Anda di halaman 1dari 16

HUKUM PIDANA

PEMBELAJARAN V
AJARAN KAUSALITAS AJARAN KAUSALITAS
DAN SIFAT MELAWAN
HUKUM
DAN SIFAT MELAWAN
HUKUM
MHD TEGUH SYUHADA LUBIS, SH.,MH
Staff Pengajar Fakultas Hukum UMSU
E-mail: mhd.teguhsyuhada@umsu.ac.id
/ 081370136613
AJARAN CAUSALITAS
Dalam Hukum Pidana ajaran causalitas ini
bertujuan untuk memberikan jawaban atas
pertanyaan dimana suatu perbuatan dipandang
sebagai suatu sebab dari akibatyang timbul atau
dengan perkataan lain ajaran causalitas
bertujuan untuk mencari hubungan sebab dan
akibat seberapa jauh akibat tersebut ditentukan
oleh sebab.
Sebelum memahami lebih jauh tentang ajaran
causalitas menjadi penting untuk memahami
bahwa hukum pidana mengenal beberapa
jenis delik yang penting untuk dipahami yaitu
Delik Formal dan Delik Materil.
Delik Formal adalah delik yang telah dianggap penuh dengan
dilakukannya suatu perbuatan
yang dilarang dan di ancam dengan suatu hukuman
Contoh:
 Pasal 362 KUHP, yang dilarang dalam perbuatan pencurian ini
adalah perbuatannya mengambil barang milik orang lain.
 Pasal 242 KUHP yang dilarang memberikan keterangan Palsu
dibawah sumpah
Delik Materil adalah delik yang telah dianggap selesai degan
ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan
hukuman oleh undang-undang.
Contoh: Pasal 338 KUHP: yang dilarang dalam delik ini adalah
menyebabkan matinya orang lain.
Pasal 351 KUHP: yang dilarang dalam delik ini adalah
menimbulkan sakit atau luka pada orang lain.
Pasal 187 KUHP: yang dilarang adalah timbulnya kebakaran,
peledakan, banjir sedangkan perbuatannya menimbulkan
akibat tersebut tidak menjadi soal.
Penting !!!
Delik formal perbuatan itulah yang dilarang
dan pada delik materil yang ditekankan
adalah akibat dari dari perbuatan tersebut.
“Apabila causalitas dihubungkan dengan
delik formal maka suatu peristiwa tidak
dinyatakan dengan tekad sebagai unsur
dari suatu delik maka tidak memberikan
pengaruh yang sangat tegas” Akan tetapi
“Ajaran causalitas jika dihubungkan
dengan delik materil sangat penting sebab
halnya ditekankan dalam delik ini adalah
akibat perbuatannya.
Beberapa perbuatan yang merupakan rangkaian yang dapat
dipandang sebagai sebab dari timbulnya suatu akibat.
1. Teori conditio sine quanon (teori syarat mutlak) dari Van Buri
Menurut teori ini tiap syarat sebab, dan semua syarat itu
nilainya sama, sebab kalau satu syarat tidak ada maka akibat akan
lain pula. Tiap syarat baik positif atau negatif untuk timbuknya
sauatu akibat adalah sebab, dan mempunyai nilai yang sama.kalau
sutu syarat dihilangkan tidak akan mungkin terjadi suatu akibat
kongkrit, seperti yang senyata-nyatanya menurut waktu tempat dan
keadaan. Tidak ada syarat yang dapat dihilangkan tanpa
menyebabkan berubahanya akibat.
Menurut teori ini, suatu tindakan dapat dikatakan menimbulkan
akibat tertentu, sepanjang akibat tersebut tidak dapat dilepaskan
dari tindakan pertama tersebut.  
Karena itu suatu tindakan harus merupakan conditio sine qua
non (syarat mutlak) bagi keberadaan sifat tertentu. Semua syarat
(sebab) harus dipandang setara.Konsekuensi teori ini, kita dapat
merunut tiada henti sebab suatu peristiwa hingga ke masa lalu
(regressus ad infinitum).
Sebagai contoh dalam kasus ini, maka majikan
yang menyuruh pembantunya membeli
sesuatu ke warung agar disambar petir, atau
orang yang tidak memasang penangkal petir di
sekitar jalan yang dilalui pembantu, atau
orang lain yang memberi ide kepada majikan
tentang adanya cara untuk membuat orang
mati karena disambar petir tanpa tahu adanya
masalah antara majikan dan pembantunya,
pun dapat dianggap sebagai penyebab
kematian pembantu tersebut.
Beberapa ahli menyatakan teori ini tidak
mungkin digunakan dalam menentukan
pertanggungjawaban pidana karena terlalu luas.
2. Teori Traeger
Traeger memberikan ajaran yang lain
dengan van buri. Traeger mengadakan
perbedaan anatara rangkaian perbuatan
dan diantara rangkaian perbuatan itu harus
dicari yang manakah yang menimbulkan
akibat yang dilarang dan diancam dengan
hukuman oleh unddang-undang. Traeger
membedakan antara syarat dan alasan.
Teori ini hanya mencari satu saja dari sekian
banyak sebab yang menimbulkan akibat yang
dilarang.Termasuk dalam teori ini adalah teori
adequat dari Von Kries, yakni musabab dari
suatu kejadian adalah tindakan yang dalam
keadaan normal dapat menimbulkan akibat
atau kejadian yang dilarang. Keadaan yang
normal dimaksud adalah bila pelaku
mengetahui atau seharusnya mengetahui
keadaan saat itu, yang memungkinkan
timbulnya suatu akibat.
Dalam hal ini, maka harus diselidiki lebih dahulu apakah:
 a. majikan memiliki pengetahuan bahwa jika keadaan hujan dan
terdapat petir, maka besar kemungkinan orang berjalan di bawah
hujan dapat tersambar petir.
Keadaan saat itu memang hujan lebat dengan petir menyambar,
namun ia tetap meminta pembantu keluar membeli barang.
Jika iya, maka majikan dapat dinyatakan menjadi musabab
objektif dari meninggalnya pembantu akibat tersambar petir,
karena tidak adanya sebab lain.
b. memang kelalaian pembantu yang melewati jalan di bawah
guyuran hujan dengan menggunakan seluler yang kemudian
memancing sambaran petir. Kelalaian pembantu sendiri yang
menjadi musabab dirinya tersambar petir.
c. adanya kelalaian orang di sekitar jalan yang seharusnya
memasang penangkal petir di bangunannya, namun tidak
dilakukan. Hal ini merupakan penyebab utama kematian pembantu
tersambar petir ketika melewati bangunannya.
Dalam teori ini terdapat tiga musabab. Harus dicari perbuatan
mana yang paling dekat dengan akibat tersambar petirnya
pembantu tersebut.
3. Teori Individualisasi/Pengujian Causa Proxima

Dalam ajaran causa proxima, sebab adalah syarat yang paling


dekat dan tidak dapat dilepaskan dari akibat.

Peristiwa pidana dilihat secara in concreto atau post factum.


Di sini hal yang khusus diatur menurut pandangan individual,
yaitu hanya ada satu syarat sebagai musabab timbulnya akibat.

Dalam tataran praktik harus dilihat pembuktiannya, apakah


dalam pembuktian forensik terbukti kematian memang akibat
dari tersambar petir, dan petir terpercik karena apa. Akhirnya
ditemukan sebab yang paling dekat dan tidak dapat dilepaskan
dari adanya sambaran petir tersebut.

Mengenai pertanggungjawaban pidana, maka harus dilihat


terpenuhi tidaknya unsur pidana serta unsur kesalahan dari
tindak pidana yang dikenakan terhadap terdakwa.
SIFAT MELAWAN HUKUM

Dalam bahas beland Melawan hukum itu


adalah wederrechelawan telijk (wader=
bertentangan dengan, melawan;
recht=hukum).
Pembentuk undang-undang menjadikan sifat
melawan hukum sebagai unsur yang tertulis
menentukan perbuatan itu dapat tidak
dipidana. Tanpa unsur ini rumusan undang-
undang akan menjadi luas
Pompe mengatakan untuk dapat dipidananya
seseorang yang telah dituduhkan melakukan
tindak pidana, ada ketentuan didalam hukum
acara pidana.
1. Tindak pidanayang dituduhkan atau didakwakan
itu harus dibuktikan.
2. Tindak pidana itu hanya dikatakan terbukti jika
memenuhi semua unsur yang terdapat di dalam
rumusannya.
Jika unsur melawan hukum itu dengan tegas
terdapat didalam rumusan delik, maka unsur itu
juga harus dibuktikan, sedangkan jika dengan
tegas dicantumkan maka tidak perlu dibuktikan.
Syarat bahwa unsur melawan hukum itu selalu
harusdidalam acara peradilan akan merupakan
beban yang berat sekali dan mempersulit proses.
Untuk menjatuhkan pidana, harus dipenuhi unsur-unsur
dalam suatu pasal. Salah satu unsur dalam suatu pasal
adalah sifat melawan hukum (wederrechttelijke) baik yang
secara eksplisit maupun implisit ada dalam suatu pasal.
Jika kita meneliti Pasal-pasal dalam KUHP maka akan
tercantum kata-kata melawan hukum (wederrechttelijke)
untuk menunjukkan sah suatu tindakan atau suatu maksud.
1. Penggunaan kata-kata melawan hukum
(wederrechttelijke) untuk menunjukkan sah suatu
tindakan terdapat dalam Pasal 167 ayat (1), 168, 179,
180,189,190,198,253-257, 333 ayat (1), 334 ayat (1),
335 ayat (1)angka 1,372, 429 ayat (1), 431,433 angka 1,
448, 453-455, 472 dan 522 KUHP
2. Penggunaan kata-kata melawan hukum
(wederrechttelijke) untuk menunjukkan suatu maksud
dapat dijumpai dalam pasal 328, 339, 362, 368 ayat
(1), 369 ayat (1), 378, 382. 390, 446 dan 467 KUHP.
sifat melawan hukum berarti bertentangan
dengan hukum atau tidak sesuai dengan
larangan atau keharusan hukum atau
menyerang suatu kepentingan yang
dilindungi oleh hukum. Dengan
demikian sifat melawan hukum merupakan
syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu
perbuatan.
Berdasarkan Paham-paham sifat melawan
hukum, doktrin membedakan perbuatan
melawan hukum atas:
1. Perbuatan melawan hukum Formil, yaitu
suatu perbuatan melawan hukum apabila
perbuatan tersebut sudah diatur dalam
undang-undang. Jadi, sandarannya adalah
hukum yang tertulis.
2. Perbuatan melawan hukum materil yaitu
terdapat mungkin suatu perbuatan
melawan hukum walaupun belum diatur
dalam undang-undang. Sandarannya adalah
asas umum yang terdapat di lapangan
hukum.
TERIMAKASIH

Sampai jumpa pada minggu yang akan datang


Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Anda mungkin juga menyukai