Dikaitkan dengan status lembaga negara independen Bank Indonesia sesuai UU BI,
penyelenggaraan keamanan dan ketahanan siber internal Bank Indonesia termasuk
ruang lingkup pengaturan penyelenggaraan keamanan dan ketahanan siber menurut
RUU KSS. Kedepannya perlu dilakukan pengaturan yang lebih komprehensif
terkait Bank Indonesia sebagai regulator agar fungsi bank sentral sebagai pengawas
moneter dapat lebih tercapai. Jika Bank Indonesia mengatur diri sendiri sebagai
penyelenggara, maka harus ada pihak ketiga sebagai pengawas. Fungsi koordinatif
BSSN menjadi substansial sebagai perwujudan fungsi good governance antara
instansi pengawasan cybersecurity di sistem keuangan.
Daftar Bacaan
Buku
Ahmad Hasan, Mata Uang Islami (PT. Raja Grafindo Persada 2005).
Perry Warjiyo & Solikin M. Juhro, Kebijakan Bank Sentral – Teori dan Praktik
(Rajawali Pers 2016).
Jurnal
Aleksi Grym, et.al., ‘Central Bank Digital Currency’ (2017) BoF Economics
Review.
Bastian Muzbar Zams, et.al., ‘Designing Central Bank Digital Currency For
Indonesia: The Delphy-Analutic Network Process’ (2020) 23 Bulletin of
Monetary Economics and Banking 3.
Christian Barontini & Henry Holden, ‘Proceeding with caution – a survey on central
bank digital currency’ (2019) 101 BIS Papers.
John Kiff, et.al., ‘A Survey of Research on Retail Central Bank Digital Currency’
(2020) 104 IMF Working Paper 20.
Muhammad Edhie Purnawan & Retno Ritanti, ‘A Significant Effect of the Central
Bank Digital Currency on the Design of Monetary Policy’ (2019) 8 Jurnal
Ekonomi Indonesia 1.
2274 Claudia Saymindo: Central Bank Digital...
Samsul Arifin & Shany Mayasya, ‘Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nilai Tukar
Rupiah Terhadap Dolar Amerika Serikat’ (2018) 8 Jurnal Ekonomi-Qu 1.
Laman
Andrea Lidwina, ‘Nilai Transaksi Uang Elektronik Naik 30% pada Awal 2021’,
(Katadata, 2021) <https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/03/04/
nilai-transaksi-uang-elektronik-naik-30-pada-awal-2021>, dikunjungi pada
tanggal 26 Juli 2021.
Bank Indonesia, ‘Rupiah Digital / Central Bank Digital Currency (CBDC)’, (Bank
Indonesia, 2021) <https://bicara.bi.go.id/knowledgebase/article/KA-01038>,
dikunjungi pada tanggal 29 April 2021.
Bill Nelson, ‘The Benefits and Costs of a Central Bank Digital Currency for Monetary
Policy’, (BPI, 2021) <https://bpi.com/the-benefits-and-costs-of-a-central-bank-
digital-currency-for-monetary-policy/>, dikunjungi pada tanggal 28 Juni 2021.
Giri Hartono, ‘BI Catat Penggunaan Uang Elektronik Tumbuh 172,85%’, (Okezone,
2020) <https://economy.okezone.com/read/2020/02/20/320/2171484/bi-
catat-penggunaan-uang-elektronik-tumbuh-172-85>, dikunjungi pada
tanggal 26 Maret 2021.
Herlina Kartika Dewi, ‘Rumuskan uang digital, BI akan bikin Central Bank Digital
Currency (CBDC)’, (Kontan Nasional, 2021) <https://nasional.kontan.co.id/
news/rumuskan-uang-digital-bi-akan-bikin-central-bank-digital-currency-
cbdc.>, dikunjungi pada tanggal 28 Maret 2021.
Jurist-Diction Vol. 4 (6) 2021 2275
Jonas Gross, ‘CBDC pioneers: Which countries are currently testing a retail central
bank digital currency?’, (University of Bayreuth, 2020) <https://jonasgross.
medium.com/cbdc-pioneers-which-countries-are-currently-testing-a-retail-
central-bank-digital-currency-49333be477f4#:~:text=Our%20analysis%20
shows%20that%20China,pioneers%20in%20the%20CBDC%20space.>,
dikunjungi pada tanggal 28 Maret 2021.
Artikel
Badan Standarisasi Nasional, ISO IEC 27001 Teknologi Informasi – Teknik
Keamanan – Sistem Manajemen Keamanan Informasi, 2009.
Agustin Carstens, ‘Digital currencies and the future of the monetary system’,
Hoover Institution policy seminar, 2021.
David Lee Kuo Chuen & Linda Low, ‘Inclusive Fintech: Blockchain, Cryptocurrency,
and ICO’, World Scientific Publishing, Singapura, 2018.
IBM & OMFIF, ‘Central bank digital currencies – A collaboration between OMFIF
and IBM Blockchain World Wire’, United Kingdom, 2018.
Zafar Kazmi, Jaafar Alghazo, & Ghazanfar Latif, ‘Cyber Security Analysis of
Internet Banking in Emerging Countries: User and Bank Perspectives’, 2017
4th IEEE International Conference on Engineering Technologies and Applied
Sciences (ICETAS), 2017.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472 dan 3790)