Anda di halaman 1dari 26

Perkembangan Financial Technology Terkait Central Bank Digital Currency

(CBDC) terhadap Transmisi Kebijakan Moneter

Dosen Pengampu : Helena Dewi, MSM

Disusun oleh:

AINUN MU MINAH 00000055989

ANWAR JUNDI 00000055068

EMILIANA AL FAWWAZ EVAN 00000037673

STEVANI 00000036771

PROGRAM STUDI BISNIS MANAJEMEN

UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA

TANGERANG

2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang Penelitian.

1.2 Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian.

1.3 Tujuan Penelitian.

1.4 Manfaat Penelitian.

1.5 Batasan Penelitian.

1.6 Sistematika Penulisan

BAB II LANDASAN TEORI. 2

2.1 Tinjauan Teori

2.1.1 Ekonomi Digital

2.1.2 Fintech

2.1.3 Central Bank Digital

2.2 Model Penelitian.

2.3 Hipotesis.

2.4 Penelitian Terdahulu.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN.. 3

3.1 Gambaran Umum Objek Penelitian.

3.1.1 ………….

3.2 Desain Penelitian.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian.

3.3.1 Populasi
3.3.2 Sampel

3.4 Teknik Pengumpulan Data


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Seperti yang telah kita ketahui, era digitalisasi membuat segala hal menjadi

semakin maju dan berkembang. Perkembangan teknologi bisa kita jumpai dalam berbagai

bidang, mulai dari transportasi, komunikasi, informasi, agrikultur, dan bidang-bidang

lainnya, tidak terkecuali financial.

Berdasarkan bi.go.id, teknologi financial atau yang lebih sering kita dengar

dengan sebutan fintech, adalah penggabungan antara jasa keuangan dan teknologi, yang

menghasilkan perubahan dalam model bisnis, yaitu konvensional menjadi moderat.

Contohnya, jika dulu kita harus melakukan pembayaran secara langsung dengan uang

kertas atau logam, saat ini transaksi bisa dilakukan secara jarak jauh atau virtual.

Di Indonesia sendiri, perkembangan fintech sangatlah pesat. Katadata

melaporkan 33% fintech di Indonesia membukukan transaksi lebih dari Rp 80 miliar di

2020 lalu. Dikutip dari cnbcindoesia.com, ukuran ekonomi digital Indonesia sepanjang

tahun 2022 telah mencapai USD 77 miliar atau tumbuh 22% secara tahunan.

Salah satu hasil dari sebuah perkembangan teknologi keuangan (financial

technology) adalah Mata uang kripto (Cryptocurrency) atau sering disebut dengan mata

uang virtual/digital. Cryptocurrency adalah mata uang digital yang dapat digunakan

untuk transaksi antar pengguna tanpa perlu melewati pihak ketiga.


Mendag Zulkifli Hasan mengungkapkan, pasar aset kripto di Indonesia semakin

meningkat. Berdasarkan data Bappebti, pada akhir 2021 tercatat jumlah pelanggan atau

pengguna aset kripto sebanyak 11,2 juta orang. Angka itu meningkat 48,7 persen

dibandingkan di akhir November 2022 yang tercatat sebanyak 16,55 juta orang.

Menanggapi fenomena maraknya aset kripto yang digunakan sebagai efisiensi

sistem keuangan di era digitalisasi, pada 30 November 2022 Bank Indonesia menerbitkan

mata uang rupiah digital bank sentral atau Central Bank Digital Currency (CBDC). .

Berdasarkan djpb.kemenkeu.go.id, Central Bank Digital Currency (CDBC)

adalah uang digital yang diterbitkan dan peredarannya dikontrol oleh bank sentral, dan

digunakan sebagai alat pembayaran yang sah untuk menggantikan uang kartal. CBDC

akan bertindak sebagai representasi digital dari mata uang suatu negara. Tentunya, 3

fungsi dasar dari uang sudah dimiliki oleh CBDC, yaitu sebagai alat penyimpanan nilai

(store of value), alat pertukaran/pembayaran (medium of exchange) dan alat pengukur

nilai barang dan jasa (unit of account).

Penerapan CBDC akan memudahkan transformasi digital masyarakat dan

memudahkan Bank Sentral dalam mengelola, mengatur, dan memantau supply uang

secara efektif, memudahkan penelusuran transaksi, dan memangkas biaya perbankan.

Selain itu, CBDC juga menggunakan private blockchain, dimana identitas penggunanya,

terikat dengan akun bank mereka, dan berfungsi sebagai alat pembayaran seperti biasa,

sehingga bank sentral bisa mengatur jumlah pasokan dan jaringannya. Berbeda dengan

cryptocurrency, yang menggunakan public blockchain, sehingga seseorang bisa memakai


identitas anonim, bertujuan spekulasi dan sistem pembayaran tergantung regulasi di tiap

negara serta otoritas yang mengaturnya adalah pasar jaringan kripto tersebut.

Penelitian ini membahas tentang pengaruh perkembangan financial technology

terkait Central Bank Digital Currency (CBDC) terhadap transmisi kebijakan moneter.

Penelitian dilakukan dengan metode kuantitatif. Untuk memperoleh data yang valid dan

reliabel, peneliti akan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu studi

literatur.

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi landasan untuk mengetahui pengaruh

perkembangan financial technology terkait Central Bank Digital Currency (CBDC)

terhadap transmisi kebijakan moneter.

1.2 Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian


1. Apakah terdapat hubungan antara perkembangan fintech terhadap transmisi kebijakan

moneter?

2. Bagaimanakah implikasi ekonomi dan transmisi kebijakan moneter dari keberadaan

CBDC untuk mendukung keseluruhan ekonomi digital?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui hubungan antara perkembangan fintech terhadap transmisi

kebijakan moneter

2. Untuk memperoleh gambaran implikasi ekonomi dan transmisi kebijakan moneter dari

keberadaan CBDC untuk mendukung keseluruhan ekonomi digital.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Mengetahui hubungan antara perkembangan fintech terhadap transmisi kebijakan

moneter.

2. Memperoleh gambaran implikasi ekonomi dan transmisi kebijakan moneter dari

keberadaan CBDC untuk mendukung keseluruhan ekonomi digital.

1.5 Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan

Bab ini memuat latar belakang,rumusan masalah dan pertanyaan penelitian, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II: Landasan Teori

Pada bab ini dijelaskan mengenai teori-teori yang digunakan sebagai acuan dalam

melakukan penelitian

BAB III: Metodologi Penelitian

Bab ini memuat gambaran umum objek penelitian, desain penelitian, teknik

pengumpulan dan analisis data, hingga uji hipotesis


BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Teori

2.1.1 Ekonomi Digital


Ekosistem ekonomi digital pertama oleh Pudhail dan Baihaqi (2020)

dipopulerkan melalui buku A Digital Business Ecosystem or Innovation (Nachira,

2007). Pada dasarnya ekosistem adalah lingkungan atau habitat “sesuatu” yang

hidup dan bergantung padanya. Industri internet terdiri dari 4 level industri

vertikal dan 19 segmen industri secara horizontal di setiap lapisan. Kelas vertikal

berarti ketika lapisan bawah menghilang, lapisan atas otomatis tidak berfungsi

sampai diakui sebagai ekosistem. Perdagangan elektronik (e-commerce) mengacu

pada penggunaan Internet dan ekosistemnya untuk memfasilitasi perdagangan

barang dan jasa mulai dari pemesanan (opsional), perdagangan hingga transaksi

barang atau jasa, instrumen pembayaran, dan bahkan pengiriman. dan layanan

pelanggan (Plunkett et al, 2015). E-commerce dan e-commerce tidak dapat

dipisahkan, bedanya e-commerce memiliki resource yang banyak dengan modul

fungsional yang lengkap mulai dari B2B, B2B2C, B2C, C2B, C2C, B2G, G2B,

M2M dan P2P Gateway – services . memadai sebagai alat pembayaran (Arthur D.

Little, 2016).

Digitalisasi bukanlah konsep akademis atau komersial, tetapi kenyataan

yang diakui secara resmi oleh otoritas seperti Komisi Eropa, yang bertujuan untuk

menciptakan pasar digital bersama (Komisi) sebagai salah satu dari sepuluh area
prioritasnya di tahun-tahun mendatang. , 2019). Dengan cara ini, otoritas Eropa

mengakui kehadiran teknologi digital dalam kehidupan sehari-hari dan bahkan

kebutuhan untuk menghilangkan hambatan fisik yang dapat mengganggu

kontinuitas digital, apapun bentuknya (informasi, barang dan jasa, dll.), terutama

standar "28 berbeda. seperti di Uni Eropa (UE) untuk telekomunikasi, hak cipta,

di bidang keamanan informasi dan perlindungan data".

2.1.2 Fintech
Dewan Stabilitas Keuangan telah mendefinisikan FinTech sebagai

"inovasi keuangan yang dimungkinkan oleh teknologi yang dapat menghasilkan

model bisnis baru, aplikasi, proses atau produk yang memiliki dampak material

pada pasar dan lembaga keuangan dan penyediaan layanan keuangan". Dengan

definisi ini, orang mungkin tergoda untuk mengatakan bahwa masa keemasan

FinTech adalah tahun 1960-an, ketika bank mulai banyak menggunakan komputer

dan memperkenalkan ATM. Definisi FinTech yang lebih tepat untuk artikel ini

adalah inovasi keuangan berdasarkan penggunaan teknologi digital dan data besar.

Penggunaan teknologi digital memungkinkan penyediaan dan peningkatan yang

lebih efisien dari banyak layanan keuangan yang ada.

Fintech didirikan oleh perusahaan teknologi yang berangkat dari lembaga

keuangan formal dan menawarkan produk dan layanan langsung kepada

pengguna akhir, seringkali melalui saluran online dan seluler. Definisi tekfin lain

oleh PwC (2016a) adalah "segmen dinamis di persimpangan layanan keuangan

dan sektor teknologi, di mana perusahaan rintisan yang mendukung teknologi dan

pendatang baru menginovasi produk dan layanan yang saat ini ditawarkan oleh
industri jasa keuangan tradisional. Fintech jelas mendapatkan keuntungan

momentum dan mengganggu rantai nilai tradisional. Gartner lebih lanjut

mendefinisikannya sebagai berikut: "Fintech adalah penyedia teknologi pemula

yang memperkenalkan teknologi digital baru yang mendekati layanan keuangan

dengan cara inovatif atau yang secara fundamental dapat mengubah cara produk

dan layanan perbankan dibuat, didistribusikan dan pendapatan yang dihasilkan.

Istilah ini juga bisa merujuk pada penyedia layanan ini terkait teknologi yang

ditawarkan.

2.1.3 Central Bank Digital Century (CBDC)

Accenture (2017) mendefinisikan digital currency atau cryptocurrency


sebagai token yang didistribusikan melalui distributed consensus ledger (DCL)
atau biasa disebut juga sebagai distributed ledger technology (DLT) yang
merepresentasikan medium of exchange dan unit of account.

Bordo dan Levin (2017) menjelaskan bahwa sejumlah bank sentral secara
aktif mengeksplorasi inisiasi digital currency oleh bank sentral yang akan menjadi
legal tender dan dapat digunakan oleh siapa pun. Berbeda dengan private digital
currency, nilai dari central bank digital currency akan ditetapkan secara nominal.
Lebih lanjut, central bank digital currency dapat diimplementasikan dengan
menggunakan sistem berbasis akun sehingga menghindari kegiatan mining yang
terlibat dalam menghasilkan mata uang virtual seperti bitcoin.

Berdasarkan djpb.kemenkeu.go.id, Central Bank Digital Currency


(CDBC) adalah uang digital yang diterbitkan dan peredarannya dikontrol oleh
bank sentral, dan digunakan sebagai alat pembayaran yang sah untuk
menggantikan uang kartal. CBDC akan bertindak sebagai representasi digital dari
mata uang suatu negara.
Tentunya, 3 fungsi dasar dari uang sudah dimiliki oleh CBDC, yaitu
sebagai alat penyimpanan nilai (store of value), alat pertukaran/pembayaran
(medium of exchange) dan alat pengukur nilai barang dan jasa (unit of account).
CBDC menggunakan private blockchain, dimana identitas penggunanya, terikat
dengan akun bank mereka, dan berfungsi sebagai alat pembayaran seperti biasa,
sehingga bank sentral bisa mengatur jumlah pasokan dan jaringannya.

2.1.4 Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter

Kebijakan Moneter akan meningkatkan kegiatan perekonomian, sedangkan


penggunaan uang (bank) akan meningkatkan jumlah uang beredar dan kredit. Tujuan
kebijakan moneter adalah untuk menstabilkan ekonomi, yang terutama dipengaruhi
oleh lapangan kerja, stabilitas harga, dan perdagangan internasional. Jika stabilitas
ekonomi memburuk, dapat dipulihkan (distabilkan) dengan menggunakan kebijakan
moneter. Kebijakan moneter adalah bagian dari kebijakan ekonomi makro yang
mempengaruhi bidang ekonomi lainnya (Dini Anggraeini, 2022).
Transmisi kebijakan moneter menunjukkan interaksi yaitu bank sentral,
perbankan, dan pelaku ekonomi sektor rill yang melalui dua tahap. Jenis transaksi
pertama adalah transaksi keuangan, yang melibakan transaksi antara bank sentral
atau lembaga keuangan lainnya. kedua , intermediasi yaitu pertukaran dana antara
bank dengan lembaga keuangan lainnya atau peminjam di sektor real.
Secara spesifik, Taylor (1995) menyatakan bahwa mekanisme transmisi
kebijakan moneter adalah “the process through which monetary policy decisions are
transmitted into changes in real GDP and inflation”. Artinya, mekanisme transmisi
kebijakan moneter merupakan saluran melalui kebijakan moneter yang dapat
meningkatkan tujuan akhir dari kebijakan moneter, seperti pendapatan nasional dan
inflasi.
Mekanisme Transmisi moneter terjadi melalui penggunaan instrumen
moneter, seperti OPT atau instrumen lainnya, dalam pelaksanaan transmisi moneter.
Tindakan ini berpengaruh terhadap ekonomi dan keuangan melalui berbagai saluran
transmisi kebijakan moneter yaitu uang, kredit, suku bunga, nilai tukar, aset harga
dan ekspektasi.
Dalam dunia keuangan, monetisasi berdampak negatif terhadap kenaikan
nilai pound, nilai tukar, dan nilai saham, dibandingkan dengan volume uang di bank,
kredit yang diberikan oleh bank. bank ke dunia bisnis, pengelolaan uang melalui
obligasi, saham, dan investasi lainnya. Selanjutnya, di bidang ekonomi, kebijakan
moneter berdampak jangka panjang terhadap belanja konsumen, investasi, ekspor,
dan impor, serta pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang merupakan akibat dari
kebijakan moneter.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

3.1.1 Perkembangan Finansial Teknologi

Perkembangan finansial teknologi merupakan fenomena baru dalam sistem

keuangan global. Finansial teknologi (fintech) diartikan sebagai penggunaan teknologi

digital dalam menyediakan produk dan layanan keuangan. Fintech dapat mencakup

berbagai jenis layanan seperti pembayaran digital, peer-to-peer lending, asuransi berbasis

teknologi, dan investasi online. Perkembangan fintech telah mengubah cara konsumen

menggunakan layanan keuangan, memberikan aksesibilitas yang lebih besar dan biaya

yang lebih rendah.

Di Indonesia sendiri, perkembangan fintech sangatlah pesat. Katadata melaporkan

33% fintech di Indonesia membukukan transaksi lebih dari Rp 80 miliar di 2020 lalu.

Dikutip dari cnbcindoesia.com, ukuran ekonomi digital Indonesia sepanjang tahun 2022

telah mencapai USD 77 miliar atau tumbuh 22% secara tahunan.

3.1.2 Central Bank Digital Currency (CBDC)

Central Bank Digital Currency (CBDC) adalah bentuk uang digital yang

diterbitkan oleh bank sentral dan diakui sebagai alat pembayaran yang sah. CBDC

dianggap sebagai bentuk baru dari uang tunai dan memiliki potensi untuk mengubah

sistem keuangan global. Bank sentral dapat memanfaatkan CBDC untuk mengurangi
ketergantungan pada uang tunai fisik, mempercepat proses pembayaran dan memperkuat

kebijakan moneter.

Sebagai efisiensi sistem keuangan di era digitalisasi, pada 30 November 2022

Bank Indonesia menerbitkan mata uang rupiah digital bank sentral atau Central Bank

Digital Currency (CBDC), yakni White Paper. Berdasarkan Bi.go.id, White Paper

merupakan pemaparan awal dari Proyek Garuda berupa desain level atas (high-level

design) Digital Rupiah sekaligus sebagai bentuk komunikasi kepada publik terkait

rencana pengembangan Digital Rupiah.

Dikutip dari liputan6.com, digital rupiah memiliki prinsip yang sama seperti alat

pembayaran lainnya, namun berwujud digital. Dalam Digital Rupiah ada Negara

Kesatuan Republik Indonesia, figur yang ada di uang kertas ada di juga di digital rupiah.

Namun, pada Rupiah Digital semuanya berada dalam bentuk coding secara digital

terenkripsi (encrypted), yang hanya diketahui BI. Digital rupiah menjadi alat transaksi

yang sah di dunia virtual.

3.1.3 Transmisi Kebijakan Moneter

Transmisi kebijakan moneter mengacu pada proses bagaimana kebijakan moneter

mempengaruhi perekonomian secara keseluruhan. Kebijakan moneter adalah tindakan

bank sentral dalam mengendalikan pasokan uang dan suku bunga untuk mencapai tujuan

tertentu seperti stabilisasi harga dan pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, transmisi

kebijakan moneter merujuk pada mekanisme bagaimana tindakan bank sentral

mempengaruhi tingkat suku bunga, kredit, dan output ekonomi secara keseluruhan.

Dikutip dari nasional.kontan.co.id, Kepala Ekonom Permata Josua Pardede

mengatakan, implementasi Rupiah Digital bakal mempercepat transmisi moneter oleh BI.
Dengan demikian, mampu meningkatkan kapabilitas BI dalam intervensi kebijakan

moneter.

3.2 Peran CBDC yang berhubungan dengan sustainability development goals (SDGs)
3.3 Desain Penelitian

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah mengenai hubungan antara

perkembangan financial teknologi terkait central bank digital currency (CBDC) dengan

transmisi kebijakan moneter di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui bagaimana pengaruh CBDC terhadap kebijakan moneter di Indonesia.

Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah apakah perkembangan CBDC dapat

mempengaruhi transmisi kebijakan moneter di Indonesia.

Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif.

Metode ini dipilih karena penelitian ini akan mengumpulkan data dalam bentuk angka

dan kemudian menganalisis data tersebut menggunakan teknik statistik. Teknik statistik

yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis regresi.

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kausal. Pendekatan deskriptif

kausal adalah pendekatan yang digunakan untuk menggambarkan suatu fenomena atau

kejadian secara detail dan kemudian menganalisis hubungan sebab-akibat di antara

variabel-variabel yang terlibat.

Dalam sub bab ini, peneliti juga akan menjelaskan mengenai populasi dan sampel

penelitian serta teknik analisis data yang akan digunakan. Populasi penelitian adalah

seluruh pelaku usaha dan nasabah di sektor keuangan di Indonesia. Sampel penelitian

akan dipilih secara acak dari populasi. Teknik analisis data yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah analisis regresi.


3.4 Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang valid dan reliabel, peneliti akan menggunakan

beberapa teknik pengumpulan data, yaitu studi literatur. Studi literatur akan digunakan

untuk memperoleh informasi mengenai perkembangan CBDC di Indonesia, kebijakan

moneter, serta teori-teori terkait.

3.5 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

regresi. Dikutip dari dqlab.id, Analisis regresi adalah teknik analisis hipotesis penelitian

untuk menguji ada tidaknya pengaruh antara variabel satu dengan variabel lain, yang

dinyatakan dalam bentuk persamaan regresi. Terdapat dua jenis dasar regresi yaitu,

regresi linear sederhana dan regresi linear berganda. Regresi linear sederhana adalah

teknik analisis dengan menggunakan satu variabel independen untuk menjelaskan atau

memprediksi hasil dari variabel dependen Y. Sedangkan regresi linear multipel atau

berganda berfungsi untuk mencari pengaruh dari dua atau lebih variabel independent

(variabel bebas atau X) terhadap variabel dependent (variabel terikat Y). Dalam

penelitian ini digunakan teknik regresi linear sederhana karena menggunakan satu

variabel independen, yaitu CBDC untuk menjelaskan atau memprediksi hasil dari

variabel dependen Y, yaitu kebijakan moneter.


BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Perkembangan ekonomi digital di Indonesia

Era digitalisasi membuat segala hal menjadi semakin maju dan berkembang, tak

terkecuali perekonomian Indonesia. Ekonomi digital di Indonesia terus berkembang dan

sangat berpotensi untuk terus bertumbuh. Dilansir dari Kemenkeu.go.id, berdasarkan

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara, ekonomi digital Indonesia

diproyeksikan tumbuh 20 persen dari tahun 2021 menjadi USD146 miliar pada tahun

2025 dan diprediksi akan terus meningkat. Ekonomi digital Indonesia sangat kuat dan

terbesar, jika dibandingkan dengan Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.

Gambar 4.1 Ekonomi digital Indonesia

Sumber:
https://www.kemenkeu.go.id/informasi-publik/publikasi/berita-utama/Wamenkeu-Ekono
mi-Digital-Indonesia-Sangat-Kuat
Faktanya, berdasarkan hasil studi Google Temasek, Bain & Company (2022) yang
didapatkan dari ekon.go.id, ekonomi digital Indonesia di 2022 mencapai USD77 miliar
atau tumbuh 22% dari 2021. Indonesia berhasil merajai ekonomi digital ASEAN, karena
sekitar 40% dari nilai total transaksi ekonomi digital ASEAN berasal dari Indonesia.
Investasi pada sektor ekonomi digital Indonesia juga tumbuh positif, ditunjukkan oleh
deal value investasi pada triwulan pertama 2022 sebesar USD3 miliar, yang merupakan
nilai tertinggi kedua setelah Singapura.

Berdasarkan indonesia.go.id, hasil studi Google Temasek, Bain & Company


(2022) menunjukkan bahwa nilai ekonomi digital terbesar berasal dari sektor e-commerce
dengan estimasi USD59 miliar. Selain e-commerce, ekonomi digital Indonesia juga
ditopang melalui jasa transportasinya dan layanan pesan-antar makanan, yang
diperkirakan menyumbang USD8 miliar di tahun 2022. Diprediksikan, nilai segmen ini
akan berkembang menjadi USD15 miliar, di tahun 2025. Pertumbuhan juga diprediksi
akan terjadi pada layanan perjalanan online, nilai USD3 miliar pada tahun 2022 akan naik
menjadi USD10 miliar pada 2025. Perekonomian digital di Indonesia dikatakan akan
menjadi yang terbesar di Asia Tenggara hingga 2030.

4.2 Financial Technology di Indonesia

Di Indonesia sendiri, perkembangan fintech sangatlah pesat. Katadata melaporkan

33% fintech di Indonesia membukukan transaksi lebih dari Rp 80 miliar di 2020 lalu. Dikutip

dari dataindonesia.id, jumlah pengguna layanan fintech akan terus bertumbuh hingga

beberapa tahun mendatang, begitu pula dengan rata-rata nilai transaksi dari para pengguna

fintech di Indonesia. Berdasarkan data Statista, pembayaran alternatif menjadi segmen

fintech dengan rata-rata nilai transaksi per pengguna terbesar di Indonesia pada 2022.

Nilainya tercatat sebesar US$92.080 pada 2022 dan diperkirakan terus tumbuh hingga

US$112.300 pada 2027.


Investasi digital menyusul di urutan kedua dengan rata-rata nilai transaksi per

pengguna sebanyak US$2.980 pada 2022. Dalam lima tahun ke depan, rata-rata nilai

transaksi dari pengguna investasi digital Indonesia diproyeksi sebanyak US$4.280. Rata-rata

nilai transaksi pengguna bank digital di Indonesia mencapai US$2.910 pada 2022. Nilai

tersebut diperkirakan tumbuh menjadi US$4.200 pada 2027. Kemudian, rata-rata nilai

transaksi pengguna pembayaran digital di Indonesia sebesar US$390 pada tahun lalu.

Angkanya diprediksi naik menjadi US$490 pada 2027. Rata-rata nilai transaksi pengguna

fintech yang bergerak di segmen aset digital sebesar US$40 pada 2022. Nilainya pun

diperkirakan tumbuh menjadi US$60 pada 2027.

Salah satu bentuk dari investasi dan aset digital adalah Mata uang kripto

(Cryptocurrency) atau sering disebut dengan mata uang virtual/digital. Cryptocurrency

adalah mata uang digital yang dapat digunakan untuk transaksi antar pengguna tanpa perlu

melewati pihak ketiga.

Mendag Zulkifli Hasan mengungkapkan, pasar aset kripto di Indonesia semakin

meningkat. Berdasarkan data Bappebti, pada akhir 2021 tercatat jumlah pelanggan atau

pengguna aset kripto sebanyak 11,2 juta orang. Angka itu meningkat 48,7 persen

dibandingkan di akhir November 2022 yang tercatat sebanyak 16,55 juta orang.

Dikutip dari bi.go.id, mata uang kripto terus bertambah jenis dan jumlahnya. Sampai

dengan November 2022, ada 9.3581 jenis cryptocurrency yang bisa dijadikan instrumen

investasi. Dari jumlah itu, sepuluh mata uang kripto yakni Bitcoin (BTC), Ethereum (ETH),

Thether (USDT), BNB, Binance USD (USDC), XRP, Cardano (ADA), Dogecoin (DOGE)
memiliki marketcap terbesar. Bitcoin semisal, pada 12 November 2022 pukul 10.10 WIB

memiliki market cap US$ 324,52 miliar, menyusul Ethereum yang memiliki markercap

sebesar US$ 156,34 miliar. Selain itu, ada juga cryptocurrency berbasis syariat Islam yang

dijamin oleh aset berupa emas, yaitu Onegram dan X8X (Rizvi & Ali, 2022).

4.3 Produk Financial Technology oleh Bank Indonesia

1. QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard)

Bank Indonesia meluncurkan standar Quick Response (QR) Code untuk

pembayaran melalui aplikasi uang elektronik server based, dompet elektronik,

atau mobile banking yang disebut QR Code Indonesian Standard (QRIS) pada 17

Agustus 2019. Implementasi QRIS secara nasional efektif berlaku mulai 1 Januari

2020, guna memberikan masa transisi persiapan bagi Penyelenggara Jasa Sistem

Pembayaran (PJSP). Peluncuran QRIS merupakan salah satu implementasi Visi

Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) 2025, yang telah dicanangkan pada Mei 2019

lalu.

2. BI-FAST (Bank Indonesia Fast Payment)

Bank Indonesia (BI) meluncurkan Bank Indonesia Fast Payment (BI-FAST)

secara virtual, pada 21 Desember 2021. BI-FAST adalah infrastruktur sistem

pembayaran yang disediakan Bank Indonesia yang dapat diakses melalui aplikasi

yang disediakan industri sistem pembayaran dalam memfasilitasi transaksi

pembayaran ritel bagi masyarakat. Implementasi BI-FAST oleh bank kepada

nasabahnya akan dilakukan secara bertahap sesuai dengan rencana bank dalam

mempersiapkan kanal pembayaran bagi nasabahnya masing-masing.


Gubernur BI, Perry Warjiyo, menyampaikan BI-FAST sebagai salah satu

implementasi dari visi Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025

merupakan bentuk transformasi digital untuk mendorong pertumbuhan ekonomi

yang inklusif dan merata serta mendukung program Pemulihan Ekonomi

Nasional. Pengembangan BI-FAST adalah tonggak penting reformasi digitalisasi

sistem pembayaran nasional sebagai implementasi BSPI 2025 bersama QRIS,

SNAP, dan reformasi regulasi sistem pembayaran.

3. White P​aper: Digital Rupiah

Sebagai efisiensi sistem keuangan di era digitalisasi, pada 30 November

2022 Bank Indonesia menerbitkan mata uang rupiah digital bank sentral atau

Central Bank Digital Currency (CBDC), yakni White Paper. Berdasarkan

Bi.go.id, White Paper merupakan pemaparan awal dari Proyek Garuda berupa

desain level atas (high-level design) Digital Rupiah sekaligus sebagai bentuk

komunikasi kepada publik terkait rencana pengembangan Digital Rupiah.

Dikutip dari liputan6.com, digital rupiah memiliki prinsip yang sama

seperti alat pembayaran lainnya, namun berwujud digital. Dalam Digital Rupiah

ada Negara Kesatuan Republik Indonesia, figur yang ada di uang kertas ada di

juga di digital rupiah. Namun, pada Rupiah Digital semuanya berada dalam

bentuk coding secara digital terenkripsi (encrypted), yang hanya diketahui BI.

Digital rupiah menjadi alat transaksi yang sah di dunia virtual.

Rupiah Digital akan diterbitkan dalam dua jenis, antara lain Rupiah

Digital wholesale (w-Rupiah Digital) dengan cakupan akses terbatas serta hanya
didistribusikan untuk penyelesaian transaksi wholesale seperti operasi moneter,

transaksi pasar valas, serta transaksi pasar uang; dan Rupiah Digital ritel

(r-Rupiah Digital) dengan cakupan akses yang terbuka untuk publik serta

didistribusikan untuk berbagai transaksi ritel baik dalam bentuk transaksi

pembayaran maupun transfer, oleh personal/individu maupun bisnis (merchant

dan korporasi).

4.4 Dampak Perkembangan Financial Technologi terhadap transmisi Kebijakan Moneter

Semakin berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi telah merambah ke

berbagai aspek kehidupan di era digital ini, salah satunya adalah penerapan teknologi

informasi di bidang keuangan yang umumnya disebut sebagai financial technology

(fintech). Berbagai definisi fintech dijelaskan oleh banyak pihak, tetapi secara umum

fintech dapat didefinisikan sebagai inovasi teknologi dalam layanan keuangan. Penyedia

layanan keuangan mengembangkan teknologi yang dapat mendisrupsi pasar keuangan

tradisional dengan mengembangkan aplikasi baru yang dapat digunakan mulai untuk

pembayaran hingga aplikasi yang lebih kompleks untuk artificial intelligence dan big

data.

Carney (2016) menyatakan bahwa inovasi dalam sektor keuangan akan mengubah

fondasi bank sentral dan membawa revolusi bagi setiap pengguna jasa keuangan.

McKinsey (2016) mendefisinikan fintech atau keuangan digital sebagai jasa keuangan

yang diantarkan melalui infrastruktur digital–termasuk telepon seluler dan

internet–dengan penggunaan yang minim dari uang tunai dan cabang bank tradisional.
Kawai (2016), Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengawas Asuransi Internasional,

sebuah organisasi anggota Financial Stability Board (FSB) Dewan Stabilitas Keuangan

mendefinisikan fintech sebagai teknologi yang memungkinkan inovasi dalam jasa

keuangan. Hal itu memunculkan model bisnis, aplikasi, proses, dan produk baru dalam

jasa keuangan yang dapat berdampak material pada pasar keuangan dan institusi serta

penyediaan layanan keuangan.

Perkembangan industri Fintech yang semakin pesat secara global direpresentasikan oleh

investasi Fintech yang mencapai 17,4 miliar dolar AS sepanjang tahun 2016. Selain itu,

berdasarkan FintechAdoption Index yang dikeluarkan oleh Ernst dan Young (2017)

sebanyak sepertiga konsumen global menggunakan dua atau lebih jasa fintech dengan 84

persen konsumen menyatakan bahwa mereka menyadari keberadaan fintech atau

meningkat sebanyak 22 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

World Fintech Report (2017) melaporkan bahwa perusahaan fintech telah membawa

perubahan signifikan dalam customer relationships. Secara global setengah dari

customers (50,2%) menyatakan bahwa mereka menggunakan jasa keuangan paling tidak

satu perusahaan non-tradisional untuk perbankan, asuransi, pembayaran, atau manajemen

investasi dengan persentase tertinggi adalah Asia Pasifik (58,5%).

4.4.1 Kebijakan Moneter dari tingkat inflasi

4.5 Pengembangan ekonomi digital dengan CBDC

Bank Indonesia sebagai bank sentral Indonesia memiliki kewenangan tunggal

untuk menerbitkan dan mengelola uang rupiah sebagai alat pembayaran yang sah di
Indonesia. Sejalan dengan perkembangan teknologi digital dan fintech, Bank Indonesia

juga berkepentingan untuk mengembangkan CBDC sebagai bentuk uang digital yang

dikeluarkan oleh bank sentral.

CBDC yang dikembangkan oleh Bank Indonesia disebut sebagai Digital Rupiah.

Digital Rupiah merupakan uang digital yang memiliki nilai yang tetap terhadap rupiah,

dijamin oleh otoritas moneter, dan dapat digunakan sebagai alat pembayaran sehari-hari

oleh masyarakat dan pelaku usaha.

Ekonomi digital memiliki potensi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi,

produktivitas, inovasi, dan kesejahteraan masyarakat. Namun, ekonomi digital juga

menimbulkan tantangan dan risiko bagi stabilitas ekonomi, moneter, dan keuangan. Salah

satu tantangan utama adalah bagaimana menjaga peran uang sebagai alat tukar, satuan

hitung, dan penyimpan nilai di era digital.

Uang sebagai alat tukar di era digital mengalami perubahan bentuk dari uang

tunai (cash) menjadi uang elektronik (e-money). Uang elektronik adalah uang yang

disimpan dalam bentuk elektronik atau digital dalam suatu media penyimpanan seperti

kartu chip atau server. Uang elektronik dapat digunakan untuk melakukan transaksi

pembayaran melalui perangkat elektronik seperti ponsel atau komputer.

Uang elektronik memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan uang tunai,

seperti kemudahan, kecepatan, efisiensi, dan inklusivitas. Namun, uang elektronik juga

memiliki beberapa kelemahan dan risiko, seperti ketergantungan pada infrastruktur

teknologi, kerentanan terhadap kejahatan siber, ketidakpastian hukum dan regulasi, serta

dampak negatif terhadap stabilitas moneter dan keuangan.


Salah satu dampak negatif terhadap stabilitas moneter dan keuangan adalah

munculnya mata uang digital non-sovereign (tidak dikeluarkan oleh otoritas moneter)

yang dapat mengancam kedaulatan mata uang nasional. Contoh mata uang digital

non-sovereign adalah mata uang kripto seperti Bitcoin atau Ethereum yang menggunakan

teknologi blockchain atau jaringan terdesentralisasi untuk menciptakan dan mengelola

uang secara otomatis tanpa perantara.

Mata uang kripto memiliki beberapa karakteristik yang menarik bagi sebagian

pengguna, seperti anonimitas, transparansi, globalitas, dan imun terhadap intervensi

otoritas. Namun, mata uang kripto juga memiliki beberapa kelemahan dan risiko yang

besar, seperti volatilitas harga yang tinggi, kurangnya perlindungan konsumen dan

investor, potensi pencucian uang dan pendanaan terorisme, serta ancaman terhadap

stabilitas sistem keuangan.

Untuk mengatasi tantangan dan risiko yang ditimbulkan oleh perkembangan uang

elektronik dan mata uang digital non-sovereign di era ekonomi digital, bank sentral di

berbagai negara mulai mengeksplorasi kemungkinan untuk menerbitkan CBDC sebagai

bentuk uang digital yang dikeluarkan oleh bank sentral.

CBDC adalah bentuk uang digital yang memiliki nilai yang tetap terhadap mata

uang nasional, dijamin oleh otoritas moneter, dan dapat digunakan sebagai alat

pembayaran sehari-hari oleh masyarakat dan pelaku usaha.

Bank Indonesia telah melakukan penelitian dan kajian terkait dengan

pengembangan Digital Rupiah sejak tahun 2022. Bank Indonesia juga telah merilis White
Paper Pengembangan Digital Rupiah pada tanggal 30 November 2022. White Paper

tersebut menjelaskan desain konseptual Digital Rupiah yang meliputi:

● Tujuan dan manfaat pengembangan Digital Rupiah, yaitu untuk memperkuat

kedaulatan rupiah di era digital, mendukung integrasi ekonomi dan keuangan

digital nasional, meningkatkan inklusi keuangan, efisiensi dan keamanan sistem

pembayaran, serta memperluas instrumen kebijakan moneter.

● Karakteristik dan fitur Digital Rupiah, yaitu berupa token digital yang dapat

diakses melalui perangkat elektronik seperti ponsel atau kartu pintar, memiliki

fungsi sebagai alat tukar, satuan hitung, dan penyimpan nilai, serta dapat

digunakan secara offline maupun online.

● Arsitektur teknologi Digital Rupiah, yaitu menggunakan teknologi hybrid yang

menggabungkan teknologi sentralisasi dan desentralisasi (DLT/blockchain), serta

menggunakan standar QRIS untuk transaksi pembayaran.

● Kerangka hukum dan kebijakan Digital Rupiah, yaitu mengacu pada

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2022 tentang Mata Uang dan Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2022 tentang Bank Indonesia, serta peraturan-peraturan

pelaksanaannya.

Anda mungkin juga menyukai