Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

PENGANTAR ILMU HUKUM

Tentang
DAS SOLLEN DAN DAS SEIN

Disusun Oleh:
Mushendri

Dosen Pembimbing:
Metriadi, S.H.I, M.A

Prodi Hukum Keluarga Islam (AS) Sekolah Tinggi Agama Islam


Madrasah Arabiyah (STAIMA) Bayang
1443 H/ 2021 M
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Balakang

Kesenjangan antara Das Sein dengan Das Sollen adalah suatu hal

yang lazim ditemui di dunia hukum. Demikian halnya dengan proses

penegakan suatu perundang-undangan yang terkadang tidak dapat berjalan

sebagaimana yang direncanakan sebelumnya. Terdapat berbagai faktor yang

menjadi penyebab proses pelaksanaan suatu perundang-undangan menjadi

tidak maksimal dan banyak pelanggaran yang terjadi. Sementara proses

penegakannya tidak mendapat perhatian yang serius.

B. Rumusan masalah

1. Apa pengertian Das Sollen?

2. Apa pengertin Das Sein?

3. Bagaimana alasan kebenaran hukum?

C. Tujuan pembahasan

1. Untuk mengetahui pengertian Das Sollen?

2. Untuk mengetahui pengertin Das Sein?

3. Untuk mengetahui alasan kebenaran hukum?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Das Sollen

Das sollen adalah konsep nyata yang terjadi di masyarakat melalui

sejumlah kebijakan yang artinya benar-benar terjadi, meskipun dalam persefektif

keberanaran ini sendiri bisa dikatakan sebagai bagian yang menimbulkan polemik.

B. Pengertian Das Sein

Das sein adalah istilah seharusnya yang terjadi dalam kenyataan, hal ini

berarti bahwa ada norma-norma tertentu dan indera spesifik individu

memerintahkan individu tersebut untuk berperilaku sesuai dengan realitas.

Sehingga dapat digambarkan dengan mengatakan bahwa pengertian ini berbeda

dengan pengertian bahwa seseorang sebenarnya (das sollen) untuk berperilaku

dengan cara tertentu.

Pengertian Menurut Para Ahli

Menurut Sudikno Mertokusumo Pada penemuan hukum ialah proses sosial

dan interaksi sosial atas pembentukan hukum oleh hakim atau petugas hukum

lainnya yang diberi tugas untuk melaksanakan hukum terhadap peristiwa-

peristiwa konkret.

Disini, penemuan hukumialah konkretisasi, kristalisasi atau individualisasi

peraturan hukum (das sollen) yang sifatnya umum dengan mengingat peristiwa

konkret (das sein). Lebih lanjut lagi, Sudikno Mertokusumo juga berpendapat
bahwa peristiwa konkret perlu untuk dicarikan hukumnya yang bersifat umum dan

juga abstrak.

Sedangkan, peristiwa yang konkret atau benar-benar terjadi harus

dipertemukan dengan peraturan hukum, serta dikaitkan dengan peraturan

hukumnya agar bisa tercakup dalam peraturan hukum tersebut. Sebaliknya,

peraturan hukum tersebut juga harus sesuai dengan peristiwa konkretnya agar bisa

diterapkan atau diimplementasikan.

Adapun untuk contoh antara das sollen dan das sein penjelasan lengkapnya

sebagai berikut;

 Contoh Das Sollen

1. Apabila kita membeli suatu barang, maka kita harus dan wajib untuk

melakukan pembayaran atas barang tersebut hingga terbayar lunas.

2. Apabila kita menjual barang, maka kita harus menyerahkan barang

yang telah kita jual tersebut kepada pembeli dalam keadaan yang baik

sebagaimana yang kita iklankan atau tawarkan kepada pembeli itu (jadi

bukan barang rusak atau barang cacat yang kita jual).

3. Apabila kita mengemudikan mobil, maka kita harus mengatur

persneling secara berurutan, dimulai dari perseneling 1,2,3, sampai 4

dan sebagainya.

4. Apabila kita mempunyai utang, maka kita harus melunasinya.

5. Apabila kita menyebrang jalan raya, maka kita seharusnya

menyeberang di zebra cross atau di jembatan penyebrangan, dan

sebagainya.
 Contoh Das Sein

1. Membayar sejumlah uang atas harga barang tertentu kepada penjual

ketika kita membeli suatu barang.

2. Menyerahkan barang dalam kondisi yang baik baik dari penjual

kepada pembeli ketika berlangsungnya proses jual beli.

3. Melaksanakan cara-cara kita menyetir yang benar ketika sedang

mengemudikan mobil.

4. Melaksanakan pelunasan utang dari debitur kepada kreditur.

5. Berjalan di zebra cross atau jembatan penyebrangan ketika sedang

menyebrangi jalan raya.

6. Melaksanakan penagihan hak kepada orang lain.

C. Alasan Kebenaran Hukum

Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang

kebenaran ini, Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu

yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu

adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (das sollen) itu tidak selalu yang

seharusnya (das sein) yang terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk

ketidakbenaran (keburukan). Jadi ada 2 pengertian kebenaran, yaitu kebenaran

yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari

keburukan (ketidakbenaran).

Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia yang

transenden,dengan kata lain, keresahan mencari kebenaran hukum berkaitan erat


dengan hasrat yang ada dalam diri manusia yang selalu ingin mencari kebenaran

yang sesungguhnya. Dari sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang

trasenden, artinya tidak berhenti dari kebenaran hukum itu saja, namun terdapat

kebenaran diluar jangkauan manusia. Utamanya untuk mencari kebenaran hukum

secara filosofis.

Dikenal ada beberapa teori dalam menentukan kriteria kebenaran. Teori

korespondensi (yakni persamaan dengan fakta), teori koherensi atau konsistensi,

dan teori pragmatis, Pertama, teori korespondensi adalah paling diterima secara

luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada

realita obyektif (fidelity to objective reality). Secara sederhana dapat disimpulkan

bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi

hukum yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan

obyek yang dituju atau diatur oleh hukum tersebut. Misalnya “jika seorang

melakukan pencurian maka orang tersebut akan dihukum, agar menimbulkan efek

jera sehingga orang lain tidak melakukan pencurian lagi dan kehidupan menjadi

tertib”.

Dalam wilayah kebenaran hukum berdasarkan teori korespondensi,

kesesuaian putusan hakim dengan kebenaran fakta-fakta hukum sangat

diutamakan. Kebenaran legalitas, artinya penerapan hukum hukum terhadap

sebuah perkara didasarkan pada fakta-fakta hukum yang terdapat pada peristiwa

yang terjadi. Teori kebenaran korespondensi mengutamakan kepastian hukum

(asas legalitas).
Teori yang kedua tentang kebenaran adalah teori koherensi. Berdasarkan

teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau

konsisten dengan pernyataanpernyataan sebelumnya yang dianggap benar, artinya

pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan

pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut

logika. Misalnya, bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati”

adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si Budi adalah

seorang manusia dan si Budi pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan

kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.

Kembali pada apa yang sedang dibahas mengenai kebenaran hukum

perspektif filsafat hukum, apabila ketiga teori kebenaran itu dikaitkan dengan

kebenaran hukum, maka akan sulit untuk menentukan kriteria kebenaran apa yang

digunakan dalam menentukan kebenaran hukum. Para filsuf dengan berbagai alur

pemikiran tidak dapat bersatu dalam menentukan kriteria kebenaran apa yang

digunakan dalam menentukan kebenaran hukum. Namun paradigma seseoranglah

yang menentukan sesuatu itu benar, karena kebenaran itu bersifat subjektif dan

tentative.

Kebenaran yang dianut seseorang menuntunnya untuk mencari dan

menemukan serta meyakinkan dia tentang sesuatu yang benar itu. Berbicara

mengenai apakah hukum itu benar ada? dari mana datangnya hukum? untuk apa

ada hukum? siapa yang berwenang membuat hukum? mengapa orang tunduk pada

hukum ? pertanyaan-pertanyaan itu yang akan membawa orang berpikir tentang

hukum secara khusus dan mendalam tentang hakekat hukum. Jawaban atas
pertanyaan di atas bukan saja membawa orang pada satu pengertian tentang

hakekat hukum, melainkan membawa pada berbagai pemikiran, keyakinan atau

kepercayaan tentang hal-hal mengenai hukum. Jawaban atas pertanyaan di atas

dapat membawa pada keyakinan, pedoman atau orientasi berpikir tentang hukum.

Sehingga kemudian membentuk paradigma, dan paradigma ini menjadi

pegangan, pedoman, panduan : berpikir, berkata dan berbuat atau orientasi dasar

untuk mengembangkan keyakinan dan kepercayaan tentang hukum.

Lalu, jika kemudian kebenaran hukum dilihat dari pengertian dan fungsi

hukum itu sendiri, maka dapat disimpulkan. Pertama, apakah benar hukum itu

merupakan sekumpulan peraturan-peraturan atau kaedahkaedah dalam suatu

kehidupan bersama, maka benar hukum merupakan kumpulan aturan. Kedua,

apakah benar fungsi hukum itu adalah untuk mengatur kehidupan manusia maka

jawabannya benar. Kendati memang harus ditegaskan bahwa hukum itu ada untuk

manusia bukan manusia ada untuk hukum.


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dari penjelasan tentang pengertian das sein dan das sollen menurut para

ahli beserta contohnya tersebut, dapatlah dikatakan bahwa pelaksanaankedua

istilah ini selalu ada secara bersamaan di dalam semua bidang kehidupan manusia

sebagai bentuk teori dan praktek, yang keduanya akan selalu saling melengkapi isi

antara yang satu dengan yang lain. Baik dalam pendidikan, pengamalan Pancasila,

penelitian, ataupun dalam komunikasi.

Anda mungkin juga menyukai